Perkiraan Nilai Aset Cadangan Migas dan Batubara

Tabel 2. Perkiraan Nilai Aset Cadangan Migas dan Batubara

Perkiraan Nilai Asset Cadangan Migas dan Batubara

Jenis Asset

Cadangan

Nilai Dalam Nilai Dalam US$

Satuan

Harga US$

Rupiah

Minyak

$850 milyar Rp8.075 T Gas

7.73 Milyar BBLs

$110/bbls

$2.293 milyar Rp21.783 T Batubara

Trillion CF

$15/cf

28.17 Milyar Ton

$100/ton

$2.817 milyar Rp26.761 T

Total $5.960 milyar Rp56.620 T

Note: Kalau misalnya, biaya produksi dan bagian Investor sebesar 50% dan hanya 20% saja dari asset yang berupa cadangan ini bisa dimonetasi, Maka akan ada dana tersedia sebesar Rp5.662 Trilyun yang bisa dipakai untuk melunasi hutang dan membangun Infrastruktur secara massif diseluruh Indonesia !.

Sumber: Kurtubi, 2013

Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 283

Perhitungan di atas didasarkan atas asumsi, jumlah cadangan dan harga dianggap konstan. Padahal, potensi sumber daya minyak sekitar 50 milyar bbls dan kegiatan pencarian cadangan baru (eksplorasi) masih bisa ditingkatkan, misalnya, dengan mencabut UU Migas No.22/2001 yang merupakan penyebab menurunnya kegiatan pemboran eksplorasi selama ini, sehingga jumlah cadangan dan produksi minyak Indonesia terus menurun.

Dari sumber daya migas non-konvensional, seperti coal bed methane (CBM) dan shale gas, tentu ke depan akan bisa diperoleh jumlah cadangan terbukti yang besar mengingat potensi sumber daya CBM sekitar453 tcf dan shale gas sekitar 574 tcf. Demikian juga dengan harga minyak. Ke depan, besar kemungkinan, tren harga minyak secara nominal akan terus meningkat. Hal ini karena sifat dari minyak yang tidak bisa diperbaharui (non- renewable) sehingga jumlahnya terbatas, padahal pengurasan atau produksi terus berlangsung.

Dengan pendekatan yang sama, kita bisa menghitung perkiraan nilai aset/cadangan dari bahan-bahan tambang, seperti tembaga, emas, nikel, bijih besi, bauksit, timah. Tentunya, kalau sistem tata kelolanya mengikuti acuan pasal 33 UUD 1945 (dikuasai oleh negara dan dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat), kekayaan alam yang berbentuk minyak, gas, batubara, tembaga, emas, nikel, bijih besi, bauksit, mangan, timah, dsb., akan bisa menjadi modal untuk mendorong bangsa ini kembali berjaya menjadi negara besar. Perkiraan sementara yang bersifat konservatif dari nilai cadangan terbukti SDA migas dan bahan tambang adalah sekitar Rp200.000 trilyun.

284 MENYONGSONG 2014-2019

Persoalannya, apakah dengan sistem tata kelola saat ini,

kekayaan migas dan bahan tambang yang relatif melimpah di perut bumi ini sudah sesuai dengan pasal 33 UUD 1945? Faktanya, sistem tata kelola saat ini masih jauh dari sistem tata kelola bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Di sektor migas misalnya, terdapat begitu banyak lubang yang memberikan peluang, penerimaan negara banyak tersedot dan bocor mengalir ke para pemburu rente. Lubang kebocoran, antara lain, bersumber dari Pengelola Kekayaan Migas yang diserahkan kepada Lembaga Non-Bisnis.

Demikian juga di sektor tambang umum, tingkat produksi

yang tinggi dengan harga komoditas tambang yang tinggi di pasar internasional, belum menghasilkan penerimaan negara dari sektor tambang yang optimal. Keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pelaku usaha dan sekelompok rent seekers. Hal ini karena, antara lain, jenis kontrak yang dipakai di sektor tambang selama ini berupa Kontrak Karya dan sejenisnya seperti PKP2B yang nilai royaltinya sangat rendah dan yang berkontrak adalah Pemerintah atau ‘ B to G’.

