29 kontinu jika status variabelnya berubah seiring berjalannya waktu.
Variabel-variabel model simulasi dapat berubah dengan cara: Kontinu setiap saat
Diskrit setiap saat Kontinu pada saat-saat tertentu
Diskrit pada saat-saat tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan
manakala memilih simulasi sebagai teknik pendukung keputusan, yaitu: 1 Simulasi tidak dapat mengoptimasi performansi sistem, tetapi hanya
menggambarkan atau memberi jawaban atas pertanyaan ”apa yang akan terjadi”
2 Simulasi tidak memberikan pemecahan masalah, tetapi hanya
menyediakan informasi yang menjadi dasar pengambilan keputusan 3 Simulasi juga tidak dapat memberikan hasil yang akurat atas
karakteristik sistem jika datanya tidak akurat dan modelnya tidak dinyatakan dengan jelas.
Manfaat utama dari penggunaan simulasi adalah sifat fleksibelitasnya. Secara praktis setiap permasalahan yang mengandung resiko dapat dikaji
dengan derajat ketepatan yang memadai melalui suatu model simulasi. Simulasi tidak dapat dipisahkan dengan unsur ketepatan. Simulasi lebih menunjukkan
suatu estimasi statistik, dibanding hasil yang eksak dan lebih cenderung hanya merupakan suatu perbandingan dari berbagai alternatif untuk mencapai titik
optimum.
2.6 Optimisasi Sumberdaya Perikanan
Pada dasarnya pembangunan ekonomi di sebagian besar negara di dunia adalah berbasiskan pada sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang
menjadi tulang punggung ekonomi, adalah sumberdaya perikanan. Sumberdaya inipun rentan terhadap deteriorasi yang diakibatkan oleh aktivitas ekonomi.
Oleh karenanya timbul pertanyaan bagaimana mengelola sumberdaya perikanan
30 yang terbaik yang akan menghasilkan kesejahteraan yang setinggi-tingginya
bagi masyarakat dan bangsa. Pemikiran ke arah tersebut sudah dimulai sejak tahun 1911 ketika Jan Warming ekonom Norwegia mempublikasikan
artikelnya yang berjudul Om Grunrente av Fiskegrunde atau “hal rente ekonomi fishing ground” Fauzi, 2001.
Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologis semata, dengan pendekatan yang disebut maximum
sustainable yield MSY atau tangkapan maksimum yang lestari. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk
berproduksi yang melebihi kapasitas produksi surplus, sehingga apabila surplus ini di panen tidak lebih dan tidak kurang, maka stok ikan akan mampu
bertahan secara berkesinambungan sustainable Fauzi, 2004. Pendekatan biologi dengan menggunakan kerangka surplus produksi ini
sendiri merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan umum yang biasa dipakai khususnya untuk perikanan yang multi spesies. Pendekatan lain seperti
Total Biomass Schaefer Model TBSM yang dikembangkan oleh Brown et al. 1976, Pope 1979, Pauly 1979 dan Panayatou 1985, serta pendekatan
independen single species yang dikembangkan oleh Anderson dan Ursin 1976 dan May et al. 1979 memerlukan data dan perhitungan yang ekstensif
sehingga sulit diterapkan wilayah yang memiliki multi spesies Fauzi, 1998. Dalam model surplus produksi, dinamika dari biomas digambarkan
sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami sebagaimana digambarkan pada persamaan berikut:
Biomas pada t+1 = biomas pada t + produksi - mortalitas alami
Persamaan tersebut di atas menyatakan bahwa jika produksi melebihi mortalitas alami, maka biomas akan meningkat, sebaliknya jika mortalitas alami
lebih tinggi dari pada produksi, maka biomas akan menurun. Istilah surplus produksi sendiri menggambarkan perbedaan atau selisih antara produksi dan
31 mortalitas alami di atas. Lebih jauh Hilborn dan Walter 1992 menyatakan
bahwa surplus produksi menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktifitas penangkapan atau dengan kata lain jumlah yang bisa
ditangkap jika biomas dipertahankan dalam tingkat yang tetap Fauzi, 1998. Salah satu tipe surplus produksi yang biasa digunakan adalah yang
dikembangkan oleh Schaefer 1954 berdasarkan model yang dikembangkan sebelumnya oleh Graham 1935. Model Schaefer ini digambarkan sebagai
berikut: jika dimisalkan bahwa x adalah biomas dari stok yang diukur dalam berat, r adalah laju pertumbuhan alami dari populasi intrinsict growth rate, dan
K adalah daya dukung maksimum lingkungan environmental carrying capacity, atau keseimbangan alamiah dari ukuran biomas, maka dalam kondisi
tidak ada aktifitas penangkapan non-fishing, laju perubahan biomas sepanjang waktu digambarkan sebagai:
x f
dt dx =
2.1 dimana f x adalah fungsi pertumbuhan. Salah satu fungsi pertumbuhan yang
sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik yang dituliskan pada persamaan berikut:
1 K
x rx
dt dx
− =
2.2 Dengan mengintroduksi penangkapan h ke dalam model, dan jika diasumsikan
bahwa penangkapan berkorelasi linear terhadap biomas x dan input produksi atau effort E, atau h=qxE dimana q adalah koefisien daya tangkap, maka laju
pertumbuhan biomas menjadi: qxE
K x
rx dt
dx −
− =
1 2.3
Dengan menggunakan asumsi keseimbangan dimana laju pertumbuhan mendekati nol, atau dxdt=0, maka diperoleh hubungan antara hasil tangkapan
32 lestari sustainable yield dan input yang digunakan, yang digambarkan dalam
kurva parabolik pada Gambar 3.
