Determinants of Primary education in North Sulawesi.

(1)

i

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

PENDIDIKAN DASAR DI SULAWESI UTARA

IRENA LISTIANAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar di Sulawesi Utara” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Irena Listianawati NRP. H151104434


(4)

(5)

v

ABSTRACT

IRENA LISTIANAWATI. Determinants of Primary education in North Sulawesi. Under direction of SRI MULATSIH and ALLA ASMARA

Education is a basic human need and a key factor in development. Basic education achievement has become the world consensus, stated as a target in the Millenium Development Goals (MDGs). The goal of basic education achievement is the second target after poverty management target. Indonesia targeted all chidren age 7-15 years old participate the 9 years basic education in 2015. Human Development Index (HDI) in North Sulawesi Province was 76,09 in 2010 or in the second rank from all province in Indonesia, but the school participation rate for elementary school and junior high school was lower compared to five provinces with the highest HDI. The objective of this study is to analize factors that determine the basic education in North Sulawesi. Education Production Function approach with panel data regression analysis was used to analyze the policy variables such as the government expenditure for basic education program and School operational fund (Bantuan operasional sekolah), socio-culture variables and access of education. Logistic regression was used to analyze the socio-economic factors that has the probability in school participation. The panel regression result show that BOS, PDRB per capita, the percentage of family having 5 or more family member, education of the head of the family, and student and school ratio are factors that determined the school participation for children age 7-12 years old. The similar variables also occur for school participation for children age 13-15 years old except for the student and school ratio. The logistic regression result found that boys have higher probability of not participate in school compared to girls.


(6)

(7)

vii

RINGKASAN

IRENA LISTIANAWATI. Faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar di Sulawesi Utara. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan ALLA ASMARA.

Pendidikan memiliki peran utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (Todaro dan Smith, 2006). Pendidikan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan manusia. Tanpa pendidikan, suatu negara tidak akan berkembang, pembangunan manusianya terhambat dan dampak secara keseluruhan adalah pembangunan menyeluruh terhadap sebuah negara tidak akan berhasil. Pencapaian pendidikan minimal menjadi konsensus dunia yang tertuang dalam salah satu target Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan pencapaian pendidikan dasar menjadi target kedua setelah target penaggulangan kemiskinan. Dalam kasus Indonesia diharapkan semua anak pada pada usia 7-15 tahun pada tahun 2015 telah mengikuti pendidikan dasar 9 tahun.

Data Badan Pusat Statistik (2010) menunjukkan rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas di Indonesia hanya mencapai 7,9 tahun, masih jauh dari target pendidikan dasar di Indonesia yaitu 9 tahun. Provinsi Sulawesi Utara dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Utara tahun 2010 sebesar 76,09 atau berperingkat kedua dari seluruh provinsi di Indonesia dalam hal partisipasi sekolah masih lebih rendah dari lima provinsi dengan IPM tterbesar. Angka putus sekolah untuk anak usia 7-12 tahun dan usia 13-15 tahun juga paling tinggi diantara 5 provinsi yang berperingkat IPM terbesar di Indonesia.

Sulawesi Utara diprioritaskan menjadi gate way ke dunia Internasional melalui pelabuhan Internasional yang akan dibangun di Bitung. Proyek ini adalah pembangunan koridor ekonomi di kawasan Sulawesi-Maluku Utara yang diharapkan mampu menghilangkan kesenjangan pendapatan Indonesia bagian Timur dan Bagian Barat. Bitung juga diprioritaskan menjadi sentra industri pengolahan ikan yang mampu menembus pasar dunia. Disisi lain, ketersediaan tenaga kerja terdidik masih minim,penduduk yang berusia 10 tahun keatas masih didominasi oleh tamatan SD dan tidak/belum punya ijazah. Jangan sampai masyarakat Sulawesi Utara tidak siap dengan percepatan pembangunan yang akan berlangsung di tahun mendatang sehingga tujuan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan juga sulit untuk terwujud karena kurangnya persiapan di sumber daya manusia. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini bertujuan (1) Mengkaji dinamika pendidikan dasar di Sulawesi Utara, (2) Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi pendidikan dasar di Sulawesi Utara, (3) Mengkaji hubungan faktor sosial ekonomi, demografi terhadap partisipasi anak untuk bersekolah di pendidikan dasar di Sulawesi Utara.

Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Daerah Kementrian Keuangan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan sumber-sumber lainnya. Dalam penelitian ini tidak memasukkan unsur faktor kualitas mutu pendidikan dasar, dan faktor kultural di


(8)

masing-masing kabupaten/kota karena keterbatasan data. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif, regresi data panel dan regresi logistik.

Pencapaian pendidikan dasar di Sulawesi Utara pada tahun 2008-2010 menunjukkan kenaikan namun tidak banyak, angka putus sekolah juga masih relatif tinggi untuk tingkat SMP. Pengeluaran pemerintah daerah masih terfokus pada belanja tidak langsung berupa gaji dan tunjangan pegawai dinas pendidikan. Rasio murid guru masih kurang efektif karena masih dibawah ketetapan pemerintah menyebabkan anggaran menjadi tidak efisien.

Partisipasi sekolah untuk usia SD dipengaruhi oleh dana BOS SD, PDRB perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, dan rasio murid sekolah. Variabel yang tidak signifikan adalah pengeluaran riil pendidikan dasar dan kemiskinan. Partisipasi sekolah untuk usia SMP dipengaruhi oleh dana BOS SD, pengeluaran riil pendidikan dasar, PDRB perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, rasio murid guru dan rasio murid sekolah. Variabel yang tidak signifikan adalah kemiskinan.

Partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP di level rumah tangga dipengaruhi oleh letak tempat tinggal (pedesaan/kota), jenis kelamin, pengeluaran perkapita, pendidikan kepala rumah tangga dan lapangan usaha. Kepala rumah tangga dengan lapangan usaha sektor sekunder tidak sigfikan pengaruhnya terhadap partisispasi sekolah SD.

Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang dapat diberikan adalah: (1) Dianggarkannya pengeluaran dana BOS daerah didalam APBD tiap daerah, terutama daerah dengan tingkat partisipasi rendah dan angka putus sekolahnya diatas rata-rata. (2) Pemerintah masih dapat menaikkan partisipasi sekolah tanpa harus menaikkan jumlah guru SD dan SMP sehingga tidak membebani anggaran. Anggaran dapat dialokasikan untuk mempermudah akses menuju sekolah seperti menyediakan bis sekolah, perahu sekolah secara gratis. Sehingga biaya trasportasi dapat berkurang. (3) Program dana BOS dilanjutkan karena efektif menaikkan partisipasi sekolah. Pemberian dana BOS tidak disamakan antar daerah karena biaya operasional setiap daerah berbeda. Faktor yang dapat dipertimbangkan adalah jarak dan letak daerah tersebut selain faktor banyaknya siswa di sekolah tersebut. (4) Selain target pertumbuhan ekonomi, perlu diperhatikan pemerataan pendapatan terhadap penduduk di Sulawesi Utara. (5) Dugaan adanya faktor sosial budaya di Sulawesi Utara ikut memengaruhi partisipasi sekolah SD dan SMP, sehingga diperlukan pendekatan kepada masyarakat agar tetap menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan dasar. Kata Kunci: pendidikan dasar, regresi panel, regresi logistik


(9)

ix

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

xi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

PENDIDIKAN DASAR DI SULAWESI UTARA

IRENA LISTIANAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(12)

(13)

xiii

Judul Penelitian : Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar di Sulawesi Utara

Nama : Irena Listianawati

NRP : H151104434

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr Ketua

Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(14)

(15)

xv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “ Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar di Sulawesi Utara”.

Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku penguji luar komisi dan Dr. Lukytawaty Anggraeni, SP, MSi selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Sulawesi Utara, dan Kepala BPS Kabupaten Bolaang Mongondow yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis, dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada kedua orangtua, suami dan anak-anak atas do‟a dan bantuannya yang tak ternilai.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Allah SWT. Dia jualah yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Meskipun demikian, penulis berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Bogor, Agustus 2012 Irena Listianawati


(16)

(17)

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahir di Jakarta pada tanggal 6 Juli 1981. Penulis merupakan sulung dari empat bersaudara pasangan Bapak Supatno dan Ibu Heniwati. Penulis menikah dengan Ade Rahmat, ST dan dikaruniai dua orang putri, yakni Raihana Rahmat dan Kayyisah Rahmat.

Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Pegangsaan Dua 01 Jakarta pada tahun 1993 dan selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 270 Jakarta pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 13 Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Penulis diterima sebagai mahasiswa kedinasan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta pada tahun tersebut dan menyelesaikan pendidikan D-IV tersebut pada tahun 2003. Setelah lulus D-IV, penulis ditugaskan pada Badan Pusat Statistik Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Pada tahun 2008, penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.

