Perubahan Score Bleachedguide, Nilai Kecerahan Dan Kekerasan Enamel Gigi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Bleaching Dengan Karbamid Peroksida 35%

(1)

SEBELUM DAN SESUDAH PERLAKUAN

BLEACHING DENGAN KARBAMID

PEROKSIDA 35%

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

ASHVINAA MORGAN NIM: 110600186

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Tahun 2015

Ashvinaa Morgan

Perubahan Score Bleachedguide, Nilai Kecerahan Dan Kekerasan Enamel Gigi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Bleaching Dengan Karbamid Peroksida 35% xii + 82 halaman

Perawatan bleaching merupakan salah satu perawatan estetik untuk memperbaiki gigi yang mengalami diskolorisasi. Bleaching dapat memutihkan gigi, tetapi mempunyai efek negatif terhadap gigi seperti mengurangi nilai kekerasan enamel akibat proses oksidasi bahan peroksida. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan score warna berdasarkan VITA Bleachedguide 3D-Master, nilai kecerahan (L*), dan nilai kekerasan (HV) enamel gigi sebelum dan sesudah perlakuan bleaching karbamid peroksida 35%. Jenis penelitian ini adalah eksperimental murni dengan rancangan penelitian pre-post test design. Penelitian ini dilakukan pada 20 spesimen premolar pertama maksila permanen yang telah mengalami diskolorisasi dan dipotong dalam ukuran 5x5x4mm kemudian ditanam dalam resin epoksi. Score warna spesimen gigi diukur dengan menggunakan VITA Bleachedguide 3D-Master, nilai kecerahan (L*) dengan menggunakan spektrofotometer warna, dan nilai kekerasan enamel gigi (HV) dengan alat penguji kekerasan Vicker’s sebelum dan sesudah seluruh sesi perlakuan bleaching karbamid peroksida 35% yaitu satu jam sehari selama tujuh hari berturut-turut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan VITA Bleachedguide 3D-Master, terdapat penurunan yang signifikan pada score warna sebanyak 1,60 ± 0,60 tingkat antara

sebelum dibanding sesudah bleaching pada p<0,05. Nilai kecerahan (L*) meningkat

secara signifikan sebanyak 2,38 ± 0,79 L* antara sebelum dibanding sesudah


(3)

penurunan pada nilai kekerasan gigi setelah dilakukan bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

Kata kunci: Bleaching, Score warna gigi, Nilai kecerahan gigi (L*), Nilai kekerasan gigi (HV)


(4)

KECERAHAN DAN KEKERASAN ENAMEL GIGI

SEBELUM DAN SESUDAH PERLAKUAN

BLEACHING DENGAN KARBAMID

PEROKSIDA 35%

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

ASHVINAA MORGAN NIM: 110600186

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(5)

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 20 Juni 2015

Pembimbing TandaTangan

1. Rehulina Ginting, drg., M.Si ……….


(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 25 Juni 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Rehulina Ginting, drg., M.Si

ANGGOTA : 1. Yendriwati,drg.,M.Kes 2. Minasari Nst, drg., MM


(7)

(8)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Rehulina Ginting, drg., M.Si., selaku Ketua Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, juga selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan, arahan, saran dan waktu yang sangat berguna dalam meningkatkan semangat dan motivasi penulis untuk penyelesaian skripsi ini.

Terisitimewa kepada kedua orang tua penulis tercinta yaitu M. Morgan dan CH Leong serta adik-adik penulis yaitu Anushiya, Allaghendra, dan Ahvanea yang selalu mendoakan, memberi dukungan moril, semangat maupun materil selama ini. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., Sp. Ort, Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Seluruh staf pengajar Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi

USU, Yendriwati, drg., M.Kes, Lisna Unita R, drg., M.Kes, Minasari, drg., MM, Dr. Ameta Primasari, drg., MDSc, M.Kes, Yumi Lindawati, drg., MDSc yang telah memberikan saran, masukan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Staf Departemen Biologi Oral, khususnya Ibu Ngaisah dan Kak Dani yang

telah membantu dalam hal administrasi penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Hendry Rusdy, drg., Sp.BM selaku Dosen Pembimbing Akademis yang telah

memberi bimbingan dan motivasi kepada penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi USU.


(9)

v

5. Fitri Yunita B, drg yang telah memberikan sumbangan ide dan bimbingan

selama penelitian ini.

6. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi USU atas bimbingan yang

telah diberikan selama penulis menjalankan kuliah.

7. Encik Goh selaku teknisi di TUV SUD Sdn Bhd Malaysia yang telah

menolong dalam mendapatkan hasil nilai kecerahan dengan spektrofotometer warna.

8. Bapak Mas’ud selaku operator alat penguji kekerasan Vicker’s di UNIMED

yang telah membantu untuk mendapatkan hasil nilai kekerasan.

9. Bu Maya Fitria yang telah memberikan waktu dan bimbingan dalam

rancangan penelitian dan pengolahan data.

10. Sahabat-sahabat penulis yaitu Yoges, Nirosa, Rogini, Elisabeth, Bowo, Ayu, Frischa, Agnes, Raeesa, Shinta, Steffi, Melissa, Cassie, Stanley, Widya, Kak Michelle, Bang Yosua serta seluruh teman-teman seangkatan atas doa, dukungan dan bantuannya selam pengerjaan skripsi.

Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan bermanfaat bagi masyarakat. Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selaian ucapan syukur sedalam dalamnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Medan,……….2015 Penulis,

(………) Ashvinaa Morgan NIM: 110600186


(10)

vi

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.5.1 Manfaat teoritis ... 5

1.5.2 Manfaat praktis ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Enamel ... 6

2.1.1 Struktur enamel ... 6

2.2 Morfologi gigi premolar satu maksila ... 8

2.3 Warna gigi ... 10

2.3.1 Diskolorisasi gigi ... 11

2.3.1.1 Diskolorisasi intrinsik ... 11

2.3.1.2 Diskolorisasi ekstrinsik ... 14


(11)

vii

2.4.1 Penyikatan gigi ... 16

2.4.2 Professional tooth cleaning ... 17

2.4.3 Mikroabrasi ... 17

2.4.4 Vinir porselen ... 17

2.4.5 Bleaching ... 18

2.4.5.1 Bleaching vital ... 18

2.4.5.2 Bleaching nonvital ... 20

2.4.5.3 Bahan bleaching ... 22

2.4.5.4 Mekanisme bleaching ... 24

2.5 Pengaruh bleaching terhadap gigi ... 26

2.6 Metode pengukuran warna gigi ... 28

2.6.1 Metode subjektif ... 28

2.6.2 Metode objektif ... 29

2.7 Alat pengukur kekerasan enamel ... 34

2.8 Landasan teori ... 37

2.9 Kerangka konsep ... 40

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 41

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

3.2.1 Lokasi penelitian ... 41

3.2.2 Waktu penelitian ... 41

3.3 Populasi dan sampel penelitian ... 41

3.3.1 Populasi ... 41

3.3.2 Sampel ... 41

3.3.3 Besar sampel ... 42

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 42

3.4.1 Kriteria inklusi ... 42

3.4.2 Kriteria eksklusi ... 43

3.5 Definisi operasional ... 43

3.6 Variabel penelitian ... 45

3.6.1 Variabel bebas ... 45

3.6.2 Variabel tergantung ... 45

3.6.3 Variabel terkendali... 45

3.6.4 Variabel tidak terkendali... 46

3.7 Alat dan Bahan Penelitian ... 47

3.7.1 Alat-alat penelitian... 47

3.7.2 Bahan-bahan penelitian ... 47

3.8 Prosedur Penelitian ... 48

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Score warna gigi sebelum dan sesudah perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% ... 62

4.2 Nilai kecerahan gigi (L*) sebelum dan sesudah perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% ... 63


(12)

viii

4.3 Nilai kekerasan gigi sebelum dan sesudah perlakuan bleaching

dengan karbamid peroksida 35% ... 66 BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Sore warna berdasarkan shade guide sebelum dan sesudah

perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% ... 68 5.2 Nilai kecerahan (L*) sebelum dan sesudah perlakuan bleaching

dengan karbamid peroksida 35% ... 71 5.3 Nilai kekerasan (HV) sebelum dan sesudah perlakuan bleaching

dengan karbamid peroksida 35% ... 73 BAB 6 KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan ... 76 6.2 Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN


(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Gambaran prisma enamel secara cross sectional ... 8

2 Gambaran gigi premolar satu maksila dari beberapa aspek ... 9

3 Variasi ketebalan enamel premolar dari bagian insisal ke servikal ... 11

4 Stein tembakau ... 15

5 Stein klorheksidin ... 16

6 Mekanisme bleaching hidrogen peroksida ... 25

7 VITAPAN Classical shade guide ... 29

8 VITA Bleachedguide 3D-Master ... 29

9 Spektrofotometer warna ... 30

10 Mekanisme kerja spektrofotometer warna ... 31

11 Aksis warna L*, a*, dan b* ... 32

12 Kolorimeter ... 33

13 Kamera digital dengan sofware analisa warna ... 34

14 Bentuk indeentasi alat kekerasan Knoop ... 35

15 Alat penguji kekerasan Vickers ... 36

16 Bentuk indentasi alat kekerasan Vickers ... 36


(14)

x

18 Pemotongan bagian mesial gigi pada mesiobukal developmental

groove ... 48

19 Pemotongan bagian distal sampel yang berlebihan ... 49

20 Pemotongan bagian servikal sampel yang berlebihan ... 50

21 Pemotongan bagian palatal gigi yang berlebihan ... 50

22 Spesimen gigi dengan ukuran 5x5x4mm ... 51

23 Spesimen yang telah ditanam dalam resin akrilik ... 52

24 Evaluasi warna gigi dengan VITA Bleachedguide 3D-Master ... 53

25 Nilai L* yang terpapar pada display screen spektrofotometer warna 53

26 Alat uji kekerasan Vicker’s ... 54

27 Tiga indentasi yang dibuat pada permukaan bukal spesimen ... 54

28 Pengaplikasian karbamid peroksida 35% sebanyak 0,1ml ... 55

29 Karbamid peroksida 35% diratakan dengan mikrobrush ... 56

30 Evaluasi warna gigi dengan VITA Bleachedguide 3D-Master ... 56

31 Pengukuran nilai kecerahan (L*) dengan spektrofotometer warna .... 57

32 Spesimen diberi beban 200g selama 15 detik ... 58

33 Tiga indentasi dibuat pada jarak 100μm dari indentasi sebelum bleaching ... 58


(15)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Distribusi frekuensi karakteristik umum sampel penelitian berdasarkan tingkat warna baseline, umur, dan jenis kelamin

sampel ... 61

2 Rata-rata penurunan score warna sampel antara sebelum dan sesudah

perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% ... 63

3 Nilai kecerahan (L*) gigi sebelum perlakuan bleaching berdasarkan

tingkat warna ... 64

4 Nilai kecerahan (L*) gigi sesudah perlakuan bleaching berdasarkan

tingkat warna ... 64 5 Rata-rata peningkatan nilai kecerahan (L*) sampel antara sebelum

dan sesudah perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% . 65

6 Rata-rata penurunan nilai kekerasan (HV) gigi antara sebelum dan


(16)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Skema alur pikir

2. Kuesioner penelitian

3. Lembar persetujuan subjek penelitian

4. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian

5. Prosedur penelitian

6. Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian (Ethical Clearance)

