Sinopsis Cerita Sinopsis Cerita

langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaan lewat karyanya, tampa terlalu banyak diimajinasikan. Karena sastra yang cendrung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau menjadi saksi zaman. Dalam kaitannya ini, sebenarnya pengarang ingin mendokumentasikan zaman sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. BAB III ANALISIS SOSIOLOGI KEHIDUPAN SOSIAL PENARI KELILING DALAM CERPEN “IZU NO ODORIKO” KARYA KAWABATA YASUNARI

3.1. Sinopsis Cerita

“Aku” adalah salah seorang tokoh yang terdapat dalam novel Izu No Odoriko. Namanya tidak disebutkan mungkin, “Aku” dalam hal ini adalah pengarang sendiri. “Aku” pada saat melakukan perjalanan berusia 20 tahun.dan murid SMA. Itu terlihat dari topi, dan hakama di bawah kimono berwarna biru tua dengan corak putih yang dipakai. Sambil menyandang tas sekolah pada bahu. Pada saat melakukan perjalanan bagi “aku” adalah hari Universitas Sumatera Utara langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaan lewat karyanya, tampa terlalu banyak diimajinasikan. Karena sastra yang cendrung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau menjadi saksi zaman. Dalam kaitannya ini, sebenarnya pengarang ingin mendokumentasikan zaman sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. BAB III ANALISIS SOSIOLOGI KEHIDUPAN SOSIAL PENARI KELILING DALAM CERPEN “IZU NO ODORIKO” KARYA KAWABATA YASUNARI