Penulis mengikuti program alih jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB yang merupakan kerjasama dengan BPS dan lulus pada tahun 2010. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB melalui program beasiswa Badan Pusat Statistik.


(18)

(19)

xix

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ... I DAFTAR GAMBAR ... XXI DAFTAR TABEL ... XXIII DAFTAR LAMPIRAN ... XXV

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 11

2.1 Teori Pembangunan Manusia ... 11

2.2 Pengertian Pendidikan ... 12

2.3 Hubungan Pendidikan dengan Pembangunan Ekonomi ... 13

2.4 Hubungan Pendidikan dengan Kemiskinan ... 14

2.5 Ekonomi Pendidikan ... 14

2.6 Hubungan Pendidikan dan Investasi ... 16

2.7 Manfaat dan Biaya Pendidikan ... 17

2.8 Pengeluaran Pemerintah dalam Bidang Pendidikan ... 18

2.9 Penelitian Empiris ... 19

2.9 Kerangka Pemikiran ... 22

2.10 Hipotesis ... 24

III. METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Jenis dan Sumber Data ... 25

3.2 Analisis Deskriptif ... 25

3.3 Analisis Regresi Data Panel ... 25

3.3.1 Pemilihan Model dalam Pengujian Data Panel... 27

3.3.2 Uji Asumsi ... 28

3.3.3 Spesifikasi Model Penelitian ... 29

3.4 Analisis Regresi Logistik ... 31 xix xxi xxiii


(20)

3.4.1 Likelihood Ratio Test ... 33

3.4.2 Uji Wald ... 34

3.4.3 Odds Ratio ... 34

3.4.4 Spesifikasi Model ... 35

IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR ... 39

4.1 Dinamika Pendidikan Dasar ... 39

4.2 Alokasi Anggaran Pendidikan ... 46

4.3 Fasilitas Pendidikan ... 48

4.4 Rasio Murid dan Guru ... 51

V. DETERMINAN PENDIDIKAN DASAR ... 55

5.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar secara Regional ... 55

5.2 Variabel Penduga Partisipasi Sekolah Tingkat Rumah Tangga ... 67

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

6.1 Kesimpulan ... 73

6.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(21)

xxi

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) SD/Sederajat Dan SMP/Sederajat

Tahun 2003-2010 ... 2

2 Angka Putus Sekolah Indonesia Tahun 2008-2010 ... 3

3 Angka Partisipasi Sekolah SD-SMP di Sulawesi Utara 2003-2010 ... 5

4 Angka Putus Sekolah SD dan SMP di Sulawesi Utara 2008-2010 ... 5

5 Kerangka Pemikiran ... 23

6 Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel ... 27

7 Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun 2010 ... 39

8 APS Kabupaten/Kota Tahun 2010 ... 40

9 Peta Sebaran Putus Sekolah Usia 7-12 Tahun di Tahun 2008-2010 ... 43

10 Peta Sebaran Putus Sekolah Usia 13-15 Tahun di Tahun 2008-2010 ... 45

11 Proporsi Pengeluaran Pendidikan Dasar Terhadap PDRB ... 62

12 Angka Partisipasi Sekolah 7-15 Tahun dan Proporsi Pengeluaran Pendidikan Dasar ... 63

13 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Anggota Rumah Tangga Lebih dari 5 Orang ... 66


(22)

(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 APS Provinsi Berperingkat IPM Tertinggi Tahun 2008-2010 (persen) ... 6 2 Persentase Penduduk Umur 10 Tahun Keatas Berdasarkan Pendidikan

yang ditamatkan Tahun 2010 ... 7 3 Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun di Sulawesi Utara (persen) ... 40 4 Persentase Anggaran Belanja Tidak Langsung, Belanja Langsung dan

Anggaran Pendidikan Dasar Tahun 2010 ... 47 5 Alokasi Dana BOS (rupiah/siswa/tahun) ... 48 6 Jumlah SD dan SMP di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 ... 49 7 Jumlah Guru SD dan SMP di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 ... 50 8 Rasio Murid Terhadap Guru di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 ... 51 9 Rasio Murid Guru jika Semua Anak 7-15 Tahun Bersekolah

Tahun 2008-2010 ... 52 10 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter FEM dengan

GLS Weighted ... 57 11 PDRB Perkapita Tahun 2008-2010 (dalam Juta Rupiah) ... 60 12 Indeks Gini Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 ... 61 13 Korelasi Share Pengeluaran Pendidikan Dasar dengan PDRB ... 62 14 Persentase Kepala Rumah Tangga yang Berpendidikan SD keatas ... 65 15 Ukuran Statistik Deskriptif P0 dan Jumlah Penduduk Miskin di

Sulawesi Utara Tahun 2005-2010 ... 67 16 Hasil Estimasi Regresi Logistik Determinan Partisipasi Sekolah ... 68 17 Persentase Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun Berdasarkan

Pendidikan Kepala Rumah Tangga ... 70 18 Persentase Partisipasi Sekolah Berdasarkan Lapangan Usaha Kepala


(24)

(25)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Hasil Estimasi Untuk Model Usia SD ... 80 2 Hasil Estimasi Untuk Model Usia SMP ... 83 3 Hasil Logit Untuk Model Usia SD ... 86 4 Hasil Logit Untuk Model Usia SMP ... 87 5 Bencana Alam Tahun 2008 ... 88 6 Jarak Sekolah SD Terdekat dari Desa yang Tidak Memiliki

Sekolah SMP ... 89 7 Jarak Sekolah SMP Terdekat dari Desa yang Tidak Memiliki

Sekolah SMP ... 90 8 Perbandingan Angka Putus Sekolah SD Tahun 2008-2010 ... 91 9 Perbandingan Angka Putus Sekolah SMP Tahun 2008-2010 ... 92


(26)

(27)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan manusia. Permasalahan pendidikan hampir dimiliki oleh seluruh negara berkembang. Tanpa pendidikan suatu negara tidak akan berkembang, pembangunan manusianya terhambat dan dampak secara keseluruhan adalah pembangunan menyeluruh terhadap sebuah negara tidak akan berhasil. Kualitas pendidikan yang rendah merupakan masalah endemik di kebanyakan negara berkembang. Pencapaian pendidikan dasar menjadi konsensus dunia yang tertuang dalam salah satu target Millenium Development Goals (MDGs). Kepedulian dunia diwujudkan dengan diselenggarakannya Deklarasi Millenium (Millenium Declaration) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia. Deklarasi tersebut menyepakati 8 tujuan pembangunan millenium atau yang lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). MDGs atau Tujuan Pembangunan Milenium adalah sebuah paradigma pembangunan yang berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar manusia dan akan menjadi landasan pembangunan di abad milenium. Arah pembangunan MDGs dikemas menjadi satu paket yang dipilah menjadi 8 tujuan yang satu sama lain saling mempengaruhi dan bermuara pada percepatan peningkatan kualitas manusia yang lebih tinggi. Delapan tujuan tersebut adalah: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua kalangan; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) memastikan keberlanjutan lingkungan hidup; (8) membangun kemitraan global untuk pembangunan.

Tujuan pencapaian pendidikan dasar menjadi target kedua setelah target menanggulangi kemiskinan. Diharapkan semua anak pada tahun 2015 telah menyelesaikan pendidikan dasar. Dalam kasus Indonesia dengan adanya wajib belajar 9 tahun menjadi kewajiban setiap anak untuk menyelesaikannya. Target yang ingin dicapai adalah semua anak di usia pendidikan dasar harus menikmati pendidikan dasar. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM)


(28)

2010-2014 disebutkan bahwa salah satu sasaran pembangunan manusia Indonesia adalah pencapaian pendidikan dasar bagi seluruh anak di Indonesia dan menurunkan kesenjangan pendidikan antar wilayah.

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional,

menjamin hak atas “pendidikan dasar” bagi warga negara Indonesia yang berusia 7-15 tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Data Badan Pusat Statistik (2010) menunjukkan rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas di Indonesia hanya mencapai 7,9 tahun, masih jauh dari target pendidikan dasar di Indonesia yaitu 9 tahun.

Sumber : BPS (diolah)

Gambar 1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) SD/sederajat dan SMP/sederajat tahun 2003-2010

Angka Partisipasi Sekolah1 (APS) Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sejak tahun 2003 menunjukkan kenaikan, APS untuk usia 7-12 tahun (usia SD) di Indonesia adalah 96,42 persen, sampai tahun 2010 naik menjadi 98 persen. Artinya masih ada 2 persen anak Indonesia usia SD yang belum bersekolah. Sedangkan APS untuk usia 13-15 tahun (usia SMP) pada tahun

1

APS = �

� �100 dimana Pis :jumlah anak pada kelompok umur tertentu yang bersekolah,

Pi : jumlah anak pada kelompok umur tertentu.