7. Surat keterangan penelitian

8. Data hasil penelitian


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penampilan gigi merupakan salah satu aspek yang penting dalam menentukan keindahan senyum seseorang, selain memainkan peran kunci dalam interaksi sosial manusia. Penampilan gigi yang tidak menarik dapat memengaruhi kualitas hidup dan juga dari segi psikososial seseorang. Antara faktor-faktor yang memengaruhi penampilan gigi secara keseluruhan adalah warna, bentuk, dan susunan gigi terutama gigi anterior. Sebuah senyuman yang memperlihatkan gigi yang putih, bersih dan sehat dapat meningkatkan percaya diri seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Saat ini, persepsi masyarakat terhadap penampilan fisikal juga meliputi gigi yang putih. Oleh karena itu, permintaan terhadap perawatan pemutihan gigi semakin meningkat. Menurut Tin-Oo MM et al. (2011), sebanyak 56,2% dari 235 subjek yang

diteliti berasa tidak puas terhadap warna giginya.1 Penelitian Al-Zarea (2013)

mengemukakan bahwa sebanyak 65,9% dari 220 subjek yang diteliti merasakan tidak puas terhadap warna giginya dan 80,9% subjek menginginkan perawatan untuk memutihkan gigi.2

Biasanya, gigi permanen berwarna putih keabu-abuan atau putih kekuningan yang dapat dipengaruhi oleh transluensi dan ketebalan enamel, serta ketebalan dan warna dentin yang ada dibawahnya. Warna gigi dapat berubah akibat faktor intrinsik atau ekstrinsik. Diskolorisasi intrinsik adalah perubahan warna gigi yang dapat terjadi akibat perubahan struktur dentin dan enamel sewaktu odontogenesis atau difusi bahan kromatogenik yang berasal dari dalam tubuh atau pulpa ke lapisan dentin dan enamel pasca erupsi. Diskolorisasi ekstrinsik adalah perubahan warna gigi yang terjadi pada permukaan enamel gigi akibat pigmen warna yang melekat pada pelikel sehingga menghasilkan stain, atau dapat juga terjadi akibat interaksi kimia yang terjadi pada permukaan gigi. Pigmentasi ekstrinsik seringkali berasal dari kebiasaan merokok atau


(18)

menyirih untuk jangka waktu yang lama, dan konsumsi makanan atau minuman yang mempunyai potensi pewarnaan yang tinggi seperti teh dan kopi.3

Berbagai perawatan untuk memperbaiki warna gigi telah dikembangkan untuk memenuhi permintaan masyarakat terhadap gigi putih yang semakin meningkat. Sejajar dengan perkembangan ilmu kedokteran gigi ke arah pendekatan invasif minimal, prosedur bleaching merupakan perawatan yang sering dipilih oleh dokter gigi karena merupakan prosedur estetik yang bersifat konservatif.4 Secara umumnya, terdapat dua teknik bleaching yang sering dilakukan yaitu in-office atau power bleaching, dan home bleaching. In-office bleaching biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan bleaching yang berkonsentrasi tinggi seperti hidrogen peroksida

35% - 38% atau karbamid peroksida 35% - 40%.5 Sementara home bleaching

dilakukan dengan bahan bleaching yang berkonsentrasi rendah seperti karbamid peroksida 10%.6

Bahan dasar yang digunakan untuk perawatan bleaching adalah peroksida yang merupakan oksidator yang kuat. Radikal bebas yang dihasilkan oleh hidrogen peroksida saat terjadinya proses oksidasi akan memecahkan molekul pigmen kromofor menjadi molekul yang kecil atau hidroksil. Molekul pigmen warna yang tereduksi ini tidak mampu memantulkan cahaya yang banyak sehingga menghasilkan efek pemutihan.7,8,9 Penilaian efek pemutihan pada gigi dapat dilakukan dengan beberapa metode. Antaranya adalah shade guide, spektrofotometer, dan kamera digital. Penelitian da Costa et al. (2012) dan Ontiveros et al. (2009) mengenai efektivitas bahan bleaching berkonsentrasi tinggi terhadap perubahan nilai kecerahan gigi yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer telah membuktikan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada nilai kecerahan sesudah perlakuan bleaching. Namun, oleh karena adanya sifat oksidasi dari bahan bleaching, bahan ini dapat menimbulkan berbagai efek samping.10,11

Efek samping yang sering dilaporkan adalah perubahan dan pelemahan struktur enamel. Proses oksidasi bahan peroksida akan menyebabkan pelepasan ion-ion kalsium dan fosfat. Apabila hidroksiapatit kehilangan ion-ion ini, molekul hidroksiapatit akan menjadi distorsi dan tidak stabil sehingga mengakibatkan struktur


(19)

enamel menjadi poreus denga pola honey-comb, dan akan mengurangi kekerasan

enamel.12 Menurut Joiner (2007), pengukuran kekerasan merupakan teknik yang

paling sering digunakan untuk mengevaluasi efek peroksida dan bahan bleaching lain

pada enamel dan dentin.13 Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk

mengevaluasi efek bleaching terhadap kekerasan enamel menemukan bahwa nilai kekerasan enamel gigi mengalami penurunan ysng signifikan setelah pengaplikasian bahan bleaching.12,14,15

Dari aspek klinis, dokter gigi seharusnya memilih bahan bleaching yang menghasilkan nilai kecerahan gigi yang tinggi sementara mempunyai efek samping terhadap jaringan keras gigi yang seminimal mungkin. Oleh itu, penelitian untuk mengevaluasi hasil kecerahan gigi pelbagai jenis bahan bleaching dan efek sampingnya pada enamel perlu dilakukan untuk memberi informasi kepada dokter gigi dalam perihal pemilihan bahan bleaching yang paling baik untuk pasien. Menurut penelitian Demarco FF et al. (2013) tentang pilihan bahan bleaching dalam kalangan dokter gigi, bahan karbamid peroksida merupakan bahan yang paling sering dipilih karena efek sampingnya lebih sedikit daripada bahan hidrogen peroksida.16

Delfino CS et al. (2009) telah melakukan penelitian untuk mengevaluasi efek beberapa bahan home bleaching (karbamid peroksida 10%, karbamid peroksida 16%, dan hidrogen peroksida 6.5%) terhadap kecerahan gigi dan kekerasan enamel. Hasilnya, didapati bahwa karbamid peroksida 16% merupakan bahan yang paling efektif dari segi peningkatan nilai kecerahan gigi (∆L*) yaitu sebanyak 11.75 dan perubahan kekerasan enamel ∆KHN sebanyak +6.58.6

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengevaluasi score warna, nilai kecerahan dan kekerasan enamel gigi sebelum dan sesudah dilakukan bleaching dengan karbamid peroksida 35%.


(20)

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang hendak diteliti adalah:

1. Berapakah penurunan score warna gigi berdasarkan VITA Bleachedguide

3D-Master antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%?

2. Berapakah peningkatan nilai kecerahan gigi antara sebelum dibanding

sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%?

3. Berapakah penurunan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding

sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penurunan score warna gigi berdasarkan VITA

Bleachedguide 3D- antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

2. Untuk mengetahui peningkatan nilai kecerahan gigi antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

3. Untuk mengetahui nilai kecerahan gigi berdasarkan score warna sebelum dan sesudah dilakukan bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

4. Untuk mengetahui penurunan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum

dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

1.4 Hipotesis

H0 : Tidak terdapat perubahan score warna berdasarkan VITA Bleachedguide

3D-Master, nilai kecerahan dan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

: Terdapat perubahan score warna berdasarkan VITA Bleachedguide

3D-Master, nilai kecerahan dan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.


(21)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat teoritis

1. Mengetahui penurunan score warna gigi berdasarkan VITA Bleachedguide 3D-Master antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

2. Mengetahui peningkatan nilai kecerahan gigi antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

3. Mengetahui penurunan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

1.5.2 Manfaat praktis


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Enamel

Enamel gigi membentuk lapisan luar dari anatomi mahkota gigi. Enamel berfungsi sebagai pelindung dentin gigi. Enamel yang matang adalah jaringan terkalsifikasi yang paling keras dalam tubuh manusia, tetapi tidak mempunyai pembuluh darah dan sistem saraf. Nilai kekerasan enamel biasanya sekitar 250-360 HV atau 270-350 KHN.15 Enamel merupakan struktur yang poreus dan bersifat semi-permeabel sehingga memungkinkan ion dan beberapa jenis cairan, bakteri, dan produk bakteri dalam rongga mulut berdifusi ke dalam enamel.17 Enamel tidak dapat memperbaharui dirinya apabila menjadi nonvital, tetapi dapat mengalami perubahan mineralisasi apabila mengalami kehilangan substansi enamel yang ringan. Ameloblast adalah sel pembentuk enamel dan akan berdiferensiasi pada tahap aposisi enamel. Ameloblast yang berada di bagian akar gigi tidak akan mengalami diferensiasi. Oleh karena itu, enamel hanya terbentuk pada mahkota gigi dan tidak di akar.18

Enamel terdiri atas 96% materi anorganik yang termineralisasi (mineral), dan 4% materi organik dan air.17,18,19 Materi anorganik yang membentuk enamel adalah kristal submikroskopik yang tersusun erat antara satu sama lain yang dikenali sebagai hidroksiapatit. Komponen yang termasuk materi organik pula adalah rod sheath dan protein-protein enamel. Enamel mengandung dua jenis protein yaitu amelogenin dan enamelin yang akan membantu dalam pembentukan kristal dengan mengikat kalsium dengan komponen hidroksiapatit yang lain.19,20

2.1.1 Struktur enamel

Struktur utama enamel adalah prisma enamel, interprisma enamel, dan rod sheath (Gambar 1). Struktur-struktur ini sangat kecil dan hanya dapat dilihat di bawah mikroskop elektron. Selain itu, enamel juga terbentuk oleh komponen-komponen yang lain seperti Hunter-Schreger band, lines of Retzius, enamel lamellae,


(23)

enamel tufts, dan enamel spindles. Struktur-struktur ini jelas kelihatan di bawah mikroskop cahaya.17

Prisma enamel adalah unit sktruktural enamel dan dibentuk oleh sel pembentuk ameloblast sehingga menyerupai bentuk keyhole. Prisma enamel memanjang dari batas dentinoenamel ke permukaan luar enamel dan setiap satunya mempunyai diameter sebesar 4 mikron. Namun setiap prisma enamel mempunyai ukuran panjang yang berbeda karena berada di lokasi berbeda pada enamel. Batang prisma disusun sedemikian sehingga saling mengunci untuk menahan gaya mastikasi dan mencegah fraktur.17,18,18,20

Setiap batang prisma dipenuhi dengan kristal hidroksiapatit kalsium dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2. Namun apabila gigi berkontak dengan cairan yang

mempunyai pH asam, hidroksiapatit akan melarut dan melepaskan ion-ion Ca2+,

PO43- , dan OH- untuk menyeimbangkan konsentrasi ion di dalam enamel dan

lingkungannya. Komponen kisi-kisi kristal yang hilang dapat diganti dengan ion lain seperti magnesium, natrium, fluoride, klorida, dan karbonat yang mempunyai ukuran partikel yang hampir sama dengan ukuran ion yang hilang. Perubahan yang terjadi pada struktur hidroksiapatit akan memengaruhi kekerasan, kerapuhan, serta solubilitas enamel.18

Rod sheath adalah suatu lapisan tipis yang mengelilingi prisma. Ia merupakan struktur organik yang tidak terkalsifikasi dan lebih resisten terhadap asam. Kadang-kadang, materi organik ini juga dapat dijumpai di antara kristal-kristal hidroksiapatit. Walaupun enamel merupakan struktur yang keras dan padat, pori-pori di antara batang prisma enamel dan juga di antara kristal-kristal hidroksiapatit yang dihasilkan oleh rod sheath menyebabkan enamel bersifat semi-permeabel sehingga ion dan molekul-molekul kecil dapat berpenetrasi ke dalam enamel. 17,19


(24)

