116 MEY juga menghasilkan rente ekonomi yang paling tinggi sebesar
Rp 8.1 milyar dibandingkan dua rezim pengelolaan yang lain, rente pada kondisi MSY sebesar Rp 7.0 milyar sedangkan pada kondisi open access nilai rentenya
hampir mendekati nol.
5.11 Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Perikanan
Hasil analisis interaksi antara ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan memperlihatkan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi
terhadap produksi sumberdaya perikanan. Interaksi keduanya digambarkan oleh persamaan model Fozal berikut:
2
0061751043 .
036915481 .
1 E
E h
t
− =
. Hasil perhitungan model Fozal dan peta sebaran mangrove dapat dilihat pada
Lampiran 10 dan 11. Perbedaan produksi antara kondisi baseline dan model Fozal dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Perbedaan antara produksi sumberdaya perikanan baseline dengan Model Fozal
Perbedaan Tahun
Effort Trip
Produksi Lestari
Baseline Ton
Mangrove Ha
Produksi Lestari
SDP dari Mangrove
Ton Produksi
Ton
1985 67 556
641.8 31 001.0
418.7 223.1
34.77 1986
68 665 650.9
33 587.5 420.9
230.0 35.34
1987 76 816
715.8 36 173.9
432.2 283.6
39.62 1988
69 219 655.4
38 760.3 421.9
233.5 35.62
1989 69 049
654.0 41 346.8
421.6 232.4
35.54 1990
68 536 649.8
43 933.2 420.6
229.2 35.27
1991 71 412
673.0 46 519.7
425.6 247.4
36.76 1992
69 726 659.5
49 106.1 422.8
236.7 35.89
1993 76 393
712.5 51 692.5
431.8 280.7
39.40 1994
74 172 695.0
54 279.0 429.4
265.6 38.22
1995 88 018
800.7 56 865.4
434.3 366.4
45.76 1996
89 855 814.2
59 451.9 433.2
381.0 46.80
1997 87 350
795.8 62 038.3
434.6 361.2
45.39 1998
102 246 901.5
64 624.7 414.7
486.8 54.00
1999 107 353
935.7 67 211.2
401.6 534.2
57.09 2000
106 928 932.9
69 797.6 402.8
530.1 56.83
2001 110 920
959.0 48 718.0
390.5 568.5
59.28 2002
117 889 1 003.1
48 567.0 364.3
638.8 63.68
Rata-rata 84 561 769.5
50 204.1 417.9
351.6 44.18
117 Selanjutnya trajektori produksi lestari sumberdaya perikanan baseline
dan produksi dari kontribusi mangrove Model Fozal dapat dilihat pada Gambar 43.
20 40
60 80
100 120
1 985
1 986
1 987
1 988
1 989
1 990
1 991
1 992
1 993
1 994
1 995
1 996
1 997
1 998
1 999
2 000
2 001
2 002
Tahun P
roduk s
i 1
Ton
Baseline Mangrove Fozal
Gambar 43. Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun 1985-2002
Dari Gambar 43 memperlihatkan bahwa mangrove di Kabupaten Bengkalis memberikan kontribusi sebesar 44.18. Besar kecilnya kontribusi
mangrove terhadap sumberdaya perikanan demersal diduga tergantung dari pola distribusi dan hubungan rantai makanan dengan ekosistem mangrove. Dari data
produksi ikan demersal terlihat bahwa ikan senangin merupakan ikan yang dominan yang tertangkap dan alat tangkap yang dominan digunakan adalah
jaring insang hanyut. Alat tangkap ini umumnya beroperasi di wilayah laut yang agak jauh ke tengah yang relatif jauh dari kawasan mangrove. Peta
sebaran alat tangkap yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 12, sedangkan kurva lestari dari produksi sumberdaya perikanan baseline dan Model Fozal
dapat dilihat pada Gambar 44.
