Analisis pengelolaan sumberdaya ikan demersal di pulau pulau kecil Suatu pendekatan Converging dual track model (CD Tram)

(1)

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL

DI PULAU-PULAU KECIL : SUATU PENDEKATAN “CONVERGING

DUAL TRACK MODEL (CD TRAM)”

T. EFRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

T. EFRIZAL. An Analysis of Fisheries Resources Management of Small Islands: Using Converging Dual Track Model (CD-TRAM). Under Supervision of AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN and MUHAMMAD ARDIANSYAH.

A conventional model of small island resources is usually dealing with interaction between fisheries and tourism. The traditional fisheries model more or less is devoted to analyse bioeconomic aspect of fisheries management. This approach has deficiences in terms of information associated with other aspect such as mangrove degradation, that might not be included in the model. Based on this deficiency, a convergen dual track model was developed.

The objectives of this research are: (1) to identify the effect of fisheries extraction on their optimal as well as sustainable levels, (2) to determine the degradation rate of the fishery, (3) to determine the dynamic interaction among parameters within the fisheries system, (4) to develop the interaction mangrove model with fisheries system, (5) to determine welfare effect of fisheries extraction.

Results of this study show that the fishery in the study area has experienced substantial degradation between periods of 1986 to 2000. Event though at current level of exploitation the extraction rate is still below its optimal level, there is a tendency that the resource will be over exploited in the year future due to miss management and increasing trend in input levels. By incorporating mangrove ecosystem in the model Fozal, it shows that mangrove ecosystem could contribute as much as 44.18 % toward total fish production.

Results from dynamic analysis show that there is a tendency of long run stability in effort and biomass. This study indicated that the total benefit at almost Rp 32 billion/year could be secured had the fishery been managed properly.

Keywords: Fisheries, resources, management, small islands, model, mangrove


(3)

T. EFRIZAL. Analisis Pengelolaan Sumberdaya Ikan Demersal di Pulau-Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track Model (CD-TRAM). Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN dan M. ARDIANSYAH.

Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata, sedangkan model konvensional pengelolaan sumberdaya perikanan di mainland lebih banyak mengkaji tentang bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari kedua model yang dikembangkan tersebut ada beberapa informasi yang belum terungkap, seperti kondisi sumberdaya lain misalnya mangrove, tingkat degradasi ataupun kesejahteraan masyarakat. Untuk menjembatani kelemahan-kelemahan dari model yang ada tersebut maka dikembangkan ”Convergen Dual Track Model” (CD-TRAM).

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, melalui suatu pendekatan pengembangan model. Tujuan khususnya adalah: (1) menentukan tingkat pengelolaan sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil Kabupaten Bengkalis yang lestari dan optimal, membandingkannya dengan kondisi ekstraksi aktual, (2) menentukan tingkat degradasi sumberdaya ikan dan konsekuensinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil, (3) menganalisis interaksi dinamis antara aspek biologi dan ekonomi sumberdaya ikan dan implikasinya terhadap pengelolaan, (4) menganalisis pengaruh interaksi antara sumberdaya ikan dengan ekosistem mangrove terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan (5) Menentukan dampak kesejahteraan masyarakat oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan. Penelitian ini diharapkan akan menemukan suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai acuan kebijakan perikanan yang berkelanjutan sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari.

Koefisien degradasi sumberdaya perikanan rendah terjadi di awal-awal periode kemudian mengalami peningkatan. Sumberdaya perikanan mengalami depresiasi pada tahun 1986 dan 2000. Besaran depresiasi dengan real discount rate menghasilkan nilai rata-rata present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate. CD-TRAM dengan menggunakan model Fozal menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memiliki kontribusi sebesar 44.18% terhadap produksi sumberdaya perikanan. Dari analisis stabilitas, upaya dan biomass bersifat stabil, sedangkan mangrove tidak stabil. Nilai total benefit sumberdaya perikanan sebesar Rp 31.9 milyar/tahun.

Kata kunci: Pengelolaan, sumberdaya, perikanan, pulau-pulau kecil, model, mangrove


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

Analisis Pengelolaan Sumberdaya Ikan Demersal di Pulau-Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track Model (CD TRAM)

adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2005

T. Efrizal C.226010051


(5)

© Hak cipta milik T. Efrizal, tahun 2005

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

DI PULAU-PULAU KECIL : SUATU PENDEKATAN “CONVERGING

DUAL TRACK MODEL (CD TRAM)”

T. EFRIZAL

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(7)

Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track Model (CD TRAM)

N a m a : T. Efrizal

NRP : C.226010051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr.Ir.Muhammad Ardiansyah

Anggota Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 30 November 2005


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata. Sedangkan model-model konvensional pengelolaan sumberdaya perikanan di mainland lebih banyak mengkaji tentang bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari kedua model yang dikembangkan tersebut ada beberapa informasi yang belum terungkap. Untuk menjembatani kelemahan dari model-model tersebut maka dikembangkan model yang dinamakan ”Convergen Dual Track Model” (CD-TRAM). Penelitian ini berlokasi di pulau-pulau kecil wilayah Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, yang dilaksanakan pada bulan Desember 2003 sampai dengan Agustus 2004.

Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun memiliki banyak keterbatasaan, sudah mulai banyak dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi keterpencilan, luasan lahan dan sumberdaya manusia yang terbatas serta berbagai keterbatasan lain bukanlah halangan untuk memanfatkan segala potensi pulau-pulau kecil tersebut.

Masih terbatasnya penelitian terhadap permasalahan pulau-pulau kecil, apalagi yang berkaitan dengan isu pemanfaatan sumberdaya yang bersifat multiple use. Untuk mengelolanya dibutuhkan solusi yang tepat sehingga pemanfaatan menjadi optimal, efisien dan berkelanjutan. Model yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perencanaan pembangunan pulau-pulau kecil, sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari.

Bogor, Desember 2005 T. Efrizal


(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada:

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., dan Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian, sumbangan pikiran, masukan dan arahan dalam penyusunan disertasi ini.

2. Departemen Pendidikan Nasional melalui Beasiswa Program Pascasarjana yang telah memberikan beasiswa pendidikan program doktor.

3. Pemerintah Propinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Pelalawan atas bantuan yang telah diberikan.

4. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis, atas bantuan dalam penyediaan data dan fasilitas lainnya. 5. Yth. Bapak Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA sebagai penguji luar komisi pada

sidang tertutup, Bapak Prof. Dr. Ir. Feliatra, DEA (Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau) dan Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc. sebagai penguji luar komisi pada sidang terbuka.

6. Rekan-rekan staf pengajar di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, atas dorongan semangat yang telah diberikan.

7. Yang tercinta kedua orang tua, istri, kakak-kakak, adik-adik, dan seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya.

8. Rekan-rekan yang selalu memberikan dorongan semangat dan bantuan, yaitu: Dr. Suzy Anna, Dr. Armen, Dr. Max, Dr. Georgina, Pak Sofyan, Pak Indra, Bu Wini, Bu Desni, Sdri. Sofi dan seluruh staf PS-SPL SPS-IPB serta semua teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang banyak sekali membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

Mudah-mudahan disertasi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Desember 2005


(10)

Penulis dilahirkan di sebuah pulau kecil, Pulau Mendol Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau (sebelum pemekaran pada tahun 1999, termasuk wilayah Kabupaten Kampar) pada tanggal 12 Desember 1967, merupakan putra ke-empat dari empatbelas bersaudara dari pasangan T. Dahrul dan Zaliah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2001, penulis diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL).

Sejak tahun 1993, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Batasan Wilayah Pesisir ... 6

2.2 Pulau-Pulau Kecil ... 6

2.3 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan ... 14

2.4 Konversi Lahan di Kawasan Pesisir ... 15

2.5 Pemodelan (Modelling)... 18

2.6 Optimisasi Sumberdaya Perikanan ... 29

2.7 Analisis Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan... 40

III. METODE PENELITIAN ... 44

3.1 Waktu dan Tempat ... 44

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 44

3.3 Analisis Data ... 46

3.3. 1 Produksi Perikanan... 46

3.3. 2 Standarisasi Effort ... 47

3.3. 3 Estimasi Parameter Ekonomi ... 48

3.3. 4 Model Analisis Degradasi dan Depresiasi ... 52

3.3. 5 Model Bio-Ekonomi Sumberdaya Perikanan ... 53

3.3. 6 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 54

3.3. 7 Analisis Dinamis ... 57

3.3. 8 Interaksi Mangrove dan Perikanan... 58

3.3. 9 Uji Stability ... 60

3.3.10 Aspek Kesejahteraan ... 61

3.4 Pemetaan Proses Penelitian ... 62

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 64

4.1 Wilayah Administratif ... 64

4.2 Kondisi Geografis, Iklim dan Oseanografis ... 65

4.2.1 Geografis ... 65

4.2.2 Iklim ... 66


(12)

4.2.5. Kedalaman Laut ... 70

4.3 Vegetasi Pantai ... 70

4.4 Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi ... 71

4.5 Kondisi Kegiatan Perikanan ... 73

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 84

5. 1 Produksi Perikanan ... 84

5. 2 Standarisasi Unit Effort ... 86

5. 3 Estimasi Parameter Biologi ... 88

5. 4 Estimasi Parameter Ekonomi ... 89

5.4.1 Struktur Biaya ... 89

5.4.2 Estimasi Discount Rate ... 90

5. 5 Estimasi Sustainable Yield ... 91

5. 6 Degradasi Sumberdaya Perikanan ... 95

5. 7 Depresiasi Sumberdaya Perikanan ... 97

5. 8 Pengelolaan Sumberdaya Yang Optimal ... 102

5. 9 Analisis Dinamis ... 113

5.10 Rezim Pengelolaan ... 114

5.11 Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Perikanan ... 116

5.12 Analisis Stability ... 122

5.13 Aspek Kesejahteraan ... 124

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 127

6.1 Kesimpulan ... 127

6.2 Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 130


(13)

Halaman

1 Kerangka pendekatan penelitian………...………… 4

2 Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005)... 24 3 Kurva yield effort ………... 32

4 Kurva pertumbuhan populasi yang bersifat density dependent (Fauzi, 2004)………... 34

5 Model Gordon-Schaefer ………... 36

6 Pendekatan "Bang-bang" optimisasi sumberdaya perikanan ... 39

7 Kurva Fisher ………... 43

8 Peta wilayah administratif Kabupaten Bengkalis ………... 45

9 Market discount rate ……….... 50

10 Pemetaan proses penelitian ……….. 63 11 Persentase distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis berdasarkan

kecamatan pada tahun 2003 ………...

