Model Konservasi Daun Sang (Johannesteijsmannia Altifrons (Rchb.F. & Zoll.) H. E. Moore) Di Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser

(1)

MODEL KONSERVASI DAUN SANG

(Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. & Zoll.) H. E. Moore)

DI RESORT SEI BETUNG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

DISERTASI

Oleh:

KANSIH SRI HARTINI

NIM : 098106002

Program Doktor (S3)

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

MODEL KONSERVASI DAUN SANG

(Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. & Zoll.) H. E. Moore)

DI RESORT SEI BETUNG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada

Sekolah PascasarjanaUniversitas Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) untuk dipertahankan di hadapan Sidang Terbuka Senat

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

KANSIH SRI HARTINI

NIM : 098106002

Program Doktor (S3)

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Disertasi : MODEL KONSERVASI DAUN SANG (Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f & Zoll) H. E. Moore) DI RESORT SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

Nama Mahasiswa : Kansih Sri Hartini

Nomor Induk : 098106002

Program Studi : Doktor (S3) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Promotor

(Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS.)

Co-Promotor

(Prof. Dr. Herman Mawengkang, M. Sc.)

Co-Promotor

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS.)

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi) Tanggal: 04 Pebruari 2013

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Pemimpin Sidang:

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) (Rektor USU)

Ketua : Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. IPB Bogor Anggota : Prof. Dr. Herman Mawengkang, M. Sc.

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS. Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. Dr. Delvian, SP, MP

Dr. Ir. Hotmauli Sianturi, M. Sc.

USU Medan USU Medan USU Medan USU Medan


(5)

PERNYATAAN

Judul Disertasi

“MODEL KONSERVASI DAUN SANG

(Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. & Zoll.) H. E. Moore) DI RESORT SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Pebruari 2013 Penulis,


(6)

MODEL KONSERVASI DAUN SANG

(Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. & Zoll.) H. E. Moore) DI RESORT SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

ABSTRAK

Daun Sang (Johannesteijsmannia altifrons) merupakan flora asli dan dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 Tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, juga termasuk kategori Red Data Book sebagai jenis yang terancam punah menurut IUCN. Sebarannya terbatas dan belum banyak data dan penelitian tentang populasi, demografi, habitat dan sebaran Daun Sang yang telah dilakukan, padahal informasi tersebut sangat penting untuk mendukung upaya pelestarian. Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun model konservasi Daun Sang berdasarkan kesesuaian habitatnya, meliputi : data demografinya, komponen-komponen lingkungan biologi, fisik dan sosial ekonomi di Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan menggunakan aplikasi GIS dan statistika. Survei lapang dilakukan untuk memperoleh data habitat dan demografi Daun Sang serta interaksi masyarakat sekitar terhadap Daun Sang. Data diolah menggunakan analisis statistika dan spasial. Model Konservasi Daun Sang yang dibangun adalah model dinamis yang menghubungkan parameter-parameter komponen fisik, biologi dan sosial. Populasi Daun Sang cenderung mengalami penurunan. Kesejahteraan masyarakat sekitar Resort Sei Betung masih rendah dan mengupayakan peningkatan taraf hidupnya dengan menanam kelapa sawit, hal tersebut dapat mengganggu habitat Daun Sang. Kondisi tanah di Resort Sei Betung tergolong marginal, sehingga pembukaan lahan akan berakibat pada rusaknya habitat Daun Sang


(7)

CONSERVATION MODELLING OF DAUN SANG (Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. & Zoll.) H. E. Moore) AT RESORT SEI BETUNG, GUNUNG LEUSER NATIONAL PARK

ABSTRACT

Daun Sang (Johannesteijsmannia altifrons) is a native flora and protected under Indonesian Government Regulation No. 7 of 1999 dated January 27, 1999 on the preservation of plants and animals and also categorized as Red Data Book as an endangered species according to the IUCN. This species has limited spreading, lack of data and research on population, demographics, habitat and distribution which are essential to support conservation efforts. The main objective of this study is to develop a conservation model of Daun Sang based on habitat suitability, including: demographic data, environmental components (biological, physical and socio-economic) at Resort Sei Betung, Gunung Leuser National Park using GIS and statistical applications. Field survey is conducted to obtain data on habitat Daun Sang, its demographic and also the interaction between community and Daun Sang. The data are processed using statistical and spatial analysis. Conservation modelling built for Daun Sang is a dynamic model that connects the component parameters of physical, biological and social. The population of Daun Sang tends to decrease.

Keywords: Daun Sang, demography, habitat suitability, conservation

Community prosperity of people surrounding Resort Sei Betung still low and they try to improving their life by planting oil palm, that can disrupt the habitat of Daun Sang. Soil conditions at Resort Sei Betung relatively marginal, thus land clearing will result the destruction of Daun Sang's habitat.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas selesainya disertasi ini. Penelitian sebagai dasar penulisan disertasi dilaksanakan di Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat. Subyek penelitian adalah Daun Sang (Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. & Zoll.) H. E. Moore) yang termasuk palma langka dan rentan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah mendukung, mendorong, memberi semangat dan membantu selama penulis melakukan proses penyusunan disertasi ini. Berbagai pihak tersebut antara lain:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., MSc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, selaku Ketua PS Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara dan co-promotor

4. Dr. Delvian, SP, MP, selaku Sekretaris Program Doktor PS Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan penguji

5. Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, MS, selaku Promotor 6. Prof. Dr. Herman Mawengkang, selaku co-promotor

7. Dr. Nursahara Pasaribu, MSc., dan Dr. Ir. Hormauli Sianturi, MSc. selaku tim penguji

8. Seluruh staf pengajar Program S3 PSL-USU

9. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (Drs Andi Basrul, Drs Ahmad Sofyan,MSi, Ahtu Trihangga, S. Hut, Ir. Hari, dan Nur Hanifah, SP, serta staf lapangan di Resort Sei Betung)

10.Yayasan Leuser Internasional (Pak Burhanuddin, Pak Faisal, Mbak Nining, Bapak dan Ibu Rusman, Pak Bahagia, Mas Andi dan seluruh staf di camp UPG Aras Napal)

11.BMKG Sampali (Bapak Ayi Sudrajat, M Si)

12.Pak Sugianto, Supriadi Amry, Nalom, yang telah banyak membantu selama penelitian di lapangan

13.Harry Kurniawan, S. Hut, Rio Ardi, S. Hut, Salma Yuniati, S. Hut, Siti Harianti Manurung, S. Hut.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan di Indonesia. Aamiin.

Medan, 26 Januari 2013 Kansih Sri Hartini


(9)

RIWAYAT HIDUP

KANSIH SRI HARTINI, dilahirkan di Planggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pada tanggal 18 Agustus 1972, sebagai putri pertama dari empat bersaudara. Ayah bernama (Alm.) Sudjarwo, S. Pd. dan ibu Widati, A. Md. Menikah pada tahun 1997 dengan M. Ichsan Pandia, S. Hut. dan dikarunia satu putri, Tristania ‘Ainiyah Pandia.

