Penggunaan Lahan Karakteristik Kawasan

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa bangsa penjajah membangun Buitenzorg sebagai kota berawal diantara dua sungai besar sebagai batas fisiknya. Pada tahun 1920an, mulai berkembang menyebrangi sungai Ciliwung, yaitu daerah Kedoeng Halang yang dibangun sebagai permukiman. Kawasan Kedoeng Halang dalam peta 1946 tersebut sebagian besar masih merupakan kawasan budidaya dan hutan, tetapi kondisinya kini berubah menjadi permukiman. Secara singkat, pembentukan kota Bogor dijelaskan pada Tabel 10. Maka, dalam kurun waktu tersebut, Bogor yang merupakan kampung pada awalnya, berubah menjadi kota metropolitan dengan luas yang berkembang kurang lebih lima kali lipat dari awal pembentukannya. Tabel 10. Pembentukan Kota Bogor Periode Nama Wilayah Luas 1745 Buitenzorg Regenstchap 9 kampungDemang 22 km2 1904 Buitenzorg Staads Gementee Batas fisik sungai Ciliwung dan Cisadane, terdiri dari 7 desa 1.205 km 2 1925- 1942 Buitenzorg Gementee Mulai berkembang hingga ke wilayah Kedoeng Halang 1950 Kota Besar Bogor Mulai berkembang hingga ke wilayah utara-timur, barat-selatan 2.156 Ha 1957 Kota Praja Bogor 1965 Kotamadya DT II 5 kecamatan 1999- sekarang Kota Bogor 6 kecamatan 11.850 Ha Sumber: Bappeda 2005, Sarilestari 2009

4.1.2 Karakteristik Kawasan

Identifikasi karakteristik lanskap sejarah dapat dilihat dari elemen atau fitur-fitur yang mewakili tipe lanskap Keller dan Keller, 1989. Kawasan Taman Kencana sebagai designed historical landscape, memiliki karakteristik lanskap yang dapat dideskripsikan, meliputi penggunaan lahan, bangunan, sirkulasi, dan tata hijau.

4.1.2.1 Penggunaan Lahan

Kawasan Taman Kencana merupakan kawasan yang dibangun sebagai permukiman bagi bangsa Eropa terutama pegawai, peneliti, penguasa atau militer yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan yang ada disekitarnya. Zona I atau kawasan yang dikenal sebagai Sempur Gambar 8, menurut Danasasmita 1983, sebelum tahun 1900an merupakan lahan kosong dimana asal penamaannya karena banyak ditemukan pohon Sempur. Kemudian sebagai bagian dari perluasan Buitenzorg ke arah timur oleh Thomas Karsten, maka kawasan Sempur dibangun sebagai kompleks permukiman militer. Lahan kosong yang tersisa menjadi ciri khas kawasan ini, dimana saat ini dikenal sebagai Lapangan Sempur. Gambar 8. Kawasan Sempur Sumber: Pribadi 2012 dan Tropenmuseum 1926 Bagian permukiman yang awalnya dibangun pada masa kolonial dikenal sebagai Sempur Kidul, sedangkan Sempur Kaler dan sekitarnya dibangun setelah kemerdekaan. Sebagai komplek militer, permukiman di Sempur lebih diperuntukan bagi kalangan prajurit, sedangkan para petingginya tinggal di permukiman sekitar Taman Kencana. Sehingga, rumah-rumah yang terdapat dikawasan ini lebih sederhana dan luas lahan lebih kecil dari di Taman Kencana. Selain rumah tinggal, di kompleks ini juga terdapat Balai Penelitian Perikanan dan Sekolah Teknik yang sekarang menjadi Gedung SMP 11. Perubahan kawasan Sempur sebagai permukiman tidak banyak berubah, akan tetapi perubahan sebagai area komersial terutama bagian di ruas jalan Sempur. Secara topografi kawasan Sempur berada di ketinggian yang lebih rendah dari Zona II dan III dan dipisahkan oleh batas alami dikenal sebagai lereng Ciremai. Zona II dan III merupakan permukiman elit yang terdiri dari rumah villa besar, sedang hingga kecil dengan luas kavling ±700-800m 2 dan luas lahan terbangun yang masih asli adalah 30. Permukiman ini diperuntukan bagi peneliti, pegawai atau penguasa Belanda pada saat itu. Zona II dan III dipisahkan oleh jalan Salak sebagai salah satu jalan utamanya yang menghubungkan Jalan Jalak Harupat dan Jalan Gunung Gede I. Zona II sebagian besar merupakan rumah tinggal, sedangkan pada zona III, selain rumah tinggal, terdapat ruang terbuka hijau sekarang Taman Kencana dan kompleks kantor pemerintahan, yaitu Penelitian Perkebunan dan Sekolah Kedokteran Hewan. Penggunaan lahan secara historis pada Gambar 9. Perubahan penggunaan lahan lebih terlihat pada zona II, yaitu perubahan dari rumah tinggal menjadi area komersial yang terjadi pada ruas jalan Pajajaran, jalan Salak dan Pangrango. Sedangkan pada zona III perubahan menjadi area komersial ini sebagian besar hanya pada ruas jalan Pajajaran. Area perdagangan dan jasa sebagian besar berada di ruas jalan Pajajaran terdiri dari bangunan baru dan bangunan lama yang berubah fungsi. Jalan Pajajaran menjadi jalur yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga aktvitas yang dominan adalah kegiatan komersial. Kondisinya saat ini berfungsi sebagai jalan arteri dengan berbagai pendukung kegiatan komersial seperti adanya factory outlet, hotel atau rumah makan. Penggunaan lahan eksisting dapat dilihat pada Gambar 10. 30 Gambar 9. Peta Penggunaan Lahan Historis 31 Gambar 10. Peta Penggunaan Lahan Eksisting

4.1.2.2 Bangunan