50 60 70 80 90 100

2002 2004 2006 2008 2010 2012

pe

rs

e

n

tahun

SD SMP


(29)

3

2003 adalah 81,01 persen dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 86,24 persen. Artinya dari 100 anak usia sekolah SMP masih ada 13 anak yang tidak bersekolah lagi. Untuk pencapaian pendidikan dasar selama 6 tahun Indonesia cukup berhasil, namun untuk pencapaian pendidikan dasar selama 9 tahun pada tahun 2015 terlihat masih jauh dari target yang diharapkan. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1 kenaikan selama kurun waktu 7 tahun tidak signifikan.

Angka putus sekolah2 untuk anak usia SMP di Indonesia masih cukup tinggi, pada tahun 2010 angka putus sekolah SMP sebesar 12,89 persen. Sedangkan untuk tingkat SD relatif kecil yaitu 0,8 persen. Ada gap yang relatif besar antara putus sekolah SD dan SMP. Angka putus sekolah dapat dilihat dari Gambar 2. Gambaran tentang angka putus sekolah juga mengindikasikan masih tertinggalnya pembangunan manusia terutama dibidang pendidikan, oleh karena itu diperlukan suatu evaluasi lebih dalam dari pemerintah apakah proses pembangunan dunia pendidikan sudah optimal atau belum. Oleh karena itu diperlukan informasi tentang campur tangan pemerintah dalam pengembangan manusia terutama dibidang pendidikan sebagai modal pembangunan ekonomi.

Gambar 2 Angka Putus Sekolah Indonesia tahun 2008-2010 Sumber : BPS, 2010

2

Angka Putus Sekolah = �

��100 dimana Pit : jumlah anak pada kelompok umur tertentu yang

sudah tidak bersekolah (putus sekolah) dan Pi :jumlah anak pada kelompok umur tertentu.

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00

2008 2009 2010

P

e

rs

e

n

Tahun

7-12 tahun 13-15 tahun


(30)

Pada masa pemerintahan orde baru, pendidikan dasar yang wajib diikuti selama 6 tahun, target pada saat itu adalah pemberantasan buta huruf kepada seluruh masyarakat Indonesia. Kemajuan ekonomi dan perkembangan jaman menuntut perbaikan dari sisi pendidikan agar sumber daya manusia di Indonesia dapat mengikuti kemajuan ekonomi dan ikut serta dalam pembangunan di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat menggunakan teknologi yang ada. Selain itu kemampuan dalam penguasaan teknologi juga menjadi dasar seseorang mendapatkan pekerjaan yang sesuai (Suryadarma et al., 2008).

Dengan munculnya negara-negara industri di Asia Timur, banyak penelitian mengungkapkan bahwa keberhasilan pengembangan ini didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia berpendidikan yang memadai. Sementara itu, sumber daya manusia yang berkualitas adalah output dari pembangunan pendidikan. Banyak perjanjian pembangunan internasional menyoroti peran penting pendidikan untuk mengatasi kemiskinan, kesetaraan gender dan keadilan sosial. Ini adalah alasan utama mengapa banyak negara di dunia-termasuk Indonesia telah memprioritaskan pada pendidikan pada pembangunan nasional tidak hanya sebagai bagian penting dari pembangunan manusia, tetapi juga sebagai hak dasar kemanusiaan. Semua alasan mendasar di atas telah dimasukkan bersama sebagai dasar pembangunan pendidikan di Indonesia (Purwanto, 2010).

Salah satu program penting pembangunan pendidikan nasional yang disebut Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun (Wajardikdas 9 Tahun). Ini adalah program pendidikan 9 tahun wajib ditetapkan menjadi pendidikan dasar bagi warga negara Indonesia. Program ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 dan ditargetkan untuk mencapai hasil tertentu yang diukur mulai tahun 2008/2009.

Partisipasi sekolah merupakan indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah (BPS, 2010). Angka APS yang lebih rendah ditingkat SMP dibandingkan di tingkat SD di Sulawesi Utara menggambarkan masih adanya anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah di SMP. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan pendidikan sampai tahun 2010 masih belum mencapai target, target MDGs dimana sampai


(31)

5

tahun 2015 tidak ada lagi anak yang tidak bersekolah, untuk jenjang SD sudah bisa memenuhi namun untuk jenjang SMP relatif masih jauh. Sulawesi Utara walaupun memiliki APS yang lebih tinggi dari angka nasional, namun masih terdapat gap yang cukup besar antara APS SD dan SMP (Gambar 3).

Gambar 3 Angka Partisipasi Sekolah SD-SMP di Sulawesi Utara 2003-2010 Selain itu angka putus sekolah Sulawesi Utara tahun 2008-2010 menunjukkan trend penurunan. Namun, angka putus sekolah SMP masih relatif besar, penurunan hanya 1 persen dalam jangka waktu 3 tahun (Gambar 4). Putus

sekolah SMP masih lebih besar dari SD. Target MDG‟s yaitu pada tahun 2015

semua anak usia sekolah harus bersekolah akan tidak dapat terpenuhi jika angka putus sekolah masih banyak terjadi.

Gambar 4 Angka Putus Sekolah SD dan SMP di Sulawesi Utara 2008-2010 75

80 85 90 95 100

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

pe

rs

e

n

7-12 tahun 13-15 tahun

0 2 4 6 8 10 12 14

2008 2009 2010

pe

rs

e

n

SMP SD


(32)

Sementara itu, pendidikan merupakan salah satu komponen pembentuk IPM. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sulawesi Utara. Sejak tahun 2003 Sulawesi Utara berada pada peringkat kedua setelah provinsi DKI Jakarta. Namun jika membandingkan APS dari lima provinsi dengan IPM tertinggi, maka provinsi Sulawesi Utara berada paling bawah diantara kelima provinsi tersebut (Tabel 1). Walaupun secara nasional APS Sulawesi Utara masih berada diatas rata-rata Indonesia namun target MDGs belum tercapai. Apalagi Sulawesi Utara diharapkan menjadi gate way ke perdagangan internasional melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Tabel 1 APS Provinsi Berperingkat IPM Tertinggi Tahun 2008-2010 (persen)

Tahun DKI

Jakarta

Sulawesi

Utara R i a u

Dista Yogyakarta

Kalimantan Timur

SD/MI/Paket A

2008 98,82 97,87 98,36 99,62 98,35

2009 99,06 97,82 98,55 99,65 98,42

2010 99,16 98,3 98,75 99,69 98,68

SMP/ MTs/ Paket B

2008 90,53 88,46 91,83 92,91 90,78

2009 90,75 88,4 91,58 93,42 91,55

2010 91,45 89,06 92,09 94,02 92,49

IPM 2010 77,6 76,09 76,07 75,77 75,56

Angka Putus

Sekolah 2010 8,31 10,48 7,13 5,98 6,95

Sumber : BPS (diolah)

Dalam master plan MP3EI di Sulawesi Utara akan dibangun Kawasan Ekonomi Khusus dan pelabuhan internasional di Sulawesi Utara tepatnya di kota Bitung. Bitung diprioritaskan menjadi sentra industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia bagian timur yang mampu masuk ke pasar internasional. Dengan adanya pembangunan infrastruktur yang diharapkan akan menaikkan perekonomian Sulawesi Utara pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, oleh karena itu dibutuhkan sumber daya manusia yang berpendidikan dan mempunyai

skill yang bisa masuk ke sektor industri dan mampu bersaing dengan dengan tenaga kerja lainnya.

Selain itu Sulawesi Utara memiliki salah satu kabupaten yaitu kabupaten Kepulauan Talaud dan kabupaten Sangihe yang berbatasan laut dengan negara


(33)

7

Philipina. Daerah perbatasan menjadi tempat strategis setiap negara untuk mempertahankan kedaulatannya. Sehingga pembangunan manusia seharusnya diperkuat dengan menaikkan kuantitas dan kualitas pendidikan.

1.2 Perumusan Masalah

Tingkat pendidikan penduduk di Sulawesi Utara masih didominasi tamatan SD/MI/Paket A dan yang tidak/belum punya ijazah (Tabel 2). Tingginya proporsi penduduk yang berpendidikan rendah menunjukkan masih kurangnya persiapan terhadap sumber daya manusia yang nantinya akan menjadi pelaku ekonomi, faktor produksi bagi industri-industri yang akan dibangun. Rencana jangka panjang pemerintah mempercepat pembangunan ekonomi di kawasan timur Indonesia khususnya Sulawesi Utara melalui MP3EI membutuhkan tenaga kerja yang mampu masuk dan dianggap mampu bekerja di lapangan usaha. Jika masyarakat Sulawesi Utara tidak siap dengan percepatan pembangunan yang akan berlangsung di tahun mendatang maka tujuan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan juga sulit untuk terwujud karena kurangnya persiapan di sumber daya manusia.

