Tabel 14 Persentase Kepala Rumah Tangga yang berpendidikan SD keatas KabupatenKota
2008 2009
2010 Bolaang Mongondow
46,95 46,96
43,81 Minahasa
61,49 63,52
65,81 Kep.Sangihe
44,50 48,06
43,49 Kep. Talaud
59,95 62,19
60,25 Minahasa Selatan
61,52 58,58
63,19 Minahasa Utara
63,25 64,09
64,66 Bolaang Mongondow Utara
40,62 43,94
40,66 Kep. Sitaro
52,37 56,81
55,51 Minahasa Tenggara
54,90 55,41
53,53 Manado
76,62 78,36
77,52 Bitung
71,34 66,42
69,48 Tomohon
72,96 75,77
71,02 Kotamobagu
66,46 70,07
61,94 Sulawesi Utara
59,46 60,78
59,30
Sumber : SUSENAS 2008-2010, diolah
Faktor sosial ekonomi berupa background keluarga adalah jumlah anak dalam keluarga. Pendekatan terhadap variabel ini adalah persentase jumlah rumah
tangga di Sulut yang memiliki jumlah angggota rumah tangga 5 orang atau lebih. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makin banyak persentase rumah tangga
dengan jumlah anggota RT 5 orang atau lebih, maka partisipasi sebagai output pendidikan juga naik. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya bahwa makin banyak jumlah anggota rumah tangga maka makin banyak anak tidak bersekolah. Rata-rata persentase rumah tangga yang memiliki
anggota rumah tangga 5 orang atau lebih pada tahun 2010 sebanyak 44,49 persen. Dari tahun 2008-2010 mempunyai kecenderungan naik Gambar 13.
Gambar 13 Persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga lebih dari 5 orang
Angka kemiskinan tidak signifikan pada model anak umur 7-12 tahun usia SD dan pada umur 13-15 tahun usia SMP, namun kemiskinan tetap
menurunkan partisipasi sekolah. Walaupun dari hasil estimasi menunjukkan bahwa kemiskinan P0 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi
anak sekolah diusia SD maupun di SMP namun jika kemiskinan tidak diperhatikan dan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi saja, kemiskinan bisa
menjadi bahaya laten yang tersembunyi. Ukuran kemiskinan yang dihitung oleh BPS salah satunya yaitu jumlah
penduduk miskin dan persentase penduduk miskin atau head count index yang dinotasikan dengan P0. Penduduk dikategorikan miskin jika pengeluaran
perkapita perbulan makanan dan bukan makanan berada di bawah garis kemiskinan nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam memenuhi
kebutuhan hidup minimumnya, baik kebutuhan hidup minimum makanan maupun bukan makanan.
Berdasarkan ukuran statistik deskriptif yang diperoleh, secara rata-rata persentase penduduk miskin P0 memiliki kecenderungan untuk menurun selama
tahun 2005-2010. Demikian juga dengan nilai standar deviasinya yang menunjukkan kecenderungan yang sama sejak tahun 2007 hingga tahun 2010
yang berarti terjadi penurunan persentase penduduk miskin di tingkat provinsi.
10 20
30 40
50 60
pe rs
e n
2008 2009
2010
Pada tahun 2006-2007 rata-rata P0 meningkat dibanding tahun 2005, dan standar deviasi yang meningkat menunjukkan peningkatan kemiskinan di tingkat
kabupatenkota pada tahun tersebut. Peningkatan standar deviasi menunjukkan kemiskinan yang semakin timpang di tingkat kabupatenkota Tabel 15.