3.1. Sinopsis Cerita

“Aku” adalah salah seorang tokoh yang terdapat dalam novel Izu No Odoriko. Namanya tidak disebutkan mungkin, “Aku” dalam hal ini adalah pengarang sendiri. “Aku” pada saat melakukan perjalanan berusia 20 tahun.dan murid SMA. Itu terlihat dari topi, dan hakama di bawah kimono berwarna biru tua dengan corak putih yang dipakai. Sambil menyandang tas sekolah pada bahu. Pada saat melakukan perjalanan bagi “aku” adalah hari Universitas Sumatera Utara keempat berjalan seorang diri ke daerah Izu. Malam pertama “Aku” menginap di pemandian air panas Shunzenji. Dua malam berikutnya di pemandian air panas Yugashima dan sekarang menuju jalan ke Amagi dengan memakai geta yang tinggi. Sambil menikmati pemandangan musim gugur, dan hujan yang turun membasahi tubuh “. Dengan susah payah “Aku” tiba di sebuah warung teh yang terletak di sebelah utara puncak Amagi. “Aku” merasa lega, tapi seketika itu juga tertegun di depan pintu masuk warung itu, harapan “Aku” terwujud dengan muncunya serombongan anak wayang atau disebut penari keliling, yang sedang beristirahat. Seorang penari wanita yang melihatku tertegun bangkit dan menarik zabuton yang dipakainya, kemudian membalikkannya dan menaruh di sampingku. “Ooo”, begitu kataku dan aku duduk di atas zabuton itu. Setelah berlari-lari menempuh jalan yang mendaki “Aku” yang masih terengah-engah dan begitu terperanjat, sehingga ucapan terima kasihku tersekat di kerongkongan, karena tepat benar berhadapan dengan penari itu. “Aku” gugup mengambil rokok dari tomoto kimonoku. Penari itu mengambil tempat abu rokok dari depan seorang wanita kawannya, lalu meletakkannya di dekatku. “Aku” diam saja. Penari itu kukira berumur 17 tahun. Rambutnya diandam besar-besar secara model lama yang aneh bentuknya, sehingga “Aku” pun tidak mengenal Andaman itu. Anggota rombongan itu terdiri atas perempuan yang berumur 40 tahun, dua orang perempuan muda, dan seorang laki-laki yang kira-kira berusia 25 tahun atau 24 tahun yang memakai hanten yang bertuliskan nama rumah penginapan di tempat air panas Nagaoka. Itu menurut perkiraan “Aku”. Sebelumnya “Aku” pernah melihat rombongan ini dua kali. “Aku” berkata dalam hati “Aku” akan bias mengejar mereka di tengah jalan gunung yang berliku-liku di sekitar Amagi. Dengan harapan seperti itu, “Aku” belajar bergegas, tetapi ternyata “Aku” bertemu dengan mereka di warung teh, ketika berteduh dari hujan. Sehingga saat pertemuan “Aku” menjadi gugup. Universitas Sumatera Utara Kemudian “Aku” melihat perempuan tua yaitu pelayan warung itu pergi ke depan dan berbicara dengan perempuan dalam rombongan anak wayang itu. Dan berkata “Oh, begitu ya. Jadi sudah sebesar ini anak kecil yang dahulu kau bawa ya. Dia anak baik dan kau beruntung sekali. Dia menjadi secantik ini”. Anak gadis memang cepat menjadi besar. Kira-kira satu jam kemudian terdengar suara-suara yang menandakan bahwa rombongan itu akan berangkat. “Aku” merasa kikuk dan cemas, dan “Aku” berfikir untuk mengejar mereka. “Aku” berfikir walaupun mereka sudah berjalan, tetapi “Aku” akan mampu mengejar mereka karena mereka wanita. “Aku” kemudian bertanya pada pelayan tua itu, mereka menginap di mana malam ini? Kemudian pelayan tua itu berkata “makhluk seperti itu tidak pernah diketahui di mana akan menginap. Kalau ada peminat di mana saja mereka mau bermalam, saya kira mereka tidak punya rencana akan menginap malam ini”. Perkataan pelayan tua yang sangat menghina mereka itu, menyinggung perasaanku, sehingga “Aku” sampai berfikir untuk mengundang mereka menginap di kamarku saja. Hujan mulai reda. Walaupun pelayan tua itu mengatakan berulang-ulang untuk tetap menunggu sepuluh menit lagi, namun “Aku” tidak bisa duduk tentram. Kemudian “Aku” pamitan pada pelayan tua itu dan mengatakan untuk menjaga kesehatan dan memberi sekeping logam lima puluh sen. “Aku” merasa terharu sehingga terasa air mataku tergenang. Tetapi “Aku” ingin mengejar rombongan penari itu. “Aku” akhirnya bisa menyusul para rombongan penari itu. “Aku” berjalan bersama dengan seorang laki-laki dan rombongan penari lainnya. Perempuan yang berumur 40 tahun itu sekali-sekali mengajak “Aku” berbicara. Kemudian penari yang lain berbisik dan berkata “Dia siswa SMA”, bisik anak gadis yang paling tua kepada si penari. Ketika “Aku” menolehnya, ia tersenyum. “Aku” memandangi lagi rambut penari yang indah itu. Setelah berbicara panjang lebar. Tiba sampai di rumah penginapan yang sederhana di Yugano, perempuan 40 tahun itu mau mengatakan bahwa kita berpisah, tetapi Eikichi yang bersama Universitas Sumatera Utara penari itu berbaik hati berkata “Tuan ini mau menyertai kita”. “Ooo, begitu. Dalam perjalanan lebih baik berkawan. Begitu juga dalam hidup, saling tolong-menolong. Mungkin tuan dapat menghilangkan rasa jemu, kalau bersama kami, walaupun kami hina. Silahkan naik dan beristirahat sebentar”, sahutnya dengan acuh tak acuh. Gadis-gadis itu serentak melihat kepadaku dan membisu dengan wajah tidak peduli, tetapi kemudian mereka jadi agak kemalu-maluan memandangku. Pada saat duduk bersama-sama, si penari saat menghidangkan teh tangannya gemetar dan wajahnya merah padam, sehingga air teh yang dibawanya tertumpah. Ia begitu kemalu- maluan sehingga “Aku” sendiri merasa heran. “Oh, sungguh menjengkelkan Anak kecil ini rupanya sudah mulai tahu cinta. Bagaimana ini?”