72 12 Grafik persentase perlakuan terhadap produksi perikanan laut di

Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 ………...

76 13 Grafik perkembangan armada perikanan di Kabupaten Bengkalis

dari tahun 1985-2002 ………...

78 14 Persentase produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis

dari tahun 1985-2002 ………...

80

15 Nilai produksi (juta Rp) sumberdaya perikanan di Kabupaten

Bengkalis...

82 16 Grafik data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis

di Kabupaten Bengkalis ………...

85 17 Hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan

dalam analisis ...

86


(14)

19 Produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer) ... 92

20 “Copes eye ball” sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) ……….. 93 21 “Copes eye ball” sustainable yield dan produksi aktual (fungsi logistik) ... 93 22 Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) …………... 94

23 Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi logistik) ………... 94

24 Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi lestari ………... 95 25 Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi aktual ………... 96 26 Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual ………... 96

27 Perbandingan laju degradasi dengan effort aktual ………... 97

28 Present value rente dan depresiasi ……….. 100

29 Effort dan depresiasi (Kula 15%) ……… 101

30 Effort dan depresiasi (Kula 4%) ………..… 101

31 Nilai optimal biomass dan produksi dengan nilai δ yang berbeda (10 ton) ... 104

32 Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=4%) ………… 105

33 Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=15%) ……… 106

34 Perbandingan input aktual dan optimal (1000 trip) ……… 107

35 Sustainable rent untuk pengelolaan optimal (Rp juta) ……… 109

36 Perbedaan present value rente optimal dan sustainable (Rp juta) … 110 37 Persentase perbedaan effort aktual dan optimal ……… 112

38 Persentase perbedaan rente sustainable dan optimal ……… 112


(15)

41 Rezim pengelolaan biomass ………... 115

42 Rezim pengelolaan effort, produksi dan rente ekonomi ……… 115

43 Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun 1985-2002 ……… 117 44 Kurva sustainable yield baseline dan Model Fozal ……… 118

45 Analisis stability data effort ……… 123

46 Analisis stability data biomass sumberdaya perikanan ……… 123

47 Analisis stability data mangrove ……… 124

48 Nilai surplus produsen, rente sumberdaya ikan dan total

benefit……….


(16)

Halaman 1 Perbandingan karakteristik pulau oseanik, pulau daratan/

kontinental dan benua (Salm dan Clark, 2000) ...

10 10 2 Wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Bengkalis ……… 64 3 Daftar nama kecamatan dan pulau di Kabupaten Bengkalis ... 66 4 Distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis menurut jenis kelamin 71 5 Rumah tangga perikanan menurut kecamatan di Kabupaten

Bengkalis ...

73 6 Profil pertambakan Kabupaten Bengkalis ……….. 74 7 Perlakuan terhadap produksi perikanan laut di Kabupaten

Bengkalis dari tahun 1985-2002 ………...

75 8 Perkembangan armada perikanan di Kabupaten Bengkalis dari

tahun1985-2002 ………...

77 9 Produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari

tahun 1985-2002 ………...

79 10 Nilai produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis

dari tahun1985-2002 ………...

81 11 Data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis…… 84 12 Standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam

analisis ………

87

13 Hasil uji Dickey Fuller ………... 88

14 Hasil analisis nilai parameter biologi ………. 89

15 Total biaya kegiatan penangkapan ikan target dari tahun 1985-2002 ………...

89 16 Perbandingan produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan

Schaefer) ……….

91 17 Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumberdaya perikanan ….. 98 18 Nilai optimal biomass, produksi dan effort dengan nilai δ yang

berbeda...

103

19 Sustainable rent optimal dengan nilai δ yang berbeda ……... 108 20 Perbedaan present value rente optimal dan sustainable …………. 109


(17)

optimal (δ=15%) ………. 111 22 Perbedaan antara produksi sumberdaya perikanan baseline

dengan Model Fozal ………...

116 23 Nilai surplus produsen, rente sumberdaya ikan dan total benefit ... 125


(18)

Halaman

1 Deskripsi ikan ... 141

2 Analisis data hasil tangkapan masing-masing alat tangkap yang ... digunakan dalam analisis ... 144

3 Deskripsi alat tangkap yang digunakan dalam penelitian... 145

4 Gambar alat tangkap yang digunakan dalam analisis ... 148

5 Analisis CYP... 150

6 Analisis penentuan discount rate Kula ... 155

7 Analisis koefisien degradasi (dengan menggunakan produksi ... aktual dan rataan geometrik)... 158

8 Maple output untuk perhitungan optimal... 159

9 Analisis optimal untuk rezim pengelolaan MEY, MSY dan open... Acces... 163

10 Analisis interaksi mangrove dan sumberdaya perikanan (Model ... Fozal) ... 165

11 Peta sebaran mangrove di Kabupaten Bengkalis ... 171

12 Peta sebaran alat tangkap di Kabupaten Bengkalis... 172

13 Perhitungan analisis stabilitas ... 173

14 Perhitungan surplus produsen ... 181


(19)

1.1 Latar Belakang

Pulau-pulau kecil merupakan suatu kawasan yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam pengelolaannya, terutama pengelolaan yang terintegrasi (integrated management planning). Sebagai suatu kawasan kecil yang termasuk ke dalam zona pesisir (coastal zone), keberadaan pulau-pulau kecil baik dari segi eksistensi pulau itu sendiri maupun keanekaragaman hayati (biodiversity) yang ada pada ekosistem sekitar pulau sangat rentan terhadap berbagai aktivitas manusia yang terjadi di daratan, khususnya pulau-pulau yang berhadapan langsung dengan daratan yang memiliki intensitas kegiatan industri yang tinggi.

Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan hutan bakau (mangrove). Sumberdaya hayati laut pada kawasan ini memiliki potensi keanekaragaman dan nilai ekonomi yang tinggi. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas pembangunan dan kenyataan bahwa sumberdaya alam di daratan (seperti hutan, lahan pertanian produktif, bahan tambang dan mineral) terus menipis atau sukar untuk dikembangkan, maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang.

Salah satu propinsi yang banyak memiliki pulau-pulau kecil adalah Propinsi Riau. Propinsi Riau merupakan wilayah yang mencakup bagian timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan yang membentang dari Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Selat Berhala. Sektor perikanan mempunyai peran cukup penting di Propinsi Riau. Berdasarkan Laporan Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau (2003), jumlah produksi perikanan Riau yang berasal dari hasil tangkapan 96l014.6 ton. Dari jumlah tersebut sebagian besar berasal dari hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Malaka.


(20)

Kabupaten Bengkalis merupakan bagian dari Propinsi Riau yang dibentuk berdasarkan UU No. 12 tahun 1956. Semula kabupaten ini memiliki luas 30l646.83 km2, setelah dimekarkan menjadi Kabupaten Rokan Hilir, Siak dan Kota Dumai, lebih separuh wilayah ini berkurang dan hanya tinggal seluas 11l481.77 km2. Wilayah Kabupaten Bengkalis terdiri dari pulau-pulau kecil. Ekosistem pulau-pulau kecil di kawasan ini merupakan salah satu potensi sumberdaya kelautan yang khas karena memiliki keunikan morfologi dan ekologi sehingga memberi pengaruh pada pola hidup dan budaya masyarakatnya. Ekosistem mangrove di kawasan ini telah banyak mengalami degradasi akibat berbagai aktivitas pembangunan, seperti reklamasi pantai untuk pembangunan gudang dan pelabuhan, serta aktivitas pembangunan lainnya seperti pembangunan perkantoran, pertokoan dan kawasan pemukiman penduduk.

