Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945, namun hingga saat ini masih ada beberapa wilayah pemukiman penduduk yang belum dialiri listrik. Salah satunya di Huta Partungkoan, Desa Salaon Dolok, Kabupaten Samosir. Hal ini cukup mengejutkan mengingat Kabupaten Samosir berada di urutan ke-6 dari 10 kabupaten terbaik se-Sumatera Utara untuk tahun 2012 Waspada Online, 6 Mei 2012. Sangat disayangkan masih ada kondisi warga yang belum merdeka untuk mendapatkan penerangan. Karena ketiadaan listrik di desa ini, sehari-harinya warga memanfaatkan penerangan seadanya dari lampu solar-cell yang hanya bertahan empat sampai lima jam dengan cahaya yang tidak terlalu terang. Lilin dan lampu teplop juga digunakan untuk mendukung penerangan di tempat yang tidak terjangkau cahaya dari lampu solar-cell. Dari penuturan seorang warga, Bapak Sitanggang, tahun ke tahun mereka selalu mengeluhkan lambatnya jaringan listrik masuk ke kampung mereka. Sementara pihak perusahaan selalu beralasan bahwa sangat sulit membawa sarana dan peralatan pembangkit listrik ke lokasi pemukiman karena akses jalan yang sulit dilalui kendaraan besar. Masalah yang sama juga terjadi pada Kabupaten Humbang Hasundutan yang bahkan menempati peringkat ke-2 kabupaten terbaik se-Sumatera Utara. Perusahaan Listrik Negara menyebutkan hingga akhir tahun 2012, masih ada empat belas dusun di Kabupaten Humbang Hasundutan yang belum dialiri listrik. Belum diketahui secara pasti apa kendala pemasangan arus listrik untuk dusun-dusun tersebut. Harian Analisa, 29 Oktober 2012. Universitas Sumatera Utara Apa yang terjadi pada beberapa lokasi yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan kepada kita bahwa masih ada kelompok masyarakat yang menjalani kehidupannya dengan sangat memprihatinkan. Sebahagian besarnya mendiami tempat-tempat yang sulit dijangkau secara geografis seperti pedalaman, pantai, hutan, perbukitan dan pulau-pulau terpencil. Keterpencilan merupakan faktor penyebab terbesar dari ketidakmampuan mereka untuk menjadi bahagian dari proses pembangunan seperti masyarakat pada umumnya. Sulitnya akses ke wilayah pemukiman menjadi penghalang bagi pihak-pihak lain baik pemerintah maupun swasta yang ingin membuat jaringan dan akses pelayanan publik bagi kelompok masyarakat yang kita kenal dengan nama “Komunitas Adat Terpencil” ini. Selain masalah penerangan, masih banyak masalah yang dihadapi Komunitas Adat Terpencil seperti masalah ketersediaan sarana dan prasarana publik. Dari Huta Partungkoan, akses jalan hanya sebatas jalan berbatu yang diaspal secara sederhana. Aspal ini berlumpur saat hujan tiba dan menjadi salah satu hambatan untuk mengakses wilayah permukiman. Akses pendidikan berjarak tiga kilometer dari kampung dan biasa ditempuh dengan berjalan kaki. Layanan kesehatan juga berjarak tiga kilometer dari lokasi permukiman dan menyebabkan masyarakat lebih memilih berobat ke dukun yang jaraknya relatif lebih dekat atau dengan pengobatan tradisional. Kondisi yang demikian tidak hanya terjadi pada Komunitas Adat Terpencil yang berlokasi di Sumatera Utara namun juga terjadi pada Komunitas Adat Terpencil di wilayah Indonesia Timur. Di Pulau Sohor, Kecamatan Flores, Nusa Tenggara Timur, nasib ribuan warga yang tinggal di lokasi terpencil tak pernah berubah dari tahun ke tahun. Pembangunan infrastukutur terus terabaikan dan ekonomi rakyat tetap terpuruk. Kehidupan Komunitas Adat Terpencil disini lebih memprihatinkan. Universitas Sumatera Utara Belum ada fasilitas kesehatan, rumah makan, angkutan umum dan yang paling memprihatinkan adalah krisis air bersih. Masyarakat di Pulau Sohor beranggapan pemerintah kurang peduli terhadap mereka yang hidup di pulau terpencil. Di pulau mereka status jalan dan infrasturktur lainnya tak jelas, pembuatan administrasi kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk sangat sulit dan memakan waktu berjam-jam untuk bisa sampai di Kantor Catatan Sipil ditambah lagi aparat pemerintah sering tidak berada di tempat sehingga warga pulang tanpa hasil. Mereka sangat berharap akan turun tangan pemerintah dalam membangun infrastruktur jalan, sarana air bersih serta pemberdayaan ekonomi rakyat Harian Kompas, 23 Juni 2012. Populasi Komunitas Adat Terpencil di Indonesia masih sangat besar yaitu sebanyak 213.080 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut populasi yang sudah diberdayakan berjumlah 88.512 kepala keluarga 41,54, yang sedang diberdayakan berjumlah 5.871 kepala keluarga 2,76 , sedangkan yang belum diberdayakan sama sekali berjumlah 118.697 kepala keluarga 55,70. Berdasarkan data ini kita bisa melihat bahwa sesungguhnya lebih dari setengah populasi Komunitas Adat Terpencil di seluruh Indonesia belum diberdayakan. Persebaran Komunitas Adat Terpencil di Indonesia terdapat di 24 provinsi, 263 kabupaten, 1.044 kecamatan, 2.304 desa dan 2.971 lokasi permukiman. Artinya Komunitas Adat Terpencil menyebar di hampir seluruh wilayah provinsi Indonesia dan sudah barang tentu membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah serta instansi terkait Kementerian Sosial, 2012. Sesuai dengan Keppres R.I Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, yang dimaksud dengan Komunitas Adat Terpencil adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau Universitas Sumatera Utara belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Komunitas Adat Terpencil menjalani kehidupan yang sangat sederhana serta mempertahankan cara-cara tradisional. Mereka hidup dengan sistem ekonomi yang lebih bersifat subsistem, yaitu melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Komunitas Adat Terpencil ataupun yang selama ini kita kenal dengan sebutan masyarakat terasing atau masyarakat tertinggal biasanya digunakan dalam merujuk individu-individu dan kelompok-kelompok yang merupakan keturunan asli yang tinggal di sebuah wilayah. Di masa kini, mereka merupakan sektor-sektor yang non- dominan dari masyarakat yang lebih besar dan mereka berketetapan untuk melestarikan, mengembangkan dan mewariskan kepada generasi yang akan datang wilayah leluhur dan identitas etnik mereka sebagai basis kelanjutan eksistensi mereka sebagai masyarakat sesuai dengan pola budaya, institusi sosial dan sistem hukum mereka sendiri Cobo, dalam Bosko, 2006: 55. Fakta-fakta akan kondisi Komunitas Adat Terpencil yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwasannya dibutuhkan pembangunan berkelanjutan terhadap segala aspek kehidupan mereka. Tidak hanya pembangunan fisik seperti infrasturuktur dan akses pelayanan publik, namun juga dibutuhkan pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan diharapkan kelak ada kemandirian dalam kelompok masyarakat ini sehingga mereka bisa memperbaiki taraf kehidupannya. Komunitas Adat Terpencil tidak terlepas dari apa yang dinamakan dengan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka Kementerian Sosial, 2006. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai Universitas Sumatera Utara kebijakan setempat atau pengetahuan setempat maupun kecerdasan setempat. Sistem pemenuhan kebutuhan yang dimaksud meliputi seluruh unsur kehidupan seperti agama, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi serta kesenian. Kearifan lokal ini menjadi salah satu unsur yang membedakan Komunitas Adat Terpencil dengan kelompok masyarakat pada umumnya. Terkadang mereka memiliki peraturan tersendiri yang bahkan tidak terdapat dalam peraturan nasional, namun sebaliknya kearifan lokal inilah yang kemudian oleh para ahli dijadikan modal bagi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Pemberdayaan dilakukan berdasarkan tingkat pengetahuan dan kemampuan masyarakat sehingga tidak menghilangkan jati diri maupun ciri khas mereka. Persoalan globalisasi, di sisi lain kembali memberikan sebuah tantangan berat bagi Komunitas Adat Terpencil untuk tetap bertahan dengan sistem kearifan lokal mereka. Pembangunan yang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi terkadang memaksa mereka untuk hidup modern dan meninggalkan tradisi leluhur yang telah diwariskan turun-menurun di dalam kelompok mereka. Padahal tradisi tersebut sebenarnya memiliki kekayaan akan nilai hidup dan budaya. Kemodernan terkadang dimaknai secara sempit oleh pemerintah dan masyarakat umum sehingga Komunitas Adat Terpencil baik secara langsung maupun tidak langsung diajak meninggalkan cara-cara kehidupan tradisional yang sebenarnya tidak selalu lebih buruk dari kehidupan modern. Contoh sederhananya dalam hal pendidikan bagi Komunitas Adat Terpencil di Jambi yakni Suku Anak Dalam. Sistem pendidikan nasional tidak menghargai kekhususan yang ada pada mereka. Mereka dipaksa berubah dari keyakinan hidup selama ini. Kurikulum pendidikan nasional juga menghilangkan identitas etnik dan justru meyuguhkan aturan-aturan Universitas Sumatera Utara yang kaku dalam persekolahan anak-anak dari Komunitas Adat Terpencil. Pembangunan dan pemberdayaan sesungguhnya tidak boleh memaksa Komunitas Adat Terpencil untuk melepas identitas kultural mereka. Sebaliknya diharapkan pembangunan dan pemberdayaan yang ada dilakukan dengan pendekatan yang berprespektif budaya dan identitas Kompas, 10 Agustus 2009. Kementerian Sosial menjadikan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil menjadi sebagian program prioritas untuk tahun 2013. Perhatian khusus akan diberikan bagi masyarakat yang umumnya tinggal secara terpisah-pisah. Menurut Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri ada banyak titik di Indonesia tempat Komunitas Adat Terpencil tinggal dan jika masyarakat yang tinggalnya terpisah-pisah ini mau tinggal berkelompok pemberdayaan tentu akan lebih mudah dilaksanakan Jurnal Nasional, 21 November 2012. Dewasa ini masalah-masalah yang dialami oleh Komunitas Adat Terpencil tidak hanya menjadi persoalan nasional, akan tetapi sudah menjadi persoalan global. Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1995 telah mengeluarkan Declaration on the Rights of Indigenous Peoples sebagai landasan moral bagi setiap negara dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap Komunitas Adat Terpencil. Deklarasi tersebut diatur secara rinci ke dalam 45 pasal, yang sebagian besar mengatur hak-hak Komunitas Adat Terpencil sebagai komunitas manusia maupun sebagai bagian dari warga negara. Deklarasi tersebut semakin memperkuat tuntutan terhadap negara, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional, untuk memberikan pelayanan dan perlindungan bagi Komunitas Adat Terpencil. Selain PBB, ada juga Konvensi International Labour Organization ILO Nomor 169 Tahun 1989 mengenai Masyarakat Hukum Adat dalam pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab untuk Universitas Sumatera Utara mengembangkan, dengan keikutsertaan masyarakat terkait, tindakan terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak masyarakat tersebut dan untuk menjamin rasa hormat terhadap integritas mereka Konvensi ILO, 2003. Pada tahun 1999 pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO tersebut dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tersebut, Kementerian Sosial sebagai instansi sektoral yang bertanggung jawab terhadap kondisi kehidupan Komunitas Adat Terpencil, mengeluarkan berbagai keputusan dan peraturan yang di dalamnya secara substansial mengatur pelaksanaan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Namun demikian dalam implementasinya pemerintah belum secara optimal memberdayakan Komunitas Adat Terpencil, termasuk dalam hal pemberian hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum. Populasi Komunitas Adat Terpencil di Pulau Sumatera, pada tahun 2012 berjumlah kurang lebih 43.694 jiwa yang tersebar di sembilan provinsi yakni Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau. Adapun jumlah populasi Komunitas Adat Terpencil yang sudah diberdayakan adalah sebanyak 24.770 jiwa. Untuk Sumatera Utara sendiri pada tahun 2012, jumlah keseluruhan populasi Komunitas Adat Terpencil adalah sebanyak 4.111 jiwa. Dari jumlah tersebut yang telah diberdayakan adalah sebanyak 1.851 jiwa dan yang belum diberdayakan adalah sebanyak 2.260 jiwa. Artinya lebih dari setengah jumlah populasi Komunitas Adat Terpencil di Sumatera Utara belum diberdayakan hingga saat ini Kementerian Sosial, 2012. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 2012, pemerintah melalui Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial telah menetapkan rencana lokasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di beberapa wilayah provinsi Sumatera Utara. Lokasi tersebut meliputi beberapa desa yaitu : Desa Tuhawaebu, Kecamatan Idanagawo, Kabupaten Nias; Huta Partukkoan Desa Salaon Dolok, Kecamatan Ronggur Ni Huta Kabupaten Samosir; Dusun III Desa Sihapas, Kecamatan Suka Bangun, Kabupaten Tapanuli Tengah; Desa Parmonangan, Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan; dan Desa Sionom Hudon Selatan, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan Direktorat Pemberdayaan KAT, 2012. Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil merupakan program dari Kementerian Sosial yang diarahkan pada upaya pemberian kewenangan dan kepercayaan kepada masyarakat yang masuk ke dalam kategori terpencil. Melalui program ini diharapkan masyarakat dapat menemukan masalah dan kebutuhan beserta upaya pemecahannya berdasarkan kekuatan dan kemampuannya sendiri, sehingga tercipta peningkatan mutu kehidupan, terlindunginya hak-hak dasar serta terpeliharanya budaya lokal. Komunitas Adat Terpencil meletakkan harapan yang besar terhadap program ini agar mampu menjadi jawaban atas perkembangan mereka yang cenderung lebih lambat dibanding masyarakat pada umumnya. Melalui pemberdayaan sumber daya manusia, pemberdayaan lingkungan sosial serta perlindungan sosial diharapkan Komunitas Adat Terpencil mampu mewujudkan kesejahteraan sosial yang ditandai dengan kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dan melaksanakan peranan sosialnya secara optimal. Desa Sionom Hudon Selatan, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu lokasi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Universitas Sumatera Utara yang ada di Sumatera Utara. Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara tahun 2009 telah melakukan pemetaan sosial serta studi kelayakan pada desa ini kemudian pada tahun 2010 dilaksanakan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dengan menggandeng pemerintah setempat dan instansi terkait. Pada Desember 2012 silam telah dilakukan terminasi pemutusan hubungan dengan klien oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara karena dirasa program pemberdayaan di Desa Sionom Hudon Selatan telah berjalan dengan baik. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil masih terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan. Bahkan ada penelitian yang menunjukkan bahwa secara kualitatif tidak semua lokasi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil berhasil mencapai target kemandirian sesuai dengan tujuan pemberdayaan Bambang Rustanto, 2012. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam bentuk skripsi. Adapun judul penelitian adalah “Evaluasi Pelaksanaan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Desa Sionom Hudon Selatan Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan.” Universitas Sumatera Utara

1.2. Perumusan Masalah