PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sulawesi merupakan pulau terbesar dalam sub-kawasan Wallacea yang juga menyimpan kekayaan alam yang melimpah. Maleo senkawor
Macrocephalon maleo adalah salah satu satwa yang penyebarannya hanya terbatas di pulau Sulawesi endemik, yang memiliki keunikan tersendiri dan
menarik untuk dikaji lebih dalam Dekker, 1990. Maleo senkawor adalah bangsa aves yang memiliki perilaku yang unik dan aneh. Tidak seperti bangsa aves pada
umumnya, Maleo senkawor tidak memiliki perilaku mengerami telurnya, melainkan membenamkan telurnya dalam lubang galian di tanah berpasir. Maleo
senkawor juga mempunyai telur dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan telur ayam, meskipun ukuran tubuh kedua induk tidak terpaut jauh
Dekker, 1990. Maleo senkawor hidup dan mendiami daerah pesisir pantai hingga daerah
berbukit-bukit dan hutan primer dataran rendah dengan ketinggian hingga 1.200 meter di atas permukaan laut Dekker, 1990. Maleo senkawor tersebar luas di
berbagai lokasi di Sulawesi Utara, Tenggara, Tengah, dan Barat, kecuali di Sulawesi Selatan Mallombasang, 1995. Penyebaran Maleo senkawor di
Sulawesi Barat terkonsentrasi di Kabupaten Mamuju, namun masih membutuhkan konfirmasi mengenai penyebaran dan status lokasi bertelur Maleo
senkawor Dekker, 1990. Beberapa lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor. Populasi Maleo senkawor saat ini
diperkirakan 4000-7000 pasang dan tersebar di 131 tempat bertelur di Sulawesi Utara, sementara di Sulawesi Tengah dan Barat Maleo senkawor tersebar di 63
lokasi Buchart dan Baker, 1999. Diperkirakan jumlah Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju tidak lebih dari 100 ekor Gazi, 2004.
Maleo senkawor mempunyai dua tipe lokasi bertelur, lokasi bertelur di tepi pantai dan lokasi bertelur di dalam hutan. Pada lokasi bertelur di tepi pantai,
Maleo senkawor menggunakan tanah berpasir di pesisir pantai untuk aktivitas bertelur. Sumber panas untuk proses inkubasi embrio sebagian besar diperoleh
dari radiasi sinar matahari.
Lokasi bertelur di dalam hutan merupakan lokasi bertelur yang tidak umum tersedia berupa suatu kawasan yang keadaan vegetasinya tidak terlalu rapat.
Keadaan vegetasi tersebut memudahkan akses Maleo senkawor menuju ke dan dari lokasi tersebut. Sumber panas bagi embrio di dalam telur berasal dari
aktivitas vulkanis di dalam tanah Gunawan, 2000. Maleo senkawor menggali lubang dan meletakkan telur dengan suhu berkisar antara 34.00–40.70
o
C Gunawan, 1994.
Maleo senkawor memanfaatkan lokasi bertelur selama lokasi tersebut masih dapat memberi daya dukung. Daya dukung lokasi digambarkan dengan
kemudahan Maleo senkawor mencapai lokasi bertelur, kenyamanan bagi Maleo senkawor dengan ketersediaan lokasi bertelur yang sunyi dan tenang dari
gangguan manusia dan predator sehingga aktivitas bertelur berjalan lancar, dan keamanan Maleo senkawor dari gangguan selama aktivitas bertelur Buchart dan
Baker, 1999. Aktivitas manusia seperti pembabatan hutan serta konversi lahan telah berdampak pada menurunnya daya dukung ekosistem. Aktivitas tersebut
disadari telah menjadi faktor utama hilangnya habitat hutan, terjadinya degradasi hutan, dan fragmentasi habitat Buchart dan Baker, 1999. Kurangnya
kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap upaya pelestarian Maleo senkawor mengakibatkan pemanfaatan telur yang tidak terkendali. Pemahaman
yang kurang pada fungsi lokasi bertelur berdampak pada terabaikannya fungsi penting mempertahankan lokasi bertelur dalam kondisi yang baik Gunawan,
2000. Kondisi Maleo senkawor kini di ambang kepunahan akibat aktivitas
perburuan burung maupun telurnya, konversi hutan dan aktivitas pertanian yang tidak terkendali kian mempercepat laju kepunahan Maleo senkawor padahal
satwa ini telah dilindungi oleh Undang-undang sejak 1931 berdasarkan Undang- undang binatang liar tahun 1931 dan peraturan perlindungan binatang liar tahun
1931 kemudian pada tahun 1970 dipertegas kembali statusnya sebagai satwa dilindungi. Sementara itu IUCN
International Union of Conservation for Nature and Nature Reserve dalam red data book memasukkan Maleo senkawor dalam
kategori genting.
Kondisi ideal suatu lokasi bertelur bagi Maleo senkawor dapat dinilai berdasarkan komponen-komponen penting yang memberi daya dukung seperti
kemudahan, kenyamanan, dan keamanan. Faktor yang selalu ada pada lokasi bertelur yang telah ditinggalkan dapat dipandang sebagai komponen ancaman
terhadap lokasi bertelur. Sikap dan perilaku masyarakat di sekitar lokasi bertelur juga turut memberi kontribusi terhadap perubahan kondisi lokasi bertelur.
1.2 Permasalahan