Setiap kegiatan pembangunan (industri, pertanian, budidaya perikanan, pemukiman dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis. Selain itu, untuk pemanfaatan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu, sedangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih (non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam pemanfaatan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan kapasitas sumberdaya alam yang ada sehingga secara ekologi dan ekonomi dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata (Brander dan Taylor, 1998; Casagrandi dan Rinaldi, 2002; Maanema, 2003), sedangkan model-model konvensional


(21)

pengelolaan sumberdaya perikanan di mainland lebih banyak mengkaji tentang bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari kedua model yang dikembangkan tersebut ada beberapa informasi yang tidak muncul (missing) seperti kondisi sumberdaya yang lain misalnya mangrove, seberapa besar tingkat degradasi sumberdaya ataupun tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk menjembatani kelemahan-kelemahan dari kedua model tersebut maka dalam penelitian ini selanjutnya akan mengembangkan suatu model yang dinamakan ”Convergen Dual Track Model” (CD-TRAM). Pengembangan model ini juga terinsprisasi dari kesalahan dalam mengelola sumberdaya alam, yang mengakibatkan runtuhnya peradaban di Pulau Easter (Syndrome Easter Island). Peradaban di Pasifik yang sempat maju pada tahun 200 hingga 900 ini kolaps karena terjadinya lebih tangkap (overfishing). Masyarakat pulau kecil yang sangat menggantungkan hidupnya pada sumberdaya ikan tersebut mengekstraksi sumberdaya sampai pada taraf yang berlebihan yang pada gilirannya kemudian menyebabkan suplai pangan dari laut menurun drastis. Ketika pangan tidak mencukupi, konflik timbul dan gejolak tersebut kemudian meningkat menjadi perang antar suku yang dalam jangka panjang memusnahkan peradaban. Suatu kenyataan yang sulit diterima telah terjadi, dimana musnahnya peradaban dikarenakan terjadinya overfishing (Fauzi, 2005). Untuk lebih jelasnya kerangka pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Pada dasarnya pembangunan ekonomi di sebagian besar negara di dunia adalah berbasiskan pada sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang menjadi tulang punggung ekonomi, adalah sumberdaya perikanan. Sumberdaya ini seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumberdaya alam yang bersifat dapat diperbaharui, pengelolaan sumberdaya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati (Fauzi, 2004). Oleh karenanya timbul pertanyaan bagaimana mengelola sumberdaya perikanan yang terbaik yang akan menghasilkan kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat dan bangsa. Beberapa pertanyaan yang muncul dari ilustrasi di atas yaitu:


(22)

1. Bagaimana ekstraksi sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil dilihat dari aspek biologi dan ekonomi sumberdaya perikanan.

2. Dengan kendala ketersediaan sumberdaya di pulau-pulau kecil, bagaimana degradasi sumberdaya ikan berpengaruh dalam penyediaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan.

3. Bagaimana interaksi dinamis antara parameter biologi dan ekonomi sumberdaya ikan, dan apa konsekuensinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil.

4. Bagaimana interaksi antara sumberdaya ikan dengan ekosistem mangrove dalam konteks pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil.

5. Akibat dari beberapa faktor di atas, bagaimana dampak kesejahteraan masyarakat oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan.

Evolusi Pengembangan Model

Model Konvensional Perikanan

Optimal Catch, Effort, MSY, MEY, MScY

Model Pulau-Pulau Kecil

Model Klasik Fish vs Tourism Bioekonomi

Statik/Dinamik

Docking

Multiple Use, MCA, Dynamic, Fishery,

Tourism

Missing: SDA lain, Degradasi,

Welfare

Convergen Dual Track Model (CD-TRAM)

Eksogen

Endogen Constraint

Pulau-Pulau Kecil

Syndrom Easter Island


(23)

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, melalui suatu pendekatan pengembangan model.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Menentukan tingkat pengelolaan sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil Kabupaten Bengkalis yang lestari dan optimal, kemudian membandingkannya dengan kondisi ekstraksi aktual.

2) Menentukan tingkat degradasi sumberdaya ikan dan konsekuensinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil.

3) Menganalisis interaksi dinamis antara aspek biologi dan ekonomi sumberdaya ikan dan implikasinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di pulau-pulau kecil.

4) Menganalisis pengaruh interaksi antara sumberdaya ikan dengan ekosistem mangrove terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan.

5) Menentukan dampak kesejahteraan masyarakat oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan.

Dari penelitian ini diharapkan akan terciptanya suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan pulau-pulau kecil yang dapat dijadikan acuan kebijakan perikanan yang berkelanjutan sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari.


(24)

2.1 Batasan Wilayah Pesisir

Sejauh ini belum ada definisi baku mengenai wilayah pesisir (coastal zone) yang dipakai dalam pengelolaan wilayah pesisir, namun demikian terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), wilayah pesisir memiliki dua batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore)(Dahuri et al., 1996).

Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia, yakni wilayah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya yang ada di dalamnya, serta tujuan dari pengelolaan itu sendiri.

2.2 Pulau-Pulau Kecil

Menurut Retraubun (2003), pulau-pulau kecil memiliki definisi yang sangat beragam dan telah mengalami perdebatan yang panjang di berbagai forum para pakar. Definisi operasional pulau kecil di Indonesia pun masih menjadi pemikiran para pengambil kebijakan dan pakar yang terkait dengan


(25)

disiplin ilmu ini. Beberapa pendapat tentang definisi pulau-pulau kecil yang diutarakan adalah sebagai berikut:

ƒ Pada awalnya beberapa negara Pasifik pada pertemuan CSC tahun 1984 menetapkan batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari 5l000 km2, tetapi kemudian para ahli yang memiliki kepentingan hidrologi, sosial ekonomi dan demografis menetapkan batasan luas pulau-pulau kecil kurang dari 1l000 km2 atau pulau dengan lebar kurang dari 10 km (Arenas dan Huertas, 1986).

ƒ Namun demikian karena banyak pulau yang berukuran antara 1l000-2l000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1l000 km2 sehingga diputuskan oleh UNESCO (1991) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 2l000 km2.

ƒ Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 tahun 2000 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001), yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10l000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200l000 orang. Batasan yang sama juga dipakai oleh Hess (1990), namun dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500l000 orang.

ƒ Pembedaan lebih jauh juga dilakukan antara pulau kecil dan pulau sangat kecil, yang mendasari perbedaan ini pada keterbatasan sumberdaya air tawar baik air tanah maupun air permukaan; sehingga ditetapkan bahwa pulau dengan ukuran tidak lebih besar dari 100 km2 atau lebarnya tidak lebih besar dari 3 km dikategorikan pulau sangat kecil (UNESCO, 1991).

ƒ Bengen (2001a) menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10l000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Banyak pulau-pulau kecil yang mempunyai luas area kurang dari 2l000 km2 dan lebarnya kurang dari 3 km. Pulau-pulau


(26)

ini diklasifikasikan sebagai pulau sangat kecil. Contoh dari pulau sangat kecil adalah pulau-pulau Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta.

ƒ Meskipun terdapat perbedaan mengenai batasan luasan pulau namun terdapat kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland) dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular.

Terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil: (1) batasan fisik (luas pulau), (2) batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan terisolasi), dan (3) keunikan budaya. Selain ketiga kriteria tersebut, dapat pula ditambahkan kriteria tambahan yakni kemandirian penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok. Jika suatu pulau penduduknya mendatangkan kebutuhan pokoknya berasal dari pulau lain atau pulau induknya, maka pulau tersebut dapat digolongkan pulau kecil (Dahuri, 1998).

Berdasarkan sejarah pembentukannya (genesis), pulau dapat terbentuk akibat proses atau oleh kegiatan utama atau bantuan (Ongkosono, 1998) sebagai berikut:

- Penurunan muka laut, contoh: P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar (ketiganya di Kep. Riau)

- Kenaikan muka laut, contoh: Kep. Lingga, P. Batam, P. Karimun Kecil (ketiganya di Kep. Riau)

- Tektonik, zona penunjaman (subduction), contoh: P. Chrismas, P. Nias. - Tektonik, zona pemekaran (spreading), contoh: Kepulauan Hawaii - Amblesan daratan, contoh: P. Digul

- Erosi, contoh: P. Popole (sebelah barat Jawa Barat)

- Sedimentasi, contoh: Pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis (Riau).


(27)

- Biologi, biota terumbu karang dan biota asosiasinya, contoh: Pulau-pulau Seribu

- Biologi, biota lain (dipacu mangrove, lamun, dan lain-lain), contoh: P. Karang Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan

- Pengangkatan daratan, contoh: P. Manui (Sulawesi)

- Buatan manusia, contoh: lapangan udara Kansai Airport, Osaka, Jepang - Kombinasi berbagai proses, contoh: P. Rupat (Riau)

Pada umumnya, pulau terbentuk oleh kombinasi berbagai proses, meskipun ada yang berperan utama. Selain oleh proses dan faktor di atas, kondisi pulau dapat dipengaruhi oleh kegiatan atau proses yang dilakukan oleh: (1) manusia, melalui kemampuan teknologi dan rekayasanya; (2) vegetasi penutup; (3) kegiatan hewan; dan (4) alam fisik dan kimia. Pemantapan pembentukan dapat semakin terpacu oleh vegetasi seperti mangrove, lamun, Pandanus, dan tumbuhan pantai yang merayap seperti Ipomea dan Spinifex.

Menurut Salm dan Clark (2000), pulau-pulau kecil dapat dibagi dua, yaitu “pulau oseanik” dan “pulau kontinental”. Selanjutnya pulau-pulau oseanik dibagi menjadi dua jenis, yaitu pulau vulkanik dan pulau karang. Sebagian besar pulau kecil adalah pulau oseanik. Pulau kontinental umumnya terdapat di dekat daratan benua-benua besar yang perairannya dangkal. Tipe pulau ini mempunyai sejarah geologi dan biota yang sama dengan induknya. Dalam sejarahnya pulau-pulau tersebut dulunya bergabung dengan pulau induknya, tetapi akibat naiknya permukaan air laut yang terjadi ribuan tahun lalu pulau-pulau tersebut terpisah dari pulau-pulau induknya. Sehingga sumberdaya alam yang terdapat di pulau-pulau tersebut sama dengan pulau-pulau induknya yang berdekatan (Tabel 1).


