Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju

4.2 Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju

Kondisi umum lokasi bertelur Maleo senkawor diketahui berdasarkan penilaian atas 4 empat atribut dasar, yaitu kondisi fisik, gangguan, invasi vegetasi sekunder, dan akses. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa tidak ada lokasi bertelur yang dalam keadaan baik, 10 sepuluh lokasi bertelur yang termasuk dalam keadaan sedang, 6 enam lokasi bertelur yang kondisinya buruk dan 2 dua lokasi bertelur yang dalam kondisi yang sangat buruk Tabel 5. Beberapa lokasi bertelur Maleo senkawor memiliki pola sebaran sesuai dengan kondisi umum lokasi bertelur. Lokasi bertelur yang memiliki kondisi umum buruk hingga sangat buruk membentuk kelompok seperti pada lokasi bertelur Belang- belang, Barang-barang, Malasigo, Tambung. Lokasi bertelur dengan kondisi umum dengan kategori sedang yang berkelompok terdapat di lokasi bertelur Tapanduli dan Udung Butung, serta di Tobinta, Lelo Losso, dan Tambung Tangnga Gambar 15. Hubungan antara kondisi umum lokasi bertelur dengan pola sebaran yang berkelompok erat kaitannya dengan jumlah penduduk. Lokasi bertelur yang berkelompok dengan kondisi yang buruk hingga sangat buruk, umumnya telah menerima tekanan gangguan tambahan dikarenakan jumlah penduduk yang padat. Lokasi bertelur juga berdekatan dengan pusat aktivitas masyarakat, seperti dermaga dan perusahaan yang terdapat di Belang-belang. Kondisi demikian memberi dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan lokasi bertelur Maleo senkawor. Lokasi bertelur makin intensif menerima gangguan karena jumlah permukiman yang terus bertambah. Lokasi bertelur Maleo senkawor dengan pola sebaran berkelompok yang memiliki kategori penilaian sedang, memiliki tekanan yang sedikit dikarenakan jumlah penduduk terdekat dengan lokasi bertelur masih sedikit, sehingga tekanan terhadap lokasi bertelur juga relatif kecil. Letak lokasi bertelur juga terpencil sehingga sulit dijangkau oleh manusia, dan umumnya kondisi hutan masih tergolong baik. Lokasi bertelur bukan berarti bebas dari gangguan karena semua lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju mendapatkan gangguan manusia dengan tingkatan yang bervariasi. Tabel 5 Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor Keterangan : Kp = kategori penilaian Kondisi fisik = 4;baik, 3;sedang, 2;kurang, 1;tidak baik Gangguan manusia = 4;tidak ada, 3;kurang, 2;sering, 1;aktif Invasi vegetasi sekunder = 4;bersih, 3;kurang, sebagian tertutup, 1;tertutup Akses = 4;bebas, 3;terbatas, 2;terganggu, 1;tidak ada akses Kondisi umum lokasi bertelur = 3.00; baik, 2.01 – 3.00; sedang, 1.01 – 2.00; buruk, 1.00; sangat buruk Kondisi Fisik Gangguan Invasi Vegetasi Sekunder Akses No Lokasi Bobot Skor KP Bobot Skor KP Bobot Skor KP Bobot Skor KP Nilai Hasil Penilaian 1 Tobinta 0.30 2 Kurang 0.30 2 Sering 0.20 3 Kurang 0.20 4 Bebas 2.60 Sedang 2 Lelo losso 0.30 2 Kurang 0.30 2 Sering 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 4 Bebas 2.40 Sedang 3 Tambung Tangnga 0.30 3 Sedang 0.30 3 Kurang 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 4 Bebas 3.00 Sedang 4 