118
Gambar 44. Kurva sustainable yield baseline dan Model Fozal
Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung kehidupan berbagai organisme akuatik. Disamping sebagai habitat bagi berbagai jenis
organisme akuatik yang berasosiasi dengannya, ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai tempat memelihara larva, tempat bertelur dan tempat untuk
mencari makan bagi berbagai organisme akuatik. Menurut Ruitenbeek 1992, nilai net benefit tahunan mangrove di Indonesia sekitar US
l 235. Dari
keseluruhan nilai tersebut kegiatan perikanan fisheries memberikan kontribusi terbesar sekitar US
l 117 49.79 , diikuti oleh kegiatan kehutanan forestry
sekitar US l
67 28.51 , pemanfaatan oleh masyarakat lokal local uses sekitar US
l 33 14.04 , fungsi keanekaragaman hayati biodiversity US 15
6.38 , dan fungsi penahan erosi US 3 1.28. Selanjutnya Alikodra 1999 menyatakan bahwa nilai penting lain dari
ekosistem mangrove adalah dalam bentuk fungsi-fungsi ekologi yang vital, termasuk pengendalian terhadap erosi pantai, stabilisasi sedimen, perlindungan
bagi terumbu karang di dekatnya terhadap padatan-padatan tersuspensi, perlindungan bagi tataguna lahan di wilayah pantai dari badai dan tsunami,
pencegahan terhadap intrusi garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap polusi, suplai detritus organik dan hara untuk perairan patai di dekatnya, serta
Mangrove Baseline
119 penyediaan pakan, pemeliharaan larvae dan perkembangbiakan ikan dan
kehidupan lainnya. Kawaroe
et al. 2001 menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki
peran yang sangat penting dalam dinamika ekosistem pesisir dan laut, terutama perikanan pantai sehingga pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem mangrove
merupakan salah satu alasan untuk tetap mempertahankan keberadaan ekosistem tersebut. Peran ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan laut dapat
dihubungkan dengan fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang keberadaan biota menurut beberapa aspek antara lain adalah fungsi fisik, biologi, dan sosial
ekonomi. Salah satu alasan yang menjadikan ekosistem mangrove sangat terkait dengan perairan di sekitarnya adalah keunikan ekosistem mangrove yang
merupakan batas yang menghubungkan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga dapat mempengaruhi proses kehidupan biota flora dan fauna di
wilayah tersebut. Berbeda dengan ekosistem darat, mangrove adalah ekosistem terbuka, yang dihubungkan dengan ekosistem laut melalui arus pasang surut.
Keterkaitan ekosistem mangrove dengan sumberdaya ikan telah dibuktikan oleh Paw dan Chua 1989 yang melakukan penelitian di Filipina,
dan menemukan hubungan positif antara area mangrove dan penangkapan udang penaeid. Di Indonesia, Martosubroto dan Naamin 1977 membuktikan
hubungan yang positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Tetapi Chansang 1979, menyatakan hubungan yang ada
tidak linear dan terdapat hubungan negatif antara mangrove dan hasil panen udang pada setiap unit area yang merupakan produktivitas mangrove.
Mengingat peran penting ekosistem mangrove terhadap sumberdaya perikanan maka perlu dilakukan upaya-upaya pengelolaan terhadap kawasan
mangrove. Apa yang terjadi di Easter Island dimana hutan-hutan dieksploitasi untuk dijadikan bahan pembuat kapal-kapal penangkap ikan dan berbagai
kebutuhan lainnya tanpa mengindahkan kelestarian sumberdaya tersebut. Akibatnya berdampak negatif terhadap sumberdaya perikanan yang mengalami
120 collaps
dan dibutuhkan waktu lebih kurang 200 tahun untuk pemulihan recovery sumberdaya perikanan.
