Disonansi Kogniti Kerangka Teori

dan bervariasi, yang merupakan konstribusi fakta yang ada dengan sikap penyesuaian melalui proses belajar. Isi atau materinya harus konsisten dan tidak membingungkan audiensinya. 6. Channel Menggunakan media sebagai saluran pesan yang setepat mungkin dan efektif dalam menyampaikan pesan yang dimaksud. 7. Capability of audience Komunikasi tersebut memperhitungan kemungkinan suatu kemampuan dari audiensinya, yaitu melibatkan berbagai faktor adanya suatu kebiasaan. Kebiasaan membaca atau kemampuan menyerap ilmu pengetahuan dan sebagainya.

2.1.6 Disonansi Kogniti

Teori disonansi kognitif dikemukakan oleh Leon Festinger 1975. Teori disonansi beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan “merupakan hubungan yang disonan tidak harmonis apabila, dengan mempertimbangkan dua elemen itu sendiri, pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen satunya”. Sebagaimana teori-teori konsistensi lainnya, teori ini berpendapat bahwa disonansi, “karena secara psikologis tidak nyaman, maka akan memotivasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai harmonikeselarasan” dan “selain upaya itu orang juga akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan meningkatkan disonansi Taylor, Peplau, Sears, 2009: 171 . Pandangan dasar dari teori ini adalah jika seseorang mempunyai dua kognisi ide-ide dan pikiran – pikiran secara simultan dan saling berkontradiksi, maka orang tersebut akan mengalami disonansi kognitif. Dayaksini dan Hudaniah, 2003: 104. Dissonance disonansi, ketidaksusaian didefenisikan sebagai keadaan motivasional aversif yang terjadi saat beberapa perilaku yang kita lakukan tidak konsisten dengan sikap kita. Disonansi selalu muncul terutama jika sikap dan perilaku yang tak selaras itu adalah penting bagi diri kita Aronson, 1968; Stone Cooper, 2001 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009: 171. Disonansi menimbulkan ketegangan psikologis dan perasaan negatif Harmon-Jones, 2000 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009: 171 dan konsekuensinya, orang terpaksa mesti mereduksi atau menghilangkan disonansi. Mereduksi disonansi berarti pula memulihkan konsistensi, atau kesesuaian. Terkadang seseorang tidak memperdulikan adanya disonansi sehingga dia tidak merasa harus mengubah sikap Simon, Greenberg, Brehm, 1995 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009: 171. Tetapi yang paling sering, orang memecahkan problem disonansi antara sikap dan perilakunya dengan cara mengubah sikap. Para periset telah mengkaji implikasi teori disonansi ini dalam beberapa situasi yang berbeda Taylor, Peplau, Sears, 2009: 171. Disonansi Setelah Keputusan. Salah satu tindakan yang hamper selalu menimbulkan disonansi adalah pengambilan keputusan. Ketika kita harus memilih dua atau lebih alternatif, pilihan akhir kita biasanya tak konsisten tidak sesuai dengan setidaknya beberapa keyakinan kita. Setelah kita mengambil keputusan, semua aspek yang baik dari alternatif yang tidak dipilih dan semua aspek buruk dari alternative yang dipilih adalah tidak konsisten dengan keputusan. Kita bisa mengurangi disonansi ini dengan menaikkan evaluasi kita terhadap alternatif yang dipilih atau menurunkan evaluasi kita terhadap alternatif yang tak dipilih. Setelah membuat keputusan, kita cenderung memperbesar rasa suka kita terhadap apa yang telah kita pilih dan menurunkan rasa suka kita terhadap apa-apa yang tidak kita pilih. Perilaku yang Bertentangan Dengan Sikap. Beberapa orang memilih kuliah di fakultas hukum karena mereka percaya bahwa mereka bisa membantu orang yang membutuhkan dan miskin dan memperbaiki masyarakat. Tetapi, saat mereka sudah bekerja, banyak dari mereka yang hanya mengerjakan pekerjaan rutin dan tak menarik, yang lebih berhubungan dengan kontrak bisnis dan pajak. Banyak orang yang pada awalnya idealis akhirnya menjustifikasi dan bahkan menikmati pekerjaan mereka itu. Mereka bahkan mulai percaya bahwa tak ada yang bisa dilakukan untuk membantu orang miskin. Ketika seseorang punya satu keyakinan dan melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan keyakinan itu, maka akan timbul disonansi. Teori disonansi menyatakan bahwa para sarjana hokum dalam contoh di