Tabel 15 Ukuran Statistik Deskriptif P0 dan Jumlah Penduduk Miskin di Sulawesi Utara Tahun 2005-2010
Tahun Persentase Penduduk Miskin
Jumlah Penduduk Miskin Rata-rata
Standar Deviasi Rata-rata
Standar Deviasi 2005
9,59 2,62
22,38 10,55
2006 11,91
2,76 27,71
12,32 2007
12,87 3,31
19,24 7,24
2008 10,69
2,47 16,78
6,87 2009
10,17 2,35
16,16 6,64
2010 10,24
2,09 16,84
7,13 Sumber: BPS, di olah
Berdasarkan perubahan persentase penduduk miskin yang dihitung berdasarkan selisih nilai P0, seluruh kabupatenkota di Sulawesi Utara selama
tahun 2006-2007 mengalami kenaikan persentase kemiskinan juga kenaikan jumlah penduduk miskin. Peningkatan harga BBM merupakan salah satu
penyebab naiknya angka kemiskinan World Bank, 2006. Dampak inflasi ini masih terasa di Sulawesi Utara hingga tahun 2007.
Faktor ketersediaan sarana persekolahan yaitu guru dan sekolah mempunyai pengaruh yang berbeda antara usia SD dan SMP. Pada model
partisipasi sekolah SMP rasio murid guru dan rasio murid sekolah keduanya signifikan pada model, sedangkan pada SD hanya rasio murid dan sekolah.
Gambaran secara deskriptif pada tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah guru sudah terlampau banyak. Dengan mengasumsikan pertumbuhan penduduk usia SD dan
SMP adalah 1,33 persen pertahun dan jumlah guru tetap. Maka rasio murid dan guru untuk SD baru akan memenuhi syarat efektif dalam belajar mengajar adalah
setelah minimal 13 tahun untuk SD dan minimal 36 tahun untuk usia SMP.
5.2 Variabel Penduga Partisipasi Sekolah Tingkat Rumah Tangga
Analisis ini digunakan untuk mengeksplorasi faktor-faktor sosial ekonomi, geografis yang memiliki kecenderungan memengaruhi seorang anak masih
sekolah atau tidak bersekolah lagi di usia 7-12 tahun sekolah SD dan usia 13-15
tahun sekolah SMP. Nilai overall percentage untuk model partisipasi usia SD adalah sebesar 98,9 artinya model sudah dapat menjelaskan 98,9 persen dari
model, sedangkan untuk partisipasi usia SMP sebesar 89,6 persen. Nilai chi square dari model SD sebesar 1204,692 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai
chi square dari model SMP sebesar 6548,150 dengan tingkat signifikansi 0,000. Sehingga untuk kedua model dapat dikatakan minimal ada satu variabel
independent yang memengaruhi variabel dependent. Ini bisa dilihat pada Lampiran 3.
Hasil estimasi menunjukkan faktor daerah tempat tinggal, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, lapangan usaha rumah tangga dan
pendapatan rumah tangga berpengaruh terhadap kondisi seorang anak masih sekolah atau berhenti sekolah. Faktor geografis wilayah tempat tinggal
berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP, anak yang tinggal di daerah kota lebih berpeluang untuk tidak bersekolah lagi
ataupun putus sekolah. Tabel 16 Hasil Estimasi Regresi Logistik Determinan Partisipasi Sekolah
Independen var Odds Ratio
SD SMP
DESA1 1,173
1,722 JK1
2,867 2,087
EXPCAP 1,015
1,008 JART
1,106 0,901
didik_KRT1 0,866
0,226 didik_KRT2
2,951 0,603
lap_us_KRT1 1,123
0,884 lap_us_KRT2
1,083 1,84
Constanta 17,272
14,782
Ket: :signifikan pada α ; :signifikanpada α 5; :signifikan pada α
Daerah tempat tinggal seperti perkotaan dianggap memiliki akses yang lebih banyak dan lebih mudah. Ketersediaan akses dan kedekatan dengan sekolah
karena kemudahan transportasi dan komunikasi Glewwe, 2005. Dari hasil regresi logistik, untuk model usia SD dan SMP ternyata di daerah perdesaan lebih
cenderung untuk bersekolah dibandingkan dengan perkotaan. Hasil penelitian ini
tidak sejalan dengan hasil yang didapat oleh Sanchez dan Sabhra 2010 dalam penelitian di Yemen, kecenderungan anak untuk berpartisipasi sekolah di daerah
perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Namun hal ini ditemukan juga oleh Tullao dan Rivera 2011 di Philipina, didaerah perkotaan cenderung tingkat
partisipasi sekolahnya lebih rendah dari di desa. Di kota pengaruh luar juga banyak mempengaruhi keputusan anak untuk bersekolah. Masyarakat, teman
sebaya, orangtua, tekanan bisa menjadi faktor yang menginterverensi keputusan seorang anak untuk bersekolah. Berbeda halnya dengan di desa dimana kondisi
masyarakatnya relatif seragam secara ekonomi dan pendidikan. Jenis kelamin perempuan lebih berpeluang untuk bersekolah dibandingkan
laki-laki. Pada usia SD perempuan berpeluang 2,87 kali lebih besar untuk bersekolah daripada laki-laki. Pada usia SMP perempuan berpeluang 2,08 kali
lebih besar untuk bersekolah dibanding laki-laki. Dalam hal ini perlu di analisis lebih lanjut apakah faktor sosial budaya memengaruhi anak laki-laki untuk
sekolah atau tidak. Orang tua di daerah Nias, Sumatera Utara cenderung tidak menyekolahkan anaknya karena anak dibutuhkan tenaganya untuk mencari
nafkah, partisipasi SMP hanya 60 persen waspada.co.id. Sama halnya dengan di Jawa Barat dimana anak yang masih usia sekolah sudah berdagang mengikuti
orangtua atau orang lain jabarprov.go.id. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Al-Sammarai dan Peasgood 1992 di Tanzania, lebih kecil peluang
perempuan yang tidak bersekolah diduga berkaitan dengan tanggung jawab yang lebih sedikit dan opportunity cost yang lebih kecil. Hal ini berbeda dengan asumsi
umum dimana perempuan biasanya lebih cenderung untuk putus sekolah karena harus mengurus pekerjaan rumah.
SUSENAS tidak memiliki informasi pendapatan perkapita sehingga proxy terhadap pendapatan perkapita digunakan pengeluaran perkapita perbulan.
Pengeluaran perkapita berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP. Pada usia SD, kenaikan pendapatan perkapita perbulan 100
ribu rupiah akan menaikkan peluang bersekolah sebesar 1,015 kali. Sedangkan pada usia SMP peluang anak bersekolah akan bertambah 1,008 kali jika
pendapatan perkapita naik 100 ribu rupiah. Dapat diambil kesimpulan bahwa,
kenaikan pendapatan dirumah tangga merupakan faktor yang penting untuk menaikkan peluang anak untuk bersekolah.
Pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah. Pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang
berpendidikan SD dan tidak bersekolah, partisipasi anak usia SD bersekolah kurang cenderung 0,866 kali daripada anak di keluarga yang kepala rumah tangga
berpendidikan SMU dan diatasnya. Pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berpendidikan SD dan tidak bersekolah, partisipasi anak usia SMP
bersekolah kurang cenderung 0,22 kali daripada anak di keluarga yang kepala rumah tangga berpendidikan SMU dan diatasnya. Peluang anak usia SMP untuk
bersekolah kurang cenderung 0,603 kali pada rumah tangga dengan orang tua yang berpendidikan SMP dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala rumah
tangganya berpendidikan SMU dan diatasnya. Tabel 17 Persentase Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun Berdasarkan
Pendidikan Kepala Rumah Tangga Partisipasi Sekolah
Pendidikan Kepala Rumah Tangga SD Sederajat dan
tidak sekolah SMP
sederajat SMU sederajat
dan diatasnya Usia 7-12 tahun
Tidakbelum pernah sekolah 0,70
0,45 0,43
Masih sekolah 97,87
99,17 98,35
Tidak bersekolah lagi 1,43
0,38 1,23
Usia 13-15 tahun Tidakbelum pernah sekolah
0,91 0,00
0,11 Masih sekolah
82,90 92,43
95,63 Tidak bersekolah lagi
16,19 7,57
4,25 Sumber: SUSENAS, 2010
Implikasinya adalah pendidikan kepala rumah tangga juga menentukan seorang anak bersekolah atau tidak. Todaro dan Smith 2006 mengatakan bahwa