Gambar 3. Kurva yield effort
Dari kurva tersebut terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan effort =0, maka produksi juga akan nol. Kemudian effort akan mencapai titik
yang maksimum pada E
MSY
yang berhubungan dengan tangkap maksimurn lestari H
MSY
. Di dalam pendekatan biologi, pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal dilakukan pada titik H
MSY
ini, karena pada titik inilah diperoleh tingkat produksi yang maksimum, dengan asumsi bahwa ekosistem
dalam keadaan keseimbangan, koefisien tangkap catchability coeffisien konstan Clark, 1990 dan tidak ada dependensi antar spesies Conrad dan Clark,
1987. Namun demikian, menurut Fauzi 2004, pendekatan pengelolaan
dengan konsep ini banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar di
antaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam. Lebih jauh Conrad dan
Clark 1987 misalnya menyatakan bahwa pendekatan MSY antara lain: tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa
mengarah ke pengurasan stok stock depletion
Effort E
MSY
H
M SY
MSY
33 didasarkan pada konsep keseimbangan steady state semata, sehingga
tidak berlaku pada kondisi non-steady state tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen
imputed value sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis
multi species. Menyadari kelemahan ini, pendekatan ekonomi pengelolaan sumberdaya
perikanan mulai dikembangkan pada awal tahun 1950-an. Titik tolak pendekatan ekonomi pengelolaan perikanan bermula dari publikasi tulisan
Gordon 1954, seorang ekonom dari Kanada. Dalam artikelnya, Gordon menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access.
Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumberdaya ikan relatif bersifat terbuka. Siapa saja
dapat berpartisipasi tanpa harus memiliki sumberdaya tersebut. Gordon menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi economic overfishing
1
akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol Fauzi, 2004.
Gordon memulai analisisnya berdasarkan asumsi konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883 yang
kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi perikanan yaitu Schaefer, pada tahun 1957. Dari sinilah istilah teori Gordon-Schaefer kemudian
dikenal. Untuk memahami teori Gordon-Schaefer, perlu dikemukakan beberapa konsep dasar biologi perikanan terlebih dahulu Fauzi, 2004.
Dimisalkan bahwa pertumbuhan populasi ikan x pada periode t pada suatu daerah terbatas adalah fungsi dari jumlah populasi tersebut. Dengan kata
lain, perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu, ditentukan oleh populasi pada awal periode. Fungsi pertumbuhan seperti ini disebut sebagai density
dependent growth. Secara grafik, fungsi pertumbuhan ikan yang bersifat density dependent tersebut dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada Gambar 4.
1
Istilah ini merujuk pada situasi dimana faktor input dari perikanan telah digunakan melebihi kapasitasnya untuk memanen stok ikan. Secara sederhana bisa dijelaskan bahwa untuk
menangkap ikan yang sedikit diperlukan input perikanan yang banyak.
34
Fx
x
m
x x
Fx
x
m
x x
x
c
a
b
Gambar 4.
Kurva pertumbuhan populasi yang bersifat density dependent
Fauzi, 2004.
35 Gambar 4 memperlihatkan bahwa pertumbuhan meningkat sejalan
dengan peningkatan stok sampai mencapai titik maksimum pada x kemudian menurun, pertumbuhan nol terjadi pada titik x
m
, dimana x
m
adalah daya dukung maksimum lingkungan atau carrying capacity. Pada Gambar 4a, pertumbuhan
stok positif pada interval 0 ≤ x ≤ x
m
sementara pada Gambar 4b, pertumbuhan positif dicapai pada interval stok x
c
≤ x ≤ x
m
, dan pertumbuhan negatif pada interval 0
≤ x ≤ x
c
. Selanjutnya x
c
merupakan titik kritis atau minimum viable population mvp. Fenomena seperti ini bisa saja terjadi manakala pemijahan
sulit dilakukan karena sukarnya mencari pasangan pada tingkat kepadatan yang rendah low density.
