Kebhinekaan dan konflik SARA

5. Kebhinekaan dan konflik SARA

Beberapa upaya dan strategi mengatasi ancaman dalam persoalan kebhinekaan, khususnya konflik SARA dan hubungan antaragama, dapat dilakukan sebagai berikut. Pertama, membumikan dan mensosialisasikan kearifan lokal yang tertuang dalam pandangan hidup, wasiat, dan praktik kebudayaan yang mengarah pada kehidupan harmonis kelompok masyarakat yang berbeda etnis dan agama. Hal ini juga akan mendorong semangat dan sikap hidup yang berfaham pluralisme dan multikulturalisme dalam menyikapi perbedaan sosial budaya di antara warga negara.

“Ani himor laling gabenai, iwiu mai gereja oho do pi rumai pifeteng. Fou mar himor e natei mesjid oho do pi rumai pifeteng.” “Kalau ada hujan lebat, tanah longsor dan banjir bandang, maka gereja yang akan menjadi benteng penghalangnya. Kalau ada badai dan

170 MENYONGSONG 2014-2019 170 MENYONGSONG 2014-2019

Kedua, mengedepankan pendekatan budaya daripada pertimbangan secara keagamaan dalam penyelesaian masalah yang dapat memicu konflik. Pandangan dan praktik budaya sebenarnya lebih kokoh dan dapat teraplikasikan kepada semua anggota kelompok masyarakat. Sementara agama, walaupun kokoh karena didasarkan pada prinsip transendensi, di mana kebahagiaan hidup surga pasca meninggalnya manusia menjadi janji Tuhan yang diperjuangkan, memiliki peluang kecil dalam penyesuaian dengan kelompok berbeda penganutnya. Orang Nusa Tenggara Timur mengibaratkannya, “agama (Islam dan Kristen) dibawa oleh air laut. Sementara tradisi dan budaya terlahir dari bumi dipijak.” Suatu pengibaratan bahwa aspek kebudayaan sebenarnya lebih kuat daripada agama, karena budaya terlahir dari wilayahnya secara lintas generasi, sedangkan agama hanyalah bentukan yang didapati orang di suatu wilayah dalam suatu bentuk yang sudah jadi. Pengibaratan seperti itu juga sama dengan kata-kata bahwa budaya terlahir dari ”perut bumi” dan agama terbawa dari ”arus laut”, sebagaimana dikenal orang Indonesia Timur lainnya.

Ketiga, mengedepankan tafsir keagamaan yang kontekstual dan kemaslahatan umat secara umum. Pengakuan kebenaran,

Sosial Budaya: MERAJUT KEINDONESIAAN KITA 171 Sosial Budaya: MERAJUT KEINDONESIAAN KITA 171

Kelima, mendorong aktualisasi konsepsi agama damai yang bisa menjadi penanding utama dari gerakan agama garis keras yang bisa memporakporandakan tatanan sosial. Hal ini menjadi penting, khususnya ketika konsepsi agama damai dihadapkan dengan agama di luar dirinya, maka ia pun bisa menjadi pencipta keharmonisan. Namun, prinsip dan praktik agama damai juga harus diimbangi pula dengan keinginan, prinsip, dan praktik kehidupan dari para penganut agama di luarnya; yang tentu akan membuahkan perdamaian yang baik dan indah bagi pergaulan hidup berbangsa dan bernegara. Di sinilah peran negara untuk mengatur agar konsep dan praktik keberagamaan berdiri di atas penghargaan terhadap pemeluk agama lain.

Keenam, memperkuat kembali dan mendorong praktik bersama yang mengedepankan dan berasaskan pada keadaban umum. Hal ini dilakukan untuk menciptakan ketertiban bersama dan kesejahteraan yang adil dan beradab bagi seluruh warga negara.

172 MENYONGSONG 2014-2019

Ketujuh, dialog kekaryaan lintas organisasi dengan dasar penghargaan hubungan antar-agama (interfaith logic) merupakan salah satu mekanisme buatan yang paling mungkin bisa dilakukan. Meskipun demikian, pelaksanaan dialog tersebut tidak boleh bersifat basa-basi atau sekadar proyek lintas agama saja. Sementara itu, pada tingkat komunitas, perlu keterlibatan tokoh agama, tokoh masyarakat, pemimpin atau pengurus peribadatan dan pihak lain yang berkepentingan terhadap aspek- aspek keagamaan.

Kedelapan, pengedepanan prinsip-prinsip interfaith logic dalam seluruh aspek kehidupaan masyarakat. Interfaith logic atau kerangka berpikir yang mendalam mengenai hubungan antar agama menjadi dasar kesepahaman itu, sementara di sisi yang lain satu mitologi tentang “keindonesiaan” atau kenusantaraan perlu juga dibangun bersama sebagai alat ikat dari berbagai kelompok etnik yang tersebar di Indonesia.