atas melakukan attidude- discreapant behavior perilaku yang berbeda dengan sikap saat mereka harus menghabiskan banyak waktu melakukan kerja yang menjemukan. Tetapi keharusan ini menimbulkan disonansi: Perilaku mereka menjadi tidak konsisten tak sesuai dengan sikap mereka. Karena sulit untuk mundur dari pekerjaan itu, maka disonansi ini biasanya diredakan dengan mengubah sikap. Seiring dengan berjalannya waktu, para ahli hokum itu akan menyesuaikan sikapnya menjadi lebih konsisten dengan perilakunya. Justifikasi yang Tak Mencukupi. Jika Anda diminta bekerja dalam sebuah upaya kampanye politik dan Anda menghabiskan banyak waktu untuk mendukung seorang kandidat politik yang kurang Anda percayai, maka berarti Anda mulai memandang kandidat itu secara lebih positif. Jika tidak, mengapa anda bekerja keras untuknya? Namun, jika anda bekerja untuknya karena mendapat bayaran yang besar, maka barangkali sikap Anda tidak akan berubah. Dalam hal ini, jika Anda ditanya mengapa Anda mau bekerja keras untuknya, maka jawaban Anda jelas: “Karena bayarannya besar”. Prediksi yang paling menarik dari teori disonansi adalah prediksi yang berkaitan dengan level insentif yang dibutuhkan untuk mengubah sikap. Di satu sisi, harus ada cukup insentif untuk membuat seseorang bertindak berlawanan dengan sikapnya. Tetapi, jika ada terlalu banyak tekanan pada individu atau terlalu banyak insentif untk melakukan tindakan yang bertentangan dengan sikap, maka tidak akan timbul inkonsistensi, dan hanya ada sedikit sekali disonansi yang terjadi. Prinsip ini dinamakan insufficient justification justifikasi yang tidak mencukupi: Semakin sedikit insentif untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan sikap, semakin besar disonansi yang dirasakan. Perubahan sikap melalui metode ini akan lebih besar dan lebih jelas Stadler Baron, 1998 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009: 174. Ancaman. Pada prinsipnya, ancaman bekerja seperti insentif. Yakni agar orang ma melakukan pekerjaan yang tidak disukainya, Anda bisa membayarnya atau Anda bisa mengancamnya dengan hukuman. Misalnya ada ancaman denda dan hukuman penjara jika anda tidak mau membayar pajak. Makin besar ancaman maka akan menimbulkan semakin sedikit disonansi dan semakin kecil perubahan sikap yang terjadi. Makin besar ancaman akan menimbulkan lebih sedikit disonansi dan semakin kecil perubahan sikap yang terjadi. Ada 4 faktor yang diperlukan agar perilaku yang bertentangan dengan sikap menghasilkan disonansi Festinger dan Carlsmith menyebutnya dengan “the induced compliance paradigm” Taylor, Peplau, Sears, 2009: 174 : 1. Pilihan, yaitu jika individu tidak diberi kebebasan untuk memilih dalam menampilkan perilaku yang bertentangan dengan sikapnya, maka disonansi tak akan timbul. 2. Komitmen, yaitu perilaku yang bertentangan dengan sikap lebih mungkin menghasilkan disonansi jika individu secara psikologis memiliki komitmen terhadap tindakan itu. Dengan demikian jika perilaku itu dilakukan di depan publik maka akan lebih menimbulkan disonansi daripada dilakukan secara pribadi atau tanpa diketahui orang-orang lain. 3. Akibat yang tidak menyenangkan sebagai hasil dari perilaku yang bertentangan dengan sikapnya dapat menimbulkan disonansi. 4. Tanggung jawab pribadi, yaitu agar disonansi terjadi, individu seharusnya merasa bertanggung jawab secara pribadi kepada perilakunya dan beberapa akibat yang tak menyenangkan sebagai hasilnya. Kebebasan memilih adalah salah satu komponen dari tanggung jawab, sebab jelas bahwa orang tak akan bertanggung jawab atas sesuatu yang dipaksa diri mereka untuk melakukannya. Agar dapat memahami lebih dalam 4 faktor di atas maka lebih lanjut akan dijelaskan di bawah ini Taylor, Peplau, Sears, 2009: 174 : Pilihan. Kontributor utama terjadinya disonansi adalah perasaan tentang pilihan perilaku yang diambil. Perilaku yang berbeda dengan sikap menimbulkan disonansi hanya ketika perilaku itu dipilih secara bebas atau setidaknya orang itu merasa bebas memilih perilaku. Jika anda bekerja untuk mengampanyekan satu isu politik karena ikut dengan teman- teman anda dan anda merasa terpaksa melakukannya maka anda tidak akan merasakan disonansi terhadap isu itu. Komitmen. Faktor lain yang