Tabel 2 Persentase Penduduk Umur 10 Tahun Keatas Berdasarkan Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2010

Pendidikan yang ditamatkan Persentase (%)

Tidak/Belum punya ijazah 20,78

SD/MI/Paket A 27,31

SLTP/MTs/Paket B 19,34

SMU/MA/Paket C 19,98

SMK 5,71

Diploma I/II 0,83

DIII/Sarjana Muda 1,16

DIV/S1 keatas 4,88

Sumber: Statistik Kesra Sulawesi Utara Tahun 2011 (diolah)

Sejak desentralisasi fiskal telah terjadi proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Distribusi anggaran tersebut untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Sobari, 2011).

Dengan adanya desentralisasi kewenangan dan manajemen keuangan yang ditangani langsung oleh daerah, diharapkan masalah di sektor pendidikan juga


(34)

dapat diatasi. Daerah lebih leluasa untuk mengatur kebijakan di sektor pendidikan tanpa harus bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Namun, desentralisasi keuangan yang telah dilakukan sejak tahun 2001 menunjukkan masih terjadi ketimpangan pencapaian pendidikan dasar di Indonesia. Dana Alokasi Khusus untuk sektor pendidikan belum menjadi prioritas alokasi anggaran. Tidak adanya standar dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sektor pendidikan di setiap kabupaten/kota di Indonesia sebagai salah satu penyebab tidak meratanya pencapaian pendidikan dasar (Suryadarma et al. 2005). Hal ini menjadi suatu kenyataan yang ironis karena daerah belum memahami esensi pendidikan dasar terhadap pembangunan di daerah.

Provinsi Sulawesi Utara merupakan provinsi yang cukup mengalami perkembangan di era otonomi daerah. Sebelum era otonomi daerah, Sulawesi Utara hanya memiliki 5 kabupaten/kota. Setelah desentralisasi fiskal sampai tahun 2011 jumlah daerah tingkat II menjadi 15 yaitu 11 kabupaten dan 4 kota. Apakah dengan banyaknya kabupaten kota yang mekar juga mendorong peningkatan pencapaian di bidang pendidikan.

Tidak dapat dipisahkan juga adanya faktor-faktor lain yang menyebabkan ketimpangan pencapaian pendidikan dasar. Menurut UNESCO (2008) faktor-faktor penyebab belum meratanya pencapaian pendidikan dasar dapat berupa faktor geografis, tingkat pendapatan suatu daerah, faktor kultural, individu bahkan faktor kemiskinan suatu keluarga.

Beragamnya permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya di Sulawesi Utara menjadi kajian penelitian yang menarik untuk diteliti sehingga perlu dianalisis faktor-faktor apa yang dapat mendorong peningkatan pendidikan dasar di Sulawesi Utara.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika pendidikan dasar di Sulawesi Utara?

2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi pendidikan dasar di Sulawesi Utara? 3. Bagaimana hubungan faktor sosial, ekonomi dan geografis memengaruhi


(35)

9

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah:

1. Mengkaji dinamika pendidikan dasar di Sulawesi Utara.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi pendidikan dasar di Sulawesi Utara.

3. Mengkaji hubungan faktor sosial ekonomi, demografi terhadap partisipasi anak untuk bersekolah di pendidikan dasar di Sulawesi Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar di Sulawesi Utara dan memberikan rekomendasi kebijakan kepada pencapaian pendidikan dasar berdasarkan faktor-faktor yang didapat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap seluruh kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Utara kurun waktu 2008-2010. Untuk kepentingan penelitian, kabupaten/kota yang mengalami pemekaran setelah tahun 2008 diagregasikan ke kabupaten/kota induk sebelum pemekaran. Sehingga data yang akan digunakan sebanyak 13 kabupaten/kota selama 2008-2010.

Data yang digunakan berupa data sekunder, yaitu data partisipasi sekolah untuk usia 7-12 tahun, partisipasi sekolah untuk usia 13-15 tahun, pengeluaran riil program pendidikan dasar, alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS), persentase angka kemiskinan, pendapatan perkapita, persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SD, persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga diatas 5 orang, serta data-data yang relevan dengan penelitian. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Daerah Kementrian Keuangan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan sumber-sumber lainnya. Dalam penelitian ini tidak memasukkan unsur faktor kualitas mutu pendidikan dasar, dan faktor kultural di masing-masing kabupaten/kota karena keterbatasan data.


(36)

(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Teori Pembangunan Manusia

Salah satu pelopor pendekatan pembangunan manusia dalam Ilmu Ekonomi Pembangunan adalah Sen (2000) melalui konsep human capabilities approach. Pendekatan ini menekankan pada gagasan kemampuan (capabilities) manusia sebagai tema sentral pembangunan. Haq (1995) juga telah menegaskan, manusia harus menjadi inti dari gagasan pembangunan, dan hal ini berarti bahwa semua sumberdaya yang diperlukan dalam pembangunan harus dikelola untuk meningkatkan kapabilitas manusia. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran UNDP yang diterjemahkan ke dalam beberapa indikator sosial-ekonomi yang menggambarkan kualitas hidup dalam beberapa ukuran kuantitatif, seperti kemampuan ekonomi, kemampuan dalam pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan untuk hidup lebih panjang dan sehat (Ranis, 2004).

Dimensi pembangunan sosial-ekonomi mencakup dan terkait dengan beberapa tema utama, antara lain prestasi perekonomian, kenaikan taraf kesehatan, angka harapan hidup serta perluasan distribusi pendidikan. Secara umum, UNDP mendefinisikan pembangunan manusia (human development) sebagai perluasan pilihan bagi setiap orang untuk hidup lebih panjang, lebih sehat dan hidup lebih bermakna (UNDP, 1990). Memperluas pilihan manusia berarti mengasumsikan suatu kondisi layak hidup yang memungkinkan manusia memperoleh akses untuk mendapatkan pengetahuan dan pendidikan serta akses terhadap sumberdaya yang dibutuhkan untuk hidup secara layak.

Konsep pembangunan manusia seutuhnya merupakan konsep yang menghendaki peningkatan kualitas hidup penduduk yang dilakukan dengan menitikberatkan pada pembangunan SDM secara fisik dan mental. Azas pemerataan merupakan salah satu prinsip pembangunan manusia. Melalui strategi jalur pemerataan, kebijakan pembangunan mengarah pada pemihakan terhadap kelompok penduduk yang tertinggal. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas fisik dan mental penduduk perlu dilakukan oleh pemerintah melalui pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan dasar.


(38)

2.2 Pengertian Pendidikan

Menurut UU No.20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Kemdiknas, 2010). Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori Lucas dan Romer, pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga kerja tetapi juga dipengaruhi oleh akumulasi modal manusia melalui pertumbuhan teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk menunjukkan semakin tinggi modal manusia (human capital). Secara umum, semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas yang tinggi tersebut dikarenakan memiliki keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Jika tingkat pendidikan lebih tinggi maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik (Todaro dan Smith, 2006).

Sementara itu, unit usaha yang diisi dengan mereka yang memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyerap teknologi akan lebih produktif. Tingkat upah pekerja pun akan meningkat yang berarti kesejahteraan rumah tangganya juga meningkat. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan

life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini (Nurkolis, 2002).

Pendidikan dasar adalah jenjang paling dasar pada pendidikan di Indonesia. Pendidikan dasar terdiri dari sekolah dasar (atau sederajat) selama 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun. Pendidikan dasar diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan pendidikan dasar negeri di Indonesia yang


(39)

13

sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan Kementerian Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah dasar negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun 2001) Pasal 17 mendefinisikan pendidikan dasar sebagai berikut:

1. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

2. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

3. Pendidikan dasar merupakan hak bagi semua orang dan negara wajib menjamin pemenuhan pendidikan dasar. Lamanya pendidikan dasar suatu negara tergantung dari kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing negara.

Menurut UNESCO rata-rata negara berkembang menetapkan pendidikan dasar yang harus ditempuh adalah 6 tahun. Indonesia menetapkan pendidikan dasar selama 9 tahun. Terbagi atas pendidikan pada sekolah setingkat Sekolah Dasar dan sederajatnya (SD/MI/sederajat) selama 6 tahun dan sekolah setingkat Sekolah Menengah Pertama dan sederajat (SMTP/MTs/sederajat) selama 3 tahun. Target MDGs untuk pendidikan adalah tercapainya pendidikan setingkat SD dan SMP untuk semua anak.

2.3 Hubungan Pendidikan dengan Pembangunan Ekonomi

Todaro dan Smith (2006) mengatakan pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar di suatu wilayah. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan, dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk mencapai kehidupan yang layak. Pendidikan memiliki peran utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. PBB dalam Report on The World Social Situation (1997) mengatakan bahwa pendidikan adalah hal yang mendasar untuk


(40)

meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi.

2.4 Hubungan Pendidikan dengan Kemiskinan

Menurut Bank Dunia (2004), tingkat pendidikan penduduk miskin yang rendah akan menimbulkan lingkaran setan kemiskinan pada generasi berikutnya. Penduduk miskin yang berpendidikan rendah akan menyebabkan produktivitasnya rendah, produktivitas yang rendah akan membuat output dan pendapatan yang diterima rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga akan melahirkan generasi selanjutnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan baru.