Pendidikan formal diawali dengan memasuki TK Pertiwi Planggu I, tamat tahun 1978, kemudian penulis mulai terdaftar di SD Negeri Planggu I dan lulus tahun 1984. Selepas itu, melanjutkan ke SMP Negeri 1 Cawas, tamat tahun 1987 dan seterusnya berhasil menamatkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Klaten pada tahun 1990. Melalui UMPTN, penulis berhasil diterima di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan mengambil konsentrasi pada jurusan budidaya hutan. Pada tahun 1995, berhasil meraih gelar sarjana dengan penghargaan ‘Lulus Cepat Umur Termuda’. Pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Kehutanan, Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, dan lulus pada tahun 2003 dengan penghargaan ‘Cum Laude dan Terbaik’

Riwayat pekerjaan dimulai awal tahun 1996, bergabung di HTI-Pulp PT Finnantara Intiga di Kalimantan Barat, sebagai supervisor persemaian, dan telah mengikuti pelatihan yang diadakan oleh PT Tri Tunggal Konsultan yang bekerja sama dengan Departemen Kehutanan dan EnsoDevelopment Oy Ltd. Selanjutnya menempati posisi sebagai supervisor perencanaan, yang bertanggung jawab tentang pelaporan kemajuan perusahaan, pengawasan kinerja kontraktor serta pemetaan. Mulai akhir tahun 2003 bergabung sebagai staf pengajar honorer di Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Utara sampai dengan saat ini. Selain itu juga sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Tri Karya Medan mulai tahun 2005, dan sebagai Ketua Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Tri Karya mulai tahun 2007.

Pada tahun 2009, penulis menerima beasiswa BPPS dari Dirjen Dikti untuk melanjutkan pendidikan. Penulis memilih Program Doktor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Kerangka Pemikiran... 4

1.4. Tujuan... 5

1.5. Manfaat Penelitian... 6

1.6. Novelty Penelitian... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1. Keanekaragaman Hayati... 8

2.2. Ancaman Keanekaragaman Hayati... 9

2.3. Definisi Endemik, Langka dan Terancam Punah... 12

2.4. Konservasi... 13

2.5. Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. & Zoll.) H. E. Moore... 18

2.5.1. Tata Nama... 18

2.5.2. Deskripsi dan Karakteristik... 19

2.5.3. Persyaratan Tempat Tumbuh Tumbuh... 20

2.5.4. Kegunaan... 21

2.5.5. Status Konservasi... 21

2.6. Taman Nasional Gunung Leuser... 22

2.6.1. Status dan Potensi... 22

2.6.2. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya... 25

2.7. Sistem Informasi Geografis... 28

2.8. Pemodelan Kesesuaian Habitat Berbasis SIG dan Statistika... 29

BAB III METODE PENELITIAN... 35

3.1. Tempat dan Waktu... 35

3.2. Obyek Penelitian... 35

3.3. Bahan dan Alat... 35

3.4. Pelaksanaan Penelitian... 36

3.4.1. Batasan Penelitian... 36

3.4.2. Survei Lapangan... 36

3.4.3. Analisis Laboratorium... 38


(11)

3.5.1. Analisis Deskriptif... 38

3.5.2. Sebaran dan Populasi Daun Sang... 39

3.5.2.1. Analisis Tingkat Permudaan Daun Sang... 39 3.5.2.2. Indeks Penyebaran Morisita untuk Daun Sang... 39 3.5.3. Komponen Biologi... 40

3.5.4. Komponen Fisik... 44

3.5.4.1. Analisis Hubungan Antara Tingkat Hidup Daun Sang dengan Tinggi Tempat, Kelerengan dan Intensitas Cahaya... 44

3.5.4.2. Analisis Tanah... 44

3.5.4.3. Analisis Hubungan Antara Faktor Fisik (Ketinggian Tempat, Kelerengan Tempat, Karakteristik Tanah, Suhu dan Kelembaban) dengan Jumlah Daun Sang... 45

3.5.5. Komponen Sosial Ekonomi ... 45

3.5.6. Analisis Spasial... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 47

4.1. Sebaran dan Populasi Johannesteijsmannia altifrons 47 4.1.1. Jumlah dan Tingkat Hidup Daun Sang... 48

4.1.2. Pola Penyebaran Daun Sang... 55

4.2. Kondisi Lingkungan Fisik... 56

4.2.1. Ketinggian... 57

4.2.2. Kelerengan... 58

4.2.3. Karakteristik Tanah... 60

4.2.4. Iklim (Suhu, Kelembaban dan Intensitas Cahaya)... 61

4.2.5. Analisis Hubungan Antara Faktor Fisik dan Daun Sang... 64

4.2.5.1. Hubungan Antara Ketinggian Tempat, Kelerengan Tempat dan Intensitas Cahaya Terhadap Tingkat Hidup Daun Sang... 64

4.2.5.2. Hubungan Antara Faktor Fisik (Ketinggian Tempat, Kelerengan Tempat, Karakteristik Tanah, Suhu dan Kelembaban) dengan Jumlah Daun Sang dalam Plot... 65

4.3. Kondisi Lingkungan Biologi... 65

4.3.1. Tutupan Lahan... 66

4.3.2. Analisis Vegetasi... 66

4.3.2.1. Indeks Nilai Penting... 66 4.3.2.2. Indeks Shannon Wienner, Indeks


(12)

Jenis... 68

4.3.2.3. Diagram Profil... 70

4.3.2.4. Assosiasi dengan Vegetasi Lain... 74

4.4. Kondisi Lingkungan Sosial... 76

4.4.1. Jarak dari Perkampungan... 76

4.4.2. Jarak dari Sungai... 77

4.4.3. Karakteristik Masyarakat Sekitar... 77

4.4.3.1. Kondisi Sosial Budaya... 78

4.4.3.2. Kondisi Ekonomi... 80

4.4.3.3. Persepsi dan Pemahaman Terhadap Daun Sang... 82

4.4.3.4. Analisis Interaksi Sosial Ekonomi Budaya dengan Daun Sang... 83

4.5. Pemodelan Kesesuaian Habitat Daun Sang... 84

4.5.1. Penyusunan Kelas-kelas Kesesuaian... 85

4.5.1.1. Kelas Kesesuaian Tutupan Lahan... 85

4.5.1.2. Kelas Kesesuaian Kelerengan... 86

4.5.1.3. Kelas Kesesuaian Ketinggian... 87

4.5.1.4. Kelas Kesesuaian Jenis Tanah... 88

4.5.1.5. Kelas Kesesuaian Iklim... 89

4.5.1.6. Kelas Kesesuaian Jarak dari Perkampungan... 90

4.5.1.7. Kelas Kesesuaian Jarak dari Sungai.... 91

4.5.2. Hasil Pemodelan Kesesuaian Habitat Daun Sang... 92

4.5.3. Validasi Model... 94

4.6. Model Konservasi Daun Sang 4.7. Strategi Konservasi Berdasarkan Pemodelan Daun Sang... 95 100 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 109

5.1. Kesimpulan... 109

5.2. Saran... 109

DAFTAR PUSTAKA... 110


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Perbandingan kekayaan biotis dan endemisme di seluruh

Indonesia ... 10

2.2. Fungsi, jumlah dan luas kawasan konservasi di Indonesia... 17

3. 1. Contoh kehadiran (1) dan ketidakhadiran (0) dari S spesies(i=1,2,3,...,S) pada N petak contoh (j=1,2,3,...,N)... 43

4.1. Klasifikasi tingkat hidup Daun Sang berdasarkan jumlah daun, ukuran daun, tinggi dan diameter tajuk... 48

4.2. Nilai indeks Morisita dan pola penyebaran Daun Sang pada berbagai tingkat hidup... 56

4.3. Keberadaan Daun Sang berdasarkan tingkat hidup dan ketinggian tempat... 57

4.4. Keberadaan Daun Sang berdasarkan tingkat hidup dan kelerengan... 59

4.5. Karakteristik fisik dan kimia tanah tempat tumbuh Daun Sang... 60

4.6. Intensitas cahaya pada berbagai tingkat hidup Daun Sang... 62

4.7. Nilai Indeks Shannon Wienner, Indeks kemerataan jenis dan Indeks kekayaan jenis untuk tingkat hidup semai, pancang, tiang dan pohon... 69

4.8. Nilai VR dan W pada berbagai tingkat hidup... 75

4.9. Sebaran umur responden Dusun Aras Napal Kanan dan Aras Napal Kiri... 78

4.10. Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan responden... 79

4.11. Tingkat pendidikan responden... 79

4.12. Lama bermukim responden... 79


(14)

4.14. Kepemilikan lahan responden... 81

4.15. Penghasilan responden per bulan... 81

4.16. Kelas kesesuaian tutupan lahan... 85

4.17. Kelas kesesuaian kelerengan... 86

4.18. Kelas kesesuaian ketinggian... 87

4.19. Kelas kesesuaian jenis tanah... 88

4.20. Kelas kesesuaian iklim... 89

4.21. Kelas kesesuaian jarak dari perkampungan... 90

4.22. Kelas kesesuaian jarak dari sungai... 91

4.23. Penentuan klasifikasi kesesuaian habitat Daun Sang... 95


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1.1. Kerangka pemikiran pemodelan kesesuaian habitat Daun

Sang... 5

2.1. Sebaran 25 hotspot dunia, memiliki luasan 30±3% dari area merah... 10

2.2. Model konseptual pengaruh lingkungan pada suatu niche... 31

2.3. Diagram komponen pemodelan kesesuaian habitat... 32

4.1. Daun Sang pada tingkat hidup semai... 52

4.2. Daun Sang pada tingkat hidup juvenil... 53

4.3. Daun Sang pada tingkat hidup dewasa... 53

4.4. Tingkat hidup Daun Sang... 54

4.5. Celah tajuk di atas Daun Sang... 63

4.6. Johannesteijsmannia altifrons di Kebun Raya Bogor... 63

4.7. Diagram profil vertikal dan horisontal pada plot 1... 71

4.8. Diagram profil vertikal dan horisontal pada plot 9... 72

4.9. Diagram profil vertikal dan horisontal pada plot 27... 73

4.10. Peta kesesuaian tutupan lahan Resort Sei Betung TNGL... 86

4.11. Peta kesesuaian kelerengan Resort Sei Betung TNGL... 87

4.12. Peta kesesuaian ketinggian Resort Sei Betung TNGL... 88

4.13. Peta kesesuaian jenis tanah Resort Sei Betung TNGL... 89

4.14. Peta kesesuaian iklim Resort Sei Betung TNGL... 90

4.15. Peta kesesuaian jarak dari perkampungan... 91

4.16. Peta kesesuaian jarak dari sungai... 92


(16)

4.18. Diagram model konservasi Daun Sang... 96 4.19. Simulasi peningkatan jumlah populasi Daun Sang dengan

tingkat pertumbuhan semai 5%/tahun... 96 4.20. Simulasi peningkatan jumlah populasi Daun Sang dengan

tingkat pertumbuhan semai 10%/tahun... 97 4.21. Simulasi perubahan tingkat pertumbuhan terhadap jumlah

populasi Daun Sang... 97 4.22. Simulasi perubahan jumlah populasi Daun Sang pada

perubahan tingkat regenerasi dengan tingkat kematian

5%/tahun... 98 4.23. Simulasi perubahan jumlah populasi Daun Sang pada

perubahan tingkat regenerasi dengan tingkat kematian

10%/tahun... 98 4.24. Simulasi perubahan jumlah populasi Daun Sang pada tingkat

regenerasi 5%/tahun dengan tingkat kematian 5%/tahun... 99 4.25. Simulasi perubahan jumlah populasi Daun Sang pada tingkat

regenerasi 5%/tahun dengan tingkat kematian 10%/tahun... 99 4.26. Simulasi perubahan jumlah populasi Daun Sang pada tingkat


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Tata waktu penelitian dan penyusunan disertasi... 117

2. Klasifikasi tingkat hidup Daun Sang... 118

3. Kriteria penentuan tingkat hidup Daun Sang... 121

4. Data analisis tanah... 122

5. Hasil pengolahan data analisis vegetasi pada tingkat semai... 123

6. Hasil pengolahan data analisis vegetasi pada tingkat pancang.. 125

7. Hasil pengolahan data analisis vegetasi pada tingkat tiang... 128

8. Hasil pengolahan data analisis vegetasi pada tingkat pohon... 130

9. Indeks Jaccard pada asosiasi Daun Sang dengan semai vegetasi lain... 132

10. Indeks Jaccard pada asosiasi Daun Sang dengan semai vegetasi lain... 134


(18)

MODEL KONSERVASI DAUN SANG

(Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. & Zoll.) H. E. Moore) DI RESORT SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

ABSTRAK

Daun Sang (Johannesteijsmannia altifrons) merupakan flora asli dan dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 Tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, juga termasuk kategori Red Data Book sebagai jenis yang terancam punah menurut IUCN. Sebarannya terbatas dan belum banyak data dan penelitian tentang populasi, demografi, habitat dan sebaran Daun Sang yang telah dilakukan, padahal informasi tersebut sangat penting untuk mendukung upaya pelestarian. Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun model konservasi Daun Sang berdasarkan kesesuaian habitatnya, meliputi : data demografinya, komponen-komponen lingkungan biologi, fisik dan sosial ekonomi di Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan menggunakan aplikasi GIS dan statistika. Survei lapang dilakukan untuk memperoleh data habitat dan demografi Daun Sang serta interaksi masyarakat sekitar terhadap Daun Sang. Data diolah menggunakan analisis statistika dan spasial. Model Konservasi Daun Sang yang dibangun adalah model dinamis yang menghubungkan parameter-parameter komponen fisik, biologi dan sosial. Populasi Daun Sang cenderung mengalami penurunan. Kesejahteraan masyarakat sekitar Resort Sei Betung masih rendah dan mengupayakan peningkatan taraf hidupnya dengan menanam kelapa sawit, hal tersebut dapat mengganggu habitat Daun Sang. Kondisi tanah di Resort Sei Betung tergolong marginal, sehingga pembukaan lahan akan berakibat pada rusaknya habitat Daun Sang


(19)

CONSERVATION MODELLING OF DAUN SANG (Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. & Zoll.) H. E. Moore) AT RESORT SEI BETUNG, GUNUNG LEUSER NATIONAL PARK

ABSTRACT

Daun Sang (Johannesteijsmannia altifrons) is a native flora and protected under Indonesian Government Regulation No. 7 of 1999 dated January 27, 1999 on the preservation of plants and animals and also categorized as Red Data Book as an endangered species according to the IUCN. This species has limited spreading, lack of data and research on population, demographics, habitat and distribution which are essential to support conservation efforts. The main objective of this study is to develop a conservation model of Daun Sang based on habitat suitability, including: demographic data, environmental components (biological, physical and socio-economic) at Resort Sei Betung, Gunung Leuser National Park using GIS and statistical applications. Field survey is conducted to obtain data on habitat Daun Sang, its demographic and also the interaction between community and Daun Sang. The data are processed using statistical and spatial analysis. Conservation modelling built for Daun Sang is a dynamic model that connects the component parameters of physical, biological and social. The population of Daun Sang tends to decrease.