Meski banyak sekali bentuk fungsi pertumbuhan yang bersifat density dependent, salah satu bentuk fungsi yang sederhana dan sering digunakan dalam
literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik logistic growth model Fauzi, 2004.
Model Gordon-Schaefer adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan pada faktor input, yakni upaya. Untuk memahami bagaimana
pengelolaan perikanan yang optimal secara ekonomis juga bisa dilakukan dengan pendekatan faktor output atau produksi yield. Pendekatan ini pertama
kali dikembangkan oleh Copes 1972 yang juga seorang perintis teori ekonomi perikanan. Selain itu, dalam memahami ekonomi sumberdaya ikan, Copes
lebih mendekatinya dari sisi kriteria optimisasi kesejahteraan welfare optimization dengan menggunakan analisis surplus konsumen consumer’s
surplus, surplus produsen producer’s surplus, dan rente sumberdaya resource rent. Model Copes ini juga berbeda dengan model Gordon dalam hal
penggunaan asumsi terhadap harga. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal bisa dilihat dari berbagai sisi stakeholder yakni, pemerintah, masyarakat
konsumen dan pelaku sendiri produsen. Dari ketiga aspek ini, Copes melihat surplus yang mungkin dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya perikanan.
Salah satu hal yang penting dari teori Copes adalah mengenai back ward bending supply curve dari perikanan. Kurva itu menggambarkan bahwa suplai
dari produk perikanan tidak tak terbatas karena faktor ekologi daya dukung
36 lingkungan tidak akan mampu terus menerus mendukung produksi. Dengan
demikian pengelolaan perikanan juga sangat ditentukan oleh ketersedlaan
sumberdaya.
Dalam model Gordon, harga per unit output diasumsikan konstan, sehingga pengukuran terhadap surplus konsumen tidak mungkin dilakukan.
Sebaliknya, dalam model Copes, harga per unit output mengikuti kurva permintaan, memiliki kemiringan yang negatif sehingga pengukuran terhadap
surplus konsumen dimungkinkan. Dengan memasukkan parameter ekonomi yakni harga dari output harga ikan per satuan berat dan biaya dari input cost
per unit effort, Gordon mentransformasikan kurva yield effort dari Schaefer di atas menjadi kurva yang menggambarkan antara manfaat bersih total revenue
dan total cost yang dihasilkan dari sumberdaya perikanan dengan input produksi effort yang digunakan sebagaimana terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Model Gordon-Schaefer
Gambar 5 memperlihatkan bahwa terdapat tiga jenis rente ekonomi sumberdaya yang diartikan sebagai selisih surplus dari penerimaan yang
diperoleh dari sumberdaya setelah kurangi seluruh biaya ekstraksi dihasilkan pada titik E
O
, E
MSY
dan E
∞
. Gambar tersebut dapat juga digunakan untuk menguraikan inti dari model Gordon-Schaefer mengenai pengelolaan perikanan
B π
max
E
C TC
TR
Upaya B
iay a, Pe
ne ri
maa n
Rp
E
MSY
E
∞
B π
max
E
C TC
TR
Upaya B
iay a, Pe
ne ri
maa n
Rp
E
MSY
E
∞
37 dalam dua rezim pengelolaan yang berbeda. Dalam kondisi pengelolaan yang
bersifat terbuka open access, keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat upaya E
∞
, dimana penerimaan total TR sama dengan biaya total TC. Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya oportunitas dan rente
ekonomi sumberdaya atau manfaat ekonomi tidak diperoleh. Rente ekonomi sumberdaya economic rent dalam hal ini diartikan sebagai selisih antara total
penerimaan dari ekstraksi sumberdaya dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksinya. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat upaya
dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut “bioeconomic equilibrium of open access fishery” atau keseimbangan bionomik dalam kondisi
akses terbuka. Secara intuisi, keseimbangan bioekonomi dapat dijelaskan bahwa pada setiap tingkat upaya lebih rendah dari E
∞
sebelah kiri dari E
∞
, penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga pelaku perikanan nelayan
akan lebih banyak tertarik entry untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku masuk ke
industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih tinggi dari E
∞
di sebelah kanan dari E
∞
, biaya total melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar exit dari perikanan. Dengan demikian hanya
pada tingkat upaya E
∞
keseimbangan tercapai, sehingga proses entry dan exit tidak terjadi. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika
seluruh rente ekonomi telah terkuras habis driven to zero sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat
upaya yang sudah ada. Hal ini identik dengan kondisi tiadanya hak pemilikan property rights pada sumberdaya atau lebih tepatnya adalah ketiadaan hak
pemilikan yang bisa dikuatkan secara hukum enforceable Fauzi, 2004. Lebih lanjut, Fauzi 2004 menyatakan bahwa keuntungan lestari yang
maksimum maximum sustainable rent akan diperoleh pada tingkat upaya di mana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar garis
BC. Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai maximum economic yield MEY atau produksi yang maksimum secara
ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial socially
38 optimum. Kalau dibandingkan antara tingkat upaya pada keseimbangan open
access dengan tingkat upaya optimal secara sosial E
O
, akan terlihat bahwa pada kondisi open access tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih banyak dari
yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan terjadinya
alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat missalocation karena kelebihan faktor produksi tenaga kerja, modal yang bisa dialokasikan untuk kegiatan
ekonomi lainnya yang lebih produktif. Inilah sebetulnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic
overfishing. Lebih jauh lagi, tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara sosial E
O
jauh lebih kecil dibanding yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY E
MSY
. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih bersahabat dengan lingkungan
conservative minded dibandingkan dengan tingkat upaya pada pen access Hanneson, 1987.
