Pendidikan dan kesehatan

1. Pendidikan dan kesehatan

Kualitas pembangunan pendidikan dan kesehatan selama ini terhitung masih lemah sebagaimana tercermin pada nilai IPM Indonesia tersebut di atas yang berada di peringkat 121 atau menengah bawah dunia. Dalam bidang pendidikan hal tersebut, antara lain, tercermin pada tingkat pendidikan masyarakat Indonesia secara rata-rata yang baru sekitar enam tahun, atau sederajat dengan lulusan sekolah dasar. Bukan hanya lama pendidikan rata-rata yang ditempuh masyarakat, melainkan kualitasnya pun masih rendah. Hal tersebut tergambar dari hasil penilaian PISA yang dilakukan oleh Badan Dunia untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada 2013 yang menempatkan para siswa Indonesia di peringkat 64 dari 66 negara yang dinilai.

Kenyataan buruk ini tidak cukup diketahui masyarakat luas karena tertutup keberhasilan beberapa siswa Indonesia yang mampu meraih medali, bahkan medali emas, dalam Olimpiade Sains Dunia. Penilaian PISA menyangkut kemampuan dalam matematika, sains, dan membaca yang hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata siswa Indonesia lemah dalam penalaran, baik logika, analisa, maupun sintesa, yang juga diistilahkan sebagai berada pada posisi low order thinking system. Lemah dalam penalaran tentu bukan hanya dimiliki siswa, melainkan juga para lulusan sekolah secara umum yang kemudian mengisi posisi-posisi penting di pemerintahan atau jabatan publik. Hal itu menjelaskan pertanyaan lama, mengapa pejabat publik

148 MENYONGSONG 2014-2019 148 MENYONGSONG 2014-2019

Dalam bidang kesehatan sebagai sektor yang juga menyerap anggaran besar setelah pendidikan, kelemahan program pembangunan selama ini juga masih terasa. Indonesia masih bergulat dengan persoalan kesehatan dasar, seperti angka kematian bayi dan ibu melahirkan hingga ‘penyakit miskin’, seperti TBC, yang secara umum masih ternasuk tertinggi di Asia Tenggara. Pembangunan kesehatan Indonesia masih berada pada taraf yang lebih rendah dibanding dengan Thailand dan Malaysia misalnya. Terobosan besar berupa jaminan pengobatan melalui lembaga BPJS pada 2013, baru merupakan langkah untuk menyediakan pengobatan di tingkat dasar yang semestinya sudah dijalankan sejak 25 tahun silam, dan belum merupakan pembangunan kualitas kesehatan secara ideal.

Persoalan infrastruktur bangunan sekolah, pro-kontra pelaksanaan Ujian Nasional, sertifikasi serta kualitas guru, kualitas buku pelajaran, pornoaksi di kalangan siswa, perkelahian pelajar maupun mahasiswa, hingga politik kampus masih mendominasi perhatian dunia pendidikan. Sementara itu, dunia kesehatan lebih banyak menggarap hal-hal dasar seperti yang telah ditetapkan dalam program dunia Tujuan-tujuan Pembangungan Milenium (MDG’s), serta menyerahkan program pelayanan medis kelas menengah dan atas pada mekanisme pasar yang melahirkan komersialisasi pengobatan melalui rumah-rumah sakit secara luar biasa.

Sosial Budaya: MERAJUT KEINDONESIAAN KITA 149

Otoritas Pendidikan telah berusaha membuat terobosan dengan meluncurkan Kurikulum 2013 untuk memasukkan karakter sebagai bagian dari pengajaran. Upaya untuk membangun karakter tersebut masih terkendala oleh dua hal, yakni kualitas dan kesiapan guru sebagai aspek terpenting di dunia pendidikan, serta paradigma yang digunakannya masih terfokus pada aspek tangible berupa ‘paradigma sistem’ yang lebih terukur dan belum menuju ‘paradigma pendidikan’ yang lebih kualitatif dan intangible. Sedangkan karakter lebih terkait dengan ‘paradigma pendidikan’ dibanding dengan ‘paradigma sistem’. Hal serupa terjadi dengan kesehatan yang masih mengedepankan ‘paradigma medis’ yang tangible dibanding dengan ‘paradigma kesehatan’ yang intangible.

Paradigma seperti itu tampaknya masih akan dominan dalam pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan pada kurun 2014- 2019. Sebab, itulah yang diketahui dan telah menjadi kebiasaan pemerintah selama ini. Kebiasaan untuk mengembangkan dan mengendalikan program sendiri oleh Otoritas Pusat dibanding dengan memberdayakan Otoritas Daerah yang semestinya menjadi ujung tombak pembangunan pendidikan dan kesehatan, juga masih akan berlanjut karena birokrat pusat tak ingin ‘kehilangan program’. Dengan demikian, dalam lima tahun mendatang, meskipun kualitas masyarakat hasil pembangunan pendidikan dan kesehatan akan meningkat, peningkatannya belum akan cukup signifikan. Dalam lima tahun ke depan, masyarakat belum akan cukup kuat dalam penalaran, kesehatan, apalagi karakter yang diperlukan Indonesia maju, baik dalam aspek ekonomi, teknologi, budaya maupun berbagai aspek peradaban lainnya.

150 MENYONGSONG 2014-2019