Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi dengan upaya pemerintah dalam Negara-negara tertentu untuk mengatur dan menertibkan
aturan-aturan terkait dengan masalah keluarga. Upaya kodifikasi hukum ini dilakukan dengan beberapat tujuan dari pembaharuan yaitu:
1. Untuk membuat unifikasi hukum, sehingga kepastian hukum bisa
tercapai; 2.
Untuk memecahkan permasalahan kontemporer yang disebabkan oleh perubahan kondisi zamanmemenuhi tuntutan zaman, dan;
3. Untuk memenuhi, secara spesifik, tuntutan kaum wanita terkait dengan
status hukum merdeka yang mengangkat derajat dan martabat wanita.
58
Adanya usaha-usaha untuk memperbarui atau modernisasi hukum keluarga islam khususnya hukum perkawinan Islam tidak selamanya mendapat
dukungan luas dari masyarakat muslim itu sendiri. Kasus sebelum disahkannya UU perkawinan memberikan bukti, betapa tarik-menarik kepentingan dan
ideologi amat kental terjadi. Pertarungan ideologi kelompok sekuler dengan muslim tak terelakan sehingga kemudian terjadi kompromi-kompromi politik.
59
Secara umum respon ulama maupun cendekiawan muslim terhadap usaha pembaruan hukum Islam termasuk di dalamnya bidang perkawinan terbagi
58
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, England: John Wiley and Sons, Ltd, 2007, h.11.
59
menjadi dua kelompok besar yakni kelompok menolak dan menerima. Kelompok yang menerima pembaruan dapat dibagi menjadi kelompok yang menerima secara
penuh dan kelompok yang menerima secara terbatas serta belakangan muncul kelompok yang menginginkan pembaruan yang lebih radikal lagi.
Tak hanya Indonesia yang melakukan pembaharuan hukum keluar melainkan Negara Pakistan yang juga melakukan pembaharuan pada hukum
keluarga. Tujuan usaha pembaharuan hukum keluarga berbeda antara satu dengan Negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok.
Pertama, Negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Alasan pembaharuan untuk unifikasi ini adalah karena adanya sejumlah mazhab yang
diikuti di Negara tersebut. Yang boleh jadi terdiri dari mazhab masih dikalangan sunni, namun boleh juga antara Sunni dan Shi‟i. Seperti untuk kasus di Tunisia.
Unifikasi hukum keluarga ditunjukan bukan hanya untuk kaum muslimin, tetapi juga untuk semua warga Negara tanpa memandang perbedaan agama.
60
Kedua, usaha pembaharuan Hukum Islam adalah untuk pengangkatan status wanita.
Ketiga, untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fiqih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.
2. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Pakistan
60
Dawoed El Alami dan Doreen Hincheliffe,Islamic Marriage and Divorce Law of The Arab World,London:the Hague,Boston Kluwer Law International,1996, h.4
Pembaharuan hukum keluarga pada tingkat bagian, parlemen Punjab adalah Negara bagian yang pertama menyusun rancangan peraturan
pembaharuan tentang perkawinan. Secara nasional, langkah pertama kearah pembaruan hukum keluarga itu dilakukan dengan pembentukan suatu komisi
yang disebut Komisi Hukum Perkawinan dan Keluarga Marriage and Family Law Commission pada 1955 yang diketuai oleh seorang hakim bernama Badur
Rashid dengan keanggotaan tujuh orang, termasuk tiga orang tokoh perempuan dan seorang filsuf, Khalifa Abdul Hakim.
Pada Juni 1956 komisi telah menyelesaikan pekerjaannya dan menyampaikan laporan untuk dijadikan bahan penyusunan UU Hukum Keluarga.
Seorang anggota komisi dari kelompok ulama konservatif, Maulana Ihteshamul Haq, membuat pernyataan dissenting opinion karena isi laporan komisi itu
dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam atau sekurang-kurangnya Negara telah melakukan intervensi yang tidak perlu terhadap hukum Islam.
memang sedikit aneh, karena terhadap Mesir yang melakukan pembaharuan hukum keluarga pada 1929, ulama konsevatif Pakistan Maulana Maududi
mendukungnya, tetapi ketika pembaruan serupa hendak diberlakukan di Pakistan, ia menentangnya. Ketika MFLO diberlakukan pada 1961 ternyata tidak semua
rekomendasi komisi tersebut ditampung di dalamnya, sehingga membuat orang berkesimpulan bahwa MFLO 1961 adalah hasil kompromi antara kelompok-
kelompok Muslim modernis dan konservatif di Pakistan.
61
Dalam MFLO 1961 dan berbagai peraturan perundangan terkait, termasuk beberapa amandemennya
pembaharuan, terdapat sejumlah hal penting yang diatur tentang hukum keluarga di Pakistan, yaitu:
1. Batasan usia minimum perkawinan;
2. Kewajiban pencatatan perkawinan;
3. Kewajiban memperoleh izin Dewan Arbitrasi bagi pria untuk melakukan
poligami; 4.
Kewajiban melaporkan peristiwa talak kepada pejabat berwenang agar ia dapat segera membentuk Dewan Arbitrasi selaku Dewan Hakam;
5. Ancaman sanski atas pelanggaran batas maksimal nilai maskawin dan
biaya perkawinan serta pelanggaran lainnya; 6.
Kehadiran ahli waris pengganti; 7.
Penyelesaian sengketa keluarga melalui pengadilan keluarga family court; dan
8. Pemberlakuan kembali hukum Islam tentang hak pemilikan harta terkait
orang murtad. Contohnya pembaharuan hukum keluarga yaitu: mengenai batas usia
minimum kawin yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 1929 tentang larangan
61
Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, Nordic Institute of Asian Studies, Curzon Press, UK, 1994, h. 157-158.
pernikahan anak Child Marriage Restraint Act sebagaimana diamandemen oleh Ordonansi No. 8 Tahun 1961 MFLO. Dalam UU itu didefinisikan bahwa anak
child adalah seorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak perkawinan di
bawah umur ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia anak-anak sebagaimana didefinisikan tersebut. Kemudian
“minor” didefinisikan sebagai seorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Tampaknya UU ini membedakan antara
“child” dan “minor”.
62
Selanjutnya MFLO mengatur bahwa seorang laki-laki berumur kurang dari 18 tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan di bawah
16 tahun, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai bukti-
bukti yang meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah perkawinan di bawah umur child marriage. Kemudian jika seseorang dalam
kategori “minor” berumur kurang dari 18 tahun melakukan akad nikah dengan
seorang di bawah umur, maka orang tua anak itu atau walinya, yang mendorong terjadinya perkawinan itu, atau karena kelalaian mereka, diancam dengan hukum
penjara paling lama satu bulan, atau denda paling banyak seribu Rupee atau
62
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis,Academy of Law and Religion, New Delhi,1987, h.243.