Keywords: Daun Sang, demography, habitat suitability, conservation

Community prosperity of people surrounding Resort Sei Betung still low and they try to improving their life by planting oil palm, that can disrupt the habitat of Daun Sang. Soil conditions at Resort Sei Betung relatively marginal, thus land clearing will result the destruction of Daun Sang's habitat.


(20)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu lingkup pengelolaan lingkungan hidup adalah keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati merupakan suatu fenomena alam mengenai keberagaman makhluk hidup, dan komplek ekologi yang menjadi tempat hidup bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu mencakup interaksi antara berbagai bentuk kehidupan dengan lingkungannya, yang membuat bumi ini menjadi tempat yang layak huni dan mampu menyediakan jumlah besar barang dan jasa bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia (Perhimpunan Biologi Indonesia, 2007).

Daun Sang (Johannesteijsmannia altifrons) merupakan salah satu

kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia. Termasuk flora asli dan dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 Tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Selain itu, Daun Sang juga termasuk kategori Red Data Book sebagai jenis yang terancam punah

menurut IUCN (Lucas dan Synge, 1978; Walter dan Gillet, 1998; WCMC, 1990). Penyebaran Daun Sang meliputi Thailand Selatan, Malaysia Barat, Sumatera dan Borneo Bagian Barat (Moore Jr, 1961; Witono, 1998; Dransfield et

al., 2008). Di Indonesia, sebarannya ada di Sumatera, dan hanya terdapat di

kawasan hutan Sekundur yang termasuk dalam Resort Sei Betung (Taman Nasional Gunung Leuser) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Mogea et al.,

2001; Qomar et al., 2006). Genus Johannesteijsmannia sendiri terdiri dari 4


(21)

perakensis, dan J. magnifica yang sebarannya endemik di Malaysia Barat

(Witono, 1998; Dransfield et al., 2008).

Informasi dan data tentang Daun Sang masih sangat sedikit jumlahnya. Malaysia sudah melakukan beberapa penelitian dan melakukan konservasi ex situ,

khususnya untuk J. altifrons dan J. lanceolata (Lee et al., 2003; Rozainah dan

Sinniah, 2005; Rozainah, 2007; Saw dan Chua, 2009; Chan, 2009; Chan et al.,

2010). Berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh peneliti, di Indonesia

belum banyak data dan penelitian tentang populasi, demografi, habitat dan sebaran Daun Sang yang telah dilakukan, padahal informasi dan data yang akurat tentang perkembangan populasinya sangat penting untuk mendukung upaya pelestarian.

Pemantauan populasi Daun Sang mendesak untuk dilakukan, karena dikhawatirkan populasinya akan terus mengalami penurunan. Penelitian lapangan di Belum Forest, Perak (Malaysia) selama periode 10 tahun mendukung kekhawatiran tersebut (Lim dan Whitmore, 2000 dalam Asean Biodiversity,

2003). Penelitian tersebut melaporkan bahwa populasi J. altifrons di alam

mengalami penurunan sampai kurang lebih tinggal seperempat dari populasi awal. Di Indonesia sendiri, belum ada pemantauan secara periodik seperti itu, bahkan letak populasi Daun Sang secara tepat juga belum ada informasi secara spesifik.

Ancaman terhadap penurunan populasi Daun Sang tersebut disebabkan oleh berbagai hal. Biasanya masyarakat memanfaatkan daunnya untuk dipergunakan sebagai atap dan juga bijinya diperjualbelikan untuk tanaman hias, padahal menurut Chan (2009) kemampuan reproduksi flora ini relatif rendah. Di samping itu, Lee et al. (2003) menyatakan bahwa ancaman besar terhadap


(22)

Johannesteijsmannia adalah kehilangan habitat karena adanya pembalakan, deforestasi, serta pengambilan daun dan biji yang berlebihan. Keadaan tersebut menjadi semakin parah, karena Johannesteijsmannia sangat sensitif terhadap kerusakan hutan dan juga konversi hutan untuk keperluan yang lain.

Pemantauan populasi dapat dilakukan secara berkelanjutan apabila terdapat data sebaran populasi secara akurat, sementara data ini belum tersedia. Upaya pendekatannya dapat dilakukan dengan menggunakan Species Distribution

Modelling (SDM) yang merupakan aplikasi Geographical Information System

(GIS) dan statistika (Hartini, 2011). Pada pendekatan tersebut, terdapat beberapa metode/cara pengambilan sampelnya, yaitu presence (kehadiran) dan absence

(ketidakhadiran) atau gabungan antara presence dan absence. Tujuan dari SDM

adalah untuk mendeteksi keberadaan dan hubungan antara spesies tersebut dengan habitatnya, dan bukan untuk estimasi ukuran populasinya (Franklin, 2010). Selanjutnya, data yang diperoleh akan digunakan untuk membangun sebuah model prediksi sebaran spesies di suatu kawasan. Model yang dibangun akan divalidasi, sehingga akan diperoleh peta sebaran populasi yang akurat, dan pada akhirnya akan dapat digunakan untuk menentukan strategi konservasi yang tepat.

1.2 Perumusan Masalah

Pengelolaan flora langka, asli dan dilindungi memerlukan informasi dan data yang akurat agar strategi pengelolaan yang baik dapat diaplikasikan sehingga pemanfaatannya berkelanjutan. Flora langka dengan sebaran terbatas memerlukan habitat yang spesifik, tidak dapat tumbuh di sembarang tempat, oleh karenanya tahap awal yang diperlukan adalah pemetaan sebaran alaminya dan analisis


(23)

kesesuaian habitat untuk mengetahui dan menentukan lokasi mana yang mempunyai potensi besar untuk perkembangan flora ini. Berdasarkan data tersebut, akan diperoleh data sebaran dan prediksi sebaran spesies, sehingga strategi konservasi dapat dirumuskan.

Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang akan dijawab dengan penelitian ini adalah: Bagaimana ruang habitat yang diperlukan Daun Sang? Bagaimana sebaran Daun Sang di Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser ? Bagaimana lokasi yang mempunyai kesesuaian habitat terbaik untuk konservasi Daun Sang di Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser berdasarkan faktor biologi, fisik dan interaksi sosial ekonomi dengan masyarakat setempat?