Menurut Imran et al. 2002, secara umum permasalahan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia, yaitu :
1 Kurangnya intensitas perlindungan protection, perawatan, dan perbaikan terhadap kondisi hutan mangrove baik itu oleh institusi
kehutanan maupun masyarakat di sekitarnya. 2 Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam
memanfaatkan kawasan ekosistem hutan mangrove sebagai kawasan yang kaya akan natural resources yang apabila digali dan dimanfaatkan
secara bijaksana dapat memberikan input bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan pada masyarakat sendiri.
3 Kurangnya pembinaan dan kerja sama antar seluruh stakeholder dalam menjaga dan memperbaiki kondisi ekosistem hutan mangrove.
4 Belum jelasnya penataan wilayah pengelolaan hutan mangrove di setiap daerah, sehingga menyebabkan ketidakjelasan pemanfaatan hutan
mangrove bagi masyarakat, baik itu untuk budidaya perikanan berupa daerah pertambakan, maupun untuk keperluan bahan baku.
5 Pemerintah masih kurang melibatkan stakeholder yang berkepentingan terhadap pengelolaan ekosistem hutan mangrove, mulai dari tahap
perumusan, perencanaan, pelaksanaan hingga ke tahap evaluasi dan monitoring kegiatan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove.
6 Kebijakan yang dilaksanakan dalam pengelolaan ekosistem mangrove masih bersifat sentralistik. Artinya, kebijakan pengelolaan masih
diseragamkan hampir di setiap daerah, tanpa memperhatikan aspek sosial-budaya serta potensi lokal wilayah tersebut.
7 Dikaitkan dengan otonomi, maka pengelolaan ekosistem mangrove masih memperhatikan batas administratif atau wilayah dan tidak
berdasarkan aspek ekologi. Hampir setiap daerah membuat kebijaksanaan pengelolaan hutan mangrove secara sendiri-sendiri.
Sehingga pengelolan tersebut lebih banyak menghasilkan dampak
121 negatif dari pada dampak positifnya, khususnya bagi masyarakat
sekitarnya. 8 Penegakkan dan penerapan hukum masih sangat lemah, sehingga masih
jarang orang yang dihukum akibat merusak ekosistem mangrove . Selanjutnya menurut Bengen 2001b, salah satu cara yang dapat
dilakukan dalam rangka pengupayaan perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai
kawasan hutan konservasi, dan sebagai suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup
efektif dilakukan dan membawa hasil, contohnya area wilayah P. Rambut dan Pulau Dua Jawa Barat yang ditunjuk sebagai suatu kawasan suaka marga
satwa, yaitu kawasan habitat burung. Contoh lain adalah penunjukan areal Taman Nasional Tanjung Putting di Kalimantan Tengah, dan kawasan Sali di
Bali Barat, dimana sebagian dari kedua kawasan tersebut merupakan kawasan hutan mangrove.
Dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor : KB.550264Kpts41984 dan Nomor : 082Kpts-II1984,
tanggal 30 April 1984, dimana di antaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat Keputusan Bersama ini dibuat, selain
dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal
perlindungan hutan mangrove di antara instansi-instansi yang terkait. Surat Keputusan Bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen
Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 507IV_BPHH1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu
selebar 200 m di sepanjang pantai, dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Penentuan lebar sabuk hijau sebagaimana disebutkan di atas lebih
dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa
perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai. Kriteria
122 sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 m dari titik pandang tertinggi ke arah darat.
Kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang telah gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja
untuk mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan
seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebas dan dialih fungsikan kepada kegiatan lain.
Menurut Khazali 2002, pelestarian hutan mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat
membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada di sekitar kawasan diluar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan
lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove diberikan porsi yang lebih besar.
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove perlu diarahkan kepada peran dan penting artinya sumberdaya hutan mangrove, baik
dari kepentingan fungsi ekologis maupun kepentingan sebagai pelindung wilayah pantai. Dengan demikian diharapkan akan menumbuhkan kesadaran
untuk menjaga kawasan mangrove, dan sebagai komponen utama penggerak kelestarian hutan mangrove.
5.12 Analisis Stability