Gambar 1. Gambaran prisma enamel secara cross sectional 21

2.2 Morfologi gigi premolar satu maksila

Gigi premolar satu maksila mulai dibentuk sekitar usia 1½ hingga 1¾ tahun dan erupsi sekitar usia 10 hingga 11 tahun, sementara pembentukan akar giginya selesai pada usia 12 hingga 13 tahun. Gigi ini terletak di posterior gigi kaninus, yaitu deretan keempat dari median line. Premolar satu maksila mempunyai dua tonjolan yaitu tonjol bukal dan tonjol palatal, dimana tonjol bukal biasanya 1mm lebih panjang dari tonjol palatal. Bentuk mahkota premolar satu maksila mirip dengan gigi kaninus dari aspek bukal, tetapi gigi ini lebih pendek 1,5mm hingga 2mm daripada gigi kaninus. Akar gigi premolar satu juga lebih pendek daripada kaninus sebanyak 3mm hingga 4mm. Umumnya gigi premolar satu maksila mempunyai dua akar dan dua saluran akar. Pada gigi premolar satu dengan satu akar, saluran akarnya tetap dua. Dari aspek bukal, mahkota gigi premolar satu maksila berbentuk trapesium dengan garis servikal sedikit melengkung ke arah apikal (Gambar 2). Titik puncak cusp bukal


(25)

berada di sebelah distal garis pembagi permukaan bukal mahkota gigi. Lebar mesiodistal mahkota gigi pada bagian servikal lebih kecil dibanding ukuran mesiodistal terbesar keseluruhan mahkota. Mahkota gigi premolar satu maksila lebih menyempit ke arah palatal sehingga ukuran mesiodistal tonjol palatal lebih kecil daripada tonjol bukal. Titik pertemuan lereng mesial dan distal tonjol palatal membentuk sudut 90o. Apeks akar palatal pada premolar satu maksila yang berakar dua cenderung lebih bulat daripada apeks akar bukal.22

Dari aspek mesial dan distal gigi ini, garis servikal di bagian distal kurang melengkung dibandingkan garis di sebelah mesial. Pada gigi yang berakar dua, satu akar bukal dan satu akar palatal jelas kelihatan. Sementara pada gigi yang berakar satu, developmental depression sangat jelas di sepanjang akar, dan garis luar akar bukal dan palatal berakhir di satu ujung apeks. Dari aspek oklusal pula, gigi premolar satu maksila berbentuk heksagonal dengan enam sisi yaitu mesiobukal, mesial, mesiopalatal, distopalatal, distal, dan distobukal. Namun keenam sisi ini tidak sama panjangnya dimana sisi mesiobukal dan distobukal hampir sama panjang, sisi mesial lebih pendek daripada sisi distal, dan sisi mesiopalatal lebih pendek daripada distopalatal. Central developmental groove memisahkan bagian bukal dan palatal pada permukaan oklusal. Tonjol palatal memiliki ujung yang lebih tajam dibandingkan tonjol bukal.22

Bukal Palatal Oklusal Mesial Distal


(26)

2.3 Warna gigi

Enamel gigi biasanya berwarna putih keabuan hingga kekuningan. Sifat enamel yang translusen menyebabkan cahaya dapat menembus enamel dan memantul dari dentin yang berwarna kuning. Hal ini justru menyebabkan gigi kelihatan lebih kekuningan. Gigi yang berwarna putih keabuan pula menandakan lapisan enamel yang lebih opak. Translusensi enamel bergantung pada tingkat kalsifikasi dan homogenitas materi anorganiknya. Selain itu, translusensi enamel juga dipengaruhi oleh ketebalan lapisan enamel, dimana enamel yang lebih tipis akan lebih translusen berbanding enamel yang tebal. Ketebalan enamel bervariasi di bagian mahkota yang berbeda-beda (Gambar 3). Daerah insisal dan cusp mempunyai enamel yang paling tebal yaitu 2-2.5mm. Hal ini menyebabkan daerah insisal dan cusp biasanya berwarna putih keabuan dengan sedikit kebiruan, sementara pada daerah servikal gigi biasanya berwarna lebih kuning karena lapisan enamel lebih tipis di daerah tersebut 17,19,21

Warna gigi juga ditentukan berdasarkan sifat optiknya yaitu pantulan cahaya dari gigi yang dapat dilihat dengan mata. Umumnya, terdapat tiga faktor yang memengaruhi penentuan warna gigi. Faktor pertama adalah sumber cahaya, faktor kedua adalah sifat penyerapan, pantulan, transmisi dan hamburan cahaya oleh gigi, serta faktor ketiga adalah interpretasi individu terhadap warna.23


(27)

Gambar 3. Variasi ketebalan enamel premolar dari bagian insisal ke servikal 19

2.3.1 Diskolorisasi gigi

Diskolorisasi gigi adalah perubahan yang terjadi pada warna gigi. Secara umum, diskolorisasi gigi diklasifikasikan menjadi dua kelompok berdasarkan faktor etiologinya, yaitu diskolorisasi intrinsik dan diskolorisasi ekstrinsik.9,24

2.3.1.1 Diskolorisasi intrinsik

Diskolorisasi intrinsik adalah pewarnaan endogen yang terjadi di bagian dalam struktur gigi sehingga sulit dirawat secara eksternal. Perubahan warna gigi secara instrinsik dapat terjadi akibat perubahan struktur dentin dan enamel sewaktu odontogenesis atau difusi bahan kromatogenik yang berasal dari dalam tubuh atau pulpa ke lapisan dentin dan enamel pasca erupsi. Antara faktor penyebab diskolorisasi intrinsik adalah: 9

a) Penyakit sistemik

Beberapa penyakit sistemik dapat memengaruhi perkembangan enamel dan dentin selama fase odontogenesis sehingga menyebabkan perubahan warna gigi.


(28)

Erythropoietin porphyria kongenital merupakan gangguan metabolism porfirin yang mengakibatkan diskolorisasi enamel yang berwarna coklat kemerahan.24,25

Erythroblastosis fetalis merupakan salah satu kelainan darah neonatal akibat dari inkompatibilitas faktor rhesus yang menyebabkan warna gigi menjadi warna hijau kebiruan, kuning coklat, atau abu-abu. 9

Alkaptonuria adalah gangguan metabolisme kongenital pada tyrosine dan phenylanine sehingga terjadi penumpukan asam homogenistik dalam sel dan cairan tubuh. Kondisi ini akan menyebabkan gigi kelihatan berwarna coklat kehitaman.9

b) Gangguan pembentukan struktur gigi

Kelainan pada pembentukan jaringan enamel dan dentin dapat memengaruhi warna gigi.

Amelogenesis imperfecta merupakan suatu kondisi herediter yang menyebabkan perubahan struktur enamel sewaktu fase sekretori atau maturasi enamel yang diakibatkan oleh mutasi gen AMEL X. Pasien yang menderita kelainan ini biasanya memiliki gigi-geligi yang berwarna kuning kecoklatan.26  Dentinogenesis imperfecta adalah suatu kelainan genetik yang mengganggu

pembentukan kolagen tipe I sehingga menyebabkan kalsifikasi dentin tidak sempurna. Gigi pada penderita dentinogenesis imperfecta biasanya berwarna biru keabuan sampai kuning coklat dan kelihatan translusen.26

c) Tetrasiklin

Watts et al. (2001) menyatakan bahwa tetrasiklin dapat melewati plasenta sehingga dapat menyebabkan deposisi tetrasiklin dalam tulang dan jaringan keras gigi pada janin. Molekul tetrasiklin akan terikat dengan kalsium dalam kristal hidroksiapatit sehingga membentuk kompleks tetrasiklin orthophosphate yang menyebabkan diskolorisasi gigi. Pigemen tetrasiklin biasanya lebih banyak dideposisikan pada incremental line dentin. Gigi yang mengalami pewarnaan akibat tetrasiklin seringkali berwarna kuning hingga coklat keabuan. Tingkat keparahan


(29)

diskolorisasi gigi tergantung jenis tetrasiklin, dosis dan jangka waktu penggunaan tetrasiklin.25,26

d) Fluorosis

Fluorosis adalah pewarnaan gigi yang disebabkan oleh konsumsi fluor yang berlebihan. Pada kasus fluorosis yang ringan, bercak-bercak putih dapat dilihat pada permukaan gigi. Konsumsi fluor yang berkonsentrasi tinggi (melebihi 6ppm) pula dapat menyebabkan diskolorisasi gigi berwarna kuning coklat hingga coklat kehitaman.26

e) Penuaan

Dengan bertambahnya umur, gigi akan mengalami perubahan fisiologis berupa penipisan lapisan enamel akibat erosi, abrasi dan atrisi gigi secara fisiologis, deposisi dentin sklerotik dan pembentukan dentin sekunder atau tersier serta pulp stones juga dapat menyebabkan gigi kelihatan lebih gelap. 26,27

f) Trauma

Cedera pada gigi dapat menyebabkan perubahan degeneratif pada pulpa atau terjadinya pendarahan dalam pulpa. Biasanya gigi yang mengalami trauma akan berubah menjadi warna pink dan warna hitam apabila gigi telah nekrosis.24,25

g) Bahan restorasi dan bahan pengisi saluran akar

 Amalgam

Bahan tumpatan amalgam apabila berkontak dengan dinding kavitas untuk jangka waktu yang lama, lambat laun akan terjadi perubahan warna gigi menjadi abu-abu gelap.9,24

 Bahan-bahan pengisi saluran akar yang mengandung senyawa iodin, perak

nitrat, atau garam logam, seperti iodoform, gutta percha, dan silver cone dapat menyebabkan diskolorisasi berwarna abu-abu dalam jangka waktu yang lama.3,28

 Bahan medikamen endodontik

Bahan medikamen seperti pasta Ledermix dapat menyebabkan terjadinya diskolorisasi gigi berwarna kekuningan sekiranya ditinggalkan dalam gigi untuk jangka waktu yang lama. 28


(30)

h) Iatrogenik

Diskolorisasi dapat terjadi pada kasus endodontik dimana saluran akar tidak diirigasi dengan baik sebelum penutupan saluran akar atau preparasi kavitas akses yang tidak adekuat sehingga jaringan pulpa koronal tidak disingkirkan secara menyeluruh. Darah dan sisa jaringan nekrotik yang tertinggal dalam kamar pulpa dapat menyebabkan diskolorisasi coklat atau hitam. 28

2.3.1.2 Diskolorisasi ekstrinsik

Diskolorisasi ekstrinsik adalah perubahan warna gigi yang terjadi pada permukaan enamel gigi. Diskolorisasi ekstrinsik dapat terjadi akibat pigmen warna yang melekat pada pelikel sehingga menghasilkan stain, atau dapat juga terjadi akibat interaksi kimia yang terjadi pada permukaan gigi. Seringkali stain ekstrinsik ini dapat dieliminasi dengan pembersihan permukaan gigi secara mekanis. Faktor-faktor ekstrinsik yang mengakibatkan diskolorisasi gigi adalah: 9,24

a) Diet

Makanan dan minuman yang mempunyai potensi pewarnaan yang tinggi seperti teh, kopi, wain, dan sirup yang mengandung senyawa polyphenolic atau makanan yang mengandung karotin seperti wortel dapat menyebabkan terjadinya stain

ekstrinsik.27 Pigmen warna atau chromophores yang berasal dari sumber luar

berdifusi ke dalam jaringan keras gigi melalui pori-pori kecil di antara struktur kristal enamel. Apabila pigmen warna menumpuk di dalam jaringan keras gigi untuk jangka waktu yang lama tanpa pembersihan, gigi akan mengalami diskolorisasi. Perubahan warna gigi akibat diet bervariasi dan tergantung jenis pigmen warna dari minuman atau makanan yang dikonsumsi.29

b) Merokok

Merokok dapat menyebabkan diskolorisasi gigi karena rokok mengandung tembakau. Sewaktu merokok, senyawa nikotin dan tar akan melekat pada permukaan gigi. Nikotin apabila terpapar oksigen akan berubah warna menjadi kuning, sementara tar dari tembakau berwarna coklat kehitaman.30 Penumpukan kedua-dua


(31)

senyawa ini untuk jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gigi berwarna coklat muda sampai hitam seperti di gambar 4.