Gunnar Mirdal dalam Damanhuri (2010) memiliki teori tersendiri

mengenai “lingkaran setan kemiskinan/keterbelakangan”. Kemiskinan bukan

terletak pada persoalan modal semata sebagaimana yang diutarakan oleh kalangan liberal, akan tetapi lebih karena kurangnya gizi, pendidikan, dan basic needs

lainnya. Menurut Myrdal, keadaan miskin bermula dari pendapatan yang rendah sehingga kualitas gizi, menjadi kurang. Rendahnya kualitas tersebut menyebabkan rendahnya kesehatan yang kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas. Produktivitas yang rendah menyebabkan pendapatan penduduk rendah dan menyebabkan kemiskinan pada generasi selanjutnya. Kemiskinan ini akan menyebabkan manusia tidak dapat memenuhi sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan yang kembali akan menyebabkan kemiskinan baru. 2.5 Ekonomi Pendidikan

Studi ekonomi pendidikan memiliki dasar dalam penerapan konsep fungsi produksi pada proses pendidikan. Namun, beberapa asumsi yang berkaitan dengan konsep Education Production Function (EPF) Hanusheck (1986) dalam Boissiere (2004) mengatakan bahwa beberapa asumsi yang berkaitan dengan konsep EPF harus dipertimbangkan ketika menggunakan konsep ini untuk menganalisis pendidikan. Konsep Education Production Function (EPF) dikembangkan oleh ekonom-ekonom yang `menekuni applied economics khususnya education economics. Sekolah dapat diperlakukan secara analitis sebagai unit produksi di sisi penawaran dengan beberapa pengecualian, sekolah tidak memaksimalkan


(41)

15

keuntungan perusahaan seperti pada fungsi produksi pada umumnya, kebanyakan dari sekolah menjadi barang publik atau swasta nirlaba (Bossier, 2004). Ide dasar dari menggunakan input modal, tenaga kerja, dan lainnya untuk menghasilkan output tertentu dapat dimodifikasi untuk menganalisis input dari pendidikan untuk menghasilkan output tertentu dari pendidikan. Glewwe (2002) dalam Bossier (2004) memformulasikan EPF dari fungsi produksi Cobb Douglass yaitu :

H = k * Sx *Ay *Qz Dimana

H : human capital dengan pendekatan menggunakan skor nilai tes S : School, lamanya waktu sekolah

A : Ability, serangkaian kemampuan individu siswa dan kapasitas belajar, seperti IQ

Q : faktor kualitas sekolah, seperti ukuran kelas, kualifikasi pengajar, dll

X,y,z : dampak dari input yang memengaruhi output

Para pengambil kebijakan akan tertarik pentingnya ukuran dan statistik dari koefisien dalam fungsi produksi pendidikan karena itu akan memberikan beberapa gagasan tentang dampak dari berbagai faktor input yang dianggap sebagai penentu hasil pendidikan. Outputnya adalah pencapaian dari hasil pendidikan seperti hasil score suatu tes atau hasil ujian kelulusan suatu wilayah (Bossier, 2004).

Dalam perkembangannya, banyak faktor yang dapat digunakan untuk melakukan pendekatan menghitung outcomes dari pendidikan. Input dari model diatas bisa dimodifikasi sebagai variabel-variabel yang dapat digunakan untuk menghitung suatu outcomes tertentu yang menjadi target suatu pemerintahan. Contohnya saja kebijakan dan program yang akan dievaluasi terhadap hasil dari pendidikan yang ditargetkan (Purwanto, 2010).

Bruns et al. (2003) menggunakan banyaknya yang menyelesaikan pendidikan dasar sebagai outcomes pendidikan. Faguet (2007) menggunakan kenaikan partisipasi sekolah sebagai indikator outcomes sedangkan Tanaka et al.

(2007) menggunakan skor dari tes yang diuji kepada murid sekolah setingkat SD dan SMP.


(42)

2.6 Hubungan Pendidikan dan Investasi

Kualitas modal manusia yang ditunjukkan melalui tingkat pendidikan dan angka partisipasi sekolah dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh perpaduan antara kekuatan permintaan dan penawaran, sama halnya dengan barang ataupun jasa ekonomi lainnya. Todaro dan Smith (2006) menjelaskan bahwa pada sisi penawaran (oleh negara) pendidikan dibatasi oleh tingkat pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan. Sedangkan permintaan terhadap pendidikan merupakan suatu “permintaan tidak langsung” atau permintaan turunan (derived demand), yakni permintaan terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern. Lebih lanjut Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa permintaan itu ditentukan oleh kombinasi pengaruh dari empat variabel yaitu:

1. Selisih atau perbedaan upah atau pendapatan antara sektor modern dengan sektor tradisional.

2. Probabilitas untuk mendapatkan pekerjaan di sektor modern dengan adanya pendidikan.

3. Biaya pendidikan langsung yang harus ditanggung siswa/keluarganya. 4. Biaya tidak langsung atau biaya oportunitas dari pendidikan

Selain itu, ada beberapa variabel penting lainnya yang bersifat nonekonomi seperti: pengaruh tradisi budaya, gender, status sosial, pendidikan orang tua dan besarnya anggota keluarga, yang sangat memengaruhi tingkat permintaan terhadap pendidikan (Glewwe, 2002).

Dengan kata lain, permintaan terhadap pendidikan akan membandingkan biaya-biaya pendidikan (butir 3 dan 4) yang harus dikeluarkan dengan keuntungan yang diperoleh (butir 1 dan 2). Perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total manfaat atau pendapatan yang akan diperoleh dari para lulusannya di masa depan dihitung sebagai tingkat pengembalian dari investasi pendidikan (rate of return to education). Tingkat pengembalian dari investasi pendidikan ini dapat bersifat sosial maupun individu.

Dalam perspektif ekonomi, pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang akan memberi keuntungan di masa mendatang, baik kepada masyarakat atau negara, maupun orang-orang yang mengikuti pendidikan


(43)

17

itu sendiri. Sebagai salah satu bentuk investasi sumber daya manusia, investasi pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu private investment dan

public investment (Todaro dan Smith, 2006).

Private investment merupakan investasi pendidikan pada level mikro atau tingkat individu. Bentuk dari private investment adalah individu yang mengenyam bangku pendidikan formal maupun nonformal termasuk orangtua yang mengajarkan anak pelajaran. Sedangkan public investment merupakan investasi yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah dalam bentuk penyediaan gedung sekolah, lembaga pendidikan, guru, dana pendidikan, penyediaan infrastruktur pendidikan, dan lain sebagainya (Todaro dan Smith, 2006).

2.7 Manfaat dan Biaya Pendidikan

Sesuai dengan pembagian bentuk investasi pendidikan, terdapat dua jenis biaya dalam investasi pendidikan, yaitu biaya individu (private cost) dan biaya sosial (social cost). Biaya-biaya pendidikan individual (private cost) merupakan biaya yang harus ditanggung oleh setiap peserta didik dan keluarganya sendiri. Menurut Becker (1993) dalam Budiarti (2009), biaya total yang harus ditanggung rumah tangga untuk melakukan nonworking activity terdiri dari biaya langsung (cost of purchased inputs) dan biaya tidak langsung berupa opportunity cost dari waktu yang digunakan untuk mengenyam pendidikan.

Setyonaluri (2002) dalam Budiarti (2009).Pengeluaran pendidikan yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga seperti uang sekolah, biaya seragam, buku-buku pelajaran, dan sebagainya dikenal sebagai biaya langsung (out of pocket expenses). Sedangkan biaya tidak langsung atau foregone earnings, adalah hilangnya penghasilan atau volume produksi yang sebenarnya dapat dihasilkan seseorang bila ia memilih untuk bekerja dan tidak sekolah. Umumnya foregone earnings diukur dengan penghasilan seseorang yang memiliki pendidikan di bawah tingkat pendidikan yang ia tempuh pada saat ini .

Menurut Todaro dan Smith (2006), biaya sosial (social cost) merupakan

opportunity cost yang harus ditanggung oleh masyarakat secara keseluruhan sebagai akibat dari adanya kebutuhan masyarakat untuk membiayai perluasan pendidikan yang lebih tinggi dan lebih mahal dengan dana yang mungkin lebih produktif bila digunakan pada sektor-sektor ekonomi yang lain, yaitu untuk


(44)

sektor-sektor nonpendidikan. Manfaat individu (private benefit), yang juga dikenal sebagai manfaat langsung (direct benefit), merupakan keuntungan yang diterima individu dengan bersekolah, diantaranya berupa lebih tingginya penghasilan (lifetime earnings) yang diterima oleh individu yang bersekolah dibandingkan dengan penghasilan yang diterima oleh individu yang tidak bersekolah. Atau dapat diartikan bahwa manfaat pendidikan bagi individu adalah besarnya penghasilan yang diterima oleh individu tersebut sepanjang hidupnya, berdasarkan tingkat pendidikan yang dicapainya setelah dikurangi dengan pajak penghasilan. Manfaat sosial (social benefit), atau disebut juga manfaat tidak langsung (indirect benefit), adalah keuntungan yang dinikmati masyarakat karena bersekolahnya seseorang.