Koloe 0.30 3 Sedang 0.30 3 Kurang 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 4 Bebas 3.00 Sedang 5 Lemo 0.30 3 Sedang 0.30 3 Kurang 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 4 Bebas 3.00 Sedang 6 Pambua 0.30 4 Baik 0.30 2 Sering 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 3 Terbatas 2.80 Sedang 7 Bambamata 0.30 1 Tdk baik 0.30 1 Aktif 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 3 Terbatas 1.60 Buruk 8 Kasoloang 0.30 3 Sedang 0.30 2 Sering 0.20 3 Kurang 0.20 3 Terbatas 2.70 Sedang 9 Randomayang 0.30 1 Tdk baik 0.30 1 Aktif 0.20 1 Tertutup 0.20 1 Tdk ada akses 1.00 Sgt buruk 10 Kayumoloa 0.30 1 Tdk baik 0.30 1 Aktif 0.20 1 Tertutup 0.20 2 Terganggu 1.20 Buruk 11 Tanjung Tambue 0.30 2 Kurang 0.30 2 Sering 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 3 Terbatas 2.20 Sedang 12 Padongga 0.30 1 Tdk baik 0.30 1 Aktif 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 1 Tdk ada akses 1.20 Buruk 13 Belang-belang 0.30 1 Tdk baik 0.30 2 Sering 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 1 Tdk ada akses 1.50 Buruk 14 Barang-barang 0.30 2 Kurang 0.30 2 Sering 0.20 3 Kurang 0.20 1 Tdk ada akses 2.00 Buruk 15 Malasigo 0.30 2 Kurang 0.30 1 Aktif 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 2 Terganggu 1.70 Buruk 16 Tambung 0.30 1 Tdk baik 0.30 1 Aktif 0.20 1 Tertutup 0.20 1 Tdk ada akses 1.00 Sgt buruk 17 Tapanduli 0.30 2 Kurang 0.30 2 Sering 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 3 Terbatas 2.20 Sedang 18 Udung Butung 0.30 3 Sedang 0.30 2 Sering 0.20 3 Kurang 0.20 3 Terbatas 2.70 Sedang Gambar 15 Peta Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju Tidak ada lokasi bertelur dalam keadaan baik memberi indikasi bahwa semua lokasi bertelur yang ada di Kabupaten Mamuju mendapat tekanan. Berdasarkan 4 empat atribut dasar untuk menilai kondisi umum suatu lokasi bertelur, atribut yang dijadikan acuan dalam menilai kondisi umum lokasi bertelur Maleo senkawor adalah kondisi fisik, gangguan manusia, invasi vegetasi sekunder, dan akses Maleo senkawor yang dapat dilihat pada Tabel 5. Sebagian besar lokasi bertelur dalam keadaan sedang yang berarti bahwa meskipun lokasi bertelur menerima tekanan tetapi ada faktor lain yang mendukung. Contoh kasus pada lokasi bertelur Pambua, meskipun sering menerima gangguan, selanjutnya vegetasi sekunder telah sekitar 75 lokasi bertelur telah tertutup oleh semakvegetasi sekunder serta akses Maleo senkawor menuju lokasi bertelur terbatas. Tetapi, berdasarkan kondisi fisik lokasi bertelur di Pambua memiliki ukuran yang paling luas sehingga hasil berdasarkan hasil pembobotan lokasi bertelur Pambua dimasukkan dalam kondisi yang sedang. Lokasi bertelur yang dalam kondisi buruk dan bahkan sangat buruk berarti umumnya lokasi bertelur yang termasuk dalam kategori tersebut memiliki ukuran yang lebih kecil, menerima gangguan yang aktif, sebagian bahkan seluruh lokasi bertelur telah tertutupi oleh tanaman sekunder serta letaknya yang terpisah dari hutan primer. Lokasi bertelur yang berdasarkan hasil penilaian kondisi umum termasuk dalam kategori sangat buruk dapat dijumpai pada lokasi bertelur Randomayang dan Tambung.