(28)

Tabel 1. Perbandingan karakteristik pulau oseanik, pulau daratan/kontinental

dan benua (Salm dan Clark, 2000)

Pulau Oseanik Pulau Daratan Benua

Karakteristik Geografis

- Jauh dari benua - Dikelilingi oleh laut

luas

- Area daratan kecil

- Suhu udara stabil

- Iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat

- Dekat dari benua - Dikelilingi sebagian

oleh laut yang sempit - Area daratan besar

- Suhu agak bervariasi

- Iklim mirip benua terdekat

- Area daratan sangat besar

- Suhu udara bervariasi

- Iklim musiman

Karakteristik Geologi

- Umumnya karang tepi atau vulkanik - Sedikit mineral

penting - Tanahnya

porous/permeable

- Sedimen atau metamorfosis - Beberapa mineral

penting

- Beragam tanahnya

- Sedimen atau metamorfosis - Beberapa mineral

penting

- Beragam tanahnya

Karakteristik Biologi

- Keanekaragaman hayati rendah - Pergantian spesies

tinggi

- Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang

- Keanekaragaman hayati sedang - Pergantian spesies

agak rendah - Sering pemijahan

massal hewan laut bertulang belakang

- Keanekaragaman hayati tinggi - Pergantian spesies

biasanya rendah - Sedikit pemijahan

massal hewan laut bertulang belakang

Karakteristik Ekonomi

- Sedikit sumberdaya daratan

- Sumberdaya laut lebih penting - Jauh dari pasar

- Sumberdaya daratan agak luas

- Sumberdaya laut lebih penting - Lebih dekat pasar

- Sumberdaya daratan luas

- Sumberdaya laut sering tidak penting - Pasar relatif mudah


(29)

Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol sebagai berikut (Bengen, 2001a) :

- Terpisah dari habitat pulau induk (mainland), sehingga bersifat insular - Memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan

maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut

- Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran

- Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi

- Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar)

- Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.

Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika la-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimianya, penyerap limbah, sumber plasma nuftah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.

Dengan kondisi biogeofisik pulau-pulau kecil, maka keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pada kepulauan kecil menghadapi berbagai tantangan, diantaranya:

ƒ Kepulauan kecil secara ekologi amat rentan, terutama akibat pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan oleh kombinasi faktor tersebut secara potensial terbukti sangat progresif mengurangi garis kepulauan kecil. Akibatnya terjadinya perubahan menurunnya makhluk hidup, hewan-hewan maupun penduduk yang mendiami kepulauan tersebut.


(30)

ƒ Kepulauan kecil mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman hayati yang sangat khas dan bernilai tinggi.

ƒ Sumberdaya alam yang ada umumnya terdiri varietas-varietas yang dilindungi.

ƒ Beberapa pulau kecil yang berada jauh dari jangkauan pusat pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi serta terbatasnya ketrampilan masyarakat. Walau di beberapa pulau kedua masalah ini sudah diatasi sehingga memungkinkan dikembangkannya sektor pariwisata, yang berpotensi dalam menyediakan sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat, namun tetap saja biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunan prasarana pariwisata masih cukup besar. Hal ini menyebabkan penanaman modal kepariwisataan hanya memilih pulau-pulau tertentu saja dan pulau-pulau yang potensial bagi penanaman modal besar terdapat di kawasan Kepulauan Maluku maupun Nusa Tenggara.

ƒ Pulau-pulau kecil mempunyai daerah dan fasilitas tangkapan air hujan yang minim. Disamping itu pulau-pulau ini juga jarang atau tidak memiliki cadangan air tanah sama sekali, sehingga menyebabkan terbatasnya kesempatan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi, terutama bila kegiatan itu membutuhkan air tawar dalam jumlah besar.

ƒ Hingga kini belum ada klasifikasi kepulauan kecil yang didasarkan pada aspek biofisik, sosial-ekonomi, dan sosiologis yang dapat membuat usaha pengelolaan alokasi sumberdaya alam menjadi lebih efektif.

Menurut Fauzi dan Anna (2005), dalam melakukan penilaian ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil ada beberapa sifat pulau-pulau kecil yang unik, yang menyebakan nilai ekonomi dari sumberdaya juga harus ditimbang dari karakteristik pulau-pulau kecil tersebut. Karakteristik yang perlu dijadikan pembobot (Briguglio, 1995) adalah sebagai berikut:

ƒ Smallness : faktor ini, secara ekonomi akan menjadi faktor yang tidak menguntungkan (disadvantage), sebab akan menimbulkan rangkaian lain seperti:


(31)

o Keterbatasan resource endowment

o Ketergantungan kisaran diversifikasi produk

o Keterbatasan mempengaruhi perubahan harga produk o Keterbatasan kompetisi lokal

o Keterbatasan mengembangkan skala ekonomi

ƒ Isolation : faktor isolasi juga akan menambah faktor disadvantage, sebab akan mengakibatkan tingginya biaya per transpor per unit, serta ketidakpastian suplai.

ƒ Dependence

ƒ Vulnerability : pulau-pulau kecil cenderung rentan terhadap bencana alam (natural disaster) dan ekosistem yang fragile.

Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil merupakan stream benefits yang mengalir sepanjang waktu. Oleh karena itu, nilai ekonomi itu bisa terdepresiasi, bisa pula terapresiasi, tergantung bagaimana kita mengelolanya. Nilai ekonomi akan jelas terdepresiasi manakala kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari pertumbuhan investasi yang tidak berkesinambungan menimbulkan biaya sosial dan lingkungan yang cukup mahal, yang harus ditanggung oleh masyarakat dalam jangka panjang. Sebagai contoh, konsesi pemanfaatan sumberdaya hutan di Pulau Choiseul, Solomon, hanya memberikan manfaat ekonomi sebesar US$ 18l162 terhadap masyarakat. Jumlah ini dibayarkan sekali dalam periode konsesi, sementara itu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan mencapai US$ 158l451 sepanjang waktu, padahal nilai sumberdaya hutan sendiri mencapai US$ 10l500 per tahun (Cassel, 1993). Banyak lagi contoh kasus kerugian ekonomi yang ditimbulkan manakala pengelolaan ekonomi di pulau-pulau kecil tidak memperhatikan aspek-aspek pengelolaan yang berkesinambungan.

Menurut Sugandhy (1998), apabila dalam jangka pendek tidak dilakukan usaha-usaha pengelolaan yang terintegrasi terhadap pengembangan pulau-pulau kecil akan terjadi beberapa masalah lanjutan, yaitu: (1) sumberdaya alam semakin menipis, (2) kondisi lingkungan akan semakin merosot, (3) pencemaran akan meningkat, dan (4) pola hunian tak mampu dikendalikan.


(32)

2.3 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Salah satu concern utama dalam pengelolaan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil adalah menyangkut keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam yang terbatas tersebut. Dengan kata lain, pemanfaatan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil harus mengikuti kaedah atau prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan.

Menurut Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, WCED (1987) dalam Kay dan Alder (1999), dasar pembangunan berkelanjutan adalah "pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengurangi atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya". Dengan demikian secara ekologis terdapat empat persyaratan utama untuk dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yakni: (1) keharmonisan spasial, (2) pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan, (3) membuang limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan dan (4) merancang dan membangun prasarana dan sarana sesuai dengan dinamika ekosistem pesisir dan laut.

Dalam memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, sebagai penyedia sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), hal yang perlu diperhatikan adalah : bahwa laju eksploitasi tidak boleh melebihi kemampuannya untuk pulih pada suatu periode tertentu, sedangkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat agar tidak merusak lingkungan sekitarnya (Clark, 1988).

Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan juga mengharuskan adanya keseimbangan antara kegiatan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sebagaimana dijelaskan oleh Djajadiningrat (1997) bahwa apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan dengan harapan melindungi lingkungan, maka tindakan ini dapat menimbulkan proses degradasi lingkungan, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk. Sebaliknya, kerusakan lingkungan juga terjadi apabila pertumbuhan


(33)

ekonomi berjalan dengan cepat, tanpa mengindahkan pelestarian sumberdaya alam dan pengendalian pencemaran. Untuk menyelaraskan hal tersebut, maka tujuan kebijakan pengelolaan ekonomi harus difokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan cara menyeimbangkan antara kebijakan pertumbuhan mutu lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.

2.4 Konversi Lahan di Kawasan Pesisir

Kawasan pesisir dan wilayah pulau-pulau kecil Indonesia memiliki ekosistem yang cocok bagi pengembangan kegiatan budidaya udang di tambak air payau. Pengoperasian tambak udang biasanya dikembangkan di daerah pasang surut. Di kawasan tersebut tersedia air setinggi 0.8-1.5 m selama periode rata-rata pasang tinggi, yang dapat digunakan untuk budidaya udang dan untuk pengeringan secara sempurna pada saat diperlukan (BPPT, 1995).

Konversi lahan mangrove di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi pertambakan memiliki dampak potensial, antara lain: (a) mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove sebagai nursery ground pada stadium larva, (b) menurunkan kemampuan mangrove untuk mengikat bahan pencemar, (c) pendangkalan perairan pesisir akibat sedimentasi, (d) intrusi garam melalui saluran tambak buatan manusia yang bermuara ke laut, dan (e) erosi pantai (Koesoebiono, 1996).

