Konflik SARA dan reduksi kewarganegaraan kelompok minoritas

5. Konflik SARA dan reduksi kewarganegaraan kelompok minoritas

Sebagaimana pada bidang-bidang yang disebutkan sebelumnya, maka perkembangan dan lingkungan strategis dari keadaan hubungan antar-agama dan etnik di Indonesia pun mengalami permasalahan yang tidak dapat dianggap ringan. Fenomena yang muncul akhir-akhir ini adalah reduksi kewarganegaraan

Sosial Budaya: MERAJUT KEINDONESIAAN KITA 137 Sosial Budaya: MERAJUT KEINDONESIAAN KITA 137

agamaan dan etnik, diiringi dengan Reformasi, masyarakat

berbagai konflik Suku Ras Agama belum sepenuhnya

dan Antargolongan (SARA) yang dewasa dalam memaknai

bersifat komunal. Dua dekade pasca- dan mempraktikkan

Reformasi, masyarakat belum se pe- demokrasi sebagaimana nuhnya dewasa dalam memaknai dan

yang dicita-citakan kaum Reformis. Hal mempraktikkan demokrasi sebagai-

ini terlihat jelas dalam mana yang dicita-citakan kaum kualitas penerimaan

Reformis. Hal ini terlihat jelas dalam masyarakat terhadap

kualitas penerimaan masyarakat kelompok minoritas dari

terhadap kelompok minoritas dari sisi sisi keagamaan ataupun

keagamaan ataupun identitas etnik. identitas etnik”.

Pasca-Reformasi, setidaknya tercatat tiga konflik SARA bersifat besar dan

komunal, yaitu konflik agama (Kristen-Islam) di Ambon Maluku pada 2000, konflik agama (Kristen-Islam) di Poso pada 2002, dan konflik suku antara Dayak dan Madura di Kalimantan (Sampit, Sambas, Ketapang) pada 2004 yang memakan korban ribuan jiwa. Dua di antara tiga konflik itu bernuansa gagalnya hubungan antar agama. Konflik Dayak Madura yang kelihatannya konflik kesukuan, tetapi juga dapat dibaca dengan sudut pandang hubungan antar agama, yaitu bahwa Dayak mayoritas Kristen dan Madura adalah Islam, walaupun tidak terjadi masalah apapun antara Dayak dan komunitas Islam lainnya.

Menyusul setelah itu, lima tahun terakhir ini, kejadian- kejadian berbau SARA lain, seperti (a) kasus Sampang

138 MENYONGSONG 2014-2019

Madura yang melibatkan konflik antara kelompok Sunni dan Syiah pada tahun 2011-2012, dan disusul dengan peristiwa Jember September 2013; (b) peristiwa Cikeusik Banten berupa penyerangan kelompok Ahmadiyah pada 2012; (c) peristiwa Ahmadiyah di Bogor tahun 2011, (d) konflik Balinuraga- Lampung pada Oktober 2012; dan (e) beberapa peperangan antar desa dan kelompok ulayat di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua, serta disusul oleh kejadian lain yang tersebar di berbagai daerah dengan pola dan sebab berbeda-beda. Beberapa endapan kebencian dan stigmatisasi terhadap kelompok lain pun masih kuat dipegang beberapa komunitas di Indonesia. Endapan seperti ini menjadi tanda laten dari pecahnya konflik SARA bersifat komunal di kemudian hari.

Ketika suatu kelompok minoritas diposisikan pada titik nadir, maka dalam banyak kasus hak-hak kewarganegaraan mereka pun diimpit dan direduksi. Aksesibilitas terhadap pelayanan publik dibatasi, apalagi hak-hak mereka yang berhubungan dengan praktik keagamaan di mana dasar-dasar plakat itu ditetapkan. Hal ini terlihat nyata pada kasus kelompok Syiah di Sampang Madura, kelompok Ahmadiyah di Cikeusik dan Kuningan, kelompok gereja Kristen Yasmin di Bogor, dan sebagainya. Belum lagi perlakuan kepada kelompok kepercayaan di beberapa daerah. Jaminan terhadap hak kewarganegaraan anggota pengikut ini mengalami pengurangan yang didasarkan pada konsepsi liyan yang memperhadapkan dengan dirinya (self atau al-ana), yaitu karena “mereka yang berbeda dari kami”.

Konsepsi kewarganegaraan dan kebangsaan tentu tidak dibangun berdasarkan makna “mereka yang berbeda dari kami”. Konsepsi itu

Sosial Budaya: MERAJUT KEINDONESIAAN KITA 139 Sosial Budaya: MERAJUT KEINDONESIAAN KITA 139

Konsepsi liyan ini pula yang semakin menguat pasca-Reformasi, ketika politik identitas kelompok etnik di daerah menguat dan menemukan salurannya atas nama kebebasan dan HAM, sebagaimana isu strategik global, baik pada bidang politik maupun sosial ekonomi. Sayangnya, selain ekspresi kekuasaan “kaum pribumi” untuk menduduki jabatan politik dan perangkat pemerintahan, politik identitas juga disalahartikan sebagai pemangkiran dari hubungan antar-kelompok berbeda etnik, bahasa, agama, dan stratifikasi sosial ekonominya. Bentuk- bentuk wilayah komunitas yang bersifat kantong (enclave) sebagai akibat jaringan kekerabatan bersifat tradisional, kesamaan agama, dan dampak program kolonisasi pada zaman Belanda ataupun transmigrasi pada masa pemerintahan RI, kemudian diartikan sebagai sesuatu yang membuat penghuninya berbeda antara satu dan lainnya. Keadaan seperti ini yang memperkuat faktor pemicu berbagai konflik komunal atas nama suku, agama, dan ras di Indonesia.

Beberapa konflik “agama”, misalnya, tidak melulu dianggap konflik komunal atas nama suku atau agama, tetapi juga dipicu

140 MENYONGSONG 2014-2019 140 MENYONGSONG 2014-2019