tidak signifikan, untuk sekolah SD hanya bertambah 0,76 persen. Sedangkan pertambahan untuk sekolah SMP sebesar 6,56 persen.
Jumlah SD terbanyak terletak di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaang Mongondow, hal ini dikarenakan kedua kabupaten ini adalah kabupaten
terluas di Sulawesi Utara. Distribusi sekolah untuk SD relatif merata, hal ini disebabkan kewajiban program wajib belajar 6 tahun yang telah lebih dahulu
dicanangkan oleh pemerintah. Namun, distribusi sekolah di tingkat SMP kurang merata. Sekolah SMP yang terbanyak berada di Kabupaten Minahasa, Bolaang
Mongondow dan di Kota Manado Tabel 6. Implikasinya bagi penduduk yang mau bersekolah SMP di daerahnya kurang banyak pilihan, juga jarak dari sekolah
ke tempat tinggal yang relatif jauh. Pemerintah sudah mencoba untuk menambah jumlah SMP jika melihat dari pertumbuhan jumlah sekolah SMP yang lebih besar
dari pertumbuhan sekolah SD. Tabel 6 Jumlah SD dan SMP di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010
KabupatenKota Sekolah SD
Sekolah SMP
2008 2009
2010 2008
2009 2010
Bolaang Mongondow 343
351 351
92 94
96 Minahasa
342 342
342 100
100 100
Kepulauan Sangihe 220
220 221
58 58
59 Kepulauan Talaud
115 115
115 37
38 38
Minahasa Selatan 233
233 235
61 77
79 Minahasa Utara
192 192
192 71
71 71
Minahasa Tenggara 91
92 93
31 31
40 Bolaang Mongondow Utara
88 88
88 20
24 24
Kep. Sitaro 102
102 102
24 24
24 Manado
269 271
271 92
94 94
Bitung 101
101 104
32 34
35 Tomohon
66 66
66 21
21 21
kotamobagu 74
73 73
16 17
17 Sulawesi Utara
2236 2246
2253 655
683 698
Pertumbuhan 0,76
6,56 Sumber : Daerah Dalam Angka KabupatenKota, dalam beberapa tahun
Jika dihubungkan dengan anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan dasar, di setiap kabupatenkota anggaran untuk pendidikan dasar mendapatkan
porsi terbesar dari anggaran belanja langsung. Anggaran belanja langsung adalah
anggaran untuk program-program dalam pemerintahan diluar belanja rutin pegawai. Target MDGs adalah semua anak mendapatkan pendidikan dasar, atas
dasar ini pula pemerintah memberikan porsi anggaran terbesar diantara program- program lain yang ada di Dinas Pendidikan.
Ketersediakan sekolah SMP masih lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah SD. Ini berimplikasi pada harus adanya biaya yang harus dikeluarkan
seperti biaya transportasi. Bolaang Mongondow mempunyai desa terbanyak yang tidak memiliki sekolah SMP Lampiran 7. Banyaknya desa yang memiliki jarak
tempuh dengan SD terdekat 2 Km sejumlah 85 desa. Sekitar 35 desa di Sulawesi Utara yang jarak tempuh dengan SMP terdekat lebih dari 10 Km. Pemerintah
dapat mengatasi hal ini dengan menyediakan sarana transportasi gratis seperti bis sekolah. Langkah ini sudah di ambil oleh pemerintah daerah Bolaang Mongondow
Utara. Daerah kepulauan seperti Sangihe, Talaud dan Sitaro dapat menyediakan perahu sekolah yang beroperasi setiap jam berangkat dan pulang sekolah.