Dua puluh tahun setelah publikasi Gordon, dua pemikiran teoritis optimasi pengelolaan sumberdaya perikanan dikembangkan kembali oleh Copes
1972 dan Clark dan Munro 1975. Copes 1972 mencoba mengisi kekurangan model Gordon dengan memasukan faktor welfare effect didalam
modelnya, sementara Clark dan Munro 1975 mengembangkan model dinamis dari pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal yang sebelumnya
diabaikan. Baik model Gordon maupun model Copes menganalisis pengelolaan
perikanan di dalam framework statis. Artinya aspek intertemporal antar waktu yang terkait dengan sumberdaya perikanan maupun pelaku industri sendiri tidak
diperhitungkan. Misalnya, di dalam model Gordon, pengalihan excess effort dari kondisi open access ke E
O
dilakukan seketika tanpa memperhitungkan faktor penyesuaian. Padahal, stok ikan sendiri memerlukan waktu untuk tumbuh,
demikian juga pengurangan input dari tingkat E
∞
ke E
MSY
memerlukan waktu untuk penyesuaian. Menyadari kelemahan inilah Clark dan Munro
mengembangkan model dinamis pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal. Di dalam model mereka, sumberdaya ikan diperlakukan sebagai aset
39 yang memiliki opportunity cost atau biaya korbanan. Artinya di dalam
mengelola sumberdaya ikan kita dihadapkan pada pilihan intertemporal, apakah akan dipanen saat ini dengan menghasilkan nilai ekonomi kini, atau dibiarkan
diperairan sehingga bisa tumbuh dan bisa dipanen di masa mendatang sehingga bisa menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih besar. Trade-off antara
memanen stok saat ini atau nanti inilah yang menjadi ciri khas dalam model intertemporal yang dikembangkan oleh Clark dan Munro. Salah satu solusi dari
model Clark dan Munro adalah fenomena yang disebut sebagai most rapid approach MRAP atau bang-bang approach” yang menyatakan bahwa
penyesuaian ke arah tingkat eksploitasi yang optimal biomass, tangkap dan input harus dilakukan secepat mungkin Gambar 6.
Gambar 6. Pendekatan bang-bang optimisasi sumberdaya perikanan
Dari Gambar 6 terlihat bahwa jika x adalah kondisi optimal biomas yang lestari, maka pada pendekatan bang-bang, strategi yang optimal adalah
melakukan eksploitasi yang maksimurn h=h
max
pada saat x x dimulai dari titik B. Sebaliknya jika x x dimulai dari titik A, strategi optimal adalah
tidak melakukan eksploitasi. Melihat model ini, depresiasi sumberdaya perikanan sebenarnya akan terjadi secara cepat jika strategi pertama dilakukan.
Clark dan Munro secara implisit menyatakan bahwa deplesi akan terjadi x
Stok
Waktu, t
A
h = h
max
h=0
B
40 manakala strategi pertama dilakukan dan dimana kondisi parameter harga per
satuan output jauh lebih besar dari biaya per satuan input. Secara umum dapat dikatakan bahwa keseluruhan model dasar
optimisasi pengelolaan sumberdaya perikanan yang dikemukakan di atas, tidak secara eksplisit membahas depresiasi sumberdaya perikanan. Model-model
dasar di atas melihat bahwa depresiasi teradi manakala input yang digunakan atau output yang dihasilkan terlalu belebihan model Gordon dan Copes. Pada
model Clark dan Munro melihat bahwa depresiasi sumberdaya akan terjadi manakala penggunaan input maupun tingkat panen tidak mengikuti trajektori
optimal yang ditentukan oleh aspek intertemporal sumberdaya ikan itu sendiri.
2.7 Analisis Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan