Aspek sosial ekonomi dan budaya

Jenis satwa Avesburung, diperkirakan ada sekitar 325 jenis burung di Taman Nasional Gunung Leuser atau 1 30 Diperkirakan ada sekitar 89 jenis satwa yang tergolong langka dan dilindungi ada di hutan Taman Nasional Gunung Leuser di samping jenis satwa lainnya. Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di taman nasional ini antara lain: MawasOrang Utan Pongo pygmaeus abelii, Badak Sumatera Dicerorhinus sumatrensis, Harimau loreng Sumatera Panthera tigris sumatrae, Gajah Sumatera Elephas maximus sumatranus, Beruang Madu Helarctos malayanus, Burung Rangkong Papan Buceros bicornis, Anjing Ajag Cuon Alpinus, Siamang Hylobates syndactylus syndactylus, Kambing hutan Capricornis sumatraensis, Rusa Sambar Cervus unicolor, dan Kucing Hutan Prionailurus bengalensis sumatrana TFCA Sumatera, 2010; Dirjen PHKA, tanpa tahun. dari jumlah jenis burung yang ada di dunia. Diantaranya yang paling menonjol adalah Rangkong Badak Buceros rhinoceros. Jenis fauna Reptilia dan Amphibia didominasi oleh jenis fauna ular berbisa dan Buaya Crocodillus sp. Untuk fauna jenis Pisces yang menarik adalah Ikan Jurung Tor sp, yang merupakan ikan khas Sungai Alas dan dagingnya terkenal akan kelezatannya serta bisa mencapai panjang 1 meter. Sedangkan jenis fauna invertebrata, didominasi oleh Kupu-kupu TFCA Sumatera, 2010; Dirjen PHKA, tanpa tahun.

2.6.2 Aspek sosial ekonomi dan budaya

Keberadaan masyarakat di sekitar TNGL, tak jarang menimbulkan konflik tersendiri dan merupakan ancaman yang serius bagi kelestarian TNGL. Pengertian konflik conflict adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau Universitas Sumatera Utara lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya Faisal dan Siti Maskanah, 2000. Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Alasannya sederhana, karena terlalu banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing- masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Pada masa lalu, konflik kehutanan seringkali ditutup-tutupi karena berbagai alasan; dan apabila terjadi konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan pihak yang lemah tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, Era Reformasi telah merubah keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah berani melawan yang kuat dengan berbagai cara, dari mulai tuntutan biasa, protes, demonstrasi, sampai benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai mengakui bahwa konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera ditanggulangi dalam pengelolaan hutan Wulan et al, 2004. Ancaman nyata bagi keanekaragaman hayati di kawasan ekosistem leuser KEL adalah konversi lahan untuk tujuan pertanian dan perkebunan milik Negara, korporasiperusahaan dan milik masyarakat, penggalian batu kapur dan penambangan skala kecil seperti emas, IDPs pengungsi internal – mencapai ribuan keluarga, pertumbuhan enklave, illegal logging, perambahan, sawmill illegal, usaha perabotmeubel, kilang kayu, pembukaan jalan pembangunan jaringan jalan “Ladia Galaska”, panglong kayu, perburuan satwa dan penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit, sengatan listrik, potassium dan racun berbahaya lainnya. Ancaman lain yang juga terjadi adalah pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit seperti yang terjadi di Aceh Tamiang, Aceh Universitas Sumatera Utara Selatan Rawa Kluet dan Rawa Singkil Kabupaten Rawa Singkil TFCA Sumatera, 2010. Pembalakan liar di Taman Nasional Gunung Leuser kawasan Besitang, Kabupaten Langkat diperhitungkan mencapai Rp 3,6 triliun. Kerugian tersebut dihitung dari luas kerusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser di kawasan Besitang yang mencapai lebih dari 21.000 hektar. Hutan yang rusak ini didominasi oleh jenis meranti. Tenaga kerja untuk illegal logging ini antara lain pengungsi asal Aceh yang masih menetap di dalam kawasan TNGL. Saat ini masih terdapat sekitar 700 kepala keluarga pengungsi asal Aceh yang menetap di TNGL kawasan Besitang TFCA Sumatera, 2010. Beberapa indikasi yang menunjukkan adanya ancaman kerusakan ekosistem Leuser antara lain TFCA Sumatera, 2010: - Jumlah penduduk umumnya berada dalam batas ambang yang berarti sebagian besar penduduk yang bergantung kepada lahan budidaya pertanian, dihadapkan pada daya dukung lahan yang semakin rendah, sementara tekanan akibat pertambahan penduduk absolut semakin meningkat - Isu pembangunan perkebunan dan pertanian mempengaruhi motivasi sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem Leuser, terutama di Kabupaten Aceh Selatan dan Langkat untuk mengembangkan lahan usaha budidaya tanaman perkebunan kelapa sawit, karet dan kakao yang membutuhkan areal relatif luas. Dalam hal ini, konflik antara kepentingan pengembangan lahan budidaya dengan aspek pelestarian sumberdaya alam ekosistem Leuser semakin dirasakan. Universitas Sumatera Utara Upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor non-pertanian di kecamatan-kecamatan di kawasan penyangga ekosistem Leuser tampaknya terbatas, bahkan dalam kebijaksanaan pembangunan Provinsi NAD, dua kabupaten dimana ekosistem Leuser berada yaitu Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Tenggara diarahkan kepada wilayah pembangunan dan pengembangan pertanian-perkebunan TFCA Sumatera, 2010. Terdapat sedikitnya 31 wilayah kecamatan di empat kabupaten yang merupakan daerah penyangga ekosistem leuseur. Penggunaan lahan di kawasan penyangga ekosistem Leuser ini umumnya terdiri dari pemukiman, perkebunan rakyat, sawah, pertanaman campuran dan hutan lindung TFCA Sumatera, 2010. Terlepas dari keanekaragaman hayatinya yang kaya, Ekosistem Leuser menyediakan fungsi pendukung kehidupan untuk pengembangan yang bisa mendukung kira-kira empat juta orang-orang yang hidup di sekitarnya. Beberapa contoh dari fungsi ini adalah: persediaan air bersih yang rutin, pengendali banjir dan erosi, perlindungan plasma nutfah, pengaturan iklim lokal, penjerap karbon, perikanan air tawar dan kecantikan alami untuk mendukung pariwisata TFCA Sumatera, 2010.

2.7 Sistem Informasi Geografis SIG