Tabel 7 Jumlah Guru SD dan SMP di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010
KabupatenKota SD
SMP 2008
2009 2010
2008 2009
2010 Bolaang Mongondow
2077 2564
3256 813
1117 1235
Minahasa 2291
2294 2306
1031 1490
1521 Kep.Sangihe
1254 1282
1491 392
426 601
Kep. Talaud 823
896 896
381 481
481 Minahasa Selatan
1440 1704
1663 689
689 937
Minahasa Utara 1269
1295 1418
796 796
796 Bolaang Mongondow Utara
462 545
617 126
219 348
Kep. Sitaro 629
657 670
180 251
319 Minahasa Tenggara
536 540
555 413
414 420
Manado 2150
2666 3199
1134 1184
1246 Bitung
838 1036
1147 452
522 579
Tomohon 686
698 707
290 345
347 Kotamobagu
606 760
816 282
426 465
Sulawesi Utara 15082
17054 18720
7013 8365
9256 Pertumbuhan 2008-2010
24,12 31,98
Sumber : Daerah Dalam Angka KabupatenKota, dalam beberapa tahun Ketersedian guru dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pertumbuhan
guru SD sejak tahun 2008-2010 sebesar 24,12 persen dan guru SMP 31,98 persen Tabel 7. Jumlah guru SD tahun 2010 terbanyak di Kabupaten Bolaang
Mongondow. Hal ini terjadi dikarenakan kabupaten Bolaang Mongondow saat ini sudah pecah menjadi 3 kabupaten yaitu kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang
Mongondow Timur dan Bolaang Mongondow Selatan. Daerah Bolaang Mongondow merupakan daerah dengan angka partisipasi sekolah untuk SD dan
SMP yang terendah diantara kabupatenkota lainnya di Sulawesi Utara. Pemerintah berusaha menyediakan akses pendidikan dasar lebih banyak di daerah
yang rendah partisipasi SD dan SMP.
4.4 Rasio Murid dan Guru
Rasio murid dan guru menggambarkan rata-rata banyaknya siswa yang dididik oleh seorang guru. Guru sebagai perantara memberikan ilmu pengetahuan
kepada manusia mutlak diperlukan dalam dunia pendidikan. Keefektifan proses belajar mengajar dapat dilihat dari rasio murid dan guru. Murid yang terlampau
banyak dalam suatu proses belajar akan berdampak kurang fokusnya penerimaan materi, akibatnya mutu pendidikan akan berkurang kualitasnya.
Tabel 8 Rasio Murid terhadap Guru di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 KabupatenKota
SD SMP
2008 2009
2010 2008
2009 2010
Bolaang Mongondow 22,09
18,41 14,65
17,28 14,12
13,8 Minahasa
15,15 14,9
15,24 13,41
9,55 9,39
Kepulauan Sangihe 11,53
10,98 9,60
14,92 9,17
5,63 Kepulauan Talaud
12,83 11,18
11,18 12,64
9,70 9,70
Minahasa Selatan 16,32
14,34 15,81
14,85 15,85
11,70 Minahasa Utara
17,69 17,33
16,41 10,13
9,76 10,95
Bolaang Mongondow Utara 22,27 19,16
17,26 26,28
16,08 10,42
Kep. Sitaro 11,62
13,45 10,89
15,79 12,41
9,96 Minahasa Tenggara
25,01 17,27
26,52 11,93
9,41 12,54
Manado 21,83
14,96 15,78
17,76 17,59
17,69 Tomohon
13,60 13,87
14,96 16,57
14,55 14,65
Bitung 26,89
22,79 21,27
18,12 16,64
14,53 Kotamobagu
21,35 16,74
16,22 24,45
14,66 16,25
Sulawesi Utara 18,21
15,79 15,37
15,46 13,01
12,27 Sumber: Daerah Dalam Angka KabupatenKota, dalam beberapa tahun
The World Development Report 2004 menyatakan bahwa kebijakan yang menyarankan banyaknya siswa yang diajar oleh satu orang guru dibawah 40
orang adalah tidak efisien untuk negara berkembang, karena membutuhkan biaya
yang tinggi. Tetapi, jumlah siswa lebih dari 60 orang yang diajar oleh satu orang guru juga tidak disarankan karena proses belajar mengajar tidak efektif. Menurut
petunjuk teknis tentang penataan pemerataan guru PNS bahwa untuk seorang guru dalam 1 rombongan belajar maksimal mengajar 32 siswa.
