Penelitian Empiris TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson DW. Untuk mengetahui adatidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi.

3.3.3 Spesifikasi Model Penelitian

Model yang digunakan untuk mengestimasi determinan pendidikan dasar dikembangkan dengan beberapa asumsi dasar yaitu sekolah diperlakukan sebagai unit produksi pada fungsi penawaran. Tidak seperti unit produksi pada fungsi produksi pada umumnya, sekolah diasumsikan sebagai unit yang bukan memaksimalkan keuntungan Bossier, 2004. Sebagian besar studi tentang efektivitas pendidikan mengikuti pendekatan Education Production Function EPF yang kemudian memodifikasi faktor-faktor input apa saja yang dapat meningkatkan output. Murillo 2001 dalam Purwanto menggambarkan faktor- faktor yang memengaruhi hasil pendidikan dengan pendekatan EPF, antara lain: 1. Faktor diri sendiri seperti jenis kelamin, suku bangsa, warna kulit, dll. 2. Faktor keluarga seperti status sosial ekonomi, ukuran keluarga, dan pendidikan keluarga. 3. Faktor tempat tinggal. 4. Faktor sekolah dan guru, seperti struktur sekolah, jumlah hari sekolah, dan kulaitas guru. Glewwe 2002 memformulasikan faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dengan pendekatan EPF, yaitu: = � + + 1 1 + ⋯ . + + 1 1 + ⋯ + + � 3.1 Dimana H adalah human capital dengan proxy score hasil test, S adalah sekolah biasanya menggunakan lamanya bersekolah. Variabel A merepresentasikan kemampuan siswa seperti IQ dan Q i mewakili faktor kualitas sekolah seperti ukuran kelas, kualitas guru, dan lain sebagainya. Sebagai aspek yang terus berkembang, maka makin banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Faguet dan Sanchez 2006 menggunakan model yang merujuk kepada Glewwe 2002 untuk meneliti dampak desentralisasi pada output pendidikan, yaitu: Δ = + + + + + 3.2 Dimana ∆S adalah kenaikan partisipasi sekolah di sekolah negeri, D adalah persentase penerimaan dan pengeluaran daerah terhadap pengeluaran pendidikan di daerah tersebut , R adalah ketersediaan sarana pendidikan, P adalah variabel politik, dan C adalah variabel sosial ekonomi dan geografis. Purwanto 2010 dengan menggunakan pendekatan EPF memformulasikan model ekonometrik untuk melihat hubungan pencapaian pendidikan SD primary education dan SMP secondary education dengan pengaruh desentralisasi anggaran di Indonesia. Model yang digunakan adalah: � = i + � + � + S it + λD it + � � 3.3 Dimana ER adalah angka partisipasi dari pendidikan, untuk SD menggunakan angka partisipasi murni APM SD sedangkan untuk SMP menggunakan angka partisipasi kasar APK SMP, FD adalah variabel desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan yaitu Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi Khusus DAK dan pendapatan asli daerah. IF adalah variabel ketersediaan sarana pendidikan yaitu rasio murid guru dan rasio murid sekolah. S adalah variabel sosial ekonomi yaitu PDRB perkapita, kemiskinan dan angka melek huruf proxy pendidikan kepala rumah tangga. Penelitian ini menggunakan pendekatan EPF dari Glewwe 2002 dan menggunakan variabel dependen berupa logaritma natural ln dari banyaknya anak usia SD dan SMP yang bersekolah, modifikasi variabel dependen pada Faguet dan Sanchez 2006 dan memodifikasi variabel pengeluaran pemerintah dan sosial ekonomi pada Purwanto 2010. Model yang digunakan pada penelitian ini yaitu: ln _ � = + 1 ln _ _ � + 2 ln _ � + 3 ln � + 4 _ � + 5 _5 � + 6 � + 7 ln _ _ � + 8 ln _ _ � + + � ln _ � = + 1 ln _ _ � + 2 ln _ � + 3 ln � + 4 _ + 5 _5 � + 6 � + 7 ln _ _ � + 8 ln _ _ � + + � dengan, ln _ � = Jumlah usia 7-12 tahun yang masih sekolah jiwa ln _ � = Jumlah usia 13-15 tahun yang masih sekolah jiwa ln _ _ � = Belanja pendidikan dasar Rupiah; ln _ � = Bantuan Operasional Sekolah SD Rupiah; ln _ � = Bantuan Operasional Sekolah SMP Rupiah; ln � = Pendapatan Regional Domestik Bruto Perkapita Juta Rupiah; _ � = Kepala Rumah Tangga KRT yang berpendidikan diatas SD persen; _5 � = Jumlah Rumah Tangga yang memiliki Anggota Rumah Tangga lebih dari 5 persen; � = Angka Kemiskinan persen; ln _ _ � = Rasio Murid SD Guru SD; ln _ _ � = Rasio Murid SD Sekolah SD; ln _ _ � = Rasio Murid SMP Guru SMP; ln _ _ � = Rasio Murid SMP Sekolah SMP;  k = koefisien parameter pada variabel ; dan i,t = untuk kabupaten ke-i tahun ke-t

3.4 Analisis Regresi Logistik

Regresi logistik merupakan model regresi untuk menganalisis pengaruh variabel penjelas terhadap variabel respon yang bersifat biner dichotomous. Regresi logistik pada penelitian ini digunakan untuk melihat kecenderungan seorang anak untuk bersekolah dan tidak bersekolah dilihat dari faktor-faktor sosial ekonomi di keluarganya. Variabel dependen yang diteliti adalah status seorang anak yang bersekolah dan tidak bersekolah. Pada regresi logistik, jika terdapat k variabel penjelas, maka probabilitas untuk mendapat hasil „sukses‟ y=1 dinyatakan dengan PY=1 x x   sedangkan probabilitas untuk mendapat hasil „gagal‟ dinyatakan dengan PY=0 . 1 x x    Pada penelitian ini untuk y=1 sebagai Fungsi regresi logistik dinyatakan dalam:                   k j ij j k j ij j i x x x exp 1 exp    di mana i=1,2,…,n dan j=0,1,2,…,k Sedangkan persamaan Y dapat dinyatakan dengan: Y i = E   i i x y + i  dengan E   i i x y =   i x    i i x     1 jika y=1 dan   i i x    jika y=0 Jika variabel independen yang digunakan berskala kategorik, yaitu ordinal maupun nominal, maka variabel tersebut harus diubah menjadi variabel dummy. Secara umum, bila suatu variabel mempunyai p kategori, maka diperlukan p-1 variabel dummy Hosmer dan Lemeshow, 1989. Regresi logistik merupakan model intrinsik, yaitu model nonlinier yang dengan suatu transformasi dapat dibawa ke bentuk linear. Untuk mendapatkan bentuk linier dalam regresi logistik ini, digunakan transformasi logit, yaitu bentuk log dari odds: odds =     i i x x    1 Dengan menggunakan transformasi log, maka akan diperoleh bentuk: gx i = ln            i i x x   1 gx i = ln                                k j ij j k j ij j x x exp 1 exp   - ln                        k j ij j x exp 1 1  =   k j ij j x 