menimbulkan perubahan perilaku sebagai cara untuk mereduksi disonansi adalah commitment komitmen seseorang terhadap keputusan atau perilaku. Selama kita merasa terikat dengan suatu tindakan, disonansi akan menimbulkan perubahan sikap. Namun, ketika kita merasa bahwa kita dapat mengubah keputusan kita jika keputusan itu ternyata buruk, atau kita dapat menjalankan keputusan itu dengan setengah hati, atau kita bias tidak perlu menjalankan keputusan, maka disonansi tidak akan terjadi dan tidak aka nada perubahan sikap. Akibat yang tidak menyenangkan konsekuensi. Agar disonansi terjadi, orang harus percaya bahwa mereka bias mengetahui konsekuensi negatif dari keputusan. Jika seseorang memutuskan berjalan di sisi kiri jalan dan saat berjalan tiba-tiba ada batu bata menimpa kepalanya, maka berarti dia sedang sial. Dia tidak akan merasakan disonansi. Tetapi, jika dia tahu bahwa ada kemungkinan nanti dia akan celaka jika lewat jalan itu, misalnya karena di sisi kiri jalan itu ada proyek pembangunan gedung, maka ada kemungkinan muncul disonansi. Tanggung jawab. Arti penting dari pilihan adalah pilihan mengamsusikan tanggung jawab atas konsekuensi yang mungkin terjadi. Perasaan tanggung jawab ini akan menimbulkan disonansi. Yakni, ketika kita memilih sesuatu yang ternyata berakibat buruk, kita merasa bertanggung jawab karenanya, dan muncul disonansi, terlepas dari apakah konsekuensi itu bisa diperkirakan atau tidak. Beberapa psikolog berpendapat bahwa tanggung jawab personal atas konsekuensi yang buruk adalah salah satu faktor penting dalam memicu perubahan sikap. Dalam disonansi kognitif elemen-elemen yang dipermasalahkan mungkin adalah tidak relevan satu sama lain, konsisten satu sama lain dalam istilah Festinger, harmoni, atau tidak konsisten satu sama lain disonantidak harmonis, dalam istilah Festinger. Hubungan tidak selalu dikaitkan secara logis dengan konsistensi atau inkonsistensi. Suatu hubungan bisa saja secara logis konsisten bagi seorang pengamat sedangkan secara psikologis konsisten bagi seorang yang percaya pada pengamatan ini. Misalnya, seorang perokok yang mengerti bahwa merokok dapat mengakibatkan sakit paru- paru. Kognisi : “saya seorang perokok”, tidak sesuai dengan kognisi “merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru”, karena itu membuat keadaan disonansi. Disonansi menghasilkan suatu ketegangan psikologis yang mendorong seseorang mengurangi disonansi tersebut. Pengurangan disonansi dapat melalui tiga cara : 1. Mengubah elemen tingkah laku Misalnya, seorang perokok yang mengetahui bahaya merokok yang dapat mengakibatkan kanker paru-paru, maka untuk menghilangkan disonansi perokok itu berusaha tidak merokok lagi. 2. Mengubah elemen kognitif lingkungan Misalnya, perokok itu menyakinkan teman-temannya saudara-saudaranya bahwa merokok itu tidak akan menyebabkan kanker paru-paru. 3. Menambah elemen kognitf baru Misalnya, mencari pendapat teman lain yang mendukung pendapat bahwa merokok tersebut tidak akan menyebabkan kanker paru-paru.

2.2 Kerangka Konsep

Di dalam penelitian kuantitatif, menjelaskan suatu konsep penelitian merupakan hal yang penting karena konsep penelitian ini merupakan kerangka acuan peneliti dalam mendesain sebuah instrument penelitian Bungin, 2011: 67. Di dalam penelitian ilmiah konsep harus memiliki kriteria yang tepat dalam menjelaskan variabel penelitian. Konsep yang bermanfaat adalah konsep yang dibentuk menjadi keterangan dan menyatakan sebab akibat, yaitu konsep dibentuk dengan kebutuhan untuk menguji hipotesis dan penyusunan teori yang masuk akal, karena konsep dibentuk hanya untuk diuji regulasinya Bungin 2008: 75. Kerangka konsep merupakan acuan didalam sebuah penelitian yang berasal dari teori-teori yang digunakan untuk menjelaskan dari variabel penelitian secara empiris. Berdasarkan operasional konsep penelitian, terdapat tiga variabel yang digunakan yaitu sebagai berikut: 1. Variabel bebas X Independent Variable Variabel bebas yaitu segala gejala, faktor atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi munculnya variabel kedua yang disebut sebagai variabel terikat Nawawi, 1995: 57. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perubahan tagline peringatan di iklan rokok.