1.3 Kerangka Pemikiran

Kesesuaian habitat Daun Sang dibangun berdasarkan sebaran alaminya dan interaksi antara Daun Sang dengan lingkungannya, baik biologi, fisik maupun sosial. Elzinga et al. (2001) menyatakan komponen informasi habitat yang

bermanfaat meliputi tanah, elevasi, kelerengan, kelembaban, komunitas, struktur vegetasi, kompetisi, gangguan baik skala besar maupun kecil dan konektivitas landskap. Hal tersebut secara lebih spesifik ditekankan oleh Alikodra (2010), bahwa data yang dikumpulkan dalam kegiatan inventarisasi pengumpulan data ini meliputi aspek fisik, biotik dan sosial ekonomi budaya masyarakat setempat.

Data sebaran alami akan diambil dengan menggunakan GPS sekaligus dihitung jumlah dan tingkat permudaannya dalam populasi tersebut dan kemudian dioverlaykan dengan peta Resort Sei Betung. Data biologi meliputi data tutupan


(24)

tanah dan iklim. Data sosial dilihat dari aspek pemanfaatan masyarakat sekitar terhadap Daun Sang yang berhubungan erat dengan akses mereka ke lokasi sebaran populasinya.

Kerangka pemikiran selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Kerangka pemikiran pemodelan kesesuaian habitat Daun Sang

1.4 Tujuan Tujuan Utama

Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun model konservasi Daun Sang berdasarkan kesesuaian habitatnya, meliputi : data demografinya, komponen-komponen lingkungan biologi, fisik dan sosial ekonomi di Resort Sei Betung

Johannesteijsmannia altifrons -Peta sebaran

-Data demografi - Gangguan

Lingkungan Biologi: -Tutupan lahan -Interaksi dengan

flora lain

Lingkungan Fisik: -Ketinggian -Kelerengan

-Tanah -Iklim

Lingkungan Sosial: -Jarak dari perkampungan -Jarak dari sungai

Kesesuaian Habitat Berbasis GIS dan Statistika


(25)

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan menggunakan aplikasi GIS dan statistika.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Menganalisis sebaran populasi dan demografi Daun Sang di Resort Sei Betung TNGL

2. Menganalisis komponen-komponen habitat Daun Sang di Resort Sei Betung TNGL

3. Menyusun kesesuaian habitat Daun Sang berdasarkan komponen biologi, fisik dan sosialnya di Resort Sei BetungTNGL

1.5 Manfaat Penelitian

1. Daun Sang merupakan flora yang dilindungi, namun belum begitu dikenal (populer) di Indonesia. Adanya penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat Indonesia tentang Daun Sang, sehingga timbul kesadaran untuk melestarikannya.

2. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser sebagai pemangku wilayah keberadaan Daun Sang belum mempunyai data tentang lokasi dan posisi Daun Sang. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang sebaran Daun Sang berdasarkan analisis kesesuaian habitat berbasis GIS dan Statistika, sehingga dapat mempermudah dalam kegiatan pemantauannya. Di samping itu, dapat ditentukan strategi konservasi in

situ dan ex situ terhadap Daun Sang secara lebih akurat.

3. Pemanfaatan Daun Sang sebagai tanaman hias maupun pemanfaatan daun dan buahnya dapat dirasakan masyarakat sekitar TNGL (Dusun Aras


(26)

Napal Kanan dan Aras Napal Kiri) apabila konservasi spesies ini berjalan dengan baik. Konservasi Daun Sang berjalan baik artinya keberadaannya di alam tidak terganggu, tetap terlindungi namun masih dapat memberikan manfaat secara finansial bagi masyarakat sekitarnya.

1.6 Novelty Penelitian

Penelitian tentang Johannesteijsmannia altifrons (Daun Sang) masih

sedikit dilakukan di Indonesia, dan hanya mengacu pada penelitian tentang karakteristik habitat mikronya saja. Pada penelitian ini memadukan antara penelitian demografi (tingkat hidup/regenerasi) dan kesesuaian habitat yang didasarkan pada GIS dan statistika, juga interaksi dengan masyarakat sekitar. Berdasarkan informasi yang diperoleh akan dapat disusun model konservasi untuk Daun Sang di Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser.


(27)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keanekaragaman Hayati

Menurut KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro (Yencken dan Henry, 2010) keanekaragaman hayati (biodiversity) didefinisikan sebagai: the variability among

living organism from all sources, including inter alia, terrestrial marine, and

other aquatic ecosystem, and the ecological complexes of which they are part:this

includes diversity within species, between species and ecosystem. Definisi ini

diadopsi oleh United Nations Convention on Biological Diversity (1993) yang

ditandatangani oleh hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.

United Nations Convention on Biological Diversity atau Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH) mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1994, melalui ratifikasi dalam bentuk UU No.5/1994. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) adalah focal point nasional bagi pelaksanaan KKH. Tujuan utama

dari KKH yaitu: konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan dari komponennya, dan pembagian keuntungan yang adil dan merata dari pengguna sumber daya genetik, termasuk akses yang memadai serta alih teknologi, dan melalui sumber pendanaan yang sesuai (UNEP, 2010; Yencken dan Henry, 2010).

Pada Mei 2010, Global Biodiversity Outlook edisi ketiga dilaksanakan.

Kegiatan ini menyoroti pokok permasalahan yang sama dan beberapa kasus kehilangan keanekaragaman hayati yang semakin intensif. Kehilangan habitat, pemanfaatan yang tidak lestari, dan eksploitasi yang berlebihan, perubahan iklim, spesies asing invasive, dan polusi terus menerus menjadi ancaman yang paling


(28)

besar bagi semua negara. KTT CBD yang terakhir, dilaksanakan pada Oktober 2010 di Nagoya Jepang. KTT ini menyetujui adanya beberapa langkah untuk menjamin ekosistem di planet ini akan berlanjut untuk umat manusia pada masa yang akan datang. Langkah-langkah tersebut meliputi (Yencken dan Henry, 2010):

- mengadopsi rencana sepuluh tahun yang baru, yaitu Strategic Plan of the

Convention on Biological Diversity (juga dikenal sebagai Target Aichi)

untuk menjadi pedoman dalam upaya skala internasional dan nasional; - mengadopsi strategi untuk meningkatkan secara substansial keadaan saat

ini untuk membantu pengembangan dalam mendukung keanekaragaman hayati;

- mengadopsi protokol internasional yang baru untuk menjamin pembagian keuntungan secara adil dari pemanfaatan sumberdaya genetik bumi. Target Taichi akan dijadikan kerangka yang sangat penting pada keanekaragaman

hayati untuk PBB dan diharapkan dapat diimplementasikan pada tingkat lokal, nasional dan internasional pada tahun 2012 (Yencken dan Henry, 2010).