Berdasarkan atas UU Migas No.22/2001 yang berlaku saat ini, pengelola kekayaan migas nasional dilaksanakan oleh Lembaga Pemerintah non-bisnis BP Migas yang berubah menjadi SKK Migas pasca-Keputusan MK 2012 dengan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN), bukan Badan Usaha Milik Negara. Semua perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia berkontrak dengan BP Migas atau merupakan kontraktor BP Migas. BP Migas mengendalikan cost recovery yang merupakan

Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 285 Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 285

Sementara itu, Perusahaan Negara di bidang migas yang dibentuk atas dasar UU No.8/1971 (Pertamina) dibubarkan dan dibentuk BUMN baru bernama PT Pertamina (Persero) yang dibentuk atas dasar Akte Notaris. Kuasa Pertambangan yang menurut UU No.8/1971 diberikan kepada Pertamina, diambil alih oleh Pemerintah/Menteri ESDM. Status Pertamina menjadi sama dengan perusahaan minyak asing dan swasta yang berkontrak dengan BP Migas/SKK Migas. Harga BBM sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, sedangkan migas bagian negara yang berasal dari kontraktor asing harus dijual melalui penunjukan BP Migas.

Setelah UU Migas No.22/2001 diterapkan, kondisi industri migas nasional tidak memperoleh kemajuan yang berarti, bahkan cenderung terjadi kemunduran dengan fakta-fakta berikut. Pertama, produksi minyak mentah terus mengalami penurunan dari sekitar 1.5 juta bbls/hari pada 1998 menjadi sekitar 830 ribu bbls/hari pada 2013. Akibatnya, impor minyak mentah terus meningkat. Kedua, pengembangan dan penjualan LNG Tangguh ke luar negeri dengan harga yang sangat murah hingga saat ini tidak mampu dikoreksi untuk dihargai secara normal. Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp30 trilyun/tahun dan Pembangkit PLN harus pindah memakai BBM.

Ketiga, cost recovery yang terus melonjak dan tidak transparan. Berulang kali BPK menemukan pembebanan cost recovery

286 MENYONGSONG 2014-2019 286 MENYONGSONG 2014-2019

Kelima, meski program konversi BBM ke BBG sudah lama

dicanangkan, realisasinya nyaris nihil karena ketidakjelasan tentang siapa yang bertanggung jawab mengimplementasikannya. Selain infrastrukturnya sangat minim, kepastian pasok gasnya juga tidak jelas. Padahal, produksi gas relatif melimpah. Akibatnya, subsidi BBM membengkak. Sementara, Pemerintah secara politis ‘takut’ menaikkan harga BBM karena selalu mendapatkan penolakan rakyat. Keenam, aset berupa cadangan migas yang ada di perut bumi tidak bisa dijadikan sumber pendanaan yang sangat besar.

Ketujuh, pengelola kekayaan migas nasional adalah lembaga non-

bisnis. Akibatnya, pihak kontraktorlah yang memanfaatkan aset/ cadangan diperut bumi untuk dijadikan agunan memperoleh pendanaan. Padahal, aset migas di perut bumi sepenuhnya milik negara. Kedelapan, privatisasi PGN berdampak pada semakin dominannya peran PGN sebagai Trader, sementara tugas untuk membangun infrastruktur gas, seperti infrastruktur untuk city gas, dan SPBBG terabaikan.

Dari sisi hukum, hingga saat ini UU Migas No.22/2001 sudah mengalami Judicial Review di Mahkamah Konstitusi sebanyak tiga kali, dan Mahkamah Konstitusi sudah mencabut 17 pasal.

Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 287

Yakni, pasal 12 ayat 3:Menteri menetapkan Badan Usaha (BU) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal

22 ayat 1: BU dan BUT wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pasal 28 ayat 2: Harga BBM dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Serta semua pasal yang terkait dengan BP Migas.