Terdapat beberapa kerugian jika pembuatan tambak dilakukan di lahan mangrove, meskipun ada juga beberapa keuntungan yang bisa diraih. Naamin (1990) menjelaskan beberapa keuntungan membangun tambak di lahan mangrove yakni: (a) biaya pemilikan lahan relatif murah karena diangggap merupakan lahan marginal; (b) biaya penggalian tambak dan pemasokan air lebih mudah, karena elevasinya rendah; (c) pergantian air lebih mudah, terutama pada daerah pasang surut yang berkisar 1-3 m; (d) perairan pantai di sekitar hutan mangrove merupakan sumber benur dan nener; (e) bila pembangunannya memperhitungkan jalur hijau (green belt), lahan tambak akan terlindung dari


(34)

erosi dan badai; dan (f) sifat fisik dan mekanik lahan mangrove baik untuk tambak dan dapat menahan air tambak. Sementara itu kerugiannya adalah: (a) pembersihan lahan dan konstruksi tambak sangat sulit dilakukan terutama pada lahan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora;(b) predator dan hama udang relatif lebih banyak dan (c); kondisi tambak kurang baik, karena terbukanya sedimen terhadap udara dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi pirit menjadi asam sulfat, sehingga tanah menjadi sangat asam. Karenanya, budidaya udang dengan teknologi maju (intensif)cenderung tidak dilakukan di lahan mangrove, namun pada lokasi yang elevasinya lebih tinggi dari pasang tertinggi yang umumnya berupa sawah atau tegalan marjinal. Menurut Singh (1980), dan Hamilton dan Snedaker (1984) dalam Naamin (1990) kondisi ini dapat menyebabkan: (i) pertumbuhan udang maupun ikan lambat dan kematian tinggi karena lahan dan airnya terlalu asam. Dalam keadaan asam pertumbuhan udang menurun. Pada pH di bawah 5.0 pertumbuhan terhenti dan pada pH sekitar 4.0 akan terjadi kematian; (ii) respon pupuk sangat rendah; (iii) produksi pakan alami rendah; dan (iv) erosi tanggul menyebabkan air tambak menjadi asam.

Untuk menjamin kelestarian mangrove mesti disediakan jalur hijau (green belt)sebagai kawasan sempadan pantai, yang secara ekologis bermanfaat untuk mempertahankan ekosistem pesisir beserta biotanya agar fungsi dan kekhasannya dapat terpelihara dan berkelanjutan. Namun, sejalan dengan pemenuhan kebutuhan manusia dan semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan, membuat masyarakat cenderung untuk memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama pemanfaatan hutan mangrove yang dijadikan pertambakan (PKSPL-IPB, 2001).

Penentuan kawasan jalur hijau pantai sudah ditetapkan melalui Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Penerapannya harus mempertimbangkan tatalguna lahan nasional, tatalguna lahan kesepakatan, keadaan sosial ekonomi, budaya masyarakat setempat dan kepentingan pertahanan dan keamanan. Lebar jalur hijau pantai ditetapkan mulai dari garis air surut terendah, ke arah darat atau dari laut ke batas tanggul tambak.


(35)

Jalur hijau mangrove berkelanjutan dapat terwujud jika pola penggunaan lahan di belakang jalur hijau memperhatikan kesesuaian lahan dan aspek-aspek yang mendukung kelestarian ekosistem mangrove. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: (a) kegiatan budidaya pada kawasan mangrove diupayakan tetap mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove, (b) kegiatan budidaya tambak tidak menimbulkan limbah yang dapat merusak ekosistem mangrove, (c) kegiatan eksploitasi kayu di kawasan mangrove harus sesuai dengan sistem silvikultur yang dianjurkan, (d) regenerasi alami/buatan pada kawasan mangrove perlu dijaga dan dipertahankan untuk mendukung hasil panen yang lestari, dan (e) setiap bentuk kegiatan yang melakukan pembukaan lahan mangrove perlu menyiapkan dan melakukan kegiatan rehabilitasinya.

Pembukaan lahan mangrove yang kurang cermat untuk pertambakan dapat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan akibat terjadinya perubahan ekologi. Kapestky (1982) menjelaskan bahwa perusakan daerah estuaria dapat menyebabkan laju sedimentasi dari pembasuhan suspensi bahan organik, sehingga menurunkan produktivitas perairan. Akibat lainnya adalah penghancuran struktur tanah pantai (Darsidi dan Liang, 1986) dan terancamnya berbagai jenis fauna penghuni hutan mangrove (Suwelo dan Maanan, 1986). Oleh karena itu dengan terjadinya penyusutan luas mangrove akan berdampak negatif dan menjadi penyebab utama degradasi sumberdaya perikanan. Untuk itu konversi mangrove ke pertambakan harus dilakukan secara rasional dan berwawasan lingkungan.

Menurut Soemarno (1986), Ilyas (1987), dan Poernomo (1988), lebar jalur hijau 50 m merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pembukaan tambak. Jalur hijau yang dipertahankan tidak saja yang berada di sepanjang pantai dan alur sungai, namun juga di areal antara tiap unit tambak. Dalam Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dijelaskan, untuk pengelolaan hutan mangrove, ditetapkan beberapa ketentuan berikut: (a) perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai, yaitu berupa daratan sepanjang tepian yang lebarnya minimal 100 m dari titik pasang


(36)

tertinggi ke arah darat (pasal 13 dan 14), atau paling sedikit selebar 130 kali beda tinggi pasang surut (tidal range); dan (b) perlindungan terhadap sempadan sungai untuk melindungi sungai agar fungsi sungai dan kualitas airnya tidak terganggu, yaitu sekurang-kurangnya 100 m dari kiri kanan sungai besar dan 50 m dari kiri kanan sungai kecil, atau 10-50 m dari sungai yang terletak di kawasan pemukiman (pasal 15 & 16).

Dengan demikian, keputusan yang diambil untuk memilih lahan yang sesuai untuk pertambakan harus mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan dan kelestariannya (Hardjowigeno, 2001). Kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian lahan secara sistematik dengan mengkategorikannya berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kelayakan suatu usaha atau penggunaan tertentu. Untuk tujuan pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan untuk kegiatan pertambakan udang, maka klasifikasi kesesuaian lahan ditujukan untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan, serta menjamin kegiatan pertambakan udang tersebut dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan (integrated and sustainable development),ditinjau secara ekologis maupun sosial ekonomis.

2.5 Pemodelan (Modelling)

Salah satu pertanyaan mendasar dalam memecahkan permasalahan pengelolaan sumberdaya alam yang kompleks di wilayah pulau-pulau kecil adalah pendekatan apakah yang kira-kira mampu mengakomodasikan kompleksitas pengelolaan tersebut. Dalam konteks analisis, pemodelan dapat dijadikan sebagai wahana (vehicle) untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa komponen atau variabel yang penting dalam pemodelan.


(37)

a. Sistem

Sistem berasal dari kata “systema” dalam bahasa Yunani yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian (Winardi, 1999). Setiap fenomena, baik struktural maupun fungsional, yang memiliki sekurang-kurangnya dua komponen yang dapat dipisahkan dan yang saling berinteraksi dapat dianggap sebagai suatu sistem (Hall dan Day, 1977). Dalam hubungan ilmu-ilmu fisika dan biologi, suatu sistem adalah sebuah pengaturan koleksi dari interelasi komponen fisik dengan karakteristik yang dibatasi dan unit fungsional (Grant et al., 1997). Definisi lain yang lebih umum adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al., 2001). Menurut Manetsch dan Park (1977), sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Suatu sistem merupakan himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian yang membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Namun tidak semua kumpulan dan gugus bagian dapat disebut suatu sistem kalau tidak memenuhi syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional dan tujuan yang berguna. Selanjutnya Prahasta (2001) lebih menekankan pada sekumpulan obyek, ide, yang saling berhubungan dalam mencapai tujuan dan sasaran bersama. Apabila didasarkan pada sudut pandang filosofis , suatu sistem dapat diartikan sebagai bangunan aktual dari alam atau upaya manusia untuk memberlakukan aturan terhadap setiap kekacauan yang terjadi di alam.

Ilmu sistem ditumbuh kembangkan untuk merangkai secara utuh komponen-komponen yang berharga dari pengetahuan spesialis, dan mewujudkannya menjadi gambaran yang jelas. Teori sistem dimanfaatkan guna mempelajari kenyataan akan aturan yang sistematis dan ketergantungan (interdependendency). Dalam mendefinisikan suatu sistem, yang paling penting adalah perihal relevansi (kesesuaian). Oleh karena itu, adalah penting untuk selalu membayangkan suatu sistem sebagai koleksi yang terisolir dari komponen-komponen yang berinteraksi.


(38)

Setiap fenomena, baik struktural maupun fungsional, yang memiliki sekurangnya dua komponen yang dapat dipisahkan dan yang saling berinteraksi dapat dianggap sebagai suatu sistem. Suatu sistem dapat diartikan sebagai bangunan aktual dari alam atau upaya manusia (misalnya, taksonomi) untuk memberlakukan aturan terhadap setiap kekacauan yang terjadi di alam. Analisis sistem merupakan suatu penelitian mengenai sistem yang bersangkutan, atau mengenai sifat-sifat umum dari sistem tersebut. Holisme adalah filosofi mengenai penelitian terhadap perilaku total (atau atribut-atribut total lainnya) dari suatu sistem yang rumit.

