Jika diluar ruangan, beberapa hal yang harus diperhatikan: tempatnya datar, kering dan tidak ada binatang kecil, ada pohon pohon sebagai pelindung, dekat
dengan tempat pemberian makanan, dekat dengan tempat pembekalan, dekat dengan sumber air, tidak ada benda benda atau logam berbahaya.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mempersiapkan dapur umum: susun tempat masak sedemikian rupa, tempat makan dibuat beberapa lajur, arah
pembagian makanan ditentukan dengan petunjuk, susun alat dapur darurat, hendaknya diatur sedemikian rupa, tempat pencucian hendaknya sesuai dengan
urutan kerja Depkes, 2008.
2.8.3. Penanganan Gizi dalam Situasi Darurat
Penanganan gizi dalam situasi darurat terdiri dari dua tahapan yaitu tahap penyelamatan dan tahap tanggap darurat:
a. Tahap Penyelamatan, tahap penyelamatan terdiri dari dua fase yaitu:
1. Fase pertama, ditandai dengan kondisi sebagai berikut, korban bencana bisa
dalam pengungsian atau belum dalam pengungsian, petugas belum sempat mengidentifikasi korban secara lengkap, bantuan pangan sudah mulai
berdatangan, adanya penyelenggaraan dapur umum, tenaga gizi mulai terlibat sebagai penyusun menu dan mengawasi penyelenggaraan dapur umum,
pemberian makan pada fase ini bertujuan agar pengungsi tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizinya Kemenkes, 2012.
Melakukan pemeriksaan cepat sebagai bagian dari kegiatan Rapid Health Assesment RHA yang meliputi jumlah jiwa, kepala keluarga
Universitas Sumatera Utara
pengungsi, Bayi 0-5 bulan, 6-11 bulan, anak 12-24 bulan, anak usia 25-59 bulan, bayi piatu, ibu hamil, ibu menyusui, orang lanjut usia, dan lain lain.
Bayi dan anak dibawah usia dua tahun Baduta merupakan kelompok yang paling rawan sehingga memerlukan penanganan gizi secara khusus.
Pemberian makanan yang tidak tepat serta kekurangan gizi pada kelompok tersebut dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian yang lebih tinggi
pada situasi darurat Kemenkes, 2010. Penelitian di pengungsian menunjukkan bahwa kematian anak balita
2-3 kali lebih besar dibandingkan kematian pada semua kelompok umur. Kematian terbesar terjadi pada kelompok umur 0-6 bulan WHO, Unicef,
2001. Oleh karena itu dalam situasi darurat penanganan gizi kelompok ini dalam situasi darurat menjadi bagian penting untuk menangani pengungsi
secara cepat dan tepat. 2.
Fase kedua, kegiatan yang dilakukan meliputi: Melakukan pengukuran berat badan dan tinggi atau panjang badan balita serta
informasi faktor pemburuk Diare, ISPA, campak, dan malaria untuk mengetahui besar dan luasnya masalah gizi dan kesehatan yang ada. Besar
sampel yang diperlukan ditentukan sebagai berikut: populasi kurang dari 10.000 rumah tangga gunakan sistematik random sampling dengan jumlah
sampel minimal 450 balita. Populasi sampai 3000 jiwa seluruh balita diukur. Populasi lebih dari 10.000 rumah tangga, gunakan kluster sampling, yaitu
minimum 30 kluster dan tiap kluster minimum 30 balita Kemenkes, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Menentukan klasifikasi kedaruratan sebagai berikut: jika tingkat kedaruratan adalah gawat atau kritis, dilakukan skrining pada semua balita
dan bumil dengan melakukan pengukuran LILA, skrining dimaksudkan untuk mengetahui balita kurang gizi buruk serta Bumil KEK.
b. Tahap Tanggap Darurat Tahap ini dimulai setelah selesai tahap penyelamatan, adapun tujuannya
adalah untuk menanggulangi masalah gizi melalui intervensi sesuai tingkat kedaruratan, kegiatan dalam tahap ini meliputi: menghitung prevalensi status gizi
balita berdasarkan indeks BBTB-P dan menganalisis adanya faktor pemburuk seperti kejadian diare, campak, demam berdarah dan lain lain. Informasi tentang prevalensi
dari hasil surveilans gizi ini selanjutnya digunakan untuk penentuan jenis intervensi yang sesuai dengan mempertimbangkan pula hasil surveilans penyakit.