Mengingat sudah begitu banyak pasal dalam UU Migas No.22/2001 yang sudah dinyatakan tidak mengikat oleh MK, dan secara empirik UU Migas ini sudah terbukti merugikan negara secara finansial dan memperlemah ketahanan energi nasional, maka solusi yang paling rasional adalah: diperlukan Perubahan dan Restorasi Sistem Tata Kelola Migas Nasional dengan mencabut UU Migas No.22/2001 dan melahirkan UU Migas baru yang prinsip pokoknya adalah: Pertama, kekayaan yang berupa cadangan minyak dan gas yang ada diperut bumi harus dinyatakan sebagai ‘Milik Negara’ dan pengelolaannya diserahkan kepada Perusahaan Negara Khusus yang dibentuk berdasarkan UU, seperti mengubah SKK Migas sekarang menjadi Perusahaan Negara.

Kedua, hanya Negara sebagai pemilik yang diwakili oleh Perusahaan Negara (PN) yang boleh melakukan penambangan migas. Dalam hal PN kekurangan dana, teknologi dan hendak berbagi risiko, maka PN diberi otoritas untuk berkontrak dengan investor/kontraktor, baik asing maupun nasional dalam pola ‘B

288 MENYONGSONG 2014-2019 288 MENYONGSONG 2014-2019

2. Kehutanan Pengembangan sektor kehutanan harus dilakukan secara terencana

dan terukur, serta fokus pada pencapaian strategi prioritas jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Walaupun setiap kementerian dan lembaga telah memiliki rencana strategis, tetap diperlukan pencermatan dan masukan untuk mendukung pencapaian program. Dalam rangka mendorong kebangkitan sektor kehutanan, ada tiga strategi kunci yang perlu mendapatkan perhatian dalam jangka waktu lima tahun ke depan (2014-2019). Yaitu, pertama, mendorong pengembangan hutan tanaman; kedua, mengembangkan pasar ekspor produk kehutanan bernilai tinggi; dan ketiga, optimasi sistem pengelolaan hutan berbasis kebutuhan dan karakteristik lokal.

a. Mendorong pengembangan hutan tanaman Luas dan produktivitas hutan alam Indonesia semakin

menurun karena aktivitas pembalakan hutan, baik melalui kegiatan pemanenan legal maupun kegiatan illegal, seperti pembalakan liar, perambahan, dan aktivitas lainnya. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan kayu ke depan tidak lagi dapat bersandar pada hutan alam. Dalam konteks

Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 289 Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 289

Selain HTI, pengembangan hutan tanaman juga dilaksa- na kan dengan beberapa skema lain, di antaranya, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Rakyat. Kebangkitan sektor kehutanan hanya dapat dilakukan, salah satunya melalui revitalisasi pembangunan hutan tanaman. Pertumbuhan PDB sektor kehutanan akan terjadi jika dilakukan investasi HTI secara kontinu pada berbagai luasan. Walaupun pembangunan HTI diyakini akan dapat menggerakkan sektor-sektor hilir, peningkatan kontribusi relatif sektor kehutanan yang secara langsung dipengaruhi oleh adanya pembangunan HTI diperkirakan hanya berkisar antara 1-2 persen. Jika mengharapkan pertumbuhan PDB sektor kehutanan yang lebih besar lagi, pembangunan HTI saja tidak cukup. Upaya itu harus dibarengi dengan pembenahan strategi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan manfaat intangible lainnya, seperti jasa lingkungan hutan secara bersama-sama.

b. Optimasi sistem pengelolaan hutan berbasis kebutuhan dan karakteristik lokal

Salah satu strategi yang harus dilakukan untuk optimasi pembangunan kehutanan adalah menerapkan sistem penge-

