Kelembagaan politik luar negeri.

2. Kelembagaan politik luar negeri.

Secara hukum, Indonesia memiliki UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Di sana ditegaskan sejumlah hal yang kiranya perlu diangkat sebagai garis bawah bagi semua pihak sebagai berikut: Pertama, Presiden adalah pihak yang berwenang menyelenggarakan kegiatan hubungan luar negeri, dan bilamana diperlukan akan melimpahkan wewenang tersebut kepada Menteri Luar Negeri. Bilamana ada kementerian lain ditunjuk oleh Presiden, Menteri tersebut akan melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Luar Negeri. Kedua, tidak ditutup kemungkinan bahwa aktor lain seperti pemerintah daerah, instansi pemerintah, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan warganegara Indonesia secara umum untuk terlibat dalam hubungan luar negeri. Relasi dan jalur komunikasinya memang tidak tergambar jelas dalam ketentuan UU ini, walaupun dapat diasumsikan bahwa mengingat poin pertama tadi, segala hal perlu merujuk pada konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Luar Negeri atau Presiden.

Ketiga, kegiatan hubungan luar negeri diabdikan untuk kepentingan nasional dengan prinsip bebas aktif. Keempat, bebas

398 MENYONGSONG 2014-2019 398 MENYONGSONG 2014-2019

Keenam, diplomasi seyogyanya menggambarkan jati diri diplomasi Indonesia yang tidak sekadar bersifat rutin, tetapi juga dapat menempuh cara-cara non-konvensional, tidak selalu terikat pada kelaziman protokoler, walau tanpa mengabaikan norma-norma dasar dalam tata krama diplomasi internasional. Diplomasi Indonesia hendaknya dibekali keteguhan dalam prinsip dan pendirian, ketegasan dalam bersikap, luwes dan rasional dalam pendekatan, dan bersumber pada kepercayaan diri sendiri. Ketujuh, diplomasi Indonesia mencari keharmonisan, keadilan dan keserasian dalam hubungan antarnegara, menjauhi sikap konfrontasi dan politik kekerasan/kekuasaan (power politics), menyumbang penyelesaian berbagai konflik dan permasalahan di dunia, dengan memperbanyak kawan dan mengurangi lawan.

Dalam praktik pelaksanaan hubungan luar negeri ternyata terdapat sejumlah evaluasi tentang realisasi dari hubungan luar

Hubungan Internasional: MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN NASIONAL 399

negeri sebagaimana digariskan dalam UU tersebut. Berdasarkan evaluasi pelaksanaan hubungan luar negeri sepanjang 10 tahun lalu, nyata betul bahwa Presiden adalah pemegang otoritas hubungan luar negeri tertinggi. Hampir dalam segala kesempatan pergaulan internasional, Presiden menangani langsung. Menteri Luar Negeri hanya terlibat untuk tindak lanjut, pembuka, atau pelengkap. Sejumlah kementerian lain diberi wewenang besar oleh Presiden terkait negosiasi dengan pihak-pihak asing dalam bidang pembangunan ekonomi, misalnya Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertahanan. Namun, level koordinasi dan konsultasi yang terjadi antarkementerian yang diberi wewenang tadi dengan Kementerian Luar Negeri cenderung formalitas belaka atau bahkan tidak ada sama sekali. Selain itu, juga tidak ada sinergi antarkementerian dan antara kementerian dan para staf khusus Presiden dan Wakil Presiden, seperti UKP4, TNP2K, Dewan Pertimbangan Presiden, Staf Khusus Presiden bidang Politik, Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional, Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi, Staf Khusus Presiden bidang Pangan, dan masih banyak lagi.