Gambar 4. Stain tembakau29

c) Klorheksidin

Klorheksidin merupakan salah satu antiseptik yang sering digunakan sebagai obat kumur karena ia memiliki sifat antibakteri yang baik. Penggunaan obat kumur klorheksidin untuk jangka waktu yang lama dapat menyebabkan diskolorisasi gigi. Mekanisme penyebab diskolorisasi oleh klorheksidin belum diketahui dengan pasti, namun terdapat tiga teori yang mungkin dapat menjelaskan mekanisme staning klorheksidin. Teori yang pertama adalah reaksi Maillard (non-enzymatic browning reaction) di mana senyawa amine dan karbohidrat pada pelikel mengalami beberapa reaksi kondensasi dan polimerisasi sehingga menghasilkan pigmen warna yang mewarnai pelikel. Teori kedua adalah pembentukan sulfide besi dan timah. Teori ini menyatakan bahwa klorheksidin menguraikan pelikel untuk melepaskan radikal sulfur, dan radikal yang bebas ini akan bereaksi dengan ion metal untuk membentuk metal sulphide yang berpigmen abu-abu. Teori presipitasi kromogen dari diet oleh klorheksidin pula menyatakan bahwa staning kemungkinan disebabkan oleh presipitasi anion kromogen yang berasal dari diet seperti polyphenol pada kation antiseptik atau ion metal polyvalent akan menghasilkan stain pada permukaan gigi.25


(32)

Biasanya stain yang dihasilkan oleh reaksi kimia klorheksidin adalah kuning kecoklatan seperti di gambar 5.

Gambar 5. Stain klorheksidin29

2.4 Perawatan diskolorisasi gigi

Masalah diskolorisasi gigi dapat diatasi dengan pelbagai cara. Pemilihan perawatan untuk mengatasi masalah diskolorisasi gigi harus sesuai dengan faktor penyebabnya supaya dapat mencapai hasil pemutihan gigi yang optimal.

2.4.1 Penyikatan gigi

Metode penyikatan gigi adalah teknik yang telah digunakan sejak zaman dahulu untuk membersihkan gigi dengan menyingkirkan debris dan stain eksternal pada permukaan gigi. Penyikatan gigi yang efektif untuk mencegah terbentuknya stain pada gigi adalah dua kali sehari. Penyikatan gigi sering disertai dengan penggunaan pasta gigi untuk membantu dalam penyingkiran stain dengan lebih efektif. Pasta gigi secara umum mengandung beberapa bahan yang dapat membantu dalam penyingkiran debris dan stain. Antaranya adalah bahan abrasif, bahan peroksida, dan agen berbahan dasar fosfat.31


(33)

2.4.2 Professional tooth cleaning

Professional tooth cleaning adalah prosedur pembersihan gigi yang dilakukan oleh dokter gigi di praktek. Antara prosedur yang dapat dilakukan adalah polishing selektif dengan menggunakan bahan abrasif seperti pumice dan rubber cup. Profilaksis rubber cup dengan pasta pumice dapat menyingkirkan stain pada permukaan gigi dan juga pelikel yang mengandung kromogen yang melekat pada gigi. Selain itu, scalling ultrasonik juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan kalkulus dan debris pada permukaan gigi yang menyebabkan diskolorisasi gigi. Alat skeling ultrasonik menghasilkan getaran berfrekuensi tinggi yaitu 25,000-42,000 Hz. Getaran ini dapat mengeliminasi kalkulus dan debris dari permukaan enamel dengan lebih efektif.29

2.4.3 Mikroabrasi

Mikroabrasi adalah suatu prosedur di mana selapis tipis enamel kira-kira 0.1mm disingkirkan dengan teknik erosi dan abrasi secara simultan. Biasanya permukaan enamel dietsa dengan asam fosfat 35% atau asam hidroklorik 18% dan dipolis dengan pumice dan air sehingga berkilat. Teknik ini hanya diindikasikan untuk kasus diskolorisasi pada enamel superfisial atau diskolorisasi intrinsik akibat hipomineralisasi dan hipermineralisasi enamel. Diskolorisasi yang parah atau diskolorisasi pada lapisan dalam enamel dan dentin merupakan kontraindikasi teknik ini.9,32

2.4.4 Vinir porselen

Vinir porselen merupakan salah satu perawatan diskolorisasi gigi yang diindikasikan untuk kasus diskolorisasi yang lebih parah dan tidak dapat dirawat dengan pembersihan profilaksis atau teknik mikroabrasi. Sebelum pemasangan vinir porselen, gigi seharusnya dipreparasi terlebih dahulu untuk membuang lapisan luar enamel sedalam 0,3-0,5mm secara merata. Basis preparasi harus pada bagian enamel karena bonding di enamel lebih kuat daripada dentin. Setelah itu, vinir porselen


(34)

disemenkan pada gigi yang dipreparasi dengan hati-hati. Warna porselen yang digunakan harus berwarna opak, dan dalam lapisan setipis mungkin tetapi masih dapat menutupi daerah yang bermasalah.33

2.4.5 Bleaching

International Organization for Standardization (ISO) mendefinisikan bleaching sebagai proses yang dapat menghilangkan diskolorisasi gigi secara intrinsik atau ekstrinsik melalui penggunaan bahan kimia, dan kadang-kadang dikombinasikan

dengan sarana tambahan seperti sinar LED dan pemanasan.7 Menurut survei yang

dilakukan oleh Akarslan et al. (2009), bleaching merupakan perawatan untuk memperbaiki estetik gigi yang paling diinginkan oleh masyarakat (49%) dibanding metode restorasi estetik yang lain.34 Hal ini mungkin disebabkan oleh pemahaman mereka bahwa bleaching merupakan suatu prosedur untuk merestorasi estetik gigi yang tidak rumit dan tidak sakit.35 Perawatan bleaching terbagi menjadi dua, yaitu bleaching vital dan non-vital. Bleaching vital (bleaching eksternal) merupakan prosedur pemutihan gigi yang dilakukan pada gigi yang masih vital pada permukaan gigi, manakala bleaching non-vital (bleaching internal) dilakukan secara intrakoronal pada gigi yang non-vital dalam kamar pulpa.

2.4.5.1 Bleaching vital

Bleaching vital adalah perawatan pemutihan gigi yang bersifat konservatif. Bleaching ini dilakukan secara eksternal yaitu dilakukan pada permukaan gigi. Secara umum, terdapat dua teknik dalam melakukan pemutihan gigi secara vital. Salah satunya adalah pemutihan gigi yang dilakukan dokter gigi di praktek atau disebut in-office bleaching, dan yang kedua adalah home bleaching yaitu perawatan pemutihan gigi yang dilakukan oleh pasien sendiri di rumah tanpa atau dibawah pengawasan dokter gigi.4


(35)

a) In-office bleaching

In-office bleaching sering disebut sebagai “one-hour bleaching” dan biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan pemutih gigi yang berkonsentrasi tinggi seperti hidrogen peroksida 35%-38% atau karbamid peroksida 35%-40% yang dilakukan oleh dokter gigi untuk jangka waktu yang pendek.36 Biasanya in-office bleaching memerlukan penyinaran atau pemanasan dengan alat-alat khusus seperti tungsten halogen curing light, xenon plasma arc light, argon and CO2 laser, dan diode laser light untuk mendapatkan efek pemutihan yang lebih cepat. Indikasi untuk in-office bleaching adalah stain permukaan gigi yang ringan atau sedang. Diskolorisasi yang berat seperti stain tetrasiklin, sensitivitas terhadap bahan peroksida, karies atau restorasi yang meluas merupakan kontraindikasi perawatan ini.9

Pemutihan gigi secara in-office adalah perawatan yang paling sesuai untuk pasien sibuk yang tidak mempunyai waktu untuk mengaplikasikan strip atau bleaching tray setiap hari. Selain itu, teknik pemutihan gigi ini juga tidak memerlukan waktu yang banyak dan dapat mendapatkan hasil yang memuaskan setelah dua kali kunjungan ke dokter gigi. Namun, disebabkan oleh penggunaan bahan peroksida yang berkonsentrasi tinggi dalam perawatan ini, beberapa efek samping harus diperhatikan setelah melakukan bleaching. Antara efek samping yang paling sering dilaporkan adalah iritasi mukosa atau gingiva dan sensitivitas gigi. Oleh itu, penggunaan rubber dam dan bahan pelindung mukosa seperti vaselin atau pelembab bibir diperlukan selama prosedur bleaching.36

b) Home bleaching

Home bleaching merupakan teknik pemutihan gigi yang lebih sering dipilih oleh dokter gigi karena teknik ini menggunakan bahan peroksida yang berkonsentrasi rendah.16 Home bleaching dapat dilakukan oleh pasien sendiri di rumah dengan atau tanpa pengawasan dokter gigi. Perawatan home bleaching yang dilakukan dibawah pengawasan dokter gigi dikenali sebagai nightguard vital bleaching yaitu dengan menggunanakan tray yang berisi bahan pemutih yang diadministrasi oleh dokter gigi


(36)

digunakan dalam teknik ini adalah tray bening dan tipis yang dibuat khusus untuk setiap pasien dengan bahan ethyl vinyl acetate atau sering juga dikenali sebagai plastik fleksibel. Bahan bleaching yang digunakan untuk nightguard adalah 10% -22% karbamid peroksida atau hidrogen peroksida 1-10%.4,9

Home bleaching yang dilakukan tanpa pegawasan dokter gigi pula berupa penggunaan produk over-the-counter (OTC) seperti pasta gigi, obat kumur, strip, dan permen karet yang dapat dibeli di pasaran tanpa resep dokter gigi.36 Teknik home bleaching diindikasikan untuk kasus diskolorisasi tetrasiklin atau fluorosis yang ringan, stain dari rokok atau tembakau, dan diskolorisasi yang disebabkan oleh penuaan. Gigi dengan garis fraktur atau retak yang dalam, diskolorisasi berat, sensitivitas terhadap bahan bleaching, restorasi gigi yang luas, ibu hamil, atau pasien yang tidak kooperatif merupakan kontraindikasi untuk melakukan home bleaching.9

2.4.5.2 Bleaching nonvital

Bleaching nonvital merupakan teknik pemutihan gigi yang diindikasikan untuk merawat diskolorisasi gigi yang parah seperti stain tetrasiklin atau diskolorisasi pada gigi yang telah mengalami degenerasi pulpa. Cara bleaching ini dilakukan secara internal, yaitu bahan bleaching diaplikasikan di kamar pulpa gigi untuk memutihkan gigi yang mengalami diskolorisasi internal. Bleaching nonvital mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi dalam usaha mengembalikan warna gigi yang telah mengalami diskolorisasi. Beberapa teknik bleaching nonvital yang sering digunakan adalah walking bleach, thermocatalytic bleaching, dan inside/outside bleaching.9,38,39

a) Walking bleach

Teknik ini pertama kali digunakan oleh Spasser pada tahun 1961. Beliau menggunakan campuran sodium perborat dan air sebagai bahan pemutih untuk teknik ini. Teknik ini kemudian dimodifikasi oleh Nutting dan Poe (cit. Plotino et al., 2008) dengan memasukkan campuran sodium perborat dan 30% hidrogen peroksida ke dalam kamar pulpa selama 1 minggu. Teknik ini diindikasikan untuk kasus diskolorisasi yang berasal dari kamar pulpa, pewarnaan akibat tetrasiklin yang sedang sampai berat, dan diskolorisasi dentin.39


(37)

Campuran sodium perborat dan air dengan perbandingan 2:1 merupakan bahan bleaching yang cukup bagus. Namun pada kasus diskolorisasi yang berat, sodium perobrat dapat dicampur dengan hidrogen peroksida 30%. Setelah pengaplikasian bahan bleaching, kavitas tersebut ditumpat dengan bahan tumpatan sementara untuk mengelakkan leakage bahan bleaching dan juga untuk memastikan perawatan ini berhasil. Setelah 3 hingga 7 hari, warna gigi dievaluasi kembali. Sekiranya pasien masih tidak puas terhadap warna giginya, prosedur ini dapat diulang sehingga mencapai hasil yang memuaskan. Sesudah itu, kavitas ditumpat dengan komposit secara permanen.9,38,39

b) Thermocatalytic bleaching

Thermocatalytic bleaching adalah suatu teknik pemutihan gigi dimana 30%-35% hidrogen peroksida diaplikasikan ke dalam kamar pulpa kemudian diaktivasi dengan sinar atau pemanasan. Teknik ini merupakan teknik bleaching yang paling efektif karena pemanasan secara langsung maupun dari penyinaran akan meningkatkan suhu intrapulpa sehingga memudahkan penetrasi peroksida ke dalam jaringan gigi. Suhu yang sering digunakan untuk teknik ini adalah sekitar 50 hingga 60 oC selama 5 menit atau dengan sinar polimerisasi halogen konvensional selama 5 menit. Setelah selesai pemanasan, bahan bleaching biasanya ditinggalkan dalam kamar pulpa untuk sementara waktu sampai kunjungan berikutnya supaya mendapat efek pemutihan yang lebih bagus.32,38,39,40

c) Inside/outside bleaching

Teknik ini merupakan kombinasi bleaching internal secara nonvital dengan teknik home-bleaching supaya proses bleaching lebih efektif. Teknik kombinasi ini efektif dalam perawatan diskolorisasi yang berat. Keuntungan dari perawatan ini adalah waktu perawatan yang lebih singkat berbanding teknik bleaching nonvital yang lain, dan teknik ini menggunakan karbamid peroksida yang berkonsentrasi rendah, biasanya 10% sehingga dapat megurangi risiko resorpsi eksternal. Teknik ini tidak sesuai digunakan pada pasien yang tidak kooperatif karena teknik ini memerlukan pasien sendiri untuk mengaplikasikan bahan bleaching setiap hari di rumah untuk jangka waktu tertentu.9,38


(38)

2.4.5.3 Bahan bleaching

Bahan yang digunakan untuk perawatan bleaching umunya mengandung peroksida dan merupakan zat pengoksidasi. Antara bahan peroksida yang sering digunakan dalam perawatan bleaching adalah hidrogen peroksida dan karbamid peroksida.

a) Hidrogen peroksida

Hidrogen peroksida (H2O2) adalah suatu cairan yang bening, tidak berwarna, dan

tidak berbau. Penggunaan hidrogen peroksida dalam perawatan bleaching telah dimulai sejak lebih dari satu abad yang lalu, tetapi hanya menjadi popular sejak pengenalan home bleaching oleh Haywood dan Heymann pada tahun 1989. (cit. Li y dan Greenwall L, 2013).7 Ia merupakan suatu bahan oksidasi yang kuat dan bersifat asam dengan pH sekitar 5.0-6.0. Hidrogen peroksida yang berkonsentrasi tinggi bersifat kaustik dan sangat mengiritasi jaringan sehingga pemakaiannya harus hati-hati. Apabila diaplikasikan di rongga mulut, pemakaian rubber dam diperlukan untuk melindingi gingiva dan mukosa mulut daripada iritasi. Bahan ini tidak stabil sehingga pelepasan oksigennya cepat apabila terjebak udara. Oleh itu, ia harus disimpan di tempat yang teduh dan dingin untuk mengelakkan peledakan.32

Hidrogen peroksida tersedia dalam konsentrasi dan sediaan yang berbeda-beda. Hidrogen peroksida dengan konsentrasi 30%-35% disebut juga sebagai superoksol atau perhidrol, biasanya digunakan untuk perawatan bleaching in-office dan didapat dalam bentuk sediaan gel. Hidrogen peroksida yang digunakan untuk home bleaching pula mengandung 3%-9% H2O2 dan terdapat dalam bentuk sediaan obat kumur, pasta

gigi, atau strip pemutih. Hidrogen peroksida mampu memberi efek pemutihan gigi dengan segera karena merupakan bahan oksidator yang kuat dan mengandung bahan aktif yang konsentrasi tinggi. Namun begitu, kelemahan bahan hidrogen peroksida adalah memiliki efek negatif terhadap gigi seperti penurunan kekerasan enamel, perubahan morfologi enamel, hipersensitivitas gigi, toksisitas apabila tertelan, serta iritasi jaringan mukosa. 4,7,32

Baru-baru ini, beberapa pabrik telah memperkenalkan bahan bleaching yang memerlukan aktivasi sinar untuk meningkatkan efek pemutihan gigi. Dipercayai


(39)

bahwa sinaran cahaya menghasilkan haba yang dapat meningkatkan suhu intrapulpa sehingga bahan peroksida dapat berpenetrasi ke dalam jaringan keras gigi dengan lebih cepat dan efektif. Araujo et al. (2010) mengemukakan bahwa sinar halogen dan LED biru dapat meningkatkan kecerahan gigi.40 Namun hasil ini tidak sama dengan penelitian Roberto et al. (2011) yang tidak menemukan perbedan yang signifikan dalam tingkat kecerahan gigi antara kelompok yang tidak menggunakan aktivasi sinar dan kelompok yang menggunakan aktivasi sinar.41

b) Karbamid peroksida

Karbamid peroksida (CH6N2O3) atau dikenal juga sebagai urea hidrogen

peroksida, biasanya didapati dalam konsentrasi yang bervariasi antara 3% hingga 45%. Karbamid peroksida dengan konsentrasi 10% merupakan bahan bleaching yang paling sering digunakan untuk perawatan home bleaching dan merupakan bahan bleaching yang paling aman dan efektif menurut American Dental Association (ADA). Karbamid peroksida sering digunakan dalam perawatan pemutihan gigi karena bahan ini mempunyai efektivitas dalam peningkatan kecerahan gigi serta lebih aman dibanding dengan hidrogen peroksida.4,6

Biasanya karbamid peroksida 35% akan terurai menjadi 23% urea (CH4N2O)

sebagai stabilisator dan 12% hidrogen peroksida (H2O2) sebagai bahan aktif dalam

proses bleaching apabila berkontak dengan saliva atau air.31,32 Efek pemutihan hidrogen peroksida 35% lebih cepat dibanding karbamid peroksida karena merupakan bahan oksidator yang kuat, sementara karbamid peroksida 35% hanya mengandung bahan aktif hidrogen peroksida sebanyak 12% yang akan berdifusi ke dalam jaringan gigi secara perlahan-lahan. Umumnya, efek pemutihan hidrogen peroksida hampir sama apabila dibanding dengan karbamid peroksida yang mengandung persentase hidrogen peroksida yang sama. Contohnya, pada penelitian Nathoo et al. (cit Joiner A, 2006) aplikasi 25% karbamid peroksida atau 8,7% hidrogen peroksida sekali sehari menghasilkan efek pemutihan yang hampir sama37

Seperti hidrogen peroksida, perawatan bleaching dengan karbamid peroksida juga dapat menyebabkan efek negatif terhadap gigi dan jaringan sekitarnya seperti penurunan kekerasan enamel dan dentin, meningkatan kekasaran gigi,


(40)

hipersensitivitas gigi, dan iritasi gingiva. Namun, disebabkan konsentrasi hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh karbamid peroksida lebih rendah, serta adanya urea sebagai penetralisir pH bahan peroksida, efek negatif yang dihasilkan lebih rendah sehingga lebih aman digunakan untuk perawatan bleaching dibanding hidrogen peroksida. Penelitian Pinto et al. (2004) mendapati bahwa sampel gigi yang diaplikasi hidrogen peroksida mengalami penurunan kekerasan dan perubahan struktur enamel yang paling tinggi dibanding kelompok kontrol dan karbamid peroksida.14 Sebuah penelitian studi klinikal yang dilakukan selama 6 bulan mengemukakan bahwa penggunaan gel bleching karbamid peroksida 10% setiap hari tidak memengaruhi morfologi permukaan enamel.7 Sementara penelitian Araujo et al. (cit. Joiner, 2007) mendapati bahwa penggunaan gel karbamid peroksida 10% untuk 1 jam atau 7 jam selama 21 hari tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap nilai kekerasan enamel.12

2.3.5.4 Mekanisme bleaching

Mekanisme reaksi pemutihan gigi belum diketahui secara pasti, namun diduga bahwa efek pemutihan daripada bahan peroksida merupakan hasil kerja radikal bebas yang dilepaskan sewaktu proses oksidasi. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan harus berpasangan dengan elektron tunggal lain untuk menjadi molekul yang stabil. Apabila hidrogen peroksida berdifusi ke dalam jaringan keras gigi, akan terjadi penguraian menjadi air (H2O), oksigen (O2) dan juga radikal bebas.42

a) H2O22HO˙

HO˙ + H2O2 H2O+ HO˙

HO2˙ ↔ H+ + O2˙

b) 2H2O2 ↔ 2H2O + 2{O}↔ 2H2O + O2

c) H2O2↔ H+ + HOO

-Rumus-rumus di atas adalah mekanisme bahan bleaching hidrogen peroksida. Rumus (a) menunjukkan bahwa penguraian hidrogen peroksida akan menghasilkan


(41)

radikal bebas seperti hidroksil, radikal perhidroksil, dan anion superoksid. Rumus (b) pula menggambarkan proses penguraian hidrogen peroksida menjadi komponen yang paling dasar yaitu air dan oksigan. Rumus (c) adalah mekanisme transformasi hidrogen peroksida menjadi anion hidrogen peroksida.42

Seperti yang dijelaskan di gambar 6, radikal bebas yang tidak stabil akan memecahkan molekul kromofor yang kompleks menjadi fragmen kecil. Molekul kromofor yang tereduksi tidak mampu memantulkan cahaya yang banyak, sehingga menyebabkan gigi kelihatan lebih cerah dan warna gigi menjadi lebih putih. Hal ini akan menyebabkan terhasilnya efek pemutihan pada gigi. Efek pemutihan ini biasanya dibuktikan dengan terjadinya penurunan score warna pada shade guide dan nilai kecerahan (L*). Reaksi hidrogen peroksida bervariasi tergantung kondisi fisik dan lingkungannya seperti jenis bahan bleaching, konsentrasi dan lamanya aplikasi bleaching, keparahan diskolorisasi gigi, dan penggunaan katalis tambahan seperti sinar LED.7,8,9,27,37

Gambar 6. Mekanisme bleaching hidrogen peroksida42 Diskolorisasi gigi

akibat masuknya

kromofor ke dalam

jaringan keras gigi

Penetrasi peroksida menyebabkan terjadinya oksidasi kromofor

Pemecahan kromofor menjadi fragmen kecil oleh radikal bebas sehingga terjadi efek pemutihan


(42)

2.5 Pengaruh bleaching terhadap gigi

Umumnya, setiap perawatan gigi yang dilakukan pasti ada efeknya terhadap jaringan gigi dan sekitarnya, begitu juga dengan perawatan bleaching. Pelbagai kajian telah dilakukan untuk meneliti efek negatif bleaching terhadap enamel gigi. Hal ini disebabkan oleh sifat bahan bleaching sebagai oksidator kuat, sehingga menimbulkan kontroversi dalam perawatan bleaching.