290 MENYONGSONG 2014-2019

lolaan hutan berbasis kebutuhan dan karakteristik lokal. Pengelolaan hutan yang berbasis kebutuhan mempersyarat- kan kelenturan dalam sistem pengeloaan hutan tanpa mengubah fungsi pokok hutan. Hutan produksi, misalnya, sesuai dengan fungsinya, harus ditingkatkan semaksimal mungkin produktivitasnya, sehingga perlu fleksibel dalam penentuan jenis-jenis tanaman dan sistem pengelolaannya. Jika ada kebutuhan nasional atau daerah untuk pemenuhan target produksi komoditas tertentu seperti karet, kopi, coklat, padi, atau tanaman lain, hendaknya dibuka peluang untuk mengembangkannya di dalam kawasan hutan, terutama hutan produksi, dengan pola agroforestry, tanpa mengubah fungsi pokoknya sebagai hutan. Dengan pendekatan seperti ini, maka berbagai program kehutanan, seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKM), dan pola kemitraan yang selama ini berjalan tersendat, akan memperoleh dukungan yang lebih besar dari masyarakat.

Pada saat ini, banyak kawasan hutan produksi yang tidak

dibebani atas hak dan memicu terjadinya perambahan akibat open access property sumber daya hutan. Untuk menertibkan-

nya bukan hal mudah karena menyangkut luasan areal puluhan juta hektare dan terkait dengan kepentingan jutaan warga masyarakat di sekitar hutan. Pada kenyataannya ba- nyak kawasan hutan produksi yang telah dimanfaatkan (baca: dirambah) oleh masyarakat sebagai kebun atau peruntukan lain. Dalam konteks ini, rehabilitasi hutan produksi tidak

Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 291 Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 291

Faktor biofisik adalah salah satu faktor terpenting yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan sistem pengelolaan hutan. Sistem pengelolaan hutan tunggal, seperti Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) yang berlaku untuk hutan alam dan Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) yang diberlakukan di hutan tanaman, perlu diperbaiki dengan menerapkan multisistem silvikultur yang memungkinkan penerapan beragam sistem pengelolaan hutan sesuai dengan kondisi spesifik lokal. Secara umum, sistem TPTI sebenarnya hanya sesuai diterapkan di hutan alam primer dan hutan sekunder bekas tebangan atau logged over area (LoA) dengan kerusakan ringan. Sementara, sistem TPTI intensif (TPTII) atau yang sering disebut silvikultur intensif (Silin) sesuai diterapkan di LoA dengan kerusakan sedang. Jika LoA telah mengalami kerusakan berat, sistem THPB adalah pilihan yang paling rasional

292 MENYONGSONG 2014-2019

Lebih dari sekadar keragaman penerapan sistem silvikultur, perlu juga dibuka ruang untuk pengelolaan hutan multi- tujuan (multipurpose forests) dengan sistem perencanaan yang

terintegrasi di bawah pengelolaan satu unit manajemen. Dengan sistem ini, maka seharusnya ke depan, suatu unit manajemen pengelolaan hutan dimungkinkan untuk mengelola kawasan hutan dengan berbagai tujuan, seperti pemanfaatan hutan alam (HPH), pengembangan hutan tanaman industri (HTI), pembangunan ekowisata hutan, kluster penggunaan areal hutan untuk pertambangan termasuk reklamasi lahan bekas tambang, usaha penyimpanan/penyerapan karbon, serta kegiatan restorasi ekosistem dan jasa lingkungan lainnya yang dilaksanakan berdasarkan satu rencana pengelolaan hutan terpadu. Tanpa terobosan kebijakan pengelolaan hutan multi-tujuan, maka produktivitas kawasan hutan akan tetap rendah, sehingga sangat rawan dari ancaman konversi lahan, baik legal maupun ilegal.