2.8 Pengeluaran Pemerintah dalam Bidang Pendidikan

Rakyat berhak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Inilah kebijakan publik pemerintah di bidang pendidikan (Pasal 31 UUD 1945). Konsistensi terhadap konstitusi untuk mencerdaskan bangsa sepatutnya merupakan landasan dari segenap rencana strategis pendidikan yang diwujudkan dalam merumuskan praksis pendidikan di Indonesia. Menurut Mankiw (2008) pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan perbaikan kualitas modal manusia. Modal manusia dapat mengacu pada pendidikan, namun juga dapat digunakan untuk menjelaskan jenis investasi manusia lainnya seperti investasi yang mendorong ke arah populasi yang sehat yaitu kesehatan.

Pengeluaran pemerintah terhadap sektor pendidikan merupakan bagian dari pengeluaran pemerintah yang memacu kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Intervensi pemerintah dalam bidang pendidikan juga dalam kerangka penanaman nasionalisme serta nilai-nilai kebangsaan lainnya. Untuk itu pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan cenderung diwujudkan dalam bentuk pelayanan langsung, misalnya pendirian sekolah negeri. Harapannya dengan mensuplai pelayanan pendidikan secara langsung, pemerintah lebih dapat mengkontrol kurikulum dan standar pendidikan.

Pengeluaran pemerintah ini berupa pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, penyediaan tenaga pendidik, akses ke sarana pendidikan, dan lain sebagainya.


(45)

19

2.9 Penelitian Empiris

Boissiere (2004) dalam studi literaturnya tentang penelitian-penelitian terdahulu yang determinan pendidikan dasar di negara berkembang. Determinan output pendidikan dapat diestimasi menggunakan pendekatan dianalisis menggunakan Supply and Demand, EPF, Randomized Evaluation, Natural experiment dan metode kualitatif.

Faguet dan Sanchez (2006) meneliti tentang efek desentralisasi kepada hasil pendidikan di Bolivia dan Colombia. Variabel dependen yang dipakai adalah pertumbuhan angka partisipasi sekolah dengan metode data panel. Hasil penelitian menemukan bahwa di Kolombia, desentralisasi keuangan membuat angka

enrollment (angka partisipasi) sekolah naik di sekolah-sekolah milik pemerintah.Variabel desentralisasi seperti variabel pendapatan daerah per total pengeluaran pendidikan dan total penerimaan pajak berpengaruh positif dan signifikan, total pengeluaran pendidikan per transfer pemerintah pusat dan total pengeluaran pendidikan per pengeluaran pemerintah pusat berpengaruh negatif terhadap kenaikan tingkat partisipasi murid di sekolah pemerintah. Sedangkan variabel pengeluaran pendidikan perkapita berpengaruh negatif, hal ini menggambarkan bahwa variabel pengeluaran pendidikan perkapita bukanlah faktor yang menentukan pertumbuhan partisipasi sekolah. Di Bolivia, desentralisasi membuat pemerintah lebih responsif dengan kembali mengarahkan investasi publik ke daerah yang yang memiliki kebutuhan terbesar. PDRB perkapita, investasi di bidang pendidikan dan faktor daerah (district) berpengaruh positif kepada pencapaian pendidikan dasar.

Namun Akai et al. (2007) dalam penelitiannya di Amerika tidak menemukan bahwa dampak desentralisasi fiskal pengaruh yang signifikan pada pendidikan dasar tetapi signifikan pada pendidikan menengah (SMP). Dengan menggunakan metode data panel 49 negara bagian Amerika Serikat dengan tahun penelitian 1996 dan 2000. Variabel dependennya adalah nilai score tes matematika National Assessment of Educational Progress (NAEP). Variabel input yang memengaruhi nilai score secara siginifikan adalah rasio murid per guru. Sekolah swasta pada level sekolah menengah memberi kontribusi outcomes pendidikan yang lebih besar dibandingkan sekolah negeri, sekolah negeri yang


(46)

dibiayai oleh pemerintah ternyata belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada pendidikan.

Coleman (1966) dalam Bossier (2004) mengkaji tentang output pendidikan di Amerika Serikat menggunakan pendekatan education production function

(EPF) menimbulkan kontroversi yang cukup dengan datang ke kesimpulan mengejutkan bahwa variasi dalam sumber daya sekolah tidak menjelaskan banyak variasi dalam prestasi siswa. Pentingnya sekolah dan guru untuk pencapaian siswa tampak jauh kurang penting dibandingkan dengan status sosial ekonomi siswa (SES) seperti ditunjukkan oleh sejumlah karakteristik latar belakang keluarga, seperti pendidikan orangtua, profesi, dan pendapatan. Berbeda dengan Hyneman (1979) dalam Bossier (2004) dalam penelitiannya di Uganda bahwa faktor ketersediaan guru dan sekolah lebih berpengaruh dibandingkan faktor status sosial ekonomi (pendidikan kepala keluarga, pekerjaan, pendapatan) terhadap pencapaian kualitas pendidikan.

Purwanto (2010) dalam kajiannya tentang faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar dalam kerangka desentralisasi fiskal menggunakan dua model untuk masing-masing level pendidikan dasar yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Data yang digunakan adalah data panel seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Hasil yang diperoleh adalah Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan dan Dana Alokasi Umum pengaruhnya signifikan kepada angka partisipasi SD namun kurang mempengaruhi untuk tingkat SMP. Pemerintah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi belum tentu memiliki angka partisipasi sekolah yang juga tinggi. Sedangkan karakteristik daerah jawa atau bukan jawa, daerah pemekaran dan daerah buka pemekaran berbeda secara signifikan, hal ini berimplikasi bahwa masih terjadinya gab yang tinggi antar daerah di Indonesia. Variabel angka melek huruf (proxy pendidikan kepala keluarga) dan rasio guru murid tidak signifikan.

Sbrana dan Sanchez (2010) menggunakan regresi logistik dalam meneliti partisipasi sekolah tingkat dasar, menengah dan tinggi di Yemen. Status pekerjaan orang tua yang berpenghasilan tetap lebih berpeluang menghasilkan anak yang bersekolah, keputusan bersekolah atau tidak bersekolah dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dalam keluarga seperti umur anak, pendapatan rumah tangga,


(47)

21

pendidikan kepala rumah tangga. Orangtua yang memiliki anak perempuan yang berumur 6 tahun lebih banyak yang tidak menyekolahkan anaknya karena faktor kekhawatiran akan keselamatan anak perempuannya. Makin tinggi pendidikan kepala keluarga maka makin memperbesar peluang anak di keluarga tersebut untuk bersekolah.

Philipina dengan Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasarnya 86 persen menargetkan pada tahun 2015 semua anak bersekolah untuk mencapai

target MDG‟s. Tullao dan Rivera (2011) meneliti menggunakan regresi berganda

OLS mengenai faktor sosial ekonomi dalam keluarga yang memengaruhi partisipasi anak usia 6-12 tahun dikeluarga tersebut bersekolah atau tidak. Daerah yang diambil sebagai daerah penelitian adalah Pasay City dan Eastern Samar. Hasilnya adalah variabel pendapatan rumah tangga, letak tempat tinggal, status pekerjaan orang tua yang tidak tetap, jumlah anggota rumah tangga, kemiskinan, dan ketersediaan listrik memengaruhi tingkat partisipasi sekolah.

Penelitian ini mengaju pada penelitian Glewwe (2002), Faguet dan Sanchez (2006) dan Purwanto (2010) dalam meneliti determinan pendidikan dasar secara regional di provinsi Sulawesi Utara. Adapun perbedaannya adalah pada metode yang digunakan penulis. Glewwe (2002) menggunakan persamaan simultan dan OLS, Purwanto (2010) menggunakan data panel dengan variabel DAU, DAK, PAD sebagai proxy dari desentralisasi fiskal. Penelitian ini menggunakan data panel dengan variabel pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dasar, rasio murid terhadap guru, rasio guru terhadap sekolah, banyaknya anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan pendapatan perkapita antar wilayah di Sulawesi Utara.