salah satu faktor sosial ekonomi terpenting adalah pendidikan kepala rumah tangga. makin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, maka makin tinggi
kesadaran orang tua menyekolahkan anaknya. Sanchez dan Sbrana 2010 menemukan bahwa pendidikan ayah sebagai kepala keluarga signifikan
memengaruhi peluang anak laki-laki bersekolah atau tidak, ayah dilihat sebagai contoh dalam keluarga. Di Sulawesi Utara pendidikan kepala keluarga juga
menjadi salah satu faktor yang memengaruhi partisipasi anak untuk bersekolah. Pada Tabel 17 terlihat bahwa makin tinggi pendidikan kepala rumah tangga
makin besar persentase anak yang bersekolah. Salah satu faktor yang juga signifikan memengaruhi peluang anak untuk
bersekolah atau tidak adalah banyaknya anggota rumah tangga. Hipotesa awal yaitu makin besar jumlah anggota rumah tangga maka makin kecil peluang
seorang anak untuk bersekolah. Hal ini tidak ditemukan pada model usia SD 7-12 tahun, namun hipotesa ini sejalan dengan model usia SMP 13-15 tahun.
Hubungan yang searah pada model usia SD bukan berarti makin bertambah jumlah anggota rumah tangga maka makin besar peluang anak untuk bersekolah,
namun jumlah anggota rumah tangga yang besar masih dapat menyekolahkan anaknya sampai ditingkat SD, namun ketika anak sudah memasuki usia SMP
maka peluang untuk bersekolah semakin kecil karena faktor dana untuk biaya sekolah.
Rumah tangga yang kepala rumah tangganya memiliki lapangan usaha di sektor primer dan sekunder memiliki peluang lebih besar daripada kepala rumah
tangga di sektor tersier menyekolahkan anaknya yang berusia SD. Berbeda dengan anak diusia SMP, rumah tangga yang kepala rumah tangganya memiliki
lapangan usaha sektor primer kurang cenderung menyekolahkan anaknya. Lapangan usaha sektor primer adalah pertanian dan pertambangan. Biasanya di
sektor pertanian, anak dibutuhkan untuk membantu pekerjaan orangtua.
Tabel 18 Persentase Partisipasi Sekolah Berdasarkan Lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga
Partisipasi Sekolah
Lapangan Usaha KRT
sektor primer sektor
sekunder sektor tersier
Usia 7-12 tahun Tidakbelum pernah sekolah
0,81 0,53
0,34 Masih sekolah
98,10 98,39
98,59 Tidak bersekolah lagi
1,09 1,08
1,07 Usia 13-15 tahun
Tidakbelum pernah sekolah 0,37
0,53 0,34
Masih sekolah 86,84
98,39 98,59
Tidak bersekolah lagi 12,79
1,08 1,07
Sumber: SUSENAS, 2010 Dari Tabel 18 terlihat angka partisipasi sekolah dari anak usia SMP yang
kepala rumah tangganya memiliki lapangan usaha sektor primer lebih rendah dari sektor sekunder dan tersier. Lapangan usaha di sektor primer adalah pertanian,
perkebunan, perikanan dan pertambangan. Kecenderungan anak dari kepala rumah tangga yang memiliki lapangan usaha di sektor primer tidak bersekolah
disebabkan karena anak-anak ini dibutuhkan untuk membantu pekerjaan orang tua. Menurut Todaro dan Smith 2006, orang tua di negara berkembang masih
memandang anak sebagai tenaga kerja yang dapat membantu kehidupan orang tua. Tenaga kerja anak ini dibutuhkan untuk menambah penghasilan, sehingga jika
si anak bersekolah maka akan kehilangan sebagian pendapatan yang seharusnya bisa didapat. Orang tua berpikiran opportunity cost seorang anak yang bekerja
lebih besar dibanding jika mereka harus sekolah.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Pencapaian pendidikan dasar di Sulawesi Utara pada tahun 2008-2010 menunjukkan kenaikan namun tidak banyak, angka putus sekolah juga masih
relatif tinggi untuk tingkat SMP. Pengeluaran pemerintah daerah masih terfokus pada belanja tidak langsung berupa gaji dan tunjangan pegawai dinas
pendidikan. Rasio murid guru masih kurang efektif karena masih dibawah ketetapan pemerintah menyebabkan anggaran menjadi tidak efisien.