3. Perikanan nasional Potensi perikanan Indonesia sejak tahun 1983-2012 relatif

tetap. Tidak terlihat peningkatan potensi perikanan, padahal aktivitas usaha perikanan cenderung meningkat. Beberapa poin penting dalam konteks potensi sumber daya ikan, antara lain, (a) Pendugaan potensi perikanan Indonesia masih dilakukan berbasis data sekunder dengan proses estimasi terhadap kemungkinan produksi dari berbagai aspek. (b) Belum pernah dilakukan pendugaan stok secara menyeluruh baik dari ikan pelagis, demersal, maupun karang di seluruh wilayah Indonesia.

Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 293

(c) Potensi stok tersebar di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia. (d) Proses pemantauan potensi stok ikan nasional belum dilakukan secara baik, sehingga masih banyak terjadi pemanfaatan secara ilegal.

Perikanan Indonesia didesain dalam 11 WPP untuk membantu memudahkan pengelolaan perikanan menurut karakteristik sumber daya ikan.Setiap WPP memiliki karakteristik sumber daya ikan tertentu. Potensi sumber daya ikan di WPP tersebut di antaranya pelagis besar, pelagis kecil, demersal, penaeid, ikan karang konsumsi, lobster, dan cumi cumi. Saat ini, potensi di WPP berkisar dari 276 ribu ton hingga 1,1 juta ton per tahun. Sebaran potensi tersebut adalah 52 persendi bagian barat dan 48 persen di bagian timur Indonesia.

Untuk mengelola potensi tersebut bagi kesejahteraan masyarakat diperlukan berbagai upaya dan strategi pembangunan sektor perikanan dan kelautan ini. Strategi pembangunan perikanan dapat mencakup pembangunan perikanan tangkap, budidaya, dan industri perikanan, yang dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, menerapkan strategi agribisnis di bidang penangkapan, yaitu dengan sistem rantai dingin (cold-chain system) dalam penanganan hasil tangkapan ikan dari mulai ikan disimpan dalam kapal, tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan), distribusi/transportasi, sampai ke tangan konsumen akhir produk perikanan.

Kedua, peningkatan kemampuan dan keterampilan nelayan melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Ketiga, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dan

294 MENYONGSONG 2014-2019 294 MENYONGSONG 2014-2019

Keenam, pengembangan alat tangkap, motor tempel, kapal motor

dan pemasangan rumpon. Ketujuh, revitalisasi dan pengem ba ngan pelabuhan perikanan di beberapa pulau, sejalan dengan pesatnya perkembangan dan letaknya yang strategis, seperti Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) atau Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di berbagai daerah di Indonesia. Kedelapan, peningkatan jumlah aparat pengawasan sehingga dapat mencegah jumlah ikan hasil tangkapan yang langsung dijual ke luar negeri secara ilegal, ataupun menanggulangi nelayan ilegal.

Selain itu, perlu pula dilakukan pengembangan usaha perikanan budidaya yang secara praktis, berupa: Pertama, pengembangan diversifikasi usaha, sehingga pola nelayan yang bergantung pada penangkapan mulai diarahkan pada usaha budidaya. Kedua, ekstensifikasi budidaya laut, dilakukan dengan mendidik, melatih dan memberi pemagangan disertai dengan memberikan paket bantuan untuk rangsangan budidaya. Ketiga, pengembangan komoditas perikanan unggulan, seperti udang, patin, bandeng, rumput laut, dan komoditas air tawar lainnya yang memiliki keunggulan komperatif.

Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 295

Keempat, diversifikasi spesies atau jenis komoditas budidaya, seperti budidaya udang, sebaiknya tidak hanya mengusahakan udang windu, tetapi juga spesies-spesies baru yang bernilai ekonomis tinggi, seperti udang vannamei, udang jerbung (Penaeus merguinsis), P. semisulcatus. Kelima, penyediaan benih yang memadai (swasembada benih) untuk menjamin usaha produksi perikanan. Keenam, revitalisasi lahan usaha budidaya tambak yang telah rusak dan tidak produktif lagi. Ketujuh, penjagaan kelestarian hutan mangrove dan terumbu karang, sebagai habitat penting organisme laut. Kedelapan, penerapan RTRW secara konsisten dan berkelanjutan sehingga tidak terjadi gangguan atau tumpang tindih kepentingan dalam suatu areal. Kesembilan, penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi pengusaha dengan kemudahan izin bagi pihak swasta dan pelatihan serta rangsangan bantuan.