Sistem seringkali diklasifikasikan sebagai: (1) sistem-sistem alamiah (natural systems) dan (2) sistem-sistem buatan (man-made systems) (Winardi, 1999). Sistem alamiah terdiri dari sistem fisik misalnya: matahari, bumi, molekul hingga atom dan sistem yang mengandung kehidupan (living system) atau sistem biologis seperti manusia, hewan dan tanaman. Sedangkan sistem buatan terdiri dari sistem sosial (social system), yaitu: keluarga, organisasi, agama, juga sistem mekanistik (mechanistic system) seperti sebuah mobil, sebuah jam dan lain-lain. Khusus sistem organisasi, terdiri dari sistem operasional, sistem manajemen atau sistem keputusan, dan sistem informasi (Suryadi dan Ramdhani, 2000). Selanjutnya sistem informasi ini merupakan kesatuan (entity) formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya baik fisik maupun logika (Prahasta, 2001). Dari organisasi ke organisasi, sumberdaya-sumberdaya ini disusun atau distrukturkan dengan beberapa cara yang berlainan karena organisasi dan sistem informasi merupakan sumberdaya-sumberdaya yang bersifat dinamis. Dengan demikian, struktur organisasi yang dibuat pada saat ini bisa jadi harus dimodifikasi keesokan harinya. Jadi diperlukan konsep secara logis dapat menggambarkan struktur sistem informasi, yang direpresentasikan oleh semua sumberdaya fisiknya, untuk berbagai ukuran sistem informasi di dalam bermacam-macam tipe organisasi. Fungsi logis di sini, digunakan untuk penalaran yang selanjutnya dapat digunakan untuk analisis, penjelasan, argumen, dan bahkan untuk penyelesaian masalah (Poerwowidagdo, 2001)


(39)

Sistem informasi berbasis komputer dibagi lagi menjadi: sistem manajemen data dasar (databased management system), sistem informasi manajemen (management information system), sistem penunjang keputusan (decision support system), dan sistem pakar (expert system) (Marimin, 2002). Selain dari sistem informasi sebelumnya beberapa pakar geografi masih menambahkan sistem informasi geografis (SIG), yaitu suatu paradigma baru dalam proses pengambilan keputusan dan penyebaran informasi. Dari merepresentasikan ”dunia nyata” dapat disimpan dan diproses sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana sesuai kebutuhan (Prahasta, 2001 dan Jaya, 2002).

Berbagai sistem telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, namun demikian masing-masing dari sistem-sistem tersebut memiliki komponen-komponen yang juga dapat dianggap sebagai sistem, dan masing-masing dari komponen tersebut merupakan bagian dari sistem yang lebih luas lagi. Jadi, setiap sistem yang ingin diteliti merupakan bagian dari suatu hierarki dalam sistem-sistem yang lain. Terserah pada kita untuk memilih bagian mana dari hierarki tersebut yang akan diteliti, dan usaha pertama yang harus dilakukan adalah mendefinisikan batasan-batasan spasial, temporal, dan konseptual yang akan dibahas.

Sistem-sistem alam yang diawali dengan organisme individu, yang kemudian beranjak ke arah yang lebih rumit lagi. Ikan yang berasal dari satu spesies merupakan bagian dari suatu populasi ikan. Populasi ikan, bersama dengan populasi satwa lain (mamalia, moluska, dan lain-lain) dan populasi tumbuhan air dengan siapa mereka berinteraksi dalam lingkungan spasial, dianggap sebagai komunitas. Komunitas, bersama dengan lingkungan tidak hidup (non-living) membentuk suatu ekosistem, yang merupakan kependekan dari sistem-sistem ekologi. Seluruh kehidupan di bumi ini secara kolektif disebut biosphere.

Suatu sistem dapat dinyatakan secara deskriptif dalam bentuk pernyataan (statement) yang dirumuskan dalam kata-kata atau kalimat. Gejala-gejala alam sehari-hari, atau peristiwa-peristiwa alam di waktu yang lalu, apabila diamati


(40)

secara seksama mengikuti pola-pola alami yang dapat dijelaskan dengan analisis matematika. Dalam membuat pertanyaan, ataupun pernyataan digunakan nalar atau logika.

Subsistem adalah suatu unsur atau komponen fungsional daripada suatu sistem, yang berperan dalam pengoperasian sistem tersebut. Elemen suatu sistem (entity) berbeda dengan subsistem dari sistem. Untuk membedakan subsistem dengan elemen, maka diperlukan pembahasan atas tingkat resolusi (penguraian). Subsistem dikelompokkan dari bagian-bagian sistem yang masih berhubungan satu sama lain pada tingkat resolusi tertinggi, sedangkan elemen dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi rendah (Eriyatno, 1999).

b. Model

Dalam bidang ilmu pengetahuan suatu model merupakan abstraksi (abstraction), ataupun penyederhanaan (simplification) dari suatu sistem, dan untuk menafsirkannya (Jorgensen, 1988; Hall dan Day, 1977 dan Grant et al., 1997). Dengan kata lain, model dalam arti luas merupakan penggambaran sebagian dari kenyataan. Model-model dari ekosistem jauh lebih sederhana daripada ekosistem yang sebenarnya. Suatu model harus memiliki atribut-atribut fungsional penting yang terkandung dalam sistem nyata. Tentu saja suatu model tidak akan dapat memiliki seluruh atribut, karena kalau hal tersebut terjadi, yang dihasilkan bukanlah suatu model, melainkan suatu sistem nyata. Pembuatan model dilakukan untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran terhadap suatu sistem yang rumit, dan kadang-kadang untuk meramalkan konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang mungkin akan mahal harganya, sulit, ataupun bersifat destruktif terhadap sistem nyata yang bersangkutan. Definisi lainnya adalah model merupakan alat untuk meramalkan perilaku dari suatu kesatuan, yang rumit dan kurang dipahami, dari perilaku bagian-bagian yang dipahami dengan baik. Definisi yang lain lagi, model dapat dianggap sebagai suatu formalisasi dari pengetahuan mengenai suatu sistem.


(41)

Pemodelan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia. Cikal bakal pemodelan sudah ada sejak zaman Mesir kuno, Babylonia, zaman kejayaan Yunani dan Romawi. Di zaman Mesir kuno, masyarakat Mesir dianugerahi Sungai Nil yang setiap tahun mengalami banjir. Banjir di Sungai Nil tersebut membawa bencana sekaligus anugerah. Dikatakan bencana, sebab banjir pada gilirannya akan menghilangkan batas-batas kepemilikan lahan. Dikatakan anugerah, sebab banjir justru membawa kesuburan bagi lahan-lahan pertanian di sepanjang Sungai Nil. Masyarakat Mesir kuno juga dihadapkan pada sistem perekonomian dengan pajak yang amat tinggi. Setiap tahun pemerintahan Firaun menghitung pajak yang harus dibayar masyarakat berdasarkan luas area lahan yang dimiliki dan juga tinggi air permukaan akibat banjir. Yang menolak membayar pajak harus menghadapi hukuman yang amat keras, bahkan kematian. Dihadapkan pada kehidupan seperti itulah masyarakat Mesir kuno harus berpikir keras untuk mengembangkan metode pengukuran yang tepat dan akurat. Sistem pengukuran yang dilakukan masyarakat Mesir kuno dikenal sangat impressive dan reliable. Tidaklah mengherankan jika kemudian hasil karya mereka, seperti pyramid dan sphynx, menjadi salah satu monumen peradapan dunia yang sangat menakjubkan. Dan itu semua dilakukan melalui proses pemodelan atau modelling, khususnya mental modelling (Fauzi dan Anna, 2005).

Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa proses pemodelan di zaman modern saat ini berakar dari cara berpikir masyarakat Yunani dalam mengekspresikan dan mengabstraksikan sistem yang kompleks ke dalam penyederhanaan berpikir melalui pendekatan geometrik dan matematik. Adalah seorang pemikir Yunani bernama Thales yang pada 2.500 tahun lalu pertama kali menemukan bahwa matematika tidak hanya dapat digunakan untuk menghitung, namun juga untuk mempelajari alam semesta. Salah satu temuan Thales yang paling terkenal ketika itu adalah kemampuannya untuk memprediksi gerhana matahari yang terjadi pada tahun 585 SM dengan sangat tepat. Thales juga dikenal sebagai penemu pertama sistem berpikir logis (system of logical reasoning) yang merupakan akar dari pemodelan.


(42)

Dari peradaban Mesir kuno, Babylonia, Romawi dan Yunani, pemodelan terus berkembang sampai ke zaman peradaban modern saat ini. Bahkan kemudian pemodelan menjadi lebih kompleks dan sering bersifat surealis. Namun, terlepas dari itu, model dan pemodelan telah membantu manusia memahami sistem alam yang kompleks, dari mikroskopis sampai makroskopis (Fauzi dan Anna, 2005).

Sistem digambarkan ke dalam suatu model sebagai representasi atau formalisasi dari suatu sistem nyata atau dengan kata lain suatu model merupakan abstraksi ataupun penyederhanaan dari suatu sistem. Model digunakan untuk memberikan gambaran (description), memberikan penjelasan (prescription), dan memberikan perkiraan (prediction) dari realitas yang diselidiki. Pembuatan model adalah perluasan dari suatu analisis ilmiah. Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut sebagai modelling atau pemodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis. Secara skematis, proses pemodelan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005) Pemodel

Dunia

Nyata

Dunia Model

Ditampilkan kembali sebagai hasil proses berpikir


(43)

Model-model dari ekosistem jauh lebih sederhana daripada ekosistem-ekosistem yang sebenarnya, seperti halnya model pesawat terbang jauh lebih sederhana daripada pesawat terbang yang sebenarnya. Suatu model harus memiliki atribut-atribut fungsional penting yang terkandung dalam sistem nyata. Tentu saja suatu model tidak akan dapat memiliki seluruh atribut; karena kalau hal tersebut terjadi, yang dihasilkan bukanlah suatu model, melainkan suatu sistem nyata.