2.2 Ancaman Keanekaragaman Hayati

Conservation International mempertimbangkan Indonesia sebagai salah

satu dari 17 negara megabiodiversity, termasuk dalam dua wilayah 25 hotspots

keanekaragaman hayati dunia untuk prioritas konservasi (Gambar 2.1.)(Myers et

al., 2000; ASEAN Center for Biodiversity, 2010). Sekitar 17.000 pulau di

Indonesia terbentang antara kawasan Indo Malaya dan Australasia. Kepulauan Indonesia memiliki tujuh kawasan biogeografi utama keanekaragaman tipe-tipe


(29)

habitat yang luar biasa. Banyak pulau yang terisolisasi selama ribuan tahun, sehingga memiliki tingkat endemik yang tinggi.

Gambar 2.1. Sebaran 25 hotspot dunia, memiliki luasan 30 ± 3% dari area merah (Sumber: Myers et al. (2000))

Perbandingan kekayaan biotis dan endemisme di seluruh Indonesia disajikan pada Tabel 2.1. Sumatera, Borneo dan Irian Jaya merupakan pulau yang mempunyai kekayaan jenis tinggi dibanding pulau-pulau lainnya, demikian juga dari persen endemismenya.

Tabel 2.1. Perbandingan kekayaan biotis dan endemisme di seluruh Indonesia

Pulau

Tumbuhan

direvisi Mamalia

Burung penetap Reptilia Kekaya an Jenis % Endemis me Kekaya an Jenis % endemis me Kekaya an jenis % endemis me Kekaya an jenis % endemisme

Sumatera 820 11 221 10 465 2 217 11

Jawa+Bali 630 5 113 12 362 7 173 8

Borneo 900 34 221 19 358 10 254 24

Sulawesi 520 7 127 62 289 32 117 26

Nusa Tenggara 150 3 41 12 242 30 77 22

Maluku 380 6 69 17 210 33 98 18

Irian Jaya 1.030 55 125 58 602 52 223 35 Sumber: MacKinnon dalam MacKinnon et al., 2000

Saat ini keanekaragaman hayati Indonesia mengalami ancaman yang serius, seiring dengan laju kehilangan hutan setiap tahunnya. Tekanan terus menerus terhadap keanekaragam hayati Indonesia yang unik berasal dari tingginya laju perubahan habitat, deforestasi, eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan,


(30)

penebangan illegal dan perdagangan untuk mempercepat laju ekonomi, tingginya

pertumbuhan penduduk dan institusi yang korup (Bappenas, 2003). Forest Watch

Indonesia/Global Forest Watch (2001) melaporkan bahwa pada tahun 1980-an

laju kehilangan hutan mencapai 1 juta ha per tahun, pada awal 1990-an 1,7 juta ha per tahun dan terus meningkat mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996. Sejak era reformasi, laju kehilangan hutan terus semakin meningkat, dan pada tahun 2003 mencapai angka tertinggi di dunia yaitu 2,4 juta ha/th (USAID, 2004), namun mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi sekitar 1,09 juta ha/th (Departemen Kehutanan, 2009) dan data terbaru menunjukkan 0,8 juta ha/th (Kementerian Kehutanan, 2012).

Penelitian Budiharta et al. (2011) membedakan ancaman terhadap 5 grup

tanaman yang terdiri atas: palem (Arecaceae, 60 spesies), anggrek (Orchidaceae, 52 spesies), pohon (57 spesies), semak (41 spesies) dan lain-lain (30 spesies) menjadi 4 ancaman besar. Ancaman tersebut adalah kehilangan habitat (penurunan ukuran dan kualitas habitat), eksploitasi berlebihan, faktor biologi (karakter instrinsik biologi spesies yang rentan terhadap penurunan populasi), dan faktor alam. Ternyata faktor intrinsik biologi dan kehilangan habitat menempati porsi terbesar, yaitu 83 dan 82%, sementara eksploitasi berlebihan 64% dan faktor alam 6%.

Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan Primack et al. (1998) yang

menyatakan bahwa berbagai ancaman kepunahan spesies disebabkan oleh kegiatan manusia dan juga ciri atau karakter spesies itu sendiri. Ancaman utama pada keanekaragam hayati yang disebabkan oleh kegiatan manusia dibedakan menjadi: perusakan habitat, fragmentasi habitat, gangguan pada habitat (termasuk


(31)

populasi), penggunaan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia, introduksi spesies eksotik dan penyebaran penyakit. Sedangkan spesies-spesies yang rentan terhadap kepunahan biasanya mempunyai salah satu karakter sebagai berikut: spesies dengan sebaran geografis yang sempit, spesies yang terdiri dari salah satu atau beberapa populasi, spesies yang memiliki ukuran populasi yang kecil, spesies yang ukuran populasinya menurun, spesies yang memiliki densitas yang rendah, spesies yang memerlukan wilayah jelajah yang luas, spesies yang tidak memiliki kemampuan menyebar yang baik, spesies yang bermigrasi musiman, spesies dengan keanekaragaman genetik yang rendah, spesies yang memiliki relung tertentu, spesies yang hanya dijumpai pada lingkungan yang stabil, spesies yang membentuk kelompok secara tetap atau sementara dan spesies yang diburu atau dipanen manusia.

2.3 Definisi Endemik, Langka dan Terancam Punah

Istilah endemisme, langka (rare) dan terancam punah (endangered)

seringkali dianggap sama, penting untuk disadari bahwa ketiga istilah tersebut menggambarkan aspek biogeografi yang berbeda. Dikatakan endemik apabila sebarannya terbatas pada suatu lokasi tertentu, langka (rare) mengacu pada

sedikitnya jumlah yang ditemui dan terancam punah (endangered) mengacu pada

keterancaman menuju kepunahan (Estill dan Cruzan, 2001).

Menurut Daubenmire (1978) dalam Estill dan Kruzan (2001) terdapat 4

tipe endemisme yang dibedakan berdasarkan mekanisme sebaran endemiknya. Yang pertama adalah paleoendemics merupakan spesies-spesies yang tersisa dari

sebaran takson yang luas, neoendemics mewakili turunan taksa baru yang


(32)

spesies yang dihasilkan dari suatu isolasi dalam waktu yang lama, misalnya spesies endemik di Kepulauan Hawai. Tipe endemisme yang terakhir adalah ecological endemics, yaitu taksa yang telah berevolusi dalam lingkungan yang

spesifik secara ketat dan membatasi diri dari koloni di luar area habitatnya yang spesifik.

Para konservasionis telah lama menggunakan data geografi keanekaragaman hayati untuk menentukan prioritas untuk area yang dilindungi (Brooks et al., 2006 dalam Young, 2007). Masukan penting untuk analisis

tersebut meliputi data spesies endemik dan spesies yang terancam punah. Spesies terancam punah memerlukan tindakan khusus atau kalau tidak mereka akan punah selamanya. Spesies endemik juga memerlukan perhatian karena terbatasnya sebaran dan sebagai konsekuensinya dapat menjadi terancam punah. Apabila habitat yang dibutuhkan tidak terpenuhi, populasinya akan menurun dan habis (Young, 2007).

2.4 Konservasi

Konservasi diartikan sebagai pengelolaan biosphere secara bijaksana bagi

keperluan manusia, sehingga menghasilkan manfaat secara berkelanjutan bagi generasi kini dan menetapkan potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang (Alikodra, 2012). Strategi Konservasi Dunia yang dikeluarkan bersama oleh IUCN, WWF dan UNEP pada tahun 1980 menganjurkan konservasi sumberdaya kehidupan sebagai bagian yang penting untuk pembangunan yang berkelanjutan, melalui (MacKinnon et al., 2000):


(33)

- Pemeliharaan proses-proses ekologis yang penting dan sistem penunjang kehidupan yang merupakan sumber kelangsungan hidup manusia dan pembangunan

- Pengawetan keragaman genetika yang merupakan sumber program pemuliaan yang perlu untuk melindungi dan memperbaiki tumbuhan yang dibudidayakan dan binatang yang dijinakkan, juga untuk kemajuan ilmu pengetahuan, inovasi teknis, dan banyak industri yang menggunakan sumberdaya kehidupan

- Menjamin penggunaan secara berkelanjutan jenis-jenis dan ekosistem-ekosistem yang menunjang berjuta-juta masyarakat manusia dan juga industri-industri utama

Menyadari berkembangnya proses penyusutan keanekaragaman hayati Indonesia di semua tingkatannya, maka pemerintah berupaya agar laju penyusutannya dapat dikurangi dengan jalan menyisihkan areal hutan alam untuk kawasan pelestarian. Di dalam areal seperti itu keanekaragaman hayati diharapkan dapat dipertahankan secara in situ (di tempat habitat aslinya). Pada

akhir-akhir ini, untuk melebarkan usaha pelestarian keanekaragaman hayati, Indonesia juga telah mengembangkan konsep pelestarian keanekaragaman hayati di luar kawasan konservasi (ex situ)(Primack et al., 1998).

Sistem kawasan konservasi tersebut secara hukum dibuat berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Di sini ditentukan berbagai jenis kawasan konservasi dengan berbagai tujuan dan karakteristiknya.


(34)

Kawasan yang dimaksud meliputi Cagar Alam yang terdiri dari Cagar Alam Ketat dan Suaka Margasatwa dan Kawasan Konservasi Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Rekreasi Alam). Dalam Undang-Undang ini juga ditetapkan penetapan zona pengelolaan, penetapan Cagar Alam Biosfer, perlindungan terhadap spesies langka dan terancam punah, dan mengacu pada Daerah Penyangga. Definisi istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

- Cagar Alam: suatu kawasan daratan atau perairan yang memiliki cagar alam sebagi fungsi utamanya yaitu melestarikan keanekaragaman hayati tumbuhan dan binatang serta sebagai suatu ekosistem yang juga berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan

- Cagar Alam Ketat: merupakan kawasan cagar alam yang memiliki serangkaian tumbuhan, binatang dan ekosistem yang khas, yang harus dilindungi dan dibiarkan berkembang secara alamiah.

- Suaka Margasatwa: merupakan suatu kawasan cagar alam yang memiliki keanekaragaman spesies bernilai tinggi atau unik, tempat pengelolaan habitat bisa diterapkan, dengan maksud menjamin keberadaan dan kelangsungan hidupnya.

- Kawasan Konservasi Alam: merupakan suatu kawasan daratan atau perairan yang fungsi utamanya adalah melestarikan keanekaragaman spesies tumbuhan dan binatang, serta memberikan pemanfaatan sumberdaya hidup dan ekosistemnya secara berkelanjutan.

- Taman Nasional: merupakan kawasan konservasi alam yang memiliki ekosistem asli, dan yang dikelola melalui suatu sistem zonasi untuk memudahkan riset, kepentingan ilmu pengetahuan,


(35)

pendidikan, peningkatan perkembangbiakan, rekreasi dan pariwisata

- Taman Hutan Raya: merupakan kawasan konservasi alam yang berfungsi menyediakan berbagai jenis tumbuhan dan binatang asli dan atau bukan asli untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, peningkatan perkembangbiakan, kebudayaan, rekreasi dan pariwisata

- Taman Rekreasi Alam: merupakan suatu kawasan konservasi alam yang terutama dimaksudkan untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata

Selain pelestarian secara in situ, perlu juga dilaksanakan pelestarian ex

situ. Hal ini diperlukan untuk melengkapi usaha pelestarian in situ di atas.

Bentuk-bentuk pelestarian secara ex situ misalnya: kebun raya, kebun binatang,

kebun-kebun koleksi tanaman, dan lain-lain.

Kawasan konservasi di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 1981 yang hanya sekitar 7.628 juta hektar (ASEAN Center for Biodiversity, 2010). Luas dan fungsi serta jumlah kawasan konservasi di Indonesia disajikan pada Tabel 2.2.


(36)

Tabel 2.2. Fungsi, jumlah dan luas kawasan konservasi di Indonesia

Fungsi Jumlah (Unit) Luas (Ha)

Cagar Alam Cagar Alam Laut Suaka Margasatwa Suaka Margasatwa Laut Taman Nasional

Taman Nasional Laut Taman Wisata Alam Taman Wisata Alam Laut Taman Buru

Taman Hutan Raya

239 6 71 4 43 7 102 14 13 22 4.330.619,96 154.610,00 5.024.138,29 5.588,25 12.328.523,34 4.043.541,30 257.418,85 491.248,00 220.951,44 350.090,41

Luas Total 521 27.206.729,84

Sumber: Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, 2010

Indonesia juga telah meratifikasi berbagai kesepakatan lingkungan multilateral (Multilateral Environment Agreement). Berbagai kesepakatan yang

telah diratifikasi tersebut adalah CITES (Convention on International Trade of

Endangered Species) pada tahun 1979; World Heritage Convention, pada tahun

1989; Convention Wetlands of International Importance (RAMSAR), pada tahun

1992; Convention on Biological Diversity pada tahun 1994; dan Cartagena

Protocol on Biosafety pada tahun 2005 (ASEAN Center for Biodiversity, 2010).

Dalam skala regional, telah pula ditandatangani Deklarasi Heart of Borneo (HoB)

pada tanggal 12 Februari 2007 di Bali antara Indonesia, Brunei dan Malaysia untuk menyelamatkan kawasan jantung Kalimantan yang terletak di perbatasan. Saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan untuk penandatanganan kesepakatan ASEAN Heritage Park (Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina


(37)

2.5 Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f. &Zoll.) H. E. Moore 2.5.1 Tata Nama

Johannesteijsmannia altifrons termasuk keluarga Palmae, yang memiliki

daun tunggal dengan ukuran besar, dapat mencapai 3 meter panjangnya dengan lebar 1 meter. Palem ini dikenal dengan berbagai nama, yaitu Palem Daun Payung (Indonesia, Malaysia), Daun Sang (Sumatera Utara), Salo (Jambi, Riau), Balahan (Sumatera Barat), Kor, Wud, Sal, Segaloh (Malaysia) serta Joey Palm atau Diamond Palm di negara barat (Witono, 1998; Chan, 2007).

