BAB II PRINSIP-PRINSIP ANGKUTAN UDARA DAN PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP PENUMPANG
A. Perjanjian Pengangkutan Udara dan Penumpang Menurut Hukum
Antara penumpang angkutan udara dan perusahaan angkutan udara terikat dalam sebuah perjanjian. Perjanjian antara penumpang angkutan udara dan
perusahaan angkutan udara termaktub dalam tiket yang dicantumkan didalamnya beberapa syarat-syarat dan ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketentuan hukum
yang menentukan bahwa tiket pesawat merupakan salah bukti adanya perjanjian antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara tercantum di dalam Pasal 1
angka 27 UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan UU Penerbangan, sebagai berikut:
Tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian
angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.
Pada ketentuan Pasal 1 angka 27 UU Penerbangan tersebut dengan sangat
tegas menentukan bahwa tiket merupakan bukti adanya perjanjian antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara. Perjanjian itu menurut undang-undang
penerbangan disebut juga dengan perjanjian pengangkutan udara, sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1 angka 29 UU Penerbangan, yaitu “Perjanjian
Pengangkutan Udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang danatau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang danatau kargo dengan
pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain”.
Selanjutnya mengenai tiket merupakan bukti adanya perjanjian antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara, yaitu pada Pasal 140 UU
Penerbangan yang menentukan bahwa 1.
Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang danatau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.
2. Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak
terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.
3. Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibuktikan
dengan tiket penumpang dan dokumen muatan. Tiket adalah bukti adanya perjanjian antara penumpang dan pihak maskapi
penerbangan. Selain daripada tiket tersebut berdasarkan Pasal 150 UU Penerbangan dokumen angkutan udara terdiri atas: a tiket penumpang pesawat udara; b. pas
masuk pesawat udara boarding pass; c. tanda pengenal bagasi baggage identificationclaim tag; dan d. surat muatan udara airway bill.
Pihak perusahaan pengangkutan udara sesuai Pasal 140 UU Penerbangan wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan maupun penumpang
kolektif, paling sedikit harus memuat: 1.
Nomor, tempat, dan tanggal penerbitan; 2.
Nama penumpang dan nama pengangkut; 3.
Tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan; 4.
Nomor penerbangan; 5.
Tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada; dan
6. Pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam undang-undang
ini. Berdasarkan Pasal 151 UU Penerbangan ditegaskan bahwa orang yang
berhak menggunakan tiket penumpang adalah orang yang namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah. Apabila dalam tiket
tidak diisi keterangan-keterangan yang wajib dimuat tersebut atau tidak diberikan
oleh pengangkut, maka pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam UU Penerbangan untuk membatasi tanggung jawabnya, artinya perusahaan pengangkutan
udara tidak bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Perikatan yang lahir karena undang-undang disebabkan karena suatu
perbuatan yang diperbolehkan adalah timbul jika seseorang melakukan suatu pembayaran yang tidak diwajibkan. Perbuatan yang demikian ini, menerbitkan suatu
perikatan yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban di pihak lain untuk
mengembalikan pembayaran-pembayaran itu.
17
Perikatan yang lahir karena suatu perjanjian adalah perikatan yang dikehendaki oleh dua orang atau lebih membuat suatu kesepakatan bersama untuk
memenuhi suatu prestasi.
18
Sehingga dengan demikian pengertian adalah suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu
dengan yang lain, dan di antara mereka para pihaksubjek hukum saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan
begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan Perikatan yang lahir karena perjanjian harus memenuhi
syarat-syarat perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan perjanjian itu akan mengikat menjadi undang-undang sebagaimana ditentukan dalam
ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata.
17
Subekti., Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXVI, Jakarta: PT. Intermasa, 1994, hal 132.
18
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 326-328.
orestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati oleh para piha tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
19
Beberapa asas penting itu antara lain adalah asas keseimbangan dan asas kebebasan berkontrak freedom of contract yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun serta isi atau substansi perjanjiankontrak sesuai dengan yang dikehendaki para pihak.
Berdasarkan ketentuan tersebut perjanjian dalam bentuk tiket pesawat angkutan udara merupakan perikatan yang lahir karena perjanjian sebagaimana yang
terkandung di dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Perikatan antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara timbul timbul
apabila penumpang membeli tiket pesawat, maka secara hukum sah dan terbentuk lah hak dan kewajiban antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara.
Sedemikian pentingnya ditentukan dan ditegaskan bahwa tiket menempati posisi sangat penting dalam penggunaan jasa transportasi udara, tiket merupakan
bentuk perjanjian atau perjanjian pengangkutan udara. Namun perlu diketahui bahwa tiket dalam dunia akademisi maupun praktis sering dipersoalkan tentang masalah
asas-asas perjanjian karena tiket yang disediakan secara sepihak oleh pelaku usaha atau perusahaan angkutan udara dinilai bertentangan dengan asas-asas perjanjian
terutama asas kebebasan berkontrak.
20
19
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. Kedua, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 41-42.
20
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, Jakarta: Kencana 2011, hal. 110.
Permasalahannya apakah perjanjian berupa tiket pesawat sudah memenuhi asas keseimbangan dan asas kebebasan berkontrak, masih perlu dipersoalkan mengingat
bahwa tiket pesawat angkutan udara dibuat secara baku dan sepihak oleh perusahaan maskapai penerbangan.
Tiket pesawat udara atau pesawat terbang apapun jenisnya adalah mengandung klausula baku. Klausula baku mengandung syarat-syarat baku sekaligus
merupakan aturan bagi para pihak yang terikat didalamnya dan telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan
pihak yang lain.
21
Ketidakseimbangan yang ditunjukkan dengan pencantumkan klausula baku dalam perjanjian bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak vide: Pasal 1320
angka 1 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak sangat ideal jika para pihak yang terikat dalam suatu perjanjiankontrak berada dalam posisi tawar yang masing-
masing seimbang antara satu sama lain untuk menentukan kata sepakat. Klausula baku bila dianalisis berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata sangat
tidak sesuai terutama bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata mengenai kesepakatan untuk mengikatkan diri masing-
masing pihak. Jika substansi dalam perjanjian hanya ditentukan oleh secara sepihak, lalu kemudian pihak lain tinggal hanya menyepakati saja, hal ini dinilai kurang adil
dan tidak proporsional, bilamana kehendak dari pihak penumpang belum tentu tertuang dalam substansi dalam tiket pesawat.
22
Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak bahwa setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian sepanjang isi
21
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, Seri Pengayaan Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju,
2012, hal. 320.
22
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 39.
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, misalnya tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Jika dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, pihak
yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang dikehendakinya dalam perjanjian. Pihak yang memiliki posisi
tawar yang kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula baku. Seharusnya perjanjian itu dirancang oleh para pihak secara bersama-
sama, namun pihak yang kuat tersebut umumnya telah mempersiapkan format perjanjian oleh pihak yang posisi tawarnya lebih kuat.
23
Praktik dalam penggunaan tiket pesawat angkutan udara dalam beberapa kasus, Pengadilan telah menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat
maupun karcis parkir adalah batal demi hukum. Misalnya dalam perkara hilangnya mobil milik Anny R. Gultom saat parkir di parkiran Plaza Cempaka Mas diajukan
kasasi ke MA ditolak oleh MA yang tetap mempertahankan putusan pengadilan Pencantuman klausula baku dalam praktik masih mendominasi terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya dalam kegiatan perdagangan, perjanjian baku dalam bentuk form perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kepada
masyarakat, seperti penjualan tiket-tiket pesawat angkutan penumpang udara, perusahaan pengangkutan laut maupun transportasi darat, perusahaan lishing,
perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, kegiatan pinjam-meminjam uang, dan lain-lain, semua kesepakatan dicantumkan dalam bentuk klausula baku, sudah
terlebih dahulu dibuat dalam bentuk formulir.
23
Ibid., hal. 39-40.
tinggi yang memenangkan pemilik mobil yang hilang Anny R. Gultom. MA menyatakan putusan ini menjadi yurisprudensi bagi perkara yang serupa.
24
Kemudian seorang konsumen bernama David M.L. Tobing menggugat atas penundaan keberangkatan delay pesawat angkutan udara milik PT. Lion Mentari
Airlines PT. Lion Air. MA memenangkan David M.L. Tobing dengan menjatuhkan putusan ganti rugi yang harus dibayar oleh PT. Lion Air kepada David M.L. Tobing
sebesar Rp.1.852.000,- satu juta delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah yang terdiri dari uang ganti rugi sebesar Rp.718.500,- tujuh ratus delapan belas ribu lima
ratus rupiah dan biaya perkara Rp.1.134.000,- satu juta seratus tiga puluh empat ribu rupiah. Biaya perkara itu mencakup seluruh biaya mulai dari proses di
pengadilan tingkat pertama hingga Pengadilan Tinggi, dan biaya teguran aanmaning.
25
Klausula baku di dalam tiket pesawat PT. Lion Air itu menyatakan berikut: “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh
pembatalan danatau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang danatau keterlambatan penyerahan bagasi”. Dari klausula
demikian jelas-jelas PT. Lion Air ingin membebaskan kewajiban yang semestinya PT. Lion Air harus bertanggung jawab, tetapi justru dilepaskannya melalui
24
http:www.hukumonline.comberitabacalt4c53c3c1c94a8ma-tetap-larang-pengelola- parkir-terapkan-klausula-baku, diakses tanggal 3 Januari 2015, Artikel yang ditulis oleh ASH nama
inisial, berjudul, “MA Tetap Larang Pengelola Parkir Tetapkan Klausula Baku”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 31 Juli 2010.
25
http:www.hukumonline.comberitabacahol21311putusan-idelayi-pesawat-lion-air- dieksekusi, diakses tanggal 3 Januari 2015, Artikel yang ditulis oleh MON nama inisial, berjudul,
“Putusan Delay Pesawat Lion Air Dieksekusi”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 27 Februari 2009.
pencantuman klausula baku. Majelis hakim MA menyatakan klausula baku dalam tiket PT. Lion Air adalah batal demi hukum.
26
Kemudian pengadilan juga menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat milik PT. Indonesia Air Asia PT. Air Asia adalah batal demi hukum
dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam perkara ini, konsumen yang bernama Hastjarjo Boedi Wibowo mengajukan gugatan atas perbuatan
melawan hukum kepada PT. Air Asia di Pengadilan Negeri Tangerang. Pengadilan memenangkan gugatan konsumen tersebut dengan menjatuhkan putusan ganti rugi
sebesar Rp.806.000,- delapan ratus enam ribu rupiah dan ganti rugi immaterial sebesar Rp.50.000.000,- lima puluh juta rupiah yang harus dibayar oleh PT. Air
Asia kepada Hastjarjo Boedi Wibowo.
27
Alasan pembatalan keberangkatan pesawat angkutan udara milik PT. Air Asia ini adalah terjadinya kerusakan pesawat sehingga menjadi suatu keadaan
memaksa overmacht. Pesawat baru bisa digunakan pada tanggal 13 Desember 2008 sementara jadwal penerbangan Hastjarjo Boedi Wibowo adalah tanggal 12 Desember
2008. Pertimbangan majelis hakim menilai PT. Air Asia tidak dapat membuktikan secara jelas apakah pesawat yang rusak itu adalah pesawat yang mengangkut Boedi
dari Jakarta ke Yogyakarta. PT. Air Asia dinilai tidak bisa membuktikan pesawat yang rusak dalam kondisi perbaikan selama sidang pengadilan.
28
Pencantuman klausula baku dapat mengandung pengalihan tanggung jawab dalam tiket pesawat seperti tiket PT. Air Asia yang bertentangan dengan Pasal 18
26
Ibid.
27
http:www.hukumonline.comberitabacalt4b6c031c4fc99air-asia-kalah-lawan-konsumen, diakses tanggal 3 Januari 2015, Artikel yang ditulis oleh MON nama inisial, berjudul, “Air Asia
Kalah Lawan Konsumen”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5 Februari 2010.
28
Ibid.
ayat 1 huruf a UUPK karena tercantum klausula yaitu: “Indonesia Air Asia akan mengangkut penumpang, tetapi tidak menjamin ketepatan sepenuhnya, Indonesia Air
Asia dapat melakukan perubahan tanpa pemberitahuan sebelumnya”,
29
Dalam kegiatan bisnis penerbangan terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara perusahaan penerbangan dan penumpang angkutan udara.
Kepentingan perusahaan angkutan udara adalah memperoleh laba profit, sedangkan kepentingan para penumpang adalah memperoleh hak-haknya atas kepuasan
pelayanan untuk pemenuhan kebutuhannya terhadap produk atau jasa yang ditawarkan.
padahal ketentuan Pasal 146 UU Penerbangan mewajibkan pengangkut bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita karena keterlambatan, kecuali pengangkut dapat membuktikan keterlambatan disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
Berdasarkan argumentasi di atas, dapat diberikan analisis bahwa ketentuan Pasal 1 angka 27 UU Penerbangan, Pasal 1 angka 29 UU Penerbangan, Pasal 140
UU Penerbangan tidak harmonis dengan Pasal 1320 KUH Perdata, Pasal 1338 KUH Perdata. Secara hukum dilarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian,
tetapi dalam Pasal 1 angka 27 jo angka 29 jo Pasal 140 UU Penerbangan menentukan tiket pesawat angkutan udara adalah perjanjian antara penumpang dan pihak
perusahaan ada sah dan megikat bila penumpang telah membeli tiket tersebut sesuai Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata.
30
29
Ibid.
30
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 209.
Dalam menjalin hubungan demikian maka kedua belah pihak harus seimbang dalam menentukan hak-hak dan kewajibannya masing-masing.
Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa tiket pesawat angkutan udara termasuk sebagai bentuk perjanjian berdasarkan UU Penerbangan, namun demi
hukum mencantumkan klausula baku seperti dalam tiket pesawat adalah dilarang, tetapi berdasarkan asas kebiasaan dan kepatutan, hal demikian itu sudah menjadi hal
yang biasa dan patut. Jadi sah-sah saja perusahaan angkutan udara mencantumkan kluasula baku dalam tiket pesawat, namun dalam pencantuman klausula baku
tersebut tidak boleh mengandung klausula pengalihan tanggung jawab, atau mengurangi tanggung jawab, atau bakan meniadakan tanggung jawab dari pihak
perusahaan.
B. Hak-Hak dan Kewajiban Penumpang Angkutan Udara serta Hak dan