Pembuatan model dilakukan untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran terhadap suatu sistem yang rumit dan, kadang-kadang, untuk meramalkan konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang mungkin akan mahal harganya, sulit, ataupun bersifat destruktif terhadap sistem nyata yang bersangkutan. Definisi lainnya adalah bahwa model merupakan alat untuk meramalkan perilaku dari suatu kesatuan, yang rumit dan kurang dipahami, dari perilaku bagian-bagian yang dipahami dengan baik (Goodman, 1975 dalam Hall dan Day, 1977). Definisi ketiga adalah bahwa model dapat dianggap sebagai suatu formalisasi dari pengetahuan mengenai suatu sistem. Untuk saat ini, definisi yang pertama, yaitu bahwa model adalah suatu penyederhanaan, merupakan definisi yang paling bermanfaat.

Pembuatan model diperlukan untuk memahami alam karena alam sangatlah rumit. Bagaimanapun, model-model yang dibuat harus sering diperiksa kaitannya dengan dunia nyata untuk memastikan keakuratan dari gambaran mengenai model-model tersebut. Alat yang paling baik digunakan adalah sifat saling mempengaruhi antara model dengan empirisme, yang secara idealnya berada dalam suatu rangkaian bolak-balik. Analisis terhadap sistem-sistem yang rumit, dan pembuatan model dari sistem-sistem-sistem-sistem tersebut, berkebalikan dengan kecenderungan-kecenderungan reduksionis dalam hal ilmu. Baru-baru ini, mengisolasi dan mengontrol komponen-komponen alam yang sangat kecil telah menjadi alat penelitian yang paling baik dalam membantu manusia memahami alam (Platt, 1968).


(44)

Dua tipe utama dari model ekologi (dan pembuat model) yang sering digunakan dan dapat diklasifikasikan dengan baik adalah model analitik dan model simulasi. Meskipun kedua pendekatan tersebut, secara teoritis, diarahkan pada peningkatan pemahaman dan ramalan mengenai sistem-sistem ekologi dan komponen-komponennya. Dalam prakteknya, kedua metode tersebut umumnya digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat jauh berbeda, dan pendekatan-pendekatan matematika yang digunakan pun jauh berbeda pula.

Pendekatan analitik mengacu pada sejumlah prosedur matematika dalam menemukan pemecahan yang tepat untuk persamaan diferensial dan persamaan lainnya. Karena perilaku dari beberapa jenis persamaan matematika telah cukup dikenal, pendekatan analitik memiliki kemampuan yang hebat apabila beberapa aspek alam dapat digambarkan dengan baik oleh satu atau beberapa persamaan tersebut. Pendekatan analitik telah berhasil digunakan dalam bidang fisika; misalnya, terdapat banyak interaksi antar partikel yang dapat digambarkan dengan baik (secara rata-rata) oleh ekspresi-ekspresi matematika yang relatif sederhana. Sebenarnya, selama partikel-partikel tersebut memberikan respon dalam gaya yang sama dengan persamaan-persamaan analitik, ilmuwan yang menggunakan prosedur-prosedur analitik tersebut memiliki kemampuan prediktif yang luar biasa, karena perilaku dari partikel-partikel tersebut dapat diketahui dengan cara meneliti respon dari persamaan-persamaan matematika yang bersangkutan. Model matematika menggunakan notasi-notasi dan persamaan-persamaan matematika untuk mempresentasikan sistem. Atribut-atribut dinyatakan dengan variabel-variabel, dan aktivitas-aktivitas dinyatakan dengan fungsi matematika yang menjelaskan hubungan antar variabel tersebut (Suryadi dan Ramdhani, 2000).

Pendekatan analitik telah cukup banyak digunakan dalam beberapa aspek dari ekologi, terutama populasi biologi dan populasi genetika. Metode-metode analitik juga bermanfaat untuk pembuatan model-model teoritis yang akan menjadi landasan untuk pembuatan teori ekologi. Dalam beberapa kasus, model-model analitik bermanfaat untuk pembuatan program-program manajemen populasi.


(45)

c. Simulasi

Simulasi adalah proses pembangkitan pola terhadap waktu yang dihasilkan dari operasi sistem. Dengan bantuan komputer, simulasi menunjukkan apa yang dilakukan sistem terhadap waktu (Odum, 1992). Simulasi mencakup usaha membentuk sebuah model eksperimental tentang sesuatu proses atau sistem keputusan, untuk kemudian mengevaluasi berbagai macam alternatif-alternatif spesifik dengan jalan menguji model yang bersangkutan secara berulang (Winardi, 1999). Menurut Eriyatno (1999), simulasi merupakan suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya. Selanjutnya Suryadi dan Ramdhani (2000) mendefinisikan simulasi sebagai proses mendesain model dari suatu sistem nyata dengan melakukan eksperimen dengan model tersebut untuk memahami perilaku sistem itu dan/atau mengevaluasi berbagai strategi operasi dari sistem. Model simulasi menitik-beratkan pada pendekatan meniru atau memodelkan masalah yang dihadapi setepat mungkin untuk kemudian melaksanakan eksperimen dengan model tersebut dengan cara sistematis sehingga dapat dibandingkan dengan berbagai macam alternatif, guna menetapkan kebijakan yang lebih baik.

Teknik simulasi telah lama dikenal sebagai alat penting bagi seorang perencana. Dengan adanya kemajuan yang pesat dari penggunaan komputer, teknik tersebut telah menjadi bagian yang penting dalam bidang manajemen. Simulasi menjadi alat mutakhir untuk mengadakan eksperimen dalam penelitian operasional dan teknik sistem. Penentuan simulasi dapat diartikan sebagai pembagian model abstrak ke dalam bagian yang lebih kecil, kemudian dihubungkan dengan perilaku masing-masing bagian. Simulasi dasar komputer dilakukan untuk menunjukkan pengaruh dari masing-masing interaksi. Sesudah penyusunan model, kemudian dilanjutkan dengan mencari input data untuk


(46)

simulasi operasi yang benar dari sutatu sistem yang telah berjalan. Dengan melakukan ulangan, maka akan diperoleh suatu alternatif dari berbagai rancangan konfigurasi.

Simulasi lebih menunjukkan suatu estimasi statistik, dibanding hasil yang eksak dan lebih cenderung hanya merupakan suatu perbandingan dari berbagai alternatif untuk mendekati titik optimum. Simulasi ini sering dikenal sebagai simulasi stokastik atau simulasi Monte Carlo yang menggunakan pemodelan matematika untuk mempelajari suatu sistem yang berkarakteristik adanya kejadian acak (random events). Kejadian acak ini diekspresikan dalam unit variabel acak yang nilainya didapatkan melalui aplikasi komputer. Perihal keragaman yang terjadi di dunia nyata dapat ditelaah melalui reproduksi secara artifisial dari perilaku sistem. Hasil akhir simulasi umumnya berupa informasi dalam bentuk angka tentang kinerja sistem, sehingga belum memberikan informasi hubungan sebab akibat (Eriyatno, 1999). Namun demikian, dapat dimanfaatkan dalam banyak hal yang meliputi: (1) analisis terinci dari kebijakan tertentu, (2) analisis sensitivitas, (3) perbandingan antara beberapa alternatif kebijakan (skenario), (4) penilaian antara biaya dan manfaat.

Menurut Suryadi dan Ramdhani (2000), model matematis yang dipelajari dengan simulasi dapat ditinjau dari tiga dimensi yang berbeda, yaitu:

(1) Statis-dinamis: model simulasi dapat digunakan untuk menggambarkan sistem yang bersifat baik statis maupun dinamis. Model simulasi statis adalah model yang menggambarkan sistem dimana keadaannya tidak dipengaruhi waktu. Model simulasi dinamis adalah model simulasi yang keadaan sistemnya berubah dipengaruhi waktu.

(2) Stokastik-deterministik: model simulasi dapat menggambarkan keadaan yang bersifat pasti (deterministik) atau tidak mengandung unsur probabilitas, dan bersifat tidak pasti (stokastik) dengan mengandung unsur probabilitas yang ditandai dengan adanya kerandoman input dari model.

(3) Kontinu-diskrit: model simulasi disebut diskrit jika status sistem berubah pada waktu yang diskrit. Sedangkan model simulasi disebut


(47)

kontinu jika status variabelnya berubah seiring berjalannya waktu. Variabel-variabel model simulasi dapat berubah dengan cara:

ƒ Kontinu setiap saat

ƒ Diskrit setiap saat

ƒ Kontinu pada saat-saat tertentu

ƒ Diskrit pada saat-saat tertentu.

Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan manakala memilih simulasi sebagai teknik pendukung keputusan, yaitu:

(1) Simulasi tidak dapat mengoptimasi performansi sistem, tetapi hanya menggambarkan atau memberi jawaban atas pertanyaan ”apa yang akan terjadi”

(2) Simulasi tidak memberikan pemecahan masalah, tetapi hanya menyediakan informasi yang menjadi dasar pengambilan keputusan (3) Simulasi juga tidak dapat memberikan hasil yang akurat atas

karakteristik sistem jika datanya tidak akurat dan modelnya tidak dinyatakan dengan jelas.