4.2.1 Kondisi Fisik Lokasi Bertelur

Kondisi fisik lokasi bertelur Maleo senkawor diketahui berdasarkan beberapa parameter penyusunnya, antara lain luas lokasi, tekstur pasir, dimensi lubang, jumlah lubang, serta jarak dari bibir pantai. Berdasarkan hasil penentuan derajat kepentingan untuk mengetahui kondisi fisik suatu lokasi bertelur maka diperoleh data 5.6 lokasi bertelur yang berada dalam kondisi yang baik, sebanyak 27.8 lokasi bertelur yang kondisnya sedang dan nilai yang sama yaitu 33.3 berada pada lokasi bertelurnya kurang baik dan tidak baik Lampiran 1. Secara lengkap pembagian kondisi fisik lokasi bertelur dapat dilihat pada Gambar 16. 5.6 27.8 33.3 33.3 Baik Sedang Kurang Tidak baik Gambar 16 Hasil Penilaian Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo Senkawor Lokasi yang kondisi fisiknya tergolong baik terdapat di Pambua. Berdasarkan kondisi fisik lokasi bertelur Pambua memliliki ukuran yang cukup luas dan berada cukup jauh dari bibir pantai sehingga lokasi tersebut dikatakan cukup aman dari gerusan ombak pada saat gelombang pasang. Di lokasi bertelur di Pambua juga terdapat lubang bertelur yang banyak, yaitu 27 lubang peneluran. Banyaknya lubang bertelur tidak lepas kaitannya dengan masih tersedianya areal yang cukup luas sehingga Maleo senkawor dapat leluasa membuat lubang dan meletakkan telur Maleo senkawor. Berdasarkan hasil pembobotan, lokasi bertelur yang berada pada kondisi tidak baik berjumlah 6 enam dari 18 lokasi bertelur. Lokasi bertelur tersebut adalah Bambamata, Randomayang, Kayumaloa, Padongga, Belang-belang, dan Tambung. Lokasi bertelur ini memiliki ukuran yang kecil bahkan di lokasi bertelur Bambamata luas lokasi bertelurnya hanya 25 m 2 . Lokasi bertelur dengan ukuran yang kecil berdampak pada terbatasnya daerah berpasir untuk digali oleh Maleo senkawor. Frekuensi penggunaan lubang peneluran oleh induk Maleo senkawor akan meningkat dan telur yang telah terinkubasi akan tergali kembali karena tidak tersedianya lubang-lubang yang cukup banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan 1994 bahwa jika lokasi bertelur Maleo senkawor yang tersedia ukurannya tidak cukup luas maka penggunaan lokasi tersebut akan intensif sehingga fenomena dimana telur akan tergali kembali sering terjadi. Jarak lokasi bertelur dengan bibir pantai juga memegang peranan penting dalam penilaian kondisi fisik lokasi bertelur. Lokasi bertelur yang keberadaannya sangat dekat dengan bibir pantai dapat berdampak buruk telur yang berada dalam lubang berpasir. Dalam keadaan pasang, telur Maleo senkawor yang sedang mengalami proses inkubasi akan terendam dan akhirnya temperatur dan kelembaban didalam lubang akan terganggu oleh intrusi air laut. Lokasi bertelur dengan jarak yang sangat dekat bahkan langsung berbatasan dengan bibir pantai terdapat di Padongga. Secara umum keadaan tekstur tanah di setiap lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju hampir serupa yaitu lempung berpasir dan lempung. Kondisi tanah memiliki tekstur tidak kasar, tetapi tidak juga halus, agak melekat dan sedikit mengkilat dengan kandungan utama adalah pasir. Maleo senkawor cenderung memilih tanah berpasir dikarenakan sifat dari pasir tersebut. Tanah berpasir lebih mudah digali oleh Maleo senkawor dan keunggulan media tersebut adalah kemampuannya menyerap dan mengalirkan air yang baik sehingga telur yang terinkubasi tidak akan terendam oleh air hujan maupun air laut yang pasang. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan 1994 bahwa tekstur tanah yang berpasir memudahkan induk Maleo senkawor untuk menggali lubang untuk pengeraman telurnya. Sifat tanah berpasir juga tidak mengikat dan cepat melepaskan air sehingga temperatur tanah di sekitar telur tidak terlelu terpengaruh oleh genangan air dan sifatnya yang relatif konstan. Perbandingan kondisi fisik lokasi bertelur yang baik dan yang tidak baik dapat dilihat pada Gambar 17. Kondisi baik Kondisi tidak baik Gambar 17 Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo Senkawor 0.0 16.7 50.0 33.3 Tidak ada Kurang Sering Aktif