2. Partisipasi sekolah untuk usia SD dipengaruhi oleh dana BOS SD, PDRB perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, dan
rasio murid sekolah. Variabel yang tidak signifikan adalah pengeluaran riil pendidikan dasar dan kemiskinan. Partisipasi sekolah untuk usia SMP
dipengaruhi oleh dana BOS SD, pengeluaran riil pendidikan dasar, PDRB perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga,
rasio murid guru dan rasio murid sekolah. Variabel yang tidak signifikan adalah kemiskinan.
3. Partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP di level rumah tangga dipengaruhi oleh letak tempat tinggal perdesaankota, jenis kelamin, pengeluaran
perkapita, pendidikan kepala rumah tangga dan lapangan usaha. Kepala rumah tangga dengan lapangan usaha sekunder tidak signifikan pengaruhnya terhadap
partisipasi sekolah SD.
6.2 Saran
1. Pemerintah membuat suatu kebijakan baku terkait pengeluaran pemerintah dibidang pendidikan dasar. Dianggarkannya pengeluaran dana BOS daerah
didalam APBD tiap daerah, terutama daerah dengan tingkat partisipasi rendah dan angka putus sekolahnya diatas rata-rata.
2. Pemerintah dapat menaikkan partisipasi sekolah tanpa harus menaikkan jumlah guru SD dan SMP sehingga tidak membebani anggaran. Anggaran dapat
dialokasikan untuk mempermudah akses menuju sekolah seperti menyediakan bis sekolah, perahu sekolah secara gratis. Sehingga biaya trasportasi dapat
berkurang.
3. Program dana BOS dilanjutkan karena efektif menaikkan partisipasi sekolah. Pemberian dana BOS tidak disamakan antar daerah karena biaya operasional
setiap daerah berbeda. Faktor yang dapat dipertimbangkan adalah jarak dan letak daerah tersebut selain faktor banyaknya siswa di sekolah tersebut
4. Selain target pertumbuhan ekonomi, perlu diperhatikan pemerataan pendapatan terhadap penduduk di Sulawesi Utara.
5. Dugaan adanya faktor sosial budaya di Sulawesi Utara ikut memengaruhi partisipasi sekolah SD dan SMP, sehingga diperlukan pendekatan kepada
masyarakat agar tetap menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Akai N, M Sakata and R Tanaka. 2007. Fiskal Decentralization And Educational Performance. Institute of Business and Economic Research. Conference
Paper Series No.C07-001, February 2007 Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Ed ke-3.
Chicester: John Wiley Sons. Ltd BAPPENAS. 2008. Let Speak Out for MDGs.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Pendidikan 2009. BPS, Jakarta _______. 2009. Daerah Dalam Angka Sulawesi Utara 2009. BPS, Sulawesi Utara
_______. 2010. Daerah Dalam Angka Sulawesi Utara 2010. BPS, Sulawesi Utara _______. 2011. Daerah Dalam Angka Sulawesi Utara 2011. BPS, Sulawesi Utara
Blanchard O. 2004. Macroeconomics. Ed ke-4. New Jersey: Prentice Hall Boissiere M. 2004. Determinants of Primary Education Outcomes in Developing
Countries Background Paper for the Evaluation of the World Bank’s
Support to Primary Education. The World Bank Operations Evaluation Department.
Bruns B, A Mingat and R Ramahatra. 2003. Achieving Universal Primary Education by 2015: A Chance for every Child. World Bank Policy Study.
