Analisa Pertimbangan Hukum PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 86K AG 1994 DAN ANALISA

ahli waris, meskipun telah dibaliknamakan kepada si anak perempuan. Seperti yang dikatakan M. Yahya Harahap, SH. dalam wawancara penulis dengan beliau bahwa “pembaliknamaan itu tidak bisa menghilangkan hak ahli waris lain untuk mendapatkan warisan, selama dapat dibuktika n bahwa harta itu adalah tirkah.” 3 Akhirnya majelis hakim memutuskan bahwa Para Penggugat dan Tergugat merupakan ahli waris dari Pewaris. Kemudian majelis hakim memutuskan objek sengketa berupa tanah kebun seluas 2 Ha adalah harta peninggalan tirkah yang belum dibagiwariskan kepada ahli warisnya yaitu Le Putrahimah anak perempuan si pewaris dan Amaq Itrawan saudara kandung si pewaris. Majelis hakim pun memutuskan pembagian harta waris yakni anak perempuan ½ bagian dan saudara si pewaris ½ bagian. Kemudian pada tingkat kasasi, majelis hakim mempertimbangkan alasan kasasi yakni PTA Mataram telah salah menerapkan hukum yakni mendudukan Amaq Itrawan yang telah meninggal pada tahun 1930 sebagai ashabah, yang mana dengan adanya Le Putrahimah sebagai anak dari Amaq Nawiyah kedudukannya tidak dapat disejajarkan dengan pamannya selaku ahli waris yang sama-sama menerima warisan dari pewaris. Alasan kasasi salah menerapkan hukum ialah bahwa putusan yang dikasasi melanggar atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum baik hal itu mengenai hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Sehubungan dengan itu, penegakkan penerapan alasan kasasi berdasarkan Pasal 30 ayat 1 huruf b UU No. 5 3 Wawancara pribadi dengan Mantan Hakim Mahkamah Agung RI. M. Yahya Harahap, SH. Jakarta.02 April 2014. Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, harus benar-benar ditujukan kepada fakta bahwa putusan yang dikasasi itu bertentangan atau melanggar hukum yang berlaku berkenaan dengan kasus yang bersangkutan. 4 Dalam hal ini, MA dapat mempergunakan hukum Pembuktian berupa pemeriksaan pada berkas perkara dan surat-surat lainnya yang dianggap perlu dan jika dipandang perlu dengan mendengar keterangan para saksi. Hal itu diatur dalam UU MA Pasal 51 ayat 2 dan 50, dimana dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan Pasal 30 huruf b, dan huruf c, maka Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu. Lalu Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama. Dalam pemeriksaan perkara, MA menemukan fakta bahwa harta warisan berupa tanah kebun seluas 2 Ha tersebut dikuasai dan dinikmati berpuluh-puluh tahun oleh keluarga besar saudara si pewaris dan tidak dibagikan kepada anak perempuan si pewaris. Akhirnya majelis hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dengan membenarkan alasan kasasi di atas, lalu membatalkan putusan PTA 4 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Cet.II, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 328 Mataram karena telah salah menerapkan hukum serta mengadili sendiri perkara ini dengan menguatkan putusan PA Mataram. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa selama masih ada anak baik laki-laki maupun perempuan, maka hak waris dari orang- orang yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris kecuali orang tua, suami, dan istri menjadi tertutup terhijab. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas, salah seorang ahli tafsir di kalangan sahabat Nabi dalam menafsirkan kata- kata “walad” pada ayat 176 Surat An-Nisa yang berpendapat pengertiannya mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Oleh karena itu dalam perkara waris ini dengan adanya si Pemohon Kasasi anak perempuan, maka Termohon Kasasi pamannya menjadi terhijab untuk mendapat warisan. Pertimbangan hukum hakim di atas merupakan upaya hakim menemukan hukum dalam menyelesaikan perkara waris tersebut dengan menggunakan metode penafsiran bahasa interprestasi gramatikal. Metode penafsiran bahasa interprestasi gramatikal adalah penafsiran ketentuan yang belum jelas maknanya dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. 5 Majelis hakim menafsirkan makna kata “walad” dalam surat An-Nisa ayat 176 mengenai kewarisan anak bersama saudara ialah anak baik laki-laki maupun perempuan. Penemuan hukum tersebut merupakan upaya hakim untuk memutuskan putusan yang seadil-adilnya dengan menggali dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 5 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h. 280.