Efek negatif yang paling sering berlaku akibat bleaching adalah kehilangan mineral, perubahan morfologi permukaan enamel, dan perubahan kekerasan enamel gigi.

a) Pelepasan ion kalsium dan fosfor

Enamel terdiri dari sebagian besar materi anorganik atau mineral. Dalam kondisi lingungan yang asam, enamel gigi akan mengalami demineralisasi sehingga menyebabkan kehilangan komponen di enamel seperti ion kalsium dan fosfat. Demineralisasi enamel gigi akan berlaku apabila pH lingkungan lebih sedikit daripada 5.5, sementara kebanyakan bahan bleaching mempunyai pH kurang dari 5.5.43

Sun et al. (2011) telah melakukan sebuah penelitian untuk mengevaluasi perubahan permukaan enamel dengan menggunakan Raman spectroscopy dan ATR-FTIR setelah dilakukan bleaching dengan hidrogen perkosida 30% yang bersifat asam (pH 3.6) dan netral (pH 7.0). Hasilnya, ternyata konsentrasi kelompok fosfat dalam enamel berkurang secara drastis untuk sampel yang diberi hidrogen peroksida yang bersifat asam, manakala untuk sampel yang diberi bahan yang bersifat netral

pula mengalami perubahan kandungan fosfat yang minimal.44 Selain pH bahan

bleaching, lama pemaparan gigi terhadap bahan bleaching juga dapat memengaruhi kecepatan kehilangan mineral pada enamel.12

b) Morfologi permukaan enamel

Perubahan morfologi perubahan merupakan salah satu efek negatif bleaching yang paling sering dilaporkan karena proses oksidasi bahan peroksida berpotensi menyebabkan erosi enamel. Banyak penelitian telah dilakukan untuk menilai efek bleaching terhadap morfologi permukaan enamel dengan menggunakan Scanning


(43)

Elcetron Microscope (SEM). Caballero et al. (2007) dan Dudea et al. (2009) melaporkan bahwa tidak ada perubahan pada morfologi enamel setelah dilakukan bleaching dengan karbamid peroksida dan hidrogen peroksida yang berkonsentrasi rendah.45,46 Manakala penelitian lain pula menyatakan bahwa perubahan morfologi pada permukaan enamel jelas kelihatan.14,47,48,49

Perubahan morfologi yang sering terjadi pada enamel adalah terpaparnya prisma enamel, porositas dan erosi enamel, pembentukan kawah, kehilangan lapisan aprismatik, serta iregularitas pada permukaan enamel.14,47 Perubahan morfologi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, anataranya adalah konsentrasi dan lama pemaparan bahan bleaching, serta pH bahan peroksida. Junqueira et al. (2011) telah menganalisa morfologi enamel setelah bleaching pada konsentrasi karbamid peroksida 16% dan 22% dengan lama pemaparan bahan bleaching yang berbeda. Hasilnya sampel yang diberi karbamid peroksida yang berkonsentrasi tinggi dan pemaparan bahan bleaching yang lebih lama mengalami perubahan morfologi enamel yang lebih parah berbanding kelompok lain.48

c) Kekerasan enamel

Perubahan kandungan organik dan anorganik pada enamel setelah bleaching dapat dievaluasi melalui ujian kekerasan enamel. Hal ini karena proses oksidasi bahan peroksida akan melarutkan matriks organik dan menyebabkan pelepasan ion-ion kalsium dan fosfat. Apabila hidroksiapatit kelihangan ion-ion-ion-ion ini, lattice hidroksiapatit akan menjadi distorsi sehingga mengakibatkan struktur enamel menjadi poreus dan mempunyai pola honey-comb. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kekerasan enamel gigi.12

Penelitian Sun et al. (2011) mendapati bahwa sampel yang diberi perlakuan bleaching dengan 30% hidrogen peroksida mengalami penurunan nilai kekerasan enamel yang signifikan.44 Demikian juga hasilnya pada penelitian Pinto et al. (2004) tentang efek karbamid peroksida dan hidrogen dengan konsentrasi berbeda (variasi

antara 10% hingga 35%).13 Namun, beberapa peneliti lain menemukan hasil yang

berbeda. Penelitian Ferreira et al. (2006), Davari et al. (2012) dan Sasaki et al. (2009) menunjukkan bahwa bahan bleaching karbamid peroksida dan hidrogen peroksida


(44)

tidak mengakibatkan penurunan kekerasan enamel, sementara penelitian Delfino et al. (2009) dan Rodrigues et al. (2003) menunjukkan adanya sedikit penurunan nilai kekerasan enamel tetapi hasilnya tidak signifikan.6,12,43,49,50

2.6 Metode pengukuran warna gigi

Persepsi warna berbeda untuk setiap individu. Oleh itu untuk menstandardisasi hasil penilaian warna, beberapa teknik dan peralatan telah dikembangkan untuk memudahkan dokter gigi dalam perihal penentuan warna gigi. Secara umum, pengukuran warna gigi terbagi kepada dua kategori, yaitu pengukuran warna secara subjektif dan pengukuran warna secara objektif.

2.6.1 Metode subjektif

Pengidentifikasian warna gigi dengan metode subjektif adalah cara yang paling tradisional, yaitu dilakukan secara visual dengan menggunakan shade guide. Usaha pertama untuk menggambarkan warna gigi dengan akurat dilakukan oleh seorang dokter gigi yang bernama Dr. E. B. Clark pada tahun 1931 dengan dengan berdasarkan sistem Munsell yang dilakukan secara visual. Lanjutan itu, VITAPAN Classical shade guide dengan 16 tab warna gigi telah dihasilkan pada tahun 1956 untuk membantu dokter gigi dalam pengidentifikasian warna gigi dengan lebih akurat (Gambar 7). Sehingga hari ini, shade guide merupakan alat mengukuran warna gigi yang sangat popular dan digunakan oleh kebanyakan dokter gigi di seluruh dunia. Namun, disebabkan warna yang tersedia pada VITAPAN Classical shade guide didapati kurang seragam dengan warna yang terbatas, maka terhasilnya beberapa variasi shade guide seperti VITA Linearguide 3D-Master, VITA Toothguide 3D-Master, dan VITA Bleachedguide 3D-Master (Gambar 8). VITA Bleachedguide 3D-Master merupakan shade guide yang didesain khusus untuk mengevaluasi warna gigi yang telah dibleaching, dimana shade guide ini mempunyai cakupan warna yang lebih baik dan lebih mengutamakan parameter kecerahan atau value.11,23


(45)

Gambar 7. VITAPAN Classical shade guide23

Gambar 8. VITA Bleachedguide 3D-Master23

Menurut Westland et al. (2007), terdapat beberapa kekurangan dalam penggunaan metode subjektif ini. Pertamanya, warna yang tersedia pada shade guide tidak adekuat untuk pengidentifikasian warna gigi asli yang bervariasi. Kekurangan yang kedua adalah kurangnya konsistensi antara dokter gigi dalam penentuan warna gigi. Hal ini karena setiap individu mempunyai persepsi warna yang berbeda. Selain itu, Penilaian warna gigi secara visual juga dipengaruhi oleh banyak faktor luar seperti warna dinding di sekeliling pasien, warna pakaian pasien, pencahayaan di praktek, dan kelelahan operator.51

2.6.2 Metode objektif

Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kekurangan-kekurangan dari metode penilaian warna secara visual. Metode pengukuran warna secara objektif memberi


(46)

hasil yang lebih akurat dan spesifik berbanding metode subjektif. Alat pengukuran warna secara objektif antara lain, spektrofotometer warna, kolorimeter, dan kamera digital.52

a) Spektrofotometer warna

Spektrofotometer merupakan salah satu alat untuk mengukur warna gigi secara objektif (Gambar 9). Alat ini memberi hasil berdasarkan data spektral cahaya L*, a*, dan b* serta dapat mengukur tingkat reflektans suatu obyek. Spektrofotometer merupakan instrument pengukuran warna yang paling akurat dan fleksibel dalam bidang kedokteran gigi. Alat ini mampu mengukur jumlah cahaya yang dipantulkan dari obyek pada interval 1-25nm dalam spektrum visibel. Sebuah spektrofotometer mengukur jumlah hue dan juga nilai value atau kecerahan suatu obyek. Selain itu, jumlah cahaya yang dipantulkan dari obyek tersebut juga direkam oleh alat ini.52

Gambar 9. Spektrofotometer warna (dok.)

Komponen-komponen dalam sebuah spektrofotometer antara lain, sumber cahaya, sebuah sistem optik untuk pengukuran, detektor pantulan cahaya, dan sebuah sistem untuk mengkonversi panjang gelombang cahaya yang dipantul menjadi spektrum visibel dan sebuah sistem untuk mengkonversikan spektrum menjadi nilai


(47)

L*, a* dan b*.52 Gambar 10 menunjukkan mekanisme kerja spektrofotometer warna dimana cahaya akan dipantulkan oleh objek dan ditangkap oleh sensor. Sensor ini akan mengkonversi panjang gelombang cahaya yang dipantul menjadi spektrum visibel dan kemudian dikonversi lagi menjadi nilai L*a* dan b* yang akan dipaparkan pada display screen spektrofotometer.53

Gambar 10. Mekanisme kerja spektrofotometer warna53

Pada tahun 1976, Commision Internationale de l’Eclairage (CIE) telah mengembangkan sistem warna berdasarkan model warna Munsell, dan mempublikasikan sistem warna CIELAB. Sistem ini juga mempunyai tiga dimensi warna, yaitu L*, a*, dan b* (Gambar 11).54 L* mewakili value atau tingkat kecerahan suatu obyek dan dinilai berdasarkan skala warna yang ditetapkan, dimana L* 0

melambangkan warna hitam sedangkan L* 100 adalah warna putih. ∆L* menunjukkan

perbedaan antara nilai L* standar dan sampel yang diukur, atau dalam bidang kedokteran gigi digunakan untuk menentukan perubahan nilai L* sebelum dan sesudah perlakuan bleaching, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus:40,44


(48)

Nilai ∆L* positif menandakan adanya peningkatan kecerahan, sementara nilai

∆L* negatif menandakan bahwa gigi tersebut menjadi semakin gelap. Dalam sistem ini, terdapat juga dua komponen yang mewakili kombinasi hue dan kroma yaitu aksis a* yang mengukur warna merah dan hijau serta aksis b* pula yang mengukur warna kuning dan biru. Keduadua aksis warna ini memberi hasil angka dari +128 hingga -128.40 Menurut Dietschi et al. (2006), nilai L* merupakan parameter pengukuran warna yang paling sesuai untuk dilakukan perbandingan dalam kondisi eksperimental untuk menguji keberhasilan perawatan bleaching.55

Gambar 11. Aksis warna L*, a*, dan b* 54

Keuntungan penggunaan spektrofotometer dalam pengukuran perubahan warna gigi adalah tingkat sensitivitas alat ini yang sangat tinggi sehingga dapat mendapat hasil yang sangat spesifik. Namun, terdapat juga kekurangan dari penggunaan alat ini. Salah satunya adalah harga spektrofotometer yang mahal disebabkan oleh presisi dan akurasinya yang tinggi. Selain itu, posisi spektrofotometer sewaktu mengukur warna juga harus diperhatikan karena posisi yang salah dapat menyebabkan terjadinya pembiasan sehingga hasilnya tidak akurat.56

Banyak penelitian untuk mengevaluasi keberhasilan bleaching telah dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer. Hal ini karena alat ini memberikan hasil


(49)

yang lebih spesifik dibandingkan metode pengukuran warna yang manual yaitu dengan shade guide. Dari hasil spektrofotometer, nilai kecerahan sebelum dan sesudah perawatan bleaching dapat dilihat dengan jelas melalui parameter L*. 4,5,6,40

b) Kolorimeter

Kolorimeter adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengukur warna gigi. (Gambar 12) Alat ini merekam cahaya merah, hijau, dan biru pada spektrum visibel. Kolorimeter tidak mengukur nilai reflektans warna dan hasilnya kurang akurat dibanding spektrofotometer.52

Gambar 12. Kolorimeter55

c) Kamera digital

Kamera digital boleh digunakan untuk mengukur tingkat warna atau nilai kecerahan gigi. Alat ini mengaplikasikan sistem warna RGB, yaitu dengan merekam warna merah, hijau, dan biru suatu obyek. Pengukuran warna gigi dengan metode ini memerlukan suasana dan pencahayaan yang terkalibrasi untuk mengelakkan bias. Seluruh permukaan gigi difoto, kemudian dianalisa warnanya di komputer dengan software pengukur warna yang biasanya berdasarkan sistem CIELab. (Gambar 13) Kamera digital sering digunakan dalam penelitian untuk mengukur warna gigi karena dapat mengetahui distribusi warna pada seluruh permukaan gigi dan pernggunaanya lebih mudah dibanding spektrofotometer dan kolorimeter. Selain itu, metode ini juga tidak memerlukan biaya yang tinggi.23,52


(50)