Manfaat utama dari penggunaan simulasi adalah sifat fleksibelitasnya. Secara praktis setiap permasalahan yang mengandung resiko dapat dikaji dengan derajat ketepatan yang memadai melalui suatu model simulasi. Simulasi tidak dapat dipisahkan dengan unsur ketepatan. Simulasi lebih menunjukkan suatu estimasi statistik, dibanding hasil yang eksak dan lebih cenderung hanya merupakan suatu perbandingan dari berbagai alternatif untuk mencapai titik optimum.

2.6 Optimisasi Sumberdaya Perikanan

Pada dasarnya pembangunan ekonomi di sebagian besar negara di dunia adalah berbasiskan pada sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang menjadi tulang punggung ekonomi, adalah sumberdaya perikanan. Sumberdaya inipun rentan terhadap deteriorasi yang diakibatkan oleh aktivitas ekonomi. Oleh karenanya timbul pertanyaan bagaimana mengelola sumberdaya perikanan


(48)

yang terbaik yang akan menghasilkan kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat dan bangsa. Pemikiran ke arah tersebut sudah dimulai sejak tahun 1911 ketika Jan Warming (ekonom Norwegia) mempublikasikan artikelnya yang berjudul Om Grunrente av Fiskegrunde atau “hal rente ekonomi fishing ground” (Fauzi, 2001).

Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologis semata, dengan pendekatan yang disebut maximum sustainable yield (MSY) atau tangkapan maksimum yang lestari. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini di panen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable) (Fauzi, 2004).

Pendekatan biologi dengan menggunakan kerangka surplus produksi ini sendiri merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan umum yang biasa dipakai khususnya untuk perikanan yang multi spesies. Pendekatan lain seperti Total Biomass Schaefer Model (TBSM) yang dikembangkan oleh Brown et al. (1976), Pope (1979), Pauly (1979) dan Panayatou (1985), serta pendekatan independen single species yang dikembangkan oleh Anderson dan Ursin (1976) dan May et al. (1979) memerlukan data dan perhitungan yang ekstensif sehingga sulit diterapkan wilayah yang memiliki multi spesies (Fauzi, 1998).

Dalam model surplus produksi, dinamika dari biomas digambarkan sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami sebagaimana digambarkan pada persamaan berikut:

Biomas pada t+1 = biomas pada t + produksi - mortalitas alami

Persamaan tersebut di atas menyatakan bahwa jika produksi melebihi mortalitas alami, maka biomas akan meningkat, sebaliknya jika mortalitas alami lebih tinggi dari pada produksi, maka biomas akan menurun. Istilah surplus produksi sendiri menggambarkan perbedaan atau selisih antara produksi dan


(49)

mortalitas alami di atas. Lebih jauh Hilborn dan Walter (1992) menyatakan bahwa surplus produksi menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktifitas penangkapan atau dengan kata lain jumlah yang bisa ditangkap jika biomas dipertahankan dalam tingkat yang tetap (Fauzi, 1998).

Salah satu tipe surplus produksi yang biasa digunakan adalah yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) berdasarkan model yang dikembangkan sebelumnya oleh Graham (1935). Model Schaefer ini digambarkan sebagai berikut: jika dimisalkan bahwa x adalah biomas dari stok yang diukur dalam berat, r adalah laju pertumbuhan alami dari populasi (intrinsict growth rate), dan K adalah daya dukung maksimum lingkungan (environmental carrying capacity), atau keseimbangan alamiah dari ukuran biomas, maka dalam kondisi tidak ada aktifitas penangkapan (non-fishing), laju perubahan biomas sepanjang waktu digambarkan sebagai:

) (x f dt dx

= (2.1)

dimana f (x) adalah fungsi pertumbuhan. Salah satu fungsi pertumbuhan yang sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik yang dituliskan pada persamaan berikut:

) 1 (

K x rx dt dx

= (2.2)

Dengan mengintroduksi penangkapan (h) ke dalam model, dan jika diasumsikan bahwa penangkapan berkorelasi linear terhadap biomas (x) dan input produksi atau effort (E), atau h=qxE dimana q adalah koefisien daya tangkap, maka laju pertumbuhan biomas menjadi:

qxE K

x rx dt

dx = ) 1

( (2.3)

Dengan menggunakan asumsi keseimbangan dimana laju pertumbuhan mendekati nol, atau dx/dt=0, maka diperoleh hubungan antara hasil tangkapan


(50)

lestari (sustainable yield)dan input yang digunakan, yang digambarkan dalam kurva parabolik pada Gambar 3.

Gambar 3. Kurva yield effort

Dari kurva tersebut terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (effort =0), maka produksi juga akan nol. Kemudian effort akan mencapai titik yang maksimum pada EMSY yang berhubungan dengan tangkap maksimurn

lestari (HMSY). Di dalam pendekatan biologi, pengelolaan sumberdaya

perikanan yang optimal dilakukan pada titik HMSY ini, karena pada titik inilah

diperoleh tingkat produksi yang maksimum, dengan asumsi bahwa ekosistem dalam keadaan keseimbangan, koefisien tangkap (catchability coeffisien) konstan (Clark, 1990) dan tidak ada dependensi antar spesies (Conrad dan Clark, 1987).

Namun demikian, menurut Fauzi (2004), pendekatan pengelolaan dengan konsep ini banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar di antaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam. Lebih jauh Conrad dan Clark (1987) misalnya menyatakan bahwa pendekatan MSY antara lain:

ƒ tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stockdepletion)

Effort EMSY

H M SY


(51)

ƒ didasarkan pada konsep keseimbangan (steady state) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state

ƒ tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen (imputed value)

ƒ sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis (multispecies).

Menyadari kelemahan ini, pendekatan ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan mulai dikembangkan pada awal tahun 1950-an. Titik tolak pendekatan ekonomi pengelolaan perikanan bermula dari publikasi tulisan Gordon (1954), seorang ekonom dari Kanada. Dalam artikelnya, Gordon menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access. Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumberdaya ikan relatif bersifat terbuka. Siapa saja dapat berpartisipasi tanpa harus memiliki sumberdaya tersebut. Gordon menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing)1 akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol (Fauzi, 2004).

Gordon memulai analisisnya berdasarkan asumsi konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883 yang kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi perikanan yaitu Schaefer, pada tahun 1957. Dari sinilah istilah teori Gordon-Schaefer kemudian dikenal. Untuk memahami teori Gordon-Schaefer, perlu dikemukakan beberapa konsep dasar biologi perikanan terlebih dahulu (Fauzi, 2004).

Dimisalkan bahwa pertumbuhan populasi ikan (x) pada periode t pada suatu daerah terbatas adalah fungsi dari jumlah populasi tersebut. Dengan kata lain, perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu, ditentukan oleh populasi pada awal periode. Fungsi pertumbuhan seperti ini disebut sebagai density dependent growth. Secara grafik, fungsi pertumbuhan ikan yang bersifat density dependent tersebut dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada Gambar 4.

1 Istilah ini merujuk pada situasi dimana faktor input dari perikanan telah digunakan melebihi

kapasitasnya untuk memanen stok ikan. Secara sederhana bisa dijelaskan bahwa untuk menangkap ikan yang sedikit diperlukan input perikanan yang banyak.


(1)

> restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=53.931; c:=12.456; h:=67.304;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 53.931 c := 12.456 h := 67.304 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 13.21623073

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 15844.48081

> PS:=abs(p0*h-A);

PS := 12214.70879 1993

> restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=60.033; c:=14.689; h:=65.947;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 60.033 c := 14.689 h := 65.947 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 15.53075079

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 18663.82500


(2)

1994 > restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=63.664; c:=13.582; h:=71.248;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 63.664 c := 13.582 h := 71.248 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 14.56268603

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 17333.92714

> PS:=abs(p0*h-A);

PS := 12797.99447 1995

> restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=72.745; c:=18.464; h:=69.502;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 72.745 c := 18.464 h := 69.502 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 19.70470817

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 23530.05869


(3)

> restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=79.333; c:=20.937; h:=80.073;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 79.333 c := 20.937 h := 80.073 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 23.01433806

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 26921.25159

> PS:=abs(p0*h-A);

PS := 20568.82028 1997

> restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=84.588; c:=19.227; h:=81.419;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 84.588 c := 19.227 h := 81.419 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 21.21916762

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 24751.00024


(4)

1998 > restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=140.451; c:=35.286; h:=79.581;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 140.451 c := 35.286 h := 79.581 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 38.73102880

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 45352.43957

> PS:=abs(p0*h-A);

PS := 34175.20854 1999

> restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=221.665; c:=65.356; h:=90.149;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 221.665 c := 65.356 h := 90.149 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 74.12633106

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 84771.28010


(5)

> restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=214.731; c:=60.044; h:=93.571;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 214.731 c := 60.044 h := 93.571 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 68.88825202

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 78115.62399

> PS:=abs(p0*h-A);

PS := 58023.02959 2001

> restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=266.464; c:=72.919; h:=93.290;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 266.464 c := 72.919 h := 93.290 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 83.57929464

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 94842.15455


(6)

2002 > restart;

> alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=285.480; c:=66.483; h:=95.900;

α := 1.083272967 β := 0.001971599990

p0 := 285.480 c := 66.483 h := 95.900 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2));

AC := 76.89614136

> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-

1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(-4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 86670.95331

> PS:=abs(p0*h-A);

PS := 59293.42131