Rasio murid yang dididik oleh seorang guru setiap tahunnya selalu menurun. Secara rata-rata di Sulawesi Utara setiap guru mengajar 15-19 orang
murid. Pada tahun 2010 rasio murid SD yang dididik oleh seorang guru terbesar di Minahasa Tenggara dan yang paling sedikit adalah di kabupaten Sangihe Tabel
8. Jika dihubungkan dengan angka partisipasi sekolah SD di Sangihe yang sudah cukup tinggi yaitu 96,41 persen, maka jumlah guru SD sudah mencukupi untuk
prasarana pendidikan. Angka ini menggambarkan kurang efisiennya praktek belajar mengajar di jenjang pendidikan SD ka
rena guru “lebih banyak” dibanding dengan siswa yang harus dilayani.
Tabel 9 Rasio Murid Guru jika Semua Anak 7-15 Tahun Bersekolah Tahun 2008- 2010
KabupatenKota SD
SMP 2008
2009 2010
2008 2009 2010
Bolaang Mongondow 22,70
19,24 14,98 21,28 17,11 16,58
Minahasa 15,46
14,99 15,30 14,65 11,13
9,84 Kep. Sangihe
12,10 11,45
9,89 18,54 12,15
7,65 Kep. Talaud
12,99 11,29 11,41
13,54 9,98 10,05
Minahasa Selatan 16,68
14,65 16,00 17,92 17,35 12,47
Minahasa Utara 18,05
17,44 16,48 11,20 10,30 12,51
Bolaang Mongondow Utara 22,46
19,64 17,68 35,03 17,48 11,55
Kep. Sitaro 11,87
13,45 10,96 18,23 13,59 10,74
Minahasa Tenggara 25,31
17,68 26,95 13,37 11,34 13,53
Manado 22,00
15,31 16,13 18,42 19,03 19,65
Bitung 27,37
22,99 21,46 20,10 19,32 17,31
Tomohon 13,73
13,87 15,11 17,73 15,10 15,62
Kotamobagu 22,09
17,07 16,63 27,77 15,89 17,14
Sulawesi Utara 18,57
16,13 15,62 17,52 14,65 13,71
Sumber : BPS, di olah Rasio murid terhadap guru pada jenjang SMP makin menurun, setiap guru
di Sulawesi Utara pada tahun 2010 rata-rata hanya mengajar 13 orang siswa. Kabupaten dengan rasio murid terhadap guru paling kecil adalah Sangihe, namun
APS sangihe untuk tingkat SMP juga masih rendah. Ini menggambarkan bahwa
faktor ketersediaan guru SMP sudah bukan hambatan lagi untuk mencapai target pencapaian pendidikan dasar. Faktor yang masih perlu diperhatikan lagi adalah
kualitas dari guru yang mengajar namun dalam penelitian ini tidak dibahas karena keterbatasan data.
Implikasi dari masih dibawah rata-rata rasio murid guru yang ditetapkan berdampak pada pengeluaran pemerintah berupa gaji guru, ini terlihat dari
pengeluaran belanja tidak langsung pada dinas pendidikan yang sangat besar. Jika kita asumsikan semua anak umur 7-12 tahun dan umur 13-15 tahun bersekolah
dan jumlah guru tidak bertambah, tetap masih kurang efektif karena semua daerah masih dibawah batas maksimal Tabel 9. Hanya Bolaang Mongondow Utara
yang pada tahun 2008 memiliki rasio murid guru lebih dari 32 siswa per guru. Hasil estimasi dengan kondisi guru tahun 2010 dan pertambahan jumlah
penduduk, jumlah guru saat ini cukup sampai lebih dari 13 tahun untuk SD dan 36 tahun mendatang untuk SMP.
Halaman ini sengaja dikosongkan
V. DETERMINAN PENDIDIKAN DASAR
5.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar secara Regional
Penelitian ini menggunakan model regresi data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap output pendidikan dasar secara regional.