Pengaruh faktor sosial ekonomi rumah tangga diteliti dengan menggunakan regresi logistik. Model mengacu pada penelitian yang dilakukan Sbrana dan Sanchez (2010). Sbrana dan Sanchez menggunakan variabel tempat tinggal (desa/kota), pendidikan kepala rumah tangga (sekolah atau tidak sekolah), pendidikan pasangan kepala rumah tangga, kesehatan, jenis kelamin, pendapatan perkapitan dan ketersediaan infrastruktur. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian ini menggunakan 2 model untuk pendidikan dasar yaitu umur 7-12 tahun dan umur 13-15 tahun. Variabel yang digunakan


(48)

adalah letak geografis tempat tinggal, jenis kelamin, pendidikan kepala rumah tangga, pengeluaran perkapita/bulan, jumlah anggota rumah tangga, dan lapangan usaha kepala rumah tangga.

2.9 Kerangka Pemikiran

Target MDGs pada tahun 2015 adalah mewujudkan pendidikan dasar untuk semua. Sulawesi Utara sampai tahun 2010 dengan angka APS usia 7-12 tahun sebesar 98,3 dan APS usia 13-15 tahun sebesar 89,06 menunjukkan bahwa walaupun APS sudah diatas rata-rata nasional namun target MDGs belum tercapai. Sementara itu, provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi dengan peringkat IPM nomor dua seluruh Indonesia, namun APS Sulawesi Utara terendah dari lima provinsi dengan IPM terbesar. Letak Sulawesi Utara yang strategis diharapkan sebagai gateway Indonesia ke Asia Timur dan Pasifik. Rencana jangka panjang pemerintah mempercepat pembangunan ekonomi di kawasan timur Indonesia khususnya Sulawesi Utara melalui MP3EI membutuhkan tenaga kerja yang mampu masuk dan dianggap mampu bekerja di lapangan usaha. Disisi lain, sumber daya manusia yang ada masih didominasi oleh penduduk yang berpendidikan SD/MI dan sederajat. Percepatan pembangunan di Sulawesi Utara tidak akan bisa dinikmati oleh masyarakat jika pembangunan sumber daya manusia dibidang pendidikan belum dimaksimalkan. Hal ini menarik untuk diteliti agar diperoleh informasi apa saja determinan yang memengaruhi pendidikan khususnya pendidikan dasar di Sulawesi Utara. Berdasarkan pemikiran di atas maka dapat disusun diagram alur kerangka pemikiran penelitian (Gambar 5).


(49)

23

Gambar 5 Kerangka Pemikiran Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti Belum tercapainya target MDGs di Sulawesi Utara

untuk pendidikan dasar

Provinsi Sulawesi Utara :

IPM kedua, APS terendah dari 5 provinsi IPM terbesar

Gate Way Internasional lewat hubport dan sektor industri

Faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar

Struktural Kultural

Faktor Input Pendidikan

1. Pengeluaran Riil Pendidikan Dasar 2. Dana BOS

3. PDRB Perkapita 4. Jumlah ART 5. Pendidikan KRT 6. Kemiskinan

7. Rasio Murid terhadap Guru 8. Rasio Guru terhadap Sekolah

Faktor Sosial Ekonomi Rumah Tangga 1. Pendidikan Kepala Keluarga

2. Jumlah Anak dalam keluarga 3. Jenis Kelamin

4. Lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga 5. Pedesaan/Kota

6. Pengeluaran Perkapita Dinamika perkembangan

pendidikan dasar di Sulawesi Utara

Rekomendasi Kebijakan pendidikan dasar 9 tahun


(50)

2.10 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP dipengaruhi oleh:

1. Faktor pengeluaran pemerintah yaitu belanja riil pendidikan dasar, dana BOS berpengaruh positif terhadap pendidikan dasar.

2. Faktor sosial ekonomi yaitu PDRB perkapita, persentase kepala rumah tangga yang pendidikan diatas SD berpengaruh positif, persentase rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga lebih dari 5 orang dan kemiskinan berpengaruh negatif terhadap pendidikan dasar.

3. Faktor ketersediaan sarana pendidikan yaitu rasio murid guru berpengaruh negatif, rasio murid sekolah berpengaruh positif.

4. Daerah tempat tinggal, jenis kelamin, pendidikan kepala rumah tangga, lapangan usaha kepala rumah tangga, jumlah anak dalam rumah tangga, dan pengeluaran rumah tangga sebagai proxy pendapatan rumah tangga.


(51)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari berbagai instansi pemerintah. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Kementrian Pendidikan Nasional dan sumber-sumber lainnya. Data yang digunakan antara lain data angka partisipasi sekolah untuk usia 7-12 tahun, dan angka partisipasi sekolah untuk usia 13-15 tahun, realisasi belanja anggaran pendidikan dasar perkabupaten/kota, Alokasi Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kemiskinan relatif, PDRB perkapita. Faktor sosial seperti persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan tamat SMP dan rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga lebih dari 5 orang diolah menggunakan data SUSENAS Kor tahun 2008-2010. Periode yang diteliti adalah tahun 2008-2010.

3.2 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan membaca tabel dan grafik. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk melihat dinamika pendidikan dasar di Indonesia selama periode penelitian. Analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik agar dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.

3.3 Analisis Regresi Data Panel

Data panel digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar. Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (Gujarati, 2004). Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.

Baltagi (2005) mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut:


(52)

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu.

2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.

3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.

4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.

Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki keterbatasan di antaranya adalah:

1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors

umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.

3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:

a. Self-selectivity : permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada.

b. Nonresponse : permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga).

c. Attrition : jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi

4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu.

5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan

cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference).


(53)

27

Analisis data panel secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu statis dan dinamis. Pada analisis data panel dinamis, regressor-nya mengandung variabel lag dependent-nya, sedangkan pada analisis data panel statis tidak.

Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu

Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (

i). Pada two way telah

memasukkan efek dari waktu (t) ke dalam komponen error, uit diasumsikan tidak berkorelasi dangan Xit. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada

atau tidaknya korelasi antara

idan tdengan Xit.

3.3.1 Pemilihan Model dalam Pengujian Data Panel

Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat diperlihatkan pada Gambar 6.


(54)

Untuk memutuskan apakah akan menggunakan fixed effect atau random effect menggunakan uji Haussman. Hausman test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0: E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat

H1: E(τi | xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat

Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi square.

Jika nilai χ2 statistik hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya.

3.3.2 Uji Asumsi

Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan digunakan. Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu (FEM atau REM) berdasarkan HAUSMAN Test, maka kita dapat melakukan uji terhadap asumsi yang digunakan dalam model.

1 Uji Homoskedastisitas

Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua

residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas.

Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode

General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square residual pada Weighted Statistics dengan sum square residual unweighted Statistics. Jika sum square resid pada weighted statistics lebih kecil dari sum square residual unweighted statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.

1. Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk


(55)

29

mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson

(DW). Untuk mengetahui ada/tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel. Korelasi serial ditemukan jika

error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi.

3.3.3 Spesifikasi Model Penelitian

Model yang digunakan untuk mengestimasi determinan pendidikan dasar dikembangkan dengan beberapa asumsi dasar yaitu sekolah diperlakukan sebagai unit produksi pada fungsi penawaran. Tidak seperti unit produksi pada fungsi produksi pada umumnya, sekolah diasumsikan sebagai unit yang bukan memaksimalkan keuntungan (Bossier, 2004). Sebagian besar studi tentang efektivitas pendidikan mengikuti pendekatan Education Production Function

(EPF) yang kemudian memodifikasi faktor-faktor input apa saja yang dapat meningkatkan output. Murillo (2001) dalam Purwanto menggambarkan faktor-faktor yang memengaruhi hasil pendidikan dengan pendekatan EPF, antara lain: 1. Faktor diri sendiri seperti jenis kelamin, suku bangsa, warna kulit, dll.

2. Faktor keluarga seperti status sosial ekonomi, ukuran keluarga, dan pendidikan keluarga.

3. Faktor tempat tinggal.

4. Faktor sekolah dan guru, seperti struktur sekolah, jumlah hari sekolah, dan kulaitas guru.

Glewwe (2002) memformulasikan faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dengan pendekatan EPF, yaitu:

= �+ + 1 1+⋯. + + 1 1+⋯+ +� (3.1)

Dimana H adalah human capital dengan proxy score hasil test, S adalah sekolah (biasanya menggunakan lamanya bersekolah). Variabel A merepresentasikan kemampuan siswa seperti IQ dan Qi mewakili faktor kualitas sekolah seperti ukuran kelas, kualitas guru, dan lain sebagainya.

Sebagai aspek yang terus berkembang, maka makin banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Faguet dan Sanchez (2006) menggunakan model yang merujuk kepada Glewwe (2002) untuk meneliti dampak desentralisasi pada output pendidikan, yaitu:


(56)

Δ = + + + + + (3.2) Dimana ∆S adalah kenaikan partisipasi sekolah di sekolah negeri, D adalah persentase penerimaan dan pengeluaran daerah terhadap pengeluaran pendidikan di daerah tersebut , R adalah ketersediaan sarana pendidikan, P adalah variabel politik, dan C adalah variabel sosial ekonomi dan geografis.