4.2.2 Gangguan

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa semua lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju semua lokasi bertelur terdapat gangguan manusia dengan frekuensi dan jenis gangguan yang beragam. Sebanyak 16.7 atau 3 tiga lokasi bertelur dengan kriteria gangguan yang kurang terganggu, 50.0 atau sebanyak 9 sembilan lokasi bertelur yang mendapati gangguan yang sering, dan 33.3 atau sebanyak 6 enam lokasi bertelur yang aktif menerima gangguan oleh manusia. Perbandingan gangguan yang ditimbulkan oleh manusia disajikan pada Gambar 18. Gambar 18 Hasil Penilaian Gangguan Manusia di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi bertelur Maleo senkawor terdapat gangguan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Sebanyak 6 enam lokasi yang paling sering menerima gangguan adalah Bambamata, Randomayang, Kayumaloa, Padongga, Malasigo, dan Tambung. Jenis gangguan yang paling sering muncul di lokasi ini adalah kehadiran manusia yang melintasi lokasi bertelur. Lokasi bertelur Maleo senkawor dilewati secara rutin oleh manusia hingga terbentuk jalan setapak yang digunakan untuk menuju kebun atau menuju pantai. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa masyarakat juga meningkatkan frekuensi kehadiran manusia di sekitar lokasi bertelur Maleo senkawor. Di samping itu terdapatnya permukiman di sekitar lokasi bertelur dilihat sebagai faktor penyebab kehadiran manusia. Dampak dari tingginya frekuensi kehadiran manusia berkorelasi positif dengan tingginya frekuensi pengambilan telur Maleo senkawor Gambar 19. Gambar 19 Gangguan Manusia di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor Masyarakat melintasi lokasi bertelur secara rutin tiap minggu merupakan kondisi umum gangguan manusia di 10 sepuluh lokasi bertelur, sedangkan hanya 3 tiga lokasi yang kurang mendapatkan gangguan manusia yaitu Tambung Tangnga, Koloe dan Lemo. Kurangnya gangguan manusia pada lokasi tersebut dikarenakan akses masyarakat menuju lokasi bertelur yang cukup sulit dan harus melintasi perairan.

4.2.3 Invasi Vegetasi Sekunder

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa di Kabupaten Mamuju tidak ada lokasi yang benar-benar bersih dari vegetasi sekunder; 22.2 lokasi bertelur yang berada pada kategori kurang, 61.1 sebagian tertutup dan 16.7 lokasi yang hampir semua areal bertelur tertutupi oleh vegetasi sekunder. Secara lengkap hasil penilaian terhadap invasi vegetasi sekunder disajikan pada Gambar 20. 0.0 22.2 61.1 16.7 Bersih Kurang Sbg tertutup Tertutup Gambar 20 Hasil Penilaian Keberadaan Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor Dari data yang diperoleh tampak bahwa semua lokasi bertelur Maleo senkawor yang ada di Kabupaten Mamuju telah terinvasi oleh vegetasi sekunder dengan kategori yang berbeda-beda. Sebanyak 22.2 atau 4 empat lokasi bertelur yang tingkat penutupan oleh vegetasi sekunder masih di bawah 50 yaitu terdapat di lokasi bertelur Tobinta, Kasuloang, Barang-barang, dan Udung Butung. 61.1 atau sebanyak 11 lokasi bertelur yang memiliki daerah tutupan vegetasi sekunder hingga 75 dan sebanyak 16.7 atau 3 tiga lokasi bertelur yang hampir ditutupi secara keseluruhan oleh begetasi sekunder. Gambaran tentang invasi vegetasi sekunder disajikan pada Gambar 21. Kurang Sebagian Tertutup Tertutup Gambar 21 Invasi Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor Vegetasi sekunder atau tanaman semak yang memiliki perakaran yang kuat dapat mengikat pasir permukaan sehingga menyulitkan Maleo senkawor untuk menggali lubang. Beberapa jenis tanaman pengganggu yang perakarannya cukup kuat dan bersifat merambat antara lain jenis Convolvuceae antara lain Ipomoea pes-caprae, dan jenis Leguminosa antara lain Calophogonyum sp dan Coenea aquatica. Pertumbuhan semak merambat lebih cepat dibandingkan jenis semak lainnya dan apabila tidak ada upaya pengendalian tanaman semak dikhawatirkan dapat menginvasi secara besar- besaran dan akhirnya menutup seluruh permukaan tanah lokasi bertelur Maleo senkawor. Keberadaan tanaman sekunder sebenarnya bukan hal yang sangat mengancam terhadap penggunaan suatu lokasi bertelur selama masih dalam persentase yang kecil. Beberapa lokasi bertelur seperti di Udung Butung Desa Labuhan Rano keberadaan semak dapat melindungi lokasi bertelur dari aktivitas manusia yang melintas di pesisir pantai. Keberadaan tanaman semak yang ada cukup tinggi ternyata juga berfungsi melindungi lokasi bertelur Maleo senkawor dari gangguan manusia.