Melakukan modifikasiperbaikan interveni sesuai dengan perubahan tingkat kedaruratan, jika prevalensi balita kurus
≥ 1 5 atau 1 0 -14,9 dengan faktor pemburuk, maka tindakan yang diperlukan adalah pemberian ransum ditambah PMT
darurat kepada semua kelompok rawan khususnya Balita, ibu hamil, dan ibu menyusui Blanket Supplementary Feeding Program dengan ketentuan kecukupan
gizi. Untuk balita gizi buruk tingkat berat ditangani sesuai tata laksana gizi buruk. Jika prevalensi Balita kurus 10-14,9 atau 5-9,9 dengan faktor pemburuk maka
tindakan yang perlu dilakukan adalah PMT darurat terbatas Targeted Supplementary Feeding Program hanya kepada balita kurus dan sangat kurus, untuk balita gizi
buruk tingkat berat ditangani sesuai dengan tata laksana gizi buruk. Jika prevalensi
Universitas Sumatera Utara
balita kurus 5-9,9 atau 5 dengan faktor pemburuk maka tindakan yang dilakukan melalui pelayanan kesehatan rutin.
2.9. Domain Prilaku
Prilaku menurut Skinner 1938 dalam Notoatmodjo 2010 adalah merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus ransangan dari luar. Dengan
demikian perilaku manusia terjadi melalui proses. Prilaku terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama yakni faktor dari luar seseorang tersebut eksternal,
dan respon merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan faktor internal.
Blum 1908 dalam Notoatmdjo 2010, membedakan tiga ranah atau domain prilaku yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Selanjutnya dalam perkembangan
berdasarkan pembagian domain oleh Blum ini dikembangkan menjadi tiga tingkat ranah prilaku yaitu:
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya mata, hidung, telinga dan
sebagainya. Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran telinga, dan indera penglihatan mata. Pengetahuan seseorang
Universitas Sumatera Utara
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:
a. Tahu Know
Tahu diartikan hanya sebagai recall memanggil memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur
bahwa seseorang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan pertanyaan. b.
Memahami Comprehension Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak
sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterprestasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.
c. Aplikasi Application
Aplikasi diartikan apabila seseorang yang telah memahami objek. Yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui
tersebut pada situasi yang lain. d.
Analisis Analysis Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa
pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tahap analisis adalah apabila seseorang tersebut telah mampu untuk membedakan, atau memisahkan,
mengelompokkan, membuat diagram bagan terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
Universitas Sumatera Utara
e. Sintesis Synthesis
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam hubungan logis dari komponen-komponen pengetahuan
yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi formulasi yang telah ada, misalnya
dapat meringkas dengan kata kata atau kalimat sendiri tentang hal hal yang telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang
telah dibaca. f.
Evaluasi Evaluasi Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilai ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma norma yang
berlaku di masyarakat. Pengetahuan selalu dijadikan sebagai awal dari sebuah tindakan dan
kesadaran seseorang sehingga dengan kapasitas pengetahuan yang dimilikinya bisa menjadi dasar dari tindakan seseorang Nugroho,2007.
2. Sikap
Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan senang
tidak senang, setuju tidak setuju, baik tidak baik dan sebagainya. Campbell dalam Notatmodjo 2003 mendefenisikan secara sederhana yakni sikap itu suatu
Universitas Sumatera Utara
sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap tersebut melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan lainnya.
Menurut Allport dalam Nooadmodjo 2010 sikap itu terdiri atas tiga komponen pokok yaitu:
1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek terhadap.
Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapatan atau pemikiran seseorang terhadap objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana
penilaian terkandung didalamnya faktor emosi orang tersebut terhadap objek. 3.
Kecendrungan untuk bertindak tend to behave, artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau prilaku terbuka. Sikap
adalah ancang ancang untuk bertindak atau berprilaku terbuka tindakan. Ketiga komponen tersebut secara bersama sama membentuk sikap yang utuh
total attitude. Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya pengetahuan, sikap
juga mempunyai tingkat tingkat berdasarkan intesitasnya, sebagai berikut: 1.
Menerima Receiving Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang
diberikan objek. 2.
Menanggapi Responding Menangapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
3. Menghargai Valuing
Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan
mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons. 4.
Bertanggung Jawab Responsible Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa
yang diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain
mencemoohkan atau ada resiko lain. 3.
Keterampilan atau Praktik Practice Seperti telah disebutkan bahwa sikap adalah kecendrungan untuk bertindak
praktik. Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk mewujudkan tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana prasarana.
Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu: a.
Praktik Terpimpin Guided Response Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih
tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. b.
Praktik secara Mekanisme Mechanism Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu
hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.
