Bagian Saudara dalam KHI
                                                                                aturan  lain,  seperti  sistem  ahli  waris  pengganti  dan  wasiat  wajibah  yang  tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih manapun.
64
Aturan  lain  yang  nampak  diperbaharui  dalam  KHI  adalah  aturan  terkait dengan  bagian  saudara  yang  menurut  fiqh  hanya  dapat  bagian  jika  pewaris  tidak
meninggalkan anak. Dalam pandangan jumhur ulama anak yang dimaksud dalam al- Quran  adalah  anak  laki-laki.  Efek  dari  pandangan  ini  adalah  bahwa  saudara  dapat
memperoleh  harta  waris  jika  pewaris  tidak  meninggalkan  anak  yaitu  anak  laki-laki. Sedangkan  jika  pewaris  meninggalkan  hanya  anak  perempuan,  saudara  dapat
memperoleh  kewarisan.  Kesimpulannya  jika  anak  laki-laki  mempunyai  kedudukan menghijab  saudara  sedangkan  anak  perempuan  tidak,  maka  akibatnya  anak
perempuan  harus  berbagi  harta  warisan  dengan  saudara  jika  mereka  bertemu  dalam sebuah  kondisi  waris  mewaris.  Para  ulama  Indonesia  rupaya  melihat  aturan  fiqh  ini
agak bias jender. Lewat sebuah pasalnya, para penyusun KHI mengatur bahwa bagian saudara ditentukan oleh keberadaan anak dalam pasal 181 dan pasal 182.
65
Pasal  181  dan  182  KHI  menyatakan  bahwa  hak  waris  dari  saudara  kandung hanya bisa diberikan jika tidak anak. Kata anak ini adalah terjemahan sebenarnya dari
walad.  Jadi,  KHI  menetapkan  menurut  kata  Al-Quran.  Pada  dasarnya,  kata  anak mengacu  pada  anak  laki-laki  dan  anak  perempuan.  Namun,  tampaknya  penggunaan
kata  ini  masih  membingungkan  bagi  sebagian  hakim  yang  mempertanyakan  apakah
64
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 215.
65
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 217-218.
kata  ini,  seperti  kata  walad  dalam  al-Quran,  mengacu  hanya  kepada  laki-laki sebagaimana  dalam  penafsiran  Sunni,  atau  kepada  laki-laki  dan  perempuan
sebagaimana dalam penafsiran  Ibnu Abbas.
66
Sedangkan pada pasal  176 KHI diatur bagian anak perempuan jika sendiri ialah separoh bagian. Hal ini menjadi persoalan,
apakah makna anak pada pasal 181 dan 182 ialah anak laki-laki saja atau keturunan baik laki-laki maupun perempuan.
Perdebatan  tersebut  muncul  dan  dilakukan  karena  KHI  bersifat  mendua. Seperti  kata  walad  dalam  al-Quran  ditafsirkan  secara  berbeda  dalam  konteks  ini,
masih  menggunakan  terjemahan  yang  umum.  Yang  menjadi  pertanyaan  mengapa KHI Pasal 181 dan 182 tidak menggunakan kata-kata  yang jelas dan tertentu anak
perempuan  dan  anak  lelaki  sekaligus  ketika  memaksudkan  bahwa  keduanya mendahulukan  saudara  kandung,  dan  menggunakan  kata  anak  laki-laki  saja  ketika
tujuannya  adalah  untuk  menyatakan  bahwa  anak  laki-laki  saja  menghalangi  saudara kandung dari pewaris.
67
Beberapa kalangan penyusun menjelaskan bahwa anak yang dimaksud adalah baik  laki-laki  maupun  perempuan.  Artinya  bahwa  kompilasi  melakukan  terobosan
dan  perubahan  terhadap  aturan  yang  dibuat  oleh  para  ulama  klasik.  Dikehendaki bahwa seorang perempuan mempunyai  kedudukan  yang sama dengan anak laki-laki
dalam hijab-menghijab terutama ketika mereka berada bersama saudara. Penyetaraan
66
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 224.
67
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 224-225.
kedudukan  laki-laki  dan  perempuan  ini  memang  selalu  diupayakan  untuk memperlihatkan  bahwa  Indonesia  meberikan  perhatian  terhadap  kedudukan  hukum
perempuan di Indonesia.
68
Dalam prakteknya, para hakim dalam membuat keputusan mengenai masalah kewarisan  terkadang  menyimpang  dari  Kompilasi  dan  malah  mengacu  pada  kitab-
kitab  fikih.  Selain  niat  mereka  mempertahankan  kepentingan  umum  dimana  banyak hakim  berpendapat  bahwa  penyimpangan  dari  aturan-aturan  yang  ditetapkan  dalam
KHI  kadang  diperlukan  untuk  menciptakan  kemaslahatan  umum  atau  untuk menjamin  kepuasan  keadilan  pihak-pihak  atau  salah  satu  pihak  yang  terlibat  dalam
satu kasus. Kenyataannya bahwa mereka tidak sependapat dengan aturan-aturan yang ada  dalam  KHI  merupakan  salah  satu  alasan  mengapa  mereka  dalam  kasus-kasus
tertentu tidak sepenuhnya memenuhi sejumlah aturan dalam Kompilasi.
69
Dalam  tulisan  Euis  Nurlaelawati  yang  berjudul “Menuju Kesetaraan Dalam
Aturan  Kewarisan  Islam  Indonesia:  Kedudukan  Anak  Perempuan  VS  Saudara Kandung”  pada  buku  Problematika  Hukum  Kewarisan  Islam  Kontemporer  di
Indonesia,  bisa  disimpulkan  bahwa  telah  terjadi  pembaharuan  mengenai  aturan kewarisan  Islam  di  Indonesia  yang  terwujud  dalam  Kompilasi  Hukum  Islam.  Akan
tetapi  pembaharuan  tersebut  belum  sempurna  dan  perlu  diperbaharui  lagi  agar  lebih jelas. Beliau berpendapat bahwa upaya pembaharuan harus dilakukan dengan sangat
68
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 218-219.
69
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 220-221.
hati-hati  dan  jelas,  sehingga  tidak  menimbulkan  interprestasi  yang  beragam. Interprestasi  terhadap  hukum  tentunya  bisa  diterima  dengan  alasan  adanya
kemaslahatan di dalamnya, dan bukan karena ketidakjelasan aturan.
70
70
Euis Nurlaelawati, Problematika Hukum Kewarisan Islam, h. 229.
58
                