4.2.4 Akses

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 18 lokasi bertelur yang digunakan oleh Maleo senkawor untuk bertelur di Kabupaten Mamuju, terdapat 27.8 atau sebanyak 5 lima lokasi bertelur memiliki akses masing-masing bebas dan tidak ada akses, dan 6 enam lokasi bertelur dengan akses terbatas dan 2 dua lokasi bertelur yang dikategorikan terganggu. Gambaran kriteria akses Maleo senkawor menuju lokasi bertelur disajikan pada Gambar 22. 27.8 33.3 11.1 27.8 Bebas Terbatas Terganggu Tdk ada akses Gambar 22 Hasil Penilaian Akses Maleo Senkawor Terhadap Lokasi Bertelur Data yang diperoleh menunjukkan bahwa lokasi yang memiliki akses yang bebas sama banyaknya dengan lokasi yang tidak memiliki akses. Akses yang bebas ditunjukkan dengan keadaan dimana lokasi bertelur langsung dikelilingi oleh hutan lebih dari 50. Lokasi bertelur dengan akses bebas terdapat di Tobinta, Lelo Losso, Tambung Tangnga, Koloe dan Lemo. Maleo senkawor yang menggunakan lokasi tersebut dapat langsung menjangkau lokasi bertelur dari dalam hutan tanpa penghalang. Aksesibilitas Maleo senkawor menuju dan dari lokasi bertelur dipengaruhi oleh luas tutupan hutan yang berbatasan langsung dengan lokasi bertelur. Lokasi bertelur dengan akses terbatas hanya ditutupi kurang dari 50 sedangkan akses Maleo senkawor yang dalam kategori terganggu apabila luas daerah tutupan hutan yang berbatasan langsung dengan lokasi bertelur hanya kurang dari 25. Akses yang terbatas juga membuat Maleo senkawor dapat menuju lokasi bertelur hanya dari satu arah. Gambaran mengenai akses Maleo senkawor menuju lokasi bertelur disajikan pada Gambar 23. Bebas Terbatas Tidak ada akses Gambar 23 Akses Maleo Senkawor Terhadap Lokasi Bertelur Gambar 23 tampak bahwa suatu lokasi bertelur Maleo senkawor dikatakan sudah tidak memiliki akses apabila lokasi tersebut benar-benar terpisah dari hutan primer. Maleo senkawor hanya dapat mencapai lokasi bertelur dengan melintasi areal pertanian, tanaman perkebunan dan jenis gangguan lainnya yang dibuat manusia. Pembukaan hutan untuk dijadikan daerah tambak juga menghilangkan akses Maleo senkawor menuju lokasi bertelur. Kehadiran permukiman juga memberi kontribusi karena kawasan permukiman memerlukan sarana mobilitas berupa jalan yang sering kali memotong antara lokasi bertelur Maleo senkawor dan daerah berhutan.

4.3 Adaptasi Maleo Senkawor

Dokumen yang terkait

Strategi Burung Maleo (Macrochepalon maleo SAL. MULLER 1846) dalam Seleksi Habitat Tempat Bertelurnya di Sulawesi

1 13 236

Biologi Perkembangan Burung Maleo (Macrocephalon maleo, Sall, Muller 1846) yang Ditetaskan Secara Ex Situ

3 48 190

Pendugaan Populasi, Preferensi Habitat Peneluran dan Pola Sebaran Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) Berdasarkan Keberadaan Sarang di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah.

0 16 97

Analisis Preferensi Habitat Burung Maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah

11 49 113

Analisis Preferensi Habitat Burung Maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah

3 27 70

Karakteristik Fisik Sarang Burung Maleo (Macrocephalon maleo) Di Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop, Sulawesi Tengah.

0 0 7

FAKTOR PENYEBAB PENURUNAN POPULASI MALEO SENKAWOR DI DESA SAUSU PIORE KABUPATEN PARIGI MOUTONG SULAWESI TENGAH | Arista | Jurnal Warta Rimba 6341 20989 1 PB

1 2 8

KARAKTERISTIK TANAH DAN MIKROKLIMAT HABITAT BURUNG MALEO (MACROCEPHALON MALEO) DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU SULAWESI TENGAH (Soil Characteristics and Microclimate of Habitat Maleo Bird (Macrocephalon Maleo) in Lore Lindu National Park Central Sulawesi | H

0 0 6

this PDF file KERAGAMAN GENETIK BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) BERDASARKAN POLIMORFISME PROTEIN DARAH | Hastarina | AGRISAINS 1 SM

0 0 9

STUDI KARAKTERISTIK MIKRO-HABITAT BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI (TNRAW) SULAWESI TENGGARA

0 1 14