Gambar 13. Kamera digital dengan software analisa warna57

2.7 Alat pengukur kekerasan enamel

Kekerasan enamel seringkali diukur untuk mengetahui efek samping prosedur bleaching terhadap enamel gigi. Metode pengukuran nilai kekerasan enamel yang sering digunakan adalah metode Knoop dan metode Vickers.

a) Metode Knoop

Metode Knoop biasanya digunakan untuk mengukur nilai kekerasan obyek yang kecil atau tipis. Beban pengujian kekerasan Knoop berkisar antara 10 hingga 1000 gram. Indentor diamond Knoop menghasilkan indentasi kecil yang berbentuk rhomboid yang elongasi dimana ratio antara diagonal yang panjang dibanding diagonal pendek adalah 7:1. Hasil pengukuran garis diagonal indentasi kemudian dikonversi menjadi nilai kekerasan Knoop.57 (Gambar 14)


(51)

Gambar 14. Bentuk indentasi alat kekerasan Knoop57

b) Metode Vickers

Vickers hardness tester adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengukur nilai kekerasan enamel (Gambar 15).Pengujian kekerasan Vickers dilakukan dengan membuat indentasi pada permukaan obyek yang diuji dengan indentor diamond yang berbentuk piramida dengan dasar persegi dan sudut 136o antara satu permukaan dengan permukaan yang berlawanan seperti di gambar 16. Beban yang diinginkan ditekan pada permukaan obyek selama 10 sampai 15 detik. Setelah itu, panjang kedua garis diagonal pada lekukan yang terhasil diukur di bawah mikroskop untuk mendapatkan nilai rata-ratanya. Area setiap permukaan indensasi juga dihitung. Kemudian, nilai kekerasan Vickers (HV) dihitung dengan rumus:58

Biasanya pengujian kekerasan Vickers digunakan untuk menguji kekerasan gigi dibanding metode Knoop karena bentuk persegi yang dihasilkan oleh indentor Vickers lebih mudah diukur dan hasil juga lebih akurat. Perubahan kecil pada bentuk persegi yang dihasilkan oleh indentor dapat dideteksi dengan mudah, sementara lekukan yang

Petunjuk:

F = beban yang diterapkan d = rata-rata panjang kedua

garis diagonal pada lekukan


(52)

dihasilkan oleh indentor Knoop berbentuk rhomboid sehingga pendeteksian kesalahan sulit dilakukan. Untuk menghindari bias nilai kekerasan sampel, beberapa indentasi harus dilakukan pada setiap sampel dan diambil nilai rata-ratanya. 15

Gambar 15. Alat penguji kekerasan Vickers (dok.)

Gambar 16. Bentuk indentasi alat kekerasan Vickers59


(53)

2.8 Landasan teori

Warna gigi merupakan hal yang paling memengaruhi penampilan seseorang. Biasanya, gigi permanen berwarna putih keabu-abuan atau putih kekuningan yang dapat dipengaruhi oleh transluensi dan ketebalan enamel, serta ketebalan dan warna dentin yang melapisi dibawahnya. Namun, warna gigi dapat berubah akibat faktor intrinsik atau ekstrinsik. Diskolorisasi intrinsik adalah perubahan warna gigi secara instrinsik dapat terjadi akibat perubahan struktur dentin dan enamel sewaktu odontogenesis atau difusi bahan kromatogenik yang berasal dari dalam tubuh atau pulpa ke lapisan dentin dan enamel pasca erupsi sehingga relatif sulit dirawat secara eksternal. Diskolorisasi ekstrinsik adalah perubahan warna gigi yang terjadi pada permukaan enamel gigi akibat pigmen warna yang melekat pada pelikel sehingga menghasilkan stain, atau dapat juga terjadi akibat interaksi kimia yang terjadi pada permukaan gigi.1,3

Berbagai perawatan untuk memperbaiki warna gigi telah dikembangkan. Perawatan bleaching merupakan salah satu perawatan untuk memperbaiki warna gigi. Bahan yang sering digunakan dalam perawatan ini adalah bahan dasar peroksida yaitu karbamid peroksida dan hidrogen peroksida. Bahan-bahan ini dapat diperoleh di pasaran dalam sediaan dan konsentrasi yang bervariasi. Peroksida merupakan oksidator yang kuat sehingga mudah mengalami penguraian rantai molekulnya. Akibat proses oksidasi, radikal bebas akan dihasilkan sebagai salah satu produk sampingan. Radikal bebas akan memecahkan molekul pigmen kromofor menjadi molekul yang kecil atau hidroksil. Molekul pigmen warna yang tereduksi ini tidak mampu memantulkan cahaya yang banyak sehingga terhasilnya efek pemutihan.7,8,9

Namun, akibat proses oksidasi dari bahan peroksida ion-ion kalsium dan fosfat akan terlepas dari struktur hidroksiapatit. Hal ini akan menyebabkan terjadinya distorsi pada lattice hidroksiapatit sehingga bentuk kristalnya berubah. Akibatnya, struktur enamel menjadi poreus dan mempunyai pola honey-comb sehingga kekerasan enamel juga berkurang. Pengukuran nilai kekerasan enamel merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengevaluasi efek bleaching pada gigi.12


(54)

Dari dua bahan yang sering digunakan dalam perawatan bleaching, karbamid peroksida merupakan bahan yang lebih aman dan efektif dibanding hidrogen peroksida. Hal ini karena karbamid peroksida mengandung konsentrasi hidrogen peroksida yang lebih rendah beserta urea sebagai stabilisator bahan aktif sehingga hidrogen peroksida dapat berdifusi ke dalam jaringan keras gigi dengan perlahan-lahan dan lebih menyeluruh. Dengan itu, setiap molekul hidrogen peroksida dapat bereaksi dengan kromogen yang mengakibatkan diskolorisasi gigi sehingga efek pemutihannya lebih baik. Selain itu, urea dalam karbamid peroksida juga bertindak sebagai penetralisir yang akan meningkatkan pH karbamid peroksida yang asam. pH karbamid peroksida yang lebih netral mampu mengurangi efek demineralisasi enamel sehingga kekerasan enamel tidak terpengaruh.4,9


(55)

Kerangka teori

Gigi

Diskolorisasi Faktor intrinsik

• Penyakit sistemik, gangguan

pembentukan struktur gigi, penuaan

• Tetrasiklin, fluor

• Trauma

• Bahan restorasi dan pengisi saluran akar, iatrogenik Faktor ekstrinsik

• Diet

• Merokok

• Klorheksidin

Warna 1M2, 1.5M2, 2M2, 2.5M2, 3M2, 3.5M2, 4M2, 4.5M2, 5M2, 5M2.5, 5M3 berdasarkan VITA Bleachedguide 3D-Master

Penyikatan gigi

Professional tooth cleaning

Mikroabrasi Bleaching Vinir

porselen

12% Hidrogen peroksida (H2O2)

35% Karbamid peroksida (CH6N2O3)

penguraian 23% Urea (CH4N2O)

Oksidasi

Pelepasan radikal bebas Pemecahan rantai molekul pigmen kompleks menjadi kecil Kemampuan pemantulan cahaya berkurang

Warna gigi putih, nilai kecerahan (L*) meningkat

Pelepasan ion kalsium dan fosfor

Lattice hidroksiapatit tidak stabil Struktur enamel poreus Penurunan kekerasan enamel Vickers Hardness Tester spektrofotometer shade guide

stabilisator penetralisir

Mengurangi kecepatan difusi peroksida ke dalam jaringan gigi Proses oksidasi maksimal Pemutihan gigi lebih efektif pH karbamid peroksida meningkat Mengurangi efek demineralisasi Kekerasan enamel tidak terpengaruh Lebih aman digunakan


(56)

2.9 Kerangka konsep

Gigi premolar satu maksila

Pengukuran nilai kekerasan Vickers enamel (HV) Pengukuran nilai kecerahan gigi (L*)

Bleaching karbamid peroksida 35% Pengukuran tingkat kecerahan (L*)

Pemilihan warna (1M2, 1.5M2, 2M2, 2.5M2, 3M2, 3.5M2, 4M2, 4.5M2, 5M2, 5M2.5, 5M3 berdasarkan VITA Bleachedguide 3D-Master)

Pengukuran kekerasan enamel insial (HV)

Pemilihan warna gigi

Preparasi sampel menjadi bentuk balok dengan ukuran 5x5x4 mm

Hari 1: 1 jam

spektrofotometer

Vickers hardness tester

Penurunan tingkat warna gigi berdasarkan shade guide

• Peningkatan nilai kecerahan gigi (∆L*)

• Penurunan nilai kekerasan enamel (∆HV)

spektrofotometer

Vickers hardness tester

Data

shade guide shade guide

Data

Hari 2: 1 jam Hari 3: 1 jam Hari 4: 1 jam

Hari 5: 1 jam Hari 6: 1 jam


(57)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimental murni dengan rancangan penelitian pre-post test design, yaitu melakukan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan untuk menilai perubahan score warna, nilai kecerahan, dan nilai kekerasan enamel.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi USU, TUV SUD Sdn Bhd Malaysia dan Laboratorium Teknik Mesin UNIMED.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan April 2015 sampai Mei 2015 yang mencakup pengumpulan sampel, penelitian, pengumpulan data, pengolahan data dan hasil penelitian.

3.3 Populasi dan sampel Penelitian 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah gigi premolar pertama maksila permanen manusia yang telah diekstraksi.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian ini adalah gigi premolar pertama maksila permanen manusia yang telah diekstraksi tidak lebih 30 hari dan sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi.


(58)

3.3.3 Besar Sampel

Penentuan jumlah sampel menggunakan rumus Federer dengan menggunakan teknik non-random sampling yaitu purposive sampling dimana sampel yang tersedia harus mempunyai kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan dan dipilih dari suatu populasi tertentu.

Jumlah sampel yang diperlukan dihitung berdasarkan rumus Federer

Keterangan:

t = jumlah perlakuan r = jumlah sampel

Hasil perhitungan: (1-1)(r-1) ≥ 15 (r-1) ≥ 15 r ≥ 15 + 1

r ≥ 16

Jumlah sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah 20.

3.4 Kriteria Inkusi dan Ekslusi 3.4.1 Kriteria Inklusi

- Premolar pertama maksila permanen yang diekstraksi

- Usia 16-25 tahun, laki-laki dan perempuan

- Gigi yang mempunyai warna inisial 1M2, 1.5M2, 2M2, 2.5M2, 3M2,

3.5M2, 4M2, 4.5M2, 5M2, 5M2.5, 5M3 berdasarkan VITA Bleachedguide 3D-Master (Gambar 17)


(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Tin-Oo MM, Saddki N, Hassan N. Factors influencing patient satisfaction

withdental appearance and treatments they desireto improve aesthetics. BMC Oral Health 2011; 11(6): 806-13.

2. Al-Zarea BK. Satisfaction with appearance and the desired treatment to

improve aesthetics. Int Dent J 2013; 2013: 912368.

3. Halim HS. Perawatan diskolorisasi gigi dengan teknik bleaching. Jakarta:

Penerbit Universitas Trisakti, 2006: 5-20.

4. Lima FG, Rotta TA, Penso S, Meireles SS, Demarco FF. In vitro evaluation of the whitening effect of mouth rinses containing hydrogen peroxide. Braz Oral Res 2012; 26(3): 269-74.

5. Llambes G, Llena C, Amengual J, Forner L. In vitro evaluation of the efficacy of two bleaching procedures. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2011; 16(6): 845-51.

6. Delfino CS, Chinelatti MA, Carrasco-Guerisoli LD, Batista AR, Froner IC,

Palma-Dibb RG. Effectiveness of home bleaching agents in discoloured teeth and influence on enamel microhardness. J Appl Oral Sci 2009; 17(4): 284-8.

7. Li Y, Greenwall L. Safety issues of tooth whitening using peroxide-based

materials. Br Dent J 2013; 215(1): 29-34.