Purwanto (2010) dengan menggunakan pendekatan EPF memformulasikan model ekonometrik untuk melihat hubungan pencapaian pendidikan SD (primary education) dan SMP (secondary education) dengan pengaruh desentralisasi anggaran di Indonesia. Model yang digunakan adalah:

� = i+ � + � + Sit +λDit +�� (3.3)

Dimana ER adalah angka partisipasi dari pendidikan, untuk SD menggunakan angka partisipasi murni (APM) SD sedangkan untuk SMP menggunakan angka partisipasi kasar (APK) SMP, FD adalah variabel desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan pendapatan asli daerah. IF adalah variabel ketersediaan sarana pendidikan yaitu rasio murid guru dan rasio murid sekolah. S adalah variabel sosial ekonomi yaitu PDRB perkapita, kemiskinan dan angka melek huruf (proxy pendidikan kepala rumah tangga).

Penelitian ini menggunakan pendekatan EPF dari Glewwe (2002) dan menggunakan variabel dependen berupa logaritma natural (ln) dari banyaknya anak usia SD dan SMP yang bersekolah, modifikasi variabel dependen pada Faguet dan Sanchez (2006) dan memodifikasi variabel pengeluaran pemerintah dan sosial ekonomi pada Purwanto (2010). Model yang digunakan pada penelitian ini yaitu:

ln _ = 0+ 1ln _ _ + 2ln _

+ 3ln � + 4 _ � + 5 _5�

+ 6 0� + 7ln _ _ � + 8ln _ _ � + + �

ln _ = 0+ 1ln _ _ + 2ln _ + 3ln

+ 4 _ + 5 _5

+ 6 0 + 7ln _ _ + 8ln _ _ + +

dengan,


(1)

Lampiran 4

Hasil Logit untuk Model Usia SMP

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

putus sekolah 0

masih sekolah 1

Categorical Variables Codings

Frequency

Parameter coding

(1) (2)

lapangan usaha KRT sektor primer 844 1.000 .000

sektor sekunder 197 .000 1.000

sektor tersier 538 .000 .000

pendidikan KRT SD Sederajat 804 1.000 .000

SMP sederajat 319 .000 1.000

SMU sederajat dan diatasnya 456 .000 .000

Jenis Kelamin perempuan 766 1.000

laki-laki 813 .000

klasifikasi perdesaan 978 1.000

perkotaan 601 .000

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 6528.186 8 .000

Block 6528.186 8 .000

Model 6528.186 8 .000

Classification Tablea

Observed

Predicted masih sekolah

Percentage Correct putus sekolah masih sekolah

Step 1 masih sekolah putus sekolah 0 11447 .0

masih sekolah 61 99638 99.9

Overall Percentage 89.6

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a Desa_kota(1) .543 .024 510.325 1 .000 1.722

Jenkel(1) .736 .022 1.160E3 1 .000 2.087

expcap_1 .008 .001 191.306 1 .000 1.008

JART -.104 .006 256.143 1 .000 .901

didik_KRT 2.743E3 2 .000

didik_KRT(1) -1.487 .032 2.104E3 1 .000 .226 didik_KRT(2) -.505 .038 173.328 1 .000 .603

lap_us_KRT 427.373 2 .000

lap_us_KRT(1) -.124 .027 20.701 1 .000 .884 lap_us_KRT(2) .610 .037 266.784 1 .000 1.840

Constant 2.693 .060 2.032E3 1 .000 14.782


(2)

Lampiran 5

Bencana Alam Tahun 2008

Kabupaten/Kota Bencana Tanah Longsor Bencana Banjir Bencana Banjir Bandang Bencana Gempa Bumi Bencana Gelombang Pasang Laut Bencana Angin Puyuh Bencana Gunung Meletus Bencana Kebakaran Hutan Bolaang

Mongondow 40 147 31 12 17 19 0 3

Minahasa 39 34 7 32 2 34 24 2

Kep.Sangihe 37 27 6 2 28 10 0 2

Kep. Talaud 15 12 0 42 33 7 0 0

Minahasa

Selatan 49 24 8 39 9 31 22 1

Minahasa

Utara 9 2 6 3 4 6 0 0

Bolaang Mongondow Utara

2 29 4 0 0 4 0 0

Kep. Sitaro 6 3 0 8 7 10 4 0

Minahasa

Tenggara 44 29 5 17 6 2 28 2

Manado 42 47 7 30 3 4 0 0

Bitung 16 18 0 1 13 2 0 2

Tomohon 4 3 0 0 0 0 0 0

Kotamobagu 0 0 0 0 0 0 0 0

Total 303 375 74 186 122 129 78 12


(3)

Lampiran 6

Jarak Sekolah SD Terdekat dari Desa yang Tidak Memiliki

Sekolah SD

Kabupaten/Kota 0-1 1,1-2 2,1-3 3,1-4 4,1-5 >5 Jumlah Desa

Bolaang Mongondow 13 1 2 1 1 1 19

Minahasa 8 1 1 1 2 0 13

Kep.Sangihe 5 1 0 0 0 0 6

Kep. Talaud 40 2 0 1 2 0 45

Minahasa Selatan 3 0 1 0 1 0 5

Minahasa Utara 1 2 1 0 0 0 4

Bolaang Mongondow

Utara 7 1 0 0 0 0 8

Kep. Sitaro 4 0 0 0 0 0 4

Minahasa Tenggara 4 2 0 0 1 0 7

Manado 2 0 0 0 0 0 2

Bitung 6 2 0 0 1 0 9

Tomohon 2 0 0 0 0 0 2

Kotamobagu 0 0 0 0 0 0 0


(4)

Lampiran 7

Jarak Sekolah SMP Terdekat dari Desa yang Tidak Memiliki

Sekolah SMP

Kabupaten/Kota 0-2 2,1-4 4,1-6 6,1-8 8,1-10 >10 Jumlah

Desa

Bolaang Mongondow 85 41 20 7 11 11 175

Minahasa 70 31 10 5 2 2 120

Kep.Sangihe 38 28 24 3 2 4 99

Kep. Talaud 56 37 11 2 4 3 113

Minahasa Selatan 47 13 9 5 5 1 80

Minahasa Utara 32 15 6 1 1 3 58

Bolaang Mongondow Utara 34 15 4 2 0 5 60

Kep. Sitaro 32 20 6 1 0 1 60

Minahasa Tenggara 32 6 2 0 3 4 47

Manado 20 6 2 0 0 0 28

Bitung 22 9 4 2 3 1 41

Tomohon 15 3 0 0 0 0 18

Kotamobagu 21 0 0 0 0 0 21


(5)

Lampiran 8

Perbandingan Angka Putus Sekolah SD tahun 2008-2010

Kabupaten/Kota 2008 2009 2010

Perbandingan 2008 dan 2009

Perbandingan 2009 dan 2010

Bolaang Mongondow 2 3 2 memburuk membaik

Minahasa 2 1 1 membaik tetap

Kep.Sangihe 3 3 3 tetap tetap

Kep. Talaud 1 1 1 tetap tetap

Minahasa Selatan 2 3 1 memburuk membaik

Minahasa Utara 2 1 1 membaik tetap

Bolaang Mongondow

Utara 1 2 3 memburuk memburuk

Kep. Sitaro 2 1 1 membaik membaik

Minahasa Tenggara 1 1 1 tetap tetap

Manado 1 3 3 memburuk tetap

Bitung 2 1 1 membaik tetap

Tomohon 2 1 1 membaik tetap

Kotamobagu 3 2 3 membaik memburuk

Keterangan:

1 : Putus sekolah dibawah rata-rata ( < 1,80 persen)

2 : Rata-rata putus sekolah ( 1,80-1,708 persen)

3 : Putus sekolah diatas rata-rata ( > 1,708 persen)


(6)

Lampiran 9

Perbandingan Angka Putus Sekolah SMP tahun 2008-2010

Kabupaten/Kota 2008 2009 2010

Perubahan 2008 ke 2009

Perubahan 2009 ke 2010

Bolaang Mongondow 3 3 3 tetap tetap

Minahasa 1 3 1 memburuk membaik

Kep.Sangihe 3 2 3 membaik memburuk

Kep. Talaud 1 1 1 tetap tetap

Minahasa Selatan 3 2 1 membaik membaik

Minahasa Utara 1 1 2 tetap memburuk

Bolaang Mongondow

Utara 3 1 1 membaik tetap

Kep. Sitaro 2 1 1 membaik tetap

Minahasa Tenggara 2 2 1 tetap membaik

Manado 1 1 2 tetap memburuk

Bitung 2 2 2 tetap tetap

Tomohon 1 1 1 tetap tetap

Kotamobagu 2 1 1 membaik tetap

Keterangan:

1 : Putus sekolah dibawah rata-rata ( < 9,23 persen)

2 : Rata-rata putus sekolah ( 9,23-14,78 persen)

3 : Putus sekolah diatas rata-rata ( > 14,78 persen)