. Demikian kata perempuan itu takjub sambil mengernyitkan kening, lalu dilemparkannya sehelai handuk. Handuk itu dipungut oleh si penari dan dipelnya tatami dengan persaan kikuk. Setelah itu “Aku” dan pelayan tua itu berbicara banyak. Sesudah beristirahat kira-kira satu jam, Eikichi membawa “Aku” ke rumah penginapan yang lain. Tadinya “Aku” berfikir menginap bersama mereka di tempat penginapan sederhana itu, tetapi ternyata tidak bersama mereka, melainkan sebaliknya ”Aku” dibawa ke seberang jembatan, di situlah letak penginapan “Aku”. Kemudian sampai di penginapan yang berbeda, kemudian “Aku” mandi berendam dalam pemandian di dalam penginapan, datanglah Eikichi. Dia bercerita umurnya 24 dan istrinya mengalami dua kali kematian anak, karena keguguran dan karena lahir terlalu dini. Tadinya “Aku” berfikir bahwa laki-laki itu terpisah dari rombongan penari itu. “Aku” berfikir bahwa Eikichi itu pemilik air panas Nagaoka, karena dia memakai pakaian yang memakai cap tempat itu. Dan berfikir bahwa Eikichi itu menggabungkan diri dengan si penari itu karena telah jatuh cinta pada salah seorang penari tersebut. Tetapi ternyata bukan demikian. Para penari itu mengadakan pertunjukan di ruang tamu sebuah ryoriya yang terletak berhadapan dengan penginapan mereka, “Aku” mendengar bunyi taiko dimainkan, suara tawa Universitas Sumatera Utara ramai, dan juga teriakan perempuan yang panjang-panjang. ”Aku” berharap sebenarnya para penari itu datang ke tempat penginapannya setelah pertunjukan. “Aku” merasa tak tahan, kalau bunyi taiko berhenti, seolah tenggelam ke dasar gemericik hujan. Kemudian terdengar derap langkah, entah mereka bekejar-kejaran, entah mereka menari berputar-putar, lalu tiba-tiba berhenti dan suasana hening. “Aku” mencoba melihat mengapa sebabnya maka suasana menjadi hening. “Aku” ingin melihat menembus gelap malam. “Aku” risau jangan-jangan dinodai orang yang dihibur malam itu. Setelah lewat jam 9 pagi, Eikichi mengunjungiku di rumah penginapanku. Hari itu “Aku” mengajak Eikichi itu pergi mandi. Tetapi terasa oleh “Aku” risau tadi malam bagaikan mimpi belaka. Dan menyapa Eikichi itu dan bertanya, “Bagaimana keadaan semalam, sehingga sampai larut malam mengadakan pertunjukan ?”. Tetapi laki-laki itu menjawab biasa, seolah-olah tidak peduli. Sehingga “Aku” pun terdiam. Seiring berjalan waktu, “Aku” senangtiasa bersama-sama dengan rombongan penari, bermain bersama, seperti bermain go. “Aku” dan Eikichi bermain go. Sementara “Aku” tidak tentram, rupanya penari itu hendak pulang. Eikichi meneriakkan salam dari halaman, “Selamat malam”. “Aku” keluar ke lorong dalam penginapan dan mengajak mereka masuk. Sementara mereka berbisik-bisik. Lalu masuk kepintu depan. Eikichi seorang suami dan ketiga gadis member hormat sambil duduk bersimpuh membungkukkan kepala seperti geisha. Dalam penginapan itu banyak tamu menginap dari mulai pedagang, tukang kertas, tukang burung, yang menyaksikan pertunjukan sipenari dan semalam suntuk bermain gomoku narabe bersama. “Aku” berjanji akan berangkat meninggalkan yugano jam delapan pagi keesokan harinya. Tetapi mereka mengatakan minta maaf, karena menunda keberangkatan untuk berjalan bersama-sama, mereka mengatakan besok mereka akan berangkan, dan nanti bisa Universitas Sumatera Utara bertemu lagi di Shimodo. Karena mereka pun rencananya akan menginap di Koshuya, maka akan mudah menemui mereka. “Aku” berpikir bahwa mereka seolah-olah menolak “Aku”. Tetapi kemudian Eikichi itu mengatakan pada “Aku” bagaimana kalau berangkat besok bersama-sama mereka. Ibu itu tetap mau menunda keberangkatan sampai besok. Lebih baik melanjutkan perjalanan dengan berkawan. Mari kita berangkat bersama besok saja, kata Eikichi dan ditambah oleh perempuan empat puluh itu. “Ya begitu saja, tuan berangakat besok, ya. Kami minta maaf Karen kami berbuat sesuka hati meskipun tuan sangat baik hati menyertai kami. Walau bagaimana juga besok pasti kami berangkat. Lusa adalah hari ke-49 untuk memperingati bayi kami yang mati dalam perjalanan. Pada hari itu kami bermaksud hendak mangadakan selamatan ala kadarnya di Shimoda. “Aku” setuju menunda keberangakatan satu hari. Kemudian akhirnya mereka berbicara tentang kehidupan masing-masing. Kemudian Eikichi itu berkata lagi, bahwa gadis yang paling tua itu adalah istri saya. Umurnya satu tahun lebih muda dari pada tuan, jadi sekarang ia 19 tahun dan dalam perjalanan ia melahirkan bayi yang ke-2, sebelum genap bulannya, Dan istriku masih belum sembuh. Dan perempuan tua itu ibu kandung istri saya. Penari itu adik saya. “Oh, begitu. Saya ingat bung pernah bilang bahwa punya adik yang berumur 14 tahun,..”, kata “Aku”. Dialah maksud saya. Saya tidak ingin hidup seperti ini, tetapi sayang ada berbagai hal yang memaksa kami hidup begini. Lalu Eikichi menceritakan bahwa ia bernama Eikichi dan istrinya Chiyoko dan adiknya bernama Kaoru. Dan yang satu lagi bernama Yuriko yang berumur 17 tahun dan kami mempekerjakannya. Eikichi menjadi sangat sentimentil sehingga wajahnya nampak seperti mau menangis dan tetap menatap air sungai yang mengalir. Sekembali dari perjalanan-perjalan itu ku dapati si penari yang sudah mencuci bersih bedak dari mukanya, berjongkok ditepi jalan sambil mengelus-elus seekor anjing. “Aku” Universitas Sumatera Utara sangat senang bergaul dengan mereka. sampai-sampai “Aku” diajak untuk tinggal dirumah mereka yang dihuni oleh seorang kakek tua, tetapi “Aku” menolak dengan alasan karena urusan sekolah. Mereka bersama-sama akhirnya sampai dirumah penginapan sederhana di Koshuya. Banyak hal yang sudah terjadi bersama si penari, bermain bersama, berjalan bersama. Tetapi dari semua yang mereka alami bersama, mereka harus berpisah juga. “Aku” harus balik untuk bersekolah, sedangkan Kaoru tetap menjadi seorang penari. Perpisahan itu sangat memilukan. Namun demikian “Aku” banyak mendapatkan pelajaran dan perubahan dari perjalanan hidup itu.

3.2 Analisis Kehidupan Sosial Penari Keliling Dalam Cerpen Izu No Odoriko