Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sumber daya manusia yang berkualitas dibentuk dari proses pendidikan. Hasil dari proses pendidikan tersebut akan menentukan nasib sebuah bangsa. Masalahnya adalah bagaimana proses pendidikan mampu mencapai tujuan pendidikan yang yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang No 20 tahun 2003 menyatakan pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan itu diuraikan dalam bentuk yang lebih operasional yaitu peserta didik yang mempunyai kompetensi yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pencapaian tujuan pendidikan dapat diketahui melalui kegiatan pengukuran yang disebut evaluasi. Salah satu bentuk evaluasi adalah Ujian Nasional UN. UN merupakan alat ukur yang terstandar standardized test yang dikeluarkan pemerintah. Sistem penilaian melalui UN yang diselenggarakan oleh pemerintah menunjukkan suatu sistem evaluasi yang terpusat. Pemberlakuan sistem pengukuran terpusat menimbulkan kontroversi sejak awal. Keberatan-keberatan yang muncul dengan sistem evaluasi yang terpusat seperti dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini. Menurut Ngadirin 2004 UN yang dilaksanakan untuk mata pelajaran tertentu seperti Matematika, Bahasa Indonesia, tidak mampu memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. UN dirasakan belum mampu memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penyimpangan dalam pelaksanaan UN yang digulirkan Depdiknas tidak hanya minim sosialisasi dan tertutup, tetapi juga lebih pada hal- hal yang bersifat fundamental, baik secara yuridis, pedagogis, sosial dan psikologis, dan ekonomi Tempo, 4 Februari 2005. Hasil kajian dimensi-dimensi tersebut yang dilakukan oleh Koalisi Pendidikan disajikan secara rinci seperti berikut ini: 1. Aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan kognitif, ketrampilan psikomotorik dan sikap afektif. Sebaliknya, dalam UN hanya mengukur aspek kemampuan kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. 2. Aspek yuridis. Berapa pasal dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tela h dilanggar. Pelanggaran itu terjadi pada pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Hal ini diperkuat oleh Pasal 58 ayat 1 yang menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Dalam pasal 59 ayat 1 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Sebaliknya, dalam UN, pemerintah hanya melakukan terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik. 3. Aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan tahun 20022003 sebesar 3,01, tahun 20032004 menjad 4,01, tahun 20042005 menjadi 4,26 tahun 20052006 menjadi 4,51 tahun 20062007 menjadi 5,00. Tuntutan nilai ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi guru dan peserta didik. Siswa dipaksakan menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di UN- kan di sekolah ataupun di rumah. 4. Aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBN dan masyarakat. Pada tahun 2005 telah disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tetapi tidak dijelaskan sumber pendanaan tersebut. Kondisi ini memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya pelaksanaan UN. Selain itu, sistem yang belum jelas masih sulit mencegah terjadinya penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan korupsi dana UN. Sementara ada kelompok yang kontra terhadap pelaksanaan UN, di lain pihak juga terdapat kelompok yang setuju dengan pelaksanaan UN. Alasan-alasan yang melatarbelakangi persetujuan untuk dilaksanakannya UN akan dijelaskan berikut ini. Furqon Masih Perlukah Ujian Akhir Nasional Pikiran Rakyat, 23 Desember 2004 – On line menyebutkan sedikitnya ada lima alasan mendukung pelaksanaan UN. Petama, alasan akuntabilitas publik public accountability, yaitu ujian dalam pendidikan diharapkan mampu menyediakan dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kemajuan dan prestasi. Dengan demikian, publik dapat mengetahui manfaat setiap rupiah yang dibelanjakan dalam kegiatan pendidikan. Kedua, alasan pengendalian mutu quality control pendidikan. Ujian diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mengendalikan dan menjamin bahwa setiap keluaran lulusan pendidikan telah memenuhi kualifikasi, kompetensi, atau standar tertentu yang telah ditetapkan. Ketiga, alasan motivator pressure to achieve, yaitu evaluasi diharapkan menjadi instrumen untuk mendorong dan “memaksa” pengelola, penyelenggara dan pelaksanaan guru dan siswa pendidikan untuk berusaha lebih keras dalam mencapai hasil yang diharapkan. Keempat, alasan seleksi dan penempatan yaitu hasil evaluasi pendidikan dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan untuk menerima atau menolak seorang pelamar. Selain itu, hasil evaluasi juga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan ke mana seseorang dianjurkan untuk melanjutkan pendidikannya atau bekerja. Kelima, alasan diagnostik yaitu bahwa evaluasi dapat memberikan umpan balik feedback terhadap kekuatan dan kelemahan suatu sistem sehingga dapat ditentukan upaya tindak lanjut yang diperlukan. Fungsi ini sering juga dikaitkan dengan fungsi peningkatan mutu quality improvement karena balikan yang tepat dapat mendorong kegiatan dan program pendidikan untuk senantiasa melakukan peningkatan mutu layanan pendidikan dan keluaran yang dihasilkannya. Furqon 2004 mengemukakan bahwa ujian memegang peranan strategis dalam manajemen mutu pendidikan. Suatu studi yang dilakukan oleh tim Bank Dunia menunjukkan bahwa ujian akhir merupakan strategi peningkatan mutu pendidikan yang banyak dipilih dan digunakan negara-negara berkembang yang sumber dayanya relatif terbatas. Tarik menarik yang terjadi karena adanya pihak-pihak yang setuju dan tidak setuju ini menimbulkan suatu keprihatinan bagi banyak kalangan. UN sebagai suatu sistem evaluasi yang meliputi penentuan mata pelajaran yang diujikan, pembuatan item- item soal, penentuan standar kelulusan, dan mekanisme penilaian bagi beberapa pihak menjadi beban psikologis. Beberapa pihak yang paling merasakan dampak dari UN adalah peserta didik, orang tua siswa dan guru. Mereka masing- masing mempunyai beban sesuai dengan kapasitasnya dalam rangka menghadapi UN. Beban psikologis yang dirasakan tersebut antara lain tuntutan standar kelulusan sebesar 4, 26 Mukarto, 2005: 130. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Bagi guru, tuntutan standar minimal 4, 26 dan sekaligus penentu kelulusan menjadi beban karena mereka harus mempersiapkan peserta didik yang masing- masing memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut berupa tingkat kecerdasan, latar belakang, sarana-prasarana yang mendukung kegiatan belajar di rumah, dan lain- lain. Selain itu, terbatasnya sumber dana dan sarana dan prasarana di sekolah juga menjadi hambatan tersendiri bagi guru untuk melaksanakan proses belajar yang optimal. Kondisi yang semacam ini tentu menimbulkan persoalan bagi guru apakah siswa-siswi dapat berhasil dalam UN. Persoalan tersebut tentu disebabkan oleh persepsi guru tentang sulitnya mencapai standar minimal dengan situasi dan kondisi yang ada. Masalah lain bagi guru juga disebabkan karena kelulusan siswa – siswi menjadi penentu bagi mereka untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam menghadapi masalah ini, guru tentu memberikan tanggapan yang tidak sama. Hal ini ditentukan oleh kualitas siswa – siswi, sarana prasarana, dan jumlah siswa. Sekolah yang memiliki siswa berkualitas baik dan sarana dan prasarana yang memadai tentu mempunyai persepsi yang lebih positif dibandingkan dengan sekolah yang memiliki siswa yang berkualitas sedang atau rendah dan sarana prasarana yang terbatas. Dalam penelitian ini, dikelompokkan dalam sekolah negeri dan sekolah swasta. Sebenarnya persepsi terhadap UN tidak hanya dibatasi oleh tuntutan standar nilai kelulusan tetapi UN sebagai suatu keseluruhan. Item- item soal yang tidak dibuat oleh guru, mekanisme penilaian yang tertutup, dan situasi dan kondisi yang disamaratakan menimbulkan berbagai pemahaman yang berbeda terhadap Ujian Nasional. Penelitian ini dilakukan di sekolah negeri dan swasta di kabupaten gunungkidul karna dilihat dari kualitas siswanya. Standar nilai NEM penerimaan siswa pada sekolah negeri umumnya lebih tinggi dibanding sekolah swasta. Sarana dan prasarana pada sekolah negeri pada umumnya lebih lengkap dibanding sekolah swasta. Berdasarkan fenomena yang berkembang di masyarakat mengenai UN sebagai penentu kelulusan menimbulkan kontroversi. Dengan alasan inilah peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan persepsi guru terhadap UN dari sekolah Negeri dan sekolah swasta. Peneliti menduga bahwa perbedaan kategorisasi sekolah yang menunjukkan kualitas sekolah akan mempengaruhi persepsi guru di sekolah tersebut. Topik yang akan dibahas adalah “Persepsi Guru terhadap Ujian Nasional”. Studi Empirik pada Sekolah Menengah Atas “di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta”.

B. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

PERBEDAAN PERSEPSI TERHADAP PROFESIONALISME MENGAJAR PADA GURU SMA NEGERI DAN GURU SMA SWASTA

0 3 14

Hubungan persepsi guru terhadap implementasi kurikulum 2013 dengan motivasi kerja dan minat kerja guru survey : guru SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 2 Wonosari Kabupaten Gunungkidul.

4 9 232

Persepsi guru terhadap pekerjaan sambilan ditinjau dari jenis kelamin, status karyawan, dan status sosial ekonomi : studi kasus guru-guru SMA negeri dan swasta kabupaten Sleman.

0 1 123

Persepsi siswa, guru, dan orang tua terhadap ujian nasional : studi kasus pada SMA-SMA di Kabupaten Kulon Progo.

0 0 220

Persepsi siswa, guru, dan orang tua terhadap pelaksanaan ujian nasional : studi kasus pada SMA-SMA di Kabupaten Bantul.

0 3 192

Persepsi guru terhadap pekerjaan sambilan ditinjau dari jenis kelamin, status karyawan, dan status sosial ekonomi studi kasus guru guru SMA negeri dan swasta kabupaten Sleman

0 0 121

Persepsi guru terhadap uji sertifikasi ditinjau dari pengalaman mengajar, tingkat pendidikan dan status guru studi kasus pada guru SD dan SMP negeri dan swasta di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sle

0 2 140

PERSEPSI KEPALA SEKOLAH DAN GURU SEKOLAH DASAR TERHADAP KEGIATAN EKSTRAKURIKULER DRUMBAND DI WILAYAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL.

0 0 141

Persepsi guru terhadap ujian nasional : studi kasus pada SMU negeri dan swasta di Kabupaten Gunungkidul - USD Repository

0 0 139

Persepsi siswa, guru, dan orang tua terhadap ujian nasional : studi kasus pada SMA-SMA di Kabupaten Kulon Progo - USD Repository

0 0 218