Budiarti N. 2010. Analisis Tingkat Pengembalian Investasi Pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Damanhuri DS. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. Bogor: IPB Press
Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series. Ed ke-2. New York: John Wiley Sons Inc
Fadiya B.B. 2010. Determinant of Educational Outcomes in Nigeria 1975-2008. European Journal of Social Sciences 15 4
Faguet J.P, F Sanchez. 2006. Decentralizations Effects on Educational Outcomes in Bolivia and Colombia. Working Paper London School of Economics
and Political Science. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series.
Bogor: IPB Press Firdaus M, Harmini, Farid MA. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif untuk
Manajemen dan Bisnis. Bogor: IPB Press
Glewwe P. 2002. Schools and Skills in Developing Countries: Education Policies and Socioeconomic Outcomes. Journal of Economic Literature: 36-482
Glewwe P, M Kremer. 2005. Schools, Teachers, and Education Outcomes in
Developing Countries. Second draft of chapter for Handbook on the Economics of Education
Greene WH. 2002. Econometric Analysis. Fifth Edition. New Jersey: Prentice Hall Haq MU. 1995. The Birth of the Human Development Index. UNDP
Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press [Kemdikbud] Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2010. Rencana Strategis
Kementrian Pendidikan Nasional 2010-2014. Jakarta: Kemdikbud _______, 2011. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Bersama Tentang
Penataan dan Pemerataan Guru PNS. Jakarta: Kemdikbud Mangkoesoebroto G. 1997. Ekonomi Publik. Ed ke-3. Yogyakarta: BPFE
Mankiw NG. 2007. Teori Makroekonomi. Ed ke-5. Jakarta: Erlangga. Nanga M. 2005. Analisis Posisi Fiskal KabupatenKota di NTT: Adakah Posisi
Fiskal Pasca Otda Lebih Baik?. Jurnal Kritis Universitas Kristen Satya Wacana
Nurkholis. 2002.
Pendidikan Sebagai
Investasi Jangka
Panjang. www.pendidikan-network.org.id. [15 Februari 2012]
Purwanto AD. 2010. Decentralization and Its Impact On Primary Education. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia 25 1: 41-58
Ranis G. 2004. Human Development and Economic Growth. Center Discussion Paper No. 887
Samarrai S, Peasgood T. 1992. Educational Attainment and Household Characterstics in Tanzania. IDS Working Paper no.49.
Sen A. 2000. A Decade of Human Development, Journal of Human Development 11.
Shanchez MV, Sbrana G. 2010. Determinants of education attainment and development goals in Yemen, Background paper elaborated for the
UNDPWord Bank Project. Journal of Economic Literature 52. Stiglizt JE. 1999. Economic of The Public Sector. Third edition. New York: W.W.
Norton Company, Inc. Suryadarma D, A Suryahadi, S Sumarto, FH Rogers, 2005. Penentu Kinerja Murid
Sekolah Dasar di Indonesia: Peranan Guru dan Sekolah. Jakarta: SMERU Research Institute.
Sobari A. 2011. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Todaro MP, SC Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9. Jakarta: Erlangga.
Tullao ST, JP Rivera. 2011. The Effects of Household Size and Other Factors on School Participation in Urban and Rural Households: Case of Pasay City
and Eastern Samar in the Philippines. The 9th Poverty and Economic Policy PEP Research Network Policy Conference. Cambobia. December
5-9, 2011.
[UNDP] United Nation Development Programmes. 1990. Human Development Report. New York: Oxford University Press.
[UNESCO] United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization. 2008. Decentralization in Education:Policies and Practices. Education
Policies and Strategies Series 7. _______. 2008. Program Keaksaraan UNESCO. Diterjemahkan oleh SIL
Internasional.Jakarta: Unesco. Vos R. 1996.
Education Indicators: What’s To Be Measured?. Working Paper Series 1 1
World Bank. 2004. Making Service Work for Poor People. World Development Report.