Bila desain politik luar negeri Indonesia lebih jelas, problem koordinasi tadi tentu tidak akan memberi konsekuensi negatif yang berlebihan. Memang ada upaya menciptakan grand design seperti MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia) dan MP3KI (Master Plan Percepatan Pengentasan Kemiskinan Indonesia) tetapi rencana itu terlihat janggal di atas kertas karena skala prioritasnya tetap tidak

400 MENYONGSONG 2014-2019 400 MENYONGSONG 2014-2019

Dalam praktik diplomasi, memang ada ruang untuk “city diplomacy” alias relasi antara pemerintah daerah dan pemerintah negara lain, tetapi ruang konsultasinya dengan pemerintah pusat sangat jelas. Di Indonesia, pembagian tugas ini perlu diperjelas. Wewenang pemerintah daerah pun harusnya sangat terbatas, khususnya jika menyangkut atau berpengaruh pada kebijakan nasional. Di Indonesia belum ada etika dan pengaturan dalam hal ini.

Adalah suatu kewajaran bila ada tanggapan yang beragam dari pemerintah daerah terkait relasi dengan pihak-pihak asing. Ada yang lebih aktif daripada yang lain dan ada yang memberikan terjemahan sendiri pada peranan daerah dalam politik ekonomi global. Ini suatu kewajaran dari proses konsolidasi demokrasi dan otonomi daerah. Kita tak bisa mengharapkan keseragaman cara pandang. Yang perlu diatur adalah pagu-pagu keterlibatan daerah dalam sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini yang masih sumir di Indonesia.

Hubungan Internasional: MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN NASIONAL 401

Selain itu, di dalam Kementerian Luar Negeri sendiri juga ada tantangan. Sebelum 2002, struktur kepengurusan di Kementerian Luar Negeri berbasiskan sektor dan tercermin pada wewenang Direktorat Jenderal secara fungsional (bidang politik ekonomi dan sosial budaya) yang masing-masing dibantu oleh 6 Direktur. Implikasinya, dalam rapat kabinet, misalnya, akan selalu hadir Dirjen Hubungan Ekonomi Luar Negeri (HELN) untuk mendampingi Menteri Luar Negeri. Karena Dirjen HELN tadi senior dari segi eselon dan dibantu oleh para direktur yang sifatnya fungsional yang memberi laporan tentang kondisi dari berbagai kawasan dunia, maka sidang kabinet dapat berjalan lebih terarah.

Kondisi ini berubah sejak 2002 karena pengaturan tugas di Kementerian Luar Negeri saat ini adalah berdasarkan pendekatan regional. Dirjen dibagi tugas berdasarkan kawasan, misalnya, Amerika-Eropa, Asia Pasifik, dan Timur Tengah. Alhasil, tiap Dirjen harus punya staf sendiri untuk urusan ekonomi, politik, dan sosial budaya dan level para staf ini sangat rendah, yakni eselon 3 atau 4. Artinya, jumlah staf di Kementerian Luar Negeri membesar tetapi dalam rapat kabinet, Menteri Luar Negeri sulit mendapat informasi yang terintegrasi tentang isu-isu strategis, seperti pangan, energi, dan tenaga kerja karena masing-masing isu itu ada pada semua kedirjenan. Manakala diadakan rapat atau seminar soal isu, termasuk di luar negeri, perlu hadir banyak staf selevel eselon 3 atau 4 untuk melakukan briefing pada duta besar. Kemudian terkait uang dan pendanaan, diurus terpisah oleh kantor Sekretaris Jenderal (Sekjen) sehingga masing-masing

402 MENYONGSONG 2014-2019

Dirjen hanya bisa menunggu pembagian jatah anggaran dari Sekjen dan sulit mendesakkan target prioritas kegiatan, kecuali mereka mau saling debat antar kedirjenan. Ini hampir tak mungkin diinginkan dalam budaya kelembagaan Kementerian Luar Negeri. Jelas, pengaturan struktur kelem- bagaan seperti ini tidak efektif.