8. Kihn PW. Vital tooth whitening. Dent Clin N Am 2007; 51: 319-31.

9. Garg N, Garg A. Textbook of endodontics. 2nd edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2010: 443-52.

10.Da Costa JB, McPharlin R, Hilton T, Ferracane JL, Wang M. Comparison of

two at-home whitening products of similar peroxide concentration and different delivery methods. Operative Dent 2012; 37(4): 333-9.

11.Ontiveros JC, Paravina RD. Color change of vital teeth exposed to bleaching performed with and without supplementary light. J Dent 2009; 1454: 1-8.


(2)

12.Rodrigues JA, Erhardt MCG, Marchi GM, Pimenta LAF, Ambrosano GMB. Association effect of in-office and nightguard vital bleaching on dental enamel microhardness. Braz J Oral Sci 2003; 2(7): 365-9.

13.Joiner A. Review of the effects of peroxide on enamel and dentine properties. J Dent 2007; 35: 889-96.

14.Pinto CF, Oliveira R, Cavalli V, Giannini M. Peroxide bleaching agent effects on enamel surface microhardness, roughness and morphology. Braz Oral Res 2004; 18(4): 306-11.

15.Hora B, Kumar A, Bansal R, Bansal M, Khosla T, Garg A. Influence of

McInnes bleaching agent on hardness of enamel and the effect of remineralizing gel GC tooth mousse on bleached enamel : an in-vitro study. Indian J Dent Sci 2012; 2(4): 13-6.

16.Demarco FF, Conde MCM, Ely C, Torre EN, Costa JRS, Fernandez MR et

al.. Preferences on vital and nonvital tooth bleaching: a survey among dentists

from a city of Southern Brazil. Braz Dent J 2013; 24(5): 527-31.

17.Avery JK, Chiego DJ. Essentials of oral histology and embryology: a clinical approach. 3rd ed. Missouri: Mosby Elsevier, 2006: 98-100.

18.Bath-Balogh M, Fehrenbach MJ. Illustrated dental embryology, histology, and anatomy. 2nd ed. Missouri: Saunders Elsevier, 2006: 180-2, 185-6.

19.Melfi CM, Alley KE. Permar’s oral embryology and microscopy anatomy.

10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000: 85-7. 92.

20.Nanci A. Ten Cate’s oral histology: development, structure, and function. 7th ed. Missouri: Mosby Elsevier, 2008: 141-4.

21.Kumar GS, ed. Orban’s oral histology and embryology. 13th edition. Haryana: Elsevier, 2011: 51-3.

22.Nelson SJ, Ash MM. Wheeler’s dental anatomy, physiology and occlusion. 9th ed. Missouri: Saunders Elsevier, 2010: 141-50.

23.Goodacre CJ, Sagel PA. Dental esthetics in practice: part 3 – understanding color and shade selection. 27 Oktober 2011. www.dentalcare.com/media/en-us/educator/ ce1003/ce1003.pdf (27 Desember 2014).


(3)

24.Manuel ST, Abhishek P, Kundabala M. Etiology of tooth discoloration – a review. Nig Dent J 2010; 18(2): 56-63.

25.Watts A, Addy M. Tooth discolouration and staining: a review of the

literature. Br Dent J 2001; 190(6): 309-16.

26.Cawson RA, Odell EW. Cawson’s essentials of oral pathology and oral

medicine. 8th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2008: 24, 27, 31-3.

27.Fearon J. Tooth whitening: concepts and controversies. J Irish Dent Assoc 2007; 53(3): 132-40.

28.Ahmed HMA, Abbott PV. Discolouration potential of endodontic procedures

and materials: a review. Int Endod J 2012; 45: 883-97.

29.Prathap S, Rajesh H, Boloor VA, Rao AS. Extrinsic stains and management: a new insight. J Acad Indus Res 2013; 1(8): 435-42.

30.Stelbrink E. Tobacco stains on teeth: the cause and available solution. 14 Februari 2014. http://www.smilebrilliant.com/articles/tobacco-stains-on-teeth (10 Januari 2015).

31.Munoz-Viveros CA, Gerlach RW. Dental esthetics in practice: part 5 – tooth whitening. 27 Oktober 2011. www.dentalcare.com/media/en-us/educator/ ce1005/ce1005.pdf (17 Desember 2014).

32.Torabinejad M, Walton RE. Endodontics principles and practice. 4th ed. Missourri: Saunders Elsevier, 2002: 402-3.

33.Baum L, Phillips RW, Lund MR. Buku ajar ilmu konservasi gigi. Alih bahasa. Tarigan R. Edisi 3. Jakarta: ECG, 1997: 320-3.

34.Akarslan ZZ, Sadik B, Erten H, Kaeabulut E. Dental esthetic satisfaction, received and desired dental treatments for improvement of esthetics. Indian J Dent Res 2009; 20(2): 195-200.

35.Grzic R, Spalj S, Lajnert V, Glavicic S, Uhac I, Pavicic DK. Factors

influencing a patient’s decision to choose the type of treatment to improve dental esthetics. Vojnosanit Pregl 2012; 69(11): 978–85.


(4)

36.Strassler HE. Vital tooth bleaching: an update. 12 Agustus 2006. http://prgmea.com/docs/tooth/30.pdf. 29 November 2014.

37.Joiner A. The bleaching of teeth: a review of literature. J Dent 2006; 34: 412-9.

38.Sulieman M. An overview of bleaching techniques: 2. Night guard vital

bleaching and non-vital bleaching. Dent Update 2005; 32: 39-46.

39.Plotino G, Buono L, Grande NM, Pameijer CH, Somma F. Nonvital tooth

bleaching: a review of the literature and clinical procedures. J Endod 2008; 34: 394-407.

40.Araujo RM, Torres CRG, Araujo MAM. In vitro evaluation of dental

bleaching effectiveness using hybrid lights activation. Rev Odonto Cienc 2010; 25(2): 159-64.

41.Roberto AR, Jasse FF, Boaventura JMC, Martinez TC, Rastelli ANS, Junior

OB, et al. Evaluation of tooth color after bleaching with and without light-activation. Rev Odonto Cienc 2011; 26(3): 247-52.

42.Dahl JE, Pallesen U. Tooth bleaching – a critical review of the biological aspects. Crit Rev Oral Biol Med 2003; 14(4): 292-304.

43.Ferreira IA, Lopes GC, Vieira LCC, Araujo E. Effect of hydrogen-peroxide-based home bleaching agents on enamel hardness. Braz J Oral Sci 2006; 5(18): 1090-3.

44.Sun L, Liang S, Sa Y, Wang Z, Ma X, Jiang T, et al. Surface alteration of human tooth enamel subjected to acidic and neutral 30% hydrogen peroxide. J Dent 2011; 39: 686-92.

45.Dudea D, Florea A, Mihu C, Campeanu R, Nicola C, Benga G. The use of

scanning electron microscope I evaluating the effect of a bleaching agent on the enamel surface. Rom J Morphol Embryol 2009; 50(3): 435-40.

46.Caballero AB, Navarro LF, Lorenzo JA. In vivo evaluation of the effects of 10% carbamide peroxide and 3.5% hydrogen peroxide on the enamel surface. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2007; 12: 404-7.


(5)

47.Miranda CB, Pagani C, Benetti AR, Matuda FS. Evaluation of the bleached human enamel by scanning electron microscopy. J Appl Oral Sci 2005; 13(2): 204-11.

48.Junqueira RB, Carvalho RF, Antunes ANG, Rodrigues SSMFG, Oliveira

RSMF, Salvio LA. In vitro analysis of morphology of human enamel submitted to excessive use of external bleaching agents. Int J Morphol 2011; 29(1): 118-22.

49.Sasaki RT, Arcanjo AJ, Florio FM, Basting RT. Micromorphology and

microhadrness of enamel after treatment with home-use bleaching agents containing 10% carbamide peroxide and 7.5% hydrogen peroxide. J Appl Oral Sci 2009; 17(6): 611-6.

50.Davari AR, Danesh KAR, Ataei E, Vatanpour M, Abdollahi H. Effects of

bleaching and remineralising agents on the surface hardness of enamel. J Dent Shiraz Univ Med Scien 2012; 13(4): 156-63.

51.Westland S, Luo W, Ellwood R, Brunton P, Pretty I. Colour assessment in

dentistry. Ann BMVA 2007; 2007(4): 1-10.

52.Chu SJ, Trushkowsky RD, Paravina RD. Dental color matching instruments

and systems. Review of clinical and research aspects. J Dent 2010; 38s: e2-e16.

53.Fabre A. Spectrophotometers do not measure colors. http://blog.caldera.com/ spectrophotometers-do-not-measure-colors/ (23 Februari 2014).

54.X-rite. The color guide and glossary. http://www.xrite.com/documents

/Literature/EN/L11-029_Color_Guide_EN.pdf (10 Desember 2014).

55.Dietschi D, Rossier S, Krejci I. In vitro colorimetric evaluation of the

efficiency of various bleaching methods and products. Quintessence Int 2008; 37(7): 515-26.

56.Chu SJ. Use of a reflectance spectrophotometer in evaluating shade change resulting from tooth-whitening products. J Esthet Restor Dent 2003; 15(suppl 1): 43-50.


(6)

57.Instron. Knoop Test. http://www.instron.com/en-sg/our-company/library/test-types/hardness-test/knoop-test?region=Singapore (12 Juni 2015).

58.Indentec. Vickers Hardness Test. http://www.indentec.com/downloads/info_

vickers_test.pdf (17 Desember 2014).

59.Instron. Vickers Test. http://www.instron.us/wa/applications/test_types/

hardness/vickers.aspx (20 Desember 2014).

60.Jaberi-Ansari Z, Saati K. Evaluation of tooth color distribution in 20 to 30-year-old patients of Shahid Beheshti university related centers in 1389. J Islamic Dent Assoc Iran 2012; 24(1): 60-8.

61.HunterLab. Measuring color using Hunter L, a, b versus CIE 1976 L*a*b*.


Dokumen yang terkait

Kekasaran Permukaan Resin Komposit Nanofiller Setelah Pengaplikasian Bahan Pemutih Gigi Karbamid Peroksida 10% dan 35%

8 302 65

Perbedaan Kekasaran Permukaan Enamel Gigi Pada Penggunaan Karbamid Peroksida 16% Dan Jus Buah Stroberi (Fragaria x ananassa) sebagai Bahan Pemutih Gigi

7 89 63

Pengaruh Jenis Bahan Office Bleaching Hidrogen Peroksida 35% Dan Karbamid Peroksida 35% Terhadap Kekasaran Permukaan Resin Komposit Nanofil

9 76 80

Perbandingan Aplikasi Buah Delima Putih (Punica granatum Linn.) dan Gel Karbamid Peroksida 10% terhadap Perubahan Warna Enamel Gigi Secara In Vitro.

0 0 20

Perubahan Score Bleachedguide, Nilai Kecerahan Dan Kekerasan Enamel Gigi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Bleaching Dengan Karbamid Peroksida 35%

0 0 16

Perubahan Score Bleachedguide, Nilai Kecerahan Dan Kekerasan Enamel Gigi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Bleaching Dengan Karbamid Peroksida 35%

0 0 5

Perubahan Score Bleachedguide, Nilai Kecerahan Dan Kekerasan Enamel Gigi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Bleaching Dengan Karbamid Peroksida 35%

0 0 35

Perubahan Score Bleachedguide, Nilai Kecerahan Dan Kekerasan Enamel Gigi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Bleaching Dengan Karbamid Peroksida 35%

0 1 6

Pengaruh Aplikasi Bahan Pemutih Gigi Karbamid Peroksida 10 dan Hidrogen Peroksida 6 secara Home Bleaching terhadap Kekerasan Permukaan Email Gigi

0 0 7

PERBEDAAN KEKASARAN PERMUKAAN ENAMEL GIGI PADA PENGGUNAAN KARBAMID PEROKSIDA 16 DENGAN JUS BUAH STROBERI (Fragaria x ananassa) SEBAGAI BAHAN PEMUTIH GIGI

0 0 14