Universitas Sumatera Utara
c. Adopsi Adoption
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja akan tetapi
sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau prilaku yang berkwalitas. Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang
dilakukan oleh LIPI-UNESCOISDR 2006 ditiga kabupaten meliputi Kabupaten Aceh Besar, Kota Padang, dan Kota Bengkulu yang mengkaji pengetahuan dan sikap,
dimana masyaraat Kabupaten Aceh Besar dinilai kurang siap siaga bila dibandingkan Kota Padang namun sama dengan Kota Bengkulu. Untuk pengetahuan mengenai
bencana ketiga kabupaten ini relatif bagus, dan untuk kemampuan memobilisasi sumberdaya yang dinilai kurang mampu adalah Kabupaten Aceh Besar.
Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil dari Survei yang dilakukan Usman, 2010. Survei ini mengukur pengetahuan dan sikap serta praktek dimana
pengetahuan tentang tindakan yang harus diambil sebelum terjadi bencana responden sebagian besar menjawab tidak tahu harus melakukan tindakan apa.
2.10. Pengembangan Manajemen Bencana
Bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda, atau
aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana UNDP, 1995. Menurut Undang Undang Bencana No 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam, mengganggu kehidupan dan penghidupan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis. Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensip untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara
cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban dan kerugian yang ditimbulkan Ramli, 2010.
Pengembangan suatu sistem manajemen bencana untuk suatu organisasi dapat dilakukan melalui beberapa tahapan atau langkah langkah: Menunjuk koordinator
penanggulangan. Identifikasi dan evaluasi potensi bencana. Tentukan langkah pengendalian. Tentukan sumberdaya yang diperlukan. Kembangkan sasaran.
Kembangkan prosedur darurat bencana. Lakukan pelatihan. Pelihara dan tingkatkan sistem manajemen bencana.
Kelemahan dari manajemen bencana antara lain: kurangnya dukungan manajemen puncak. Kurangnya keterlibatan dan dukungan pekerja dan masyarakat,
kurang atau tidak adanya perencanaan. Kurangnya pelatihan dan pendidikan. Tidak adanya penanggung jawab khusus untuk mengkoordinir sistem tanggap darurat.
Sistem tanggap darurat tidak dievaluasi atau disempurnakan secara berkala. Sistem komunikasi dan peringatakan dini tidak memadai. Pekerja tidak dijelaskan tindakan
atau langkah apa yang harus dilakukan jika dalam keadaan darurat Ramli, 2010. Keinginan yang tinggi untuk menambah wawasan pengetahuan mengenai
bencana dan sistim penanggulangan bencana masih menemukan banyak kendala. Kendala yang dihadapi antara lain sulitnya untuk mengakses informasi. Disisi lain
Universitas Sumatera Utara
kegiatan peningkatan kapasitas juga sering dirasakan memiliki peluang yang kecil untuk diperoleh Nugroho, 2007.
Pengembangan manajemen bencana memang membutuhkan kerja keras dan berkesinambungan. Untuk mencapai keberhasilan dalam menerapkan dan
mengembangkan manajemen bencana diperlukan hal sebagai berikut; dukungan manajemen secara penuh dan konsisten yang ditunjukkan secara nyata. Manajemen
bencana harus dianggap sebagai program strategis untuk memelihara dan menjaga hasil pembangunan. Peran serta semua pihak, dan ketersediaan sumberdaya yang
memadai untuk menangani bencana sesuai dengan kondisi dan sifat masing masing Ramli,2010
Kegiatan manajemen bencana merupakan kegiatan yang tidak berdiri sendiri, dan tidak dapat dipisahkankan tetapi terkait dengan berbagai aspek kehidupan
masyarakat dan memerlukan pendekatan yang bersifat multi disiplin serta lintas sektor. Melalui manajemen bencana program dilaksanakan pada masing masing
kuadrant, kegiatan antar segmen cendrung ada kaitan, waktu yang dibutuhkan setiap segmen tidak sama dalam setiap kuadrant siklus manajemen bencana, akan tetapi bisa
berbeda beda tergantung dari kondisi setiap lokasi dan daerah bencana tersebut Nurjanah, 2011. Secara jelas siklus manajemen bencana digambarkan sebagai
berikut :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana
Sumber, Nurjanah, 2012 2.11. Kerangka Teori
Konsep kesiapsiagaan adalah upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian
harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Adapun menurut Depkes 2007 tujuan kesiapsigaan di bidang kesehatan adalah a meminimalkan jumlah
korban, b mengurangi penderitaan korban, c mencegah munculnya masalah kesehatan pasca trauma, d memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan
cepat. Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan.
Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama bagi mereka yang tinggal di
wilayah yang memiliki resiko bencana. Sikap akan mempengaruhi keterampilan seseorang untuk mau melakukan atau tidak akan sesuatu hal. Sarana prasarana
Universitas Sumatera Utara
penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana.
2.12. Kerangka Konsep