Selain aspek produksi, sektor pengolahan juga perlu dikembangkan. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu: (a) revitalisasi industri pengalengan ikan, tepung ikan, cold storage, surimi, fish meal dan fillet sehingga lebih efisien dan berdaya saing tinggi; (b) peningkatan nilai tambah produk perikanan dengan meningkatkan efisiensi industri pengolahan; (c) pembinaan dan pengawasan mutu produk perikanan mulai dari tingkat produsen baik nelayan dan pembudidaya ikan, distribusi, sampai ke pasar (konsumen) akhir baik di dalam negeri maupun sampai ke luar negeri; (d) pembangunan dan operasionalisasi pasar-pasar ikan higienis; (e) pengadaan sarana pengangkutan produk perikanan dari lokasi produsen ke lokasi konsumen ikan (pasar), seperti:

296 MENYONGSONG 2014-2019 296 MENYONGSONG 2014-2019

Strategi yang juga diperlukan dalam memenangkan persaingan ini adalah dengan memanfaatkan keunggulan kompetitif suatu bangsa. Sebagai bangsa kepulauan dengan laut yang luas, selain perikanan, daya tarik kawasan adalah aktivitas wisata. Kegiatan tersebut dapat berupa, antara lain, nilai historis, nilai budaya, wisata petualangan, keindahan alam,yang masing- masing atraksi tersebut memiliki specific market group-nya. Karena itu, berbagai lokasi pariwisata bahari yang ada, akan bernilai tinggi apabila dalam proses pengembangannya, selain memanfaatkan daya tarik dan keunikan sumber daya hayati laut setempat, juga menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan wisata, baik dari aspek keamanan maupun kenyamanannya.

Dengan demikian, terdapat dua faktor penting dalam strategi

pengembangan kegiatan pariwisata. Pertama, faktor internal berupa strategi manajemen daya tarik obyek wisata, yang terkait mulai dari aspek teknis, strategi jasa pelayanan sampai kepada strategi pemasaran. Kedua, faktor internal berupa dukungan perangkat kebijakan dari pemerintah serta penciptaan iklim keamanan yang kondusif bagi kegiatan wisata.

Menurut Dahuri (2010), untuk mewujudkan pembangunan

tersebut harus diikuti oleh langkah-langkah pembangunan sebagai berikut: Pertama, meningkatkan layanan jasa transportasi laut yang

Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 297 Sumber Daya Alam: Modal Menjadi Negara Besar 297

Ketiga, pengembangan transportasi laut, perlu diikuti dengan perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan yang

aplicable, antisipatif dan adaptif dengan perkembangan lingkungan startegis, khususnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Perangkat peraturan-peraturan hukum mengenai transportasi laut pada hakekatnya meliputi aspek-aspek berikut: keselamatan pelayaran, navigasi, pengawakan kapal, pencegahan pencemaran laut, peraturan ekonomi pelayaran dan hukum perdata pelayaran. Keempat, pengembangan bisnis transportasi laut harus lebih berpihak pada ekonomi rakyat dengan memprioritaskan pengembangan bisnis transportasi laut pada golongan usaha kecil dan menengah, terutama di wilayah- wilayah yang akan dikembangkan pertumbuhan ekonomi baru, seperti kawasan pulau-pulau kecil yang potensial.

Kelima, dalam meningkatkan peran swasta dalam pengembangan

transportasi laut, harus diciptakan iklim usaha yang kondusif, seperti adanya prasarana dan sarana, kemudahan perizinan, keamanan dan kepastian jaminan hukum. Selain itu, dalam pengembangannya dapat diwujudkan melalui pola kemitraan

298 MENYONGSONG 2014-2019 298 MENYONGSONG 2014-2019