Pandangan Hukum Islam Terhadap Aturan Kriminalisasi Perkawinan di
perkawinan yang serupa itu perkawinan dibawah umur, bahkan akan mendatangkan kemudharatan.
80
Perkawinan menurut madzhab Syafi‟I termasuk bagi yang sudah dewasa,
menjadi makruh jika yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kewajiban- kewajiban yang harus dipikul sebagai suami isteri, sedangkan ia masih bisa
menahan diri untuk tidak berbuat zina. Demikian pula, Makruh kawin bagi laki- laki yang tidak berkeinginan menikah dan tidak pula mempunyai kemampuan
memberikan mas kawin dan nafkah bagi istrinya. Apabila dia mempunyai kemampuan atas biaya-biaya tersebut namun pada saat yang sama dia tidak
mempunyai alasan yang mengharuskannya untuk kawin, bahkan sebenarnya dia lebih menyukai ibadah maka sebaiknya dia tidak kawin agar ibadahnya tidak
tergangu.
81
Dan U lama Syafi‟iyah para pengikut imam asy-Syafi‟i juga
mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan kepentingan yang baik. Sedangkan untuk anak
perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain: 1.
Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya, yaitu ayah dan kakek;
80
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus- Sunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1988,h.131.
81
Al- Muthi‟I, Takmilat al-Majmu, Juz XV, Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.t, h.58
2. Tidak ada permusuhan kebencian yang nyata antara dia dengan calon
suaminya; 3.
Calon suami harus kufu‟ sesuaisetara, 4.
Calon suami mampu memberikan maskawin yang pantas. 5.
Calon suami bukan orang yang akan merepotkan calon isterinya, seperti orang buta atau seorang kakek pikun.
82
Pada hakikatnya, pandangan madzhab Syafi‟I tersebut menjadi komitmen para madzhab fiqih yang lain. Semuanya sepakat bahwa perkawinan dimaksudkan
untuk suatu kemaslahatan kebaikan semua pihak yang terkait. Mazhab Maliki dan Hanafi mengharamkan perkawinan laki-laki yang bisa menjaga dirinya dari
zina, tapi tidak mampu memberikan nafkah untuk isterinya dari harta yang halal. Demikian juga Mazhab Hanafi menyatakan hal yang sama. Katanya:
Ia menjadi haram jika dia meyakini bahwa perkawinannya akan membawa akibat pada perbuatan yang diharamkan, misalnya menzhalimi
orang lain. Karena sebenarnya pernikahan dianjurkan oleh agama untuk menjaga kemaslahatan jiwa hifzh al-nafs dan keselamatan fungsi reproduksi
hifzh al-nasl serta mengharapkan pahala dari Allah. Maka apabila perkawinan itu justeru akan membawanya pada perbuatan yang haram karena
menzhalimi orang berarti dia telah melakukan perbuatan dosa sebab, kemaslahatan yang ingin dicapai justeru berbalik menjadi kemudaratan.
83
82
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, juz IX, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997, h. 6685-6686.
83
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fidi ala Madzahih al- arba‟ah, juz 4, Darus Kutub Al-Ilmiyah,
Beirut-Lebanon, 2003, h.4-7.
Terlepas dari pandangan fuqoha mengenai perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan menjadi fenomena yang tidak asing lagi. Seperti di
Pakistan yang menjadikan perkawinan di bawah umur sesuatu perbuatan yang dilarang bahkan memberikan sanksi pidana di dalam hukum keluarganya. Di
dalam hukum Islam tidak ada aturan yang menyatakan bahwa perkawinan di bawah umur itu sesuatu tindakan yang dapat di berikan hukuman. Pada dasarnya
perkawinan di bawah umur diperbolehkan apabila lebih banyak kemaslahatannya dibanding kemudaratan.
Namun, dalam hukum pidana Islam ketentuan criminal dapat dikategorikan menjadi beberapa macam jenis sesuai dengan aspek berat dan ringannya hukuman
yang ditegaskan atau tidaknya oleh al- Qur‟an dan al-Hadis. Atas dasar itu, para
ulama membaginya menjadi tiga, yaitu 1 jarimah hudud, 2 jarimah qiyasdiyat, dan 3 Jarimah
ta‟zir. Jarimah hudud mencangkup sejumlah tindak pidana yakni pencurian,
perzinaan, qadzaf tuduhan palsu zina, konsumsi khamar, hirabah perampokan, dan riddah murtad.Nass-nass jarimah hudud ini sudah jelas dan tegas, baik
menyangkut tindak pidananya maupun sanksi pidananya. Sedangkan jarimah qisasdiyat meliputi tindak pidana pembunuhan penghilangan nyawa dengan
kesengajaan, pembunuhan penghilangan nyawa semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan atau kealpaan, pelukaan dengan kesengajaan, pelukaan semi
sengaja, dan pelukaan karena kesalahan atau kealpaan. Nass-nass jarimah
qisasdiyat ini juga sudah jelas dan tegas, baik tindak pidananya maupun sanksi pidananya.
84
Adapun jarimah ta‟zir mencakup semua tindak pidana yang tidak termasuk
dalam jarimah hudud dan jarimah qiyasdiyat. Kerangka acuan identifikasi tindak pidana jarimah
ta‟zir merujuk pada salah satu dari empat acuan berikut ini:
85
1. Perbuatan pidana yang masuk jarimah hudud tetapi dalam proses terjadinya
mengandung unsur syubhat; 2.
Perbuatan yang dikualifisir maksiat oleh agama; 3.
Perbuatan yang tidak dilarang agama tetapi dikualifisir oleh ulil amri yang mendatangkan mafsadahmadarrah atau merusak maslahah;
4. Perbuatan yang dikualifisir oleh ulil amri melanggar peraturan perundang-
undangan siyasah syar‟iyyah yang diterbitkan olehnya.
Dari keterangan ini, tampak jelas bahwa di dalam hukum pidana Islam mengenai perkawinan di bawah umur bukan perbuatan yang criminal dan tidak dapat
dijatuhkan hukuman, sebab di dalam fiqih dan hukum Islam tidak ada larangan melaksanakan perkawinan di bawah umur. Persoalan paling krusial tentang kawin di
bawah umur dalam pandangan para ahli fiqh: pertama, adalah faktor ada-tidaknya
84
H. A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet-III, h.12-13
85
Asmawi, M.A. “Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di dunia Islam
Kontemporer”,artikel diakses pada 23 Mei 2016 darihttp:www.pdfreference.comKriminalisasi- Poligami-dalam-Hukum-Keluarga-di-Dunia-Islam-Kontemporer
unsur kemaslahatan atau ada tidaknya kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya hubungan seksual yang tidak dibenarkan oleh agama. Apabila perkawinan belia itu
dapat menimbulkan kemudaratan, kerusakan, atau keburukan, padahal saat yang sama factor-faktor kekhawatiran akan terjerumus ke dalam pergaulan seksual yang dilarang
agama tidak dapat dibuktikan maka perkawinan tersebut tidak dapat dibenarkan. Maka dari itu pengaturan hukum keluarga dan usaha-usaha menjaga kesehatan
reproduksi menjadi suatu ikhtiar yang harus mendapat perhatian serius dari semua pihak, termasuk di dalamnya adalah pengaturan tentang batas usia perkawinan yang
dapat menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan kemaslahatan. Jelasnya dengan dicantumkannya secara aksplisit batasan umur, menunjukkan
langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Di dalam masyarakat jawa misalnya sering kali dijumpai perkawinan anak
perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum
diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut dengan kawin gantung.
86