unit SD negeri yang terletak di Dusun Aras Napal Kanan. Untuk melanjutkan ke tingkat SMP dan SMA, Pantai Buaya merupakan satu-satunya lokasi terdekat.
Itupun bukan SMP dan SMA negeri, melainkan swasta. Jarak tempuh dan aksesibilitas ke Pantai Buaya ini banyak menjadi kendala. Beberapa kali telah
dibangun jembatan gantung, sehingga masyarakat bisa menggunakan sepeda motor menuju Pantai Buaya, namun ternyata sering terjadi banjir di Sungai
Besitang sehingga sering jembatan tersebut roboh atau hanyut, sehingga putuslah akses mereka satu-satunya ke dunia luar.
Besarnya tanggungan anggota keluarga, mungkin juga menjadi alasan kurangnya motivasi untuk melanjutkan pendidikan, karena tentu saja
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Perlu diajarkan tentang bagaimana merencanakan keluarga dengan membatasi dan merencanakan jumlah kelahiran,
sehingga nantinya memungkinkan bagi para orang tua untuk mempunyai kesempatan dan biaya menyekolahkan anak-anaknya ke luar daerah, misalnya di
Pangkalan Brandan, Stabat ataupun Medan.
4.4.3.2 Kondisi Ekonomi
Sebagian besar masyarakat Dusun Aras Napal Kanan dan Aras Napal Kiri mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Namun tak semua mempunyai
lahan. Biasanya mereka menyewa lahan untuk menanam padi atau menyewa lahan di bawah tegakan sawit untuk menanam jagung. Pembangunan kebun sawit
memang menjadi pemandangan umum di wilayah ini. Sepanjang perjalanan menggunakan perahu mesin dari Pantai Buaya ke lokasi penelitian, terdapat kebun
sawit di kanan kiri sungai. Dahulu sekitar tahun 1980-an, daerah ini pernah terkenal sebagai penghasil jeruk yang cukup diperhitungkan di Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
Namun adanya hama dan penyakit menyebabkan kebun-kebun jeruk yang ada musnah.
Rendahnya aksesibilitas juga menyebabkan masyarakat kesulitan untuk memasarkan hasil pertaniannya. Biasanya para tengkulak datang dan
menawarmembeli dengan harga yang murah. Kalaupun masyarakat mengangkut hasil pertaniannya, biasanya hanya sampai ke Pantai Buaya saja, yang dapat
ditempuh ± 45 menit menggunakan perahu motor. Rekapitulasi kondisi ekonomi
responden selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.13, 4.14, dan 4.15. Tabel 4.13. Mata pencaharian responden
No. Mata Pencaharian
Jumlah orang Persentase
1. Buruh
2 8
2. Bertani
22 92
Total 24
100
Tabel 4.14. Kepemilikan lahan responden
No. Kepemilikan lahan ha
Jumlah orang Persentase
1. Sewa
11 46
2. 0 – 1
8 33
3. 2 – 5
4 17
4. 5
1 4
Total 24
100
Tabel 4.15. Penghasilan responden per bulan
No. Penghasilanbulan Rp
Jumlah orang Persentase
1. 1.000.000
12 50
2. 1.000.000 – 2.000.000
11 46
3. 2.000.000
1 4
Total 24
100 Terlihat bahwa responden sebagian besar mempunyai penghasilan di
bawah Rp 1.000.000bulan dan sebagian besar tidak mempunyai lahan sendiri. Bila dikaitkan dengan jumlah tanggungan anggota keluarga yang 5 – 6 orangKK,
jika dengan penghasilan ini kurang memadai untuk hidup layak, sehingga cukup logis apabila mereka mengesampingkan pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
4.4.3.3 Persepsi dan Pemahaman terhadap Daun Sang
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di kedua dusun ini, sebagian besar masyarakat sudah tidak menggunakan Daun Sang lagi untuk keperluan
pembuatan rumah ataupun pondok. Hanya ditemukan 3 orang yang masih menggunakan Daun Sang, yaitu sebagai atap rumah, atap warung serta dinding
dan atap rumah. Alasan mereka tidak lagi menggunakan Daun Sang adalah karena
sekarang lebih sulit diperoleh, dalam artian, mereka harus berjalan lebih jauh ke dalam TNGL, untuk dapat menemukan Daun Sang. Sebagian besar masyarakat
lebih memilih seng sebagai pengganti Daun Sang, karena jauh lebih awet. Masyarakat yang masih menggunakan Daun Sang, biasanya mereka yang baru
saja menikah dan belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk membangun rumah yang permanen, serta mereka yang kondisi perekonomiannya
kurang mampu. Biasanya mereka mengambil Daun Sang secara gotong royong dengan
sistem ganti tenaga. Tapi kadang ada juga cara pengambilan Daun Sang dengan sistem borongan, sebesar Rp 50.000oranghari. Sekali angkut, mereka mampu
membawa Sang Gajah +- 90 helai atau Sang Minyak +- 120 helai. Sang minyak lebih tipis, namun lebih awet daunnya. Apabila menyusunnya baik dan benar,
bisa tahan sampai dengan 5 tahun. Untuk membuat atap rumah dengan ukuran 5 x 6 m, diperlukan sebanyak 1000 sd 1500 helai Daun Sang.
Sebagian besar masyarakat tidak tahu bahwa Daun Sang termasuk flora khas di TNGL Resort Sei Betung dan dilindungi oleh pemerintah. Namun,
mereka cukup mempunyai kesadaran agar keberadaan Daun Sang tetap terjaga,
Universitas Sumatera Utara
dengan cara meninggalkan 3-4 helai daun per individu, agar nanti terjadi regenerasi daun kembali. Mereka juga memanen Daun Sang yang sudah cukup
tua, ditandai dengan adanya noda keputih-putihan seperti panu di atas daunnya. Belum banyak hanya satu orang yang mencoba membudidayakan Daun
Sang, tingkat keberhasilannya tergolong rendah. Biasanya dengan mengambil anakan yang mempunyai 3-4 daun, kemudian disapih dalam polibag dan
diletakkan pada areal yang teduh. Harganya cukup mahal, sekitar tahun 1990an, satu anakan yang sudah hidup dan sehat dihargai Rp 350.000. Masyarakat juga
berpendapat, bahwa Daun Sang tidak akan punah, kuncinya adalah dengan menjaga kelestarian hutan.
4.4.3.4 Analisis interaksi sosial ekonomi dengan Daun Sang