F. Analisa Penulis

Jika melihat secara sekilas, putusan Mahkamah Agung di atas terlihat tidak kuat membatalkan putusan PTA Mataram yakni dengan hanya mengambil pendapat Ibnu Abbas memaknai makna kata “walad” pada ayat 176 Surat An-Nisa sebagai dasar pertimbangan hukum. Sedangkan terdapat pendapat ulama lain seperti pendapat jumhur ulama. Pengambilan sebuah pendapat untuk membatalkan pendapat yang lain tanpa adanya alasan yang jelas, tidak dapat membatalkan sebuah putusan. Namun setelah penulis meneliti secara mendalam dengan mempelajari dan memahami keseluruhan permasalahan, mulai dari kronologi perkara, tuntutan yang diajukan, bukti-bukti yang telah diperiksa, pertimbangan hukum dan putusan dari tingkat pertama, tingkat banding hingga tingkat kasasi, serta menganalisis dengan interogasi filososi, maka dapat ditemukan titik keadilan yang ingin dicapai pada putusan Mahkamah Agung ini. Menurut M. Yahya Harahap, SH. dan Drs.H. Habiburrahman, M.Hum. bahwa jika melihat pada putusan MA tersebut saja, mereka tidak akan mengikuti yurisprudensi ini karena telah bertentangan dengan nash Al- Qur’an. Akan tetapi harus dilihat dulu jalan perkaranya atau memahami kasus tersebut, apakah perkara tersebut termasuk perkara yang kasuistik kasus dalam keadaan tertentu. Menurut Drs.H. Habiburrahman, M.Hum. , “jika itu perkara yang kasuistik, maka boleh tidak menerapkan hukum secara umum, jadi ada pengecualian pada kasus tertentu ”. 6 6 Wawancara pribadi dengan Hakim Mahkamah Agung RI, Drs. H. Habiburrahman, M.Hum. Jakarta. 11 April 2014. Oleh karenanya harus diikaji dulu permasalahannya dari putusan tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi. Menurut penulis, Putusan MA di atas berupaya memberikan putusan yang seadil-adilnya dengan menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku atau biasa diterapkan yakni Al-Quran An-Nisa ayat 11, KHI Pasal 176 dan menurut pendapat jumhur ulama, bagian waris anak perempuan jika sendiri ialah ½ bagian, selebihnya diberikan kepada ahli waris lainnya. Hal itu dikarenakan perkara waris ini merupakan perkara yang bersifat kasuistik, yakni terdapat pengecualian dalam kasus tertentu. Pada perkara waris ini, setelah si Pewaris meninggal dunia, harta warisan yang menjadi objek sengketa dinikmati dan dikuasai oleh Amaq Itrawan dan anak- anaknya hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Sedangkan Le Putrahimah anak perempuan hidup dalam keadaan yang sengsara sampai tiga kali menjanda, dan selama itu ia belum pernah menikmati harta warisan dari ayahnya si pewaris. Kini setelah ia dewasa dan menjalani hidup yang sulit, dirasa adil jika harta warisan tersebut jatuh seluruhnya kepada Le Putrahimah anak perempuan. Bagian ½ harta warisan yang dituntut oleh cucu-cucu dari Amaq Itrawan sesungguhnya sudah diberikan kepada mereka, yakni hasil kebun yang selama berpuluh-puluh tahun telah dinikmati oleh keluarga besar Amaq Itrawan. Jadi tidak adil jika mereka sekarang mendapat ½ bagian warisan lagi, sedangkan dahulunya mereka menikmati sepenuhnya tanah kebun harta warisan tersebut beserta hasilnya dengan waktu yang lama. Kemudian pengambilan pendapat ulama yang dilakukan majelis hakim Agung di atas memang merupakan sebuah usaha menemukan hukum dengan metode penafsiran gramatikal. Usaha ini sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 yakni hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jadi untuk mencapai titik keadilan, hakim dapat menginterprestasikan nilai-nilai hukum dalam penyelesaian suatu perkara. Dalam ushul fiqh pun, terdapat metode ijtihad hakim yakni istihsan. Istihsan adalah hukum pengecualian dari ketentuan-ketentuan yang berlaku umum, untuk diterapkan pada kasus-kasus yang sedang berada dalam kondisi tertentu sehingga menghendaki pertimbangan lain yang sejalan dengan tujuan syariat. Jadi pada kasus tertentu dalam pandangan hakim bilamana ketentuan-ketentuanpertimbangan hukum yang biasa dipakai secara umum diterapkan dalam kasus seperti itu, akan bertentangan dengan kemashlahatan atau akan bertentangan dengan tujuan syari’at, maka hakim baru boleh keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut. Namun hakim hendaklah menjelaskan secara jelas mengapa ia meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus serupa dan menerapkan putusan lain atau pertimbangan hukum lain. 7 Pada putusan MA di atas tidak dijelaskan secara jelas alasan mengapa mengambil pertimbangan hukum tersebut yang mana sejalan dengan pendapat Ibnu 7 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer , Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Kencana, 2010, Cet. III, h. 305-306.

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88