Output pendidikan yang dipakai sebagai indikator adalah banyaknya anak usia sekolah yang masih bersekolah ditiap kabupatenkota di Sulawesi Utara. Model
ini menggunakan data sekunder dari BPS, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Departemen Keuangan. Data yang dianalisis meliputi 13
wilayah KabupatenKota di Provinsi Sulawesi Utara selama tahun 2008-2010. Terdapat keterbatasan data pada kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten
Bolaang Mongondow Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, masih bergabung dengan kabupaten induknya. Model dibuat dalam dua model yaitu
model untuk sekolah dasar SD dan sekolah menengah pertama SMP. Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan model
regresi. Pengujian kesesuaian model yang dilakukan pertama kali dalam penelitian ini adalah pengujian dengan metode Chow test. Proses ini dilakukan dengan
membandingkan pooled model dengan fixed effects model. Selanjutnya dilakukan uji Hausman untuk membandingkan antara fixed effects model dengan random
effect model. Hasil uji Chow dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2 Hasil pengujian
terhadap model SD dan SMP memperoleh nilai F statistik sebesar 16,99 dan 6,08 dengan nilai p-value sebesar 0,000 dan 0,0003. Kesimpulan yang diambil adalah
menolak Ho pada taraf α = 1 persen, atau terdapat heterogenitas individu pada model. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model
akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model. Proses selanjutnya yaitu membandingkan antara fixed effects model dan
random effects model. Untuk memastikan model terbaik yang akan digunakan dalam estimasi persamaan ini maka dilakukan uji Hausman. Statistik uji Hausman
mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas dalam persamaan. Hasil uji Hausman untuk model SD dan SMP
Lampiran 1 dan 2 sama-sama menunjukkan nilai p-value lebih besar dari nilai
χ
2
. Artinya menolak Ho dan menerima H
1.
Hal ini berarti fixed effects model lebih sesuai digunakan daripada random effects model.
Untuk model partisipasi SD, pengujian berbagai asumsi dasar dilakukan terhadap metode FEM sebagai model terpilih dilakukan untuk memperoleh hasil
estimasi yang BLUE best linear unbiased estimator, khususnya uji autokorelasi dan uji homoskedastisitas. Berdasarkan hasil uji Durbin-Watson DW diperoleh
nilai DW sebesar 3,19 yang artinya terjadi autokorelasi pada model. Sementara itu, dengan jumlah kuadrat residual sum square residual pada
weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics maka terdapat pelanggaran
asumsi homoskedastisitas
pada model.
Permasalahan heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model akan mempengaruhi perkiraan
nilai parameter. Hal ini disebabkan model tidak akan memenuhi sifat BLUE Best Linear Unbiased Estimate. Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model
terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan pendekatan Generalized Least Square Greene, 2002. Berdasarkan
model modifikasi ini berarti telah dilakukan koreksi atas permasalahan heteroskedastisitas, contemporaneously correlated across panel, and first order
autokorelasi. Untuk model partisipasi SMP, dengan melakukan langkah yang sama
seperti pada model partisipasi SD, model terpilih adalah FEM yang mengandung autokorelasi dan heteroskedastisitas. Kemudian model dimodifikasi menggunakan
pendekatan Generalized Least Square. Hasil estimasi kedua model ada pada Tabel 13. Dari uji signifikansi model terlihat bahwa variabel-variabel input secara
bersama-sama memengaruhi tingkat partisipasi sekolah. Faktor input pendidikan dasar secara garis besar yaitu faktor pengeluaran pemerintah, faktor sosial
ekonomi dan faktor ketersediaan sarana pendidikan sebagai basic input pendidikan Glewwe, 2002.
Pada model partisipasi sekolah usia SD, faktor yang tidak signifikan memengaruhi partisipasi sekolah usia SD adalah pengeluaran riil pendidikan
dasar, kemiskinan, dan rasio murid dan guru. Sedangkan pada model partisipasi SMP hanya faktor kemiskinan yang tidak signifikan. Hal itu ditunjukkan dengan
nilai probabilitas yang lebih besar dari taraf nyata α 10 persen.