Model struktur seperti itu memang lazim. Tetapi sejumlah negara kini mulai melakukan pengaturan ulang. Misalnya di Australia, Kementerian Luar Negeri kini mengatur pula urusan perdagangan sehingga kementeriannya dinamai Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan. Model penggabungan tugas

2 kementerian ala Australia sempat dianut pula oleh Korea Selatan sejak 1998 tetapi diubah lagi seperti aslinya pada 2013. Di Bahrain, Kementerian Luar Negerinya disusun berdasarkan kawasan juga, tetapi jumlah kawasan yang diberi perhatian hanya dua dan dipadukan dengan isu, dan level eselonnya 2 (Assistant Undersecretary): Direktur Arabic Affairs, Afro-Asian and Organizations, Direktur GCC Affairs and Western States, Direktur Legal and Human Rights, Direktur Konsuler, Protokol dan proses, Direktur Sumber Daya Manusia, Keuangan dan Informasi. Artinya, dimungkinkan adanya penyesuaian di sana-sini terkait struktur kelembagaan Kementerian Luar Negeri supaya gerak pencapaian kepentingan nasional lebih lentur dan efektif.

Pengaturan kelembagaan ini sangat diperlukan karena pihak asing mengacu pada tata kelembagaan ketika melakukan diplomasi dengan Indonesia. Terkait perdagangan dan pembukaan

Hubungan Internasional: MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN NASIONAL 403 Hubungan Internasional: MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN NASIONAL 403

Lapisan-lapisan staf pembantu Presiden yang terkait hubungan luar negeri juga perlu menjadi perhatian. Saat ini, sejumlah staf terbaik di Kementerian Luar Negeri berstatus “dipinjamkan” ke kementerian lain, seperti ke kantor Wakil Presiden, ke Dewan Pertimbangan Presiden, ke kantor Setwapres, ke kantor Staf Khusus Presiden bidang Luar Negeri, kantor Staf Khusus Presiden bidang Lingkungan Hidup, dan masih banyak lagi. Posisi-posisi “titipan” ini menggiurkan bagi staf Kementerian Luar Negeri karena membantu menaikkan level eselon dan mendekatkan mereka pada lingkar dalam kekuasaan di RI.

Secara praktis, peminjaman staf ini menimbulkan masalah karena ditemukan sejumlah kecenderungan bahwa staf Kementerian Luar Negeri yang bekerja di kantor atau kementerian lain kemudian sering berbeda pandangan dengan Kementerian Luar Negeri. Artinya, alih-alih memperkuat sinergi, konsultasi dan koordinasi lintas kementerian dan lembaga, para staf ini justru memperlebar kesenjangan pandangan tentang langkah diplomasi

404 MENYONGSONG 2014-2019 404 MENYONGSONG 2014-2019

Di sisi lain, di tataran praktis di kementerian lain di luar Kementerian Luar Negeri, ditemukan, rata-rata pejabat di kementerian teknis seperti di Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kemen terian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Kementerian Informasi dan Komunikasi memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang kondisi lingungan strategis Indonesia pada suatu waktu. Meskipun mereka tahu ada prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif, pemahaman mereka terbatas pada upaya menjaga kedaulatan negara, dan kedaulatan pun cenderung dimaknai secara sempit, yakni pemenuhan kebutuhan jasmani masyarakat Indonesia. Secara umum, di luar lingkungan Kementerian Luar Negeri, orientasi perhatian para pejabat negara terbatas pada orientasi ke dalam negeri. Alangkah baiknya jika hal ini diubah sehingga kepekaan para pejabat negara lebih tinggi, baik terhadap kebutuhan pelaku kebijakan di dalam negeri maupun di luar negeri.

Perihal pengaturan pendanaan untuk kegiatan kemen te rian ternyata juga menjadi sumber kritik dari pelaku hubungan luar negeri. Khusus untuk kantor-kantor perwakilan di luar negeri, ruang dana yang tersedia untuk kegiatan tak terduga dinilai terlalu kecil sehingga jika ada kejadian luar biasa yang tiba-tiba terjadi seperti bencana alam, sengketa senjata, atau hukuman mati bagi TKI, ruang gerak kantor perwakilan tidak seluwes

Hubungan Internasional: MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN NASIONAL 405 Hubungan Internasional: MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN NASIONAL 405