Daun Sang pertama kali ditemukan oleh ahli Botani Belanda, Johannes Elias Teijsman (Moore Jr, 1961; Dransfield et al., 2008). Adapun sebaran Daun

Sang meliputi Thailand, Malaysia Barat, Sumatera dan Borneo (Witono, 1998; Dransfield et al., 2008). Di Indonesia sendiri keberadaannnya hanya dijumpai di

Aras Napal, Sekundur (TNGL) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Mogea et

al., 2001;Qomar et al., 2006).

Genus Johannesteijsmannia terdiri atas 4 spesies, yaitu J. altifrons, J.

lanceolata, J. perakensis, dan J. magnifica. Malaysia mempunyai ke-4 jenis

tersebut, sementara Indonesia hanya mempunyai J. altifrons saja (Witono, 1998;

Mogea et al., 2001; Lee et al., 2003; Chan, 2007; Chan et al., 2010). Menurut

penelitian Siregar (2005) Daun Sang (J. altifrons) di kawasan hutan Sekundur


(38)

Tata nama Daun Sang selengkapnya adalah sebagai berikut (GBIF, tanpa tahun):

Kerajaan : Tumbuhan Divisi : Magnoliophyta Klas : Liliopsida Ordo : Arecales Suku : Arecaceae

Marga : Johannesteijsmannia

Jenis :

2.5.2 Deskripsi dan Karakteristik

Johannesteijsmannia altifrons (Rchb.f.&Zoll) H. E. Moore

Palem raksasa ini soliter (tumbuh tunggal), biasanya mencapai tinggi sampai 6 meter. Daun: berbentuk belah ketupat yang besar dan lebar, sampai lancet agak tebal dan tunggal. Tidak mempunyai batang, kecuali J. perakensis.

Daun Sang mempunyai daun yang sangat lebar dan panjang, panjang daunnya dapat mencapai 3 meter bahkan 6 meter (Witono, 1998; Rozainah dan Sinniah, 2005; Rozainah, 2007) dan lebarnya dapat mencapai 1 m. Tepi daun bergelombang, pelepah daun tidak berduri, tetapi tepi pelepahnya ditumbuhi duri-duri. Perbungaan: tumbuh di antara daun, berbentuk tandan yang bagian pangkalnya ditutupi oleh beberapa seludang bunga. Bunga: warna kuning krem, bisexual, dan beraroma manis asam yang kuat. Buah: berbentuk tandan, bulat, berwarna coklat, berwarna hijau tua dan muda, permukaan kulit buah kasar dan buah sangat keras apabila telah matang, dengan diameter sekitar 4-5 cm dan berbiji satu (Witono, 1998; Chan, 2007). Perbanyakan spesies ini lebih banyak berasal dari biji (Witono, 1998).

Penelitian Chan (2009) pada J. lanceolata menunjukkan, pada populasi

alam, berbunganya musiman, sementara pada populasi buatan berbunga terus menerus. Korelasi antara pembungaan dan curah hujan lemah. Siklus reproduksi


(39)

dari mulai berbunga sampai berbuah membutuhkan waktu 14-15 bulan dan hanya menghasilkan 2-6 buah per musim.

Produksi daun J. lanceolata pada semua tingkat umur kontinyu dan

lambat, dan daunnya berumur panjang (Rozainah dan Sinniah, 2005; Rozainah, 2007). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertumbuhan daun baru pada tajuknya berkisar antara 2,6-3,3 daun per tahun untuk tingkat dewasa, 1,3-2,1 daun per tahun untuk tingkat juvenile dan 0,8-1,6 untuk tingkat semai. Sedangkan umur hidup daun pada tajuk berkisar 8,8 tahun untuk dewasa dan 8,4 tahun untuk tingkat juvenile. Pada penelitian tersebut, pembedaan tingkat hidup didasarkan pada jumlah daun hidup pada tajuknya. Tingkat semai mulai dari berkecambah sampai mempunyai 9 daun, juvenile mulai 10-18 daun dan dewasa 19-35 daun.

2.5.3 Persyaratan Tempat Tumbuh

Daun Sang dijumpai sebagai tumbuhan bawah di hutan hujan tropis primer terutama di hutan dataran rendah dan sangat sensitif terhadap gangguan. Di Serawak, J. altifrons hadir terbatas di hutan kerangas; banyak terdapat di lembah

tapi cenderung menghindari lembah yang bertanah basah. J. magnifica dan J.

lanceolata merupakan tumbuhan lereng bukit dan J perakensis merupakan

tumbuhan lereng bukit dan punggung bukit. Distribusi ini sangat terpisah, spesies sering tidak ditemui pada kondisi hutan yang sesuai (Dransfield et al., 2008).

Chan (2007) menemukan bahwa distribusi J. lanceolata berbeda berdasarkan arah

kontur, dengan kepadatan tertinggi pada lembah (65 individu per hektar). Hal ini sepertinya dipengaruhi oleh sebaran benih, kompetisi antar spesies dan fitur topografi.


(40)

Daun Sang termasuk spesies palem yang tidak tahan terkena sinar matahari langsung, dan lebih sering hidup di bawah naungan pepohonan, biasanya populasinya kecil dan lokal (Witono, 1998). Qomar et al. (2006) menyatakan

karakteristik habitat mikro Daun Sang di TN Bukit Tigapuluh sebagai berikut: ditemukan pada ketinggian tempat antara 85-175 m dpl dan paling banyak sebarannya pada 110 m ke atas, kelerengan bukit sangat curam (>60%), jenis tanah paleudult atau latosol, relatif asam (pH 5,6-5,9), konsentrasi N dan K tinggi, penutupan tajuk >70%, intensitas cahaya 13-19 lux, suhu udara 27o

2.5.4 Kegunaan

C dan kelembaban relatif 84%.

Masyarakat setempat biasanya memanfaatkan ukuran dan daun yang sangat kuat dari palem ini untuk dipergunakan sebagai atap rumah dan daging buahnya dimakan secara langsung (Witono, 1998) dan di Malaysia dilaporkan selain sebagai atap rumah yang bisa bertahan sampai beberapa tahun, Daun Sang juga dimanfaatkan buahnya oleh komunitas China sebagai obat herbal. Selain itu, karena tanamannya yang indah dan khas, jenis ini juga digunakan untuk dekorasi dan pertamanan (Chan, 2007). Di beberapa situs web, banyak permintaan akan bijinya terutama di negara barat (Amerika-Florida misalnya) jenis ini banyak diperjualbelikan sebagai tanaman hias dengan harga yang sangat mahal.

2.5.5 Status Konservasi

Sebaran dan populasi Daun Sang sangat terbatas, dan merupakan jenis asli di Indonesia, sehingga tanaman ini masuk ke dalam kategori flora yang dilindungi. Hal tersebut tercantum pada Peraturan Pemerintah Republik


(41)

Indonesia No. 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 Tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Selain itu, jenis ini juga termasuk kategori Red Data Book

sebagai jenis yang terancam punah menurut IUCN (Lucas dan Synge, 1978; Walter dan Gillet, 1998; WCMC, 1990). Namun sayangnya, banyak masyarakat dan stake holder yang belum memahami dan mengetahuinya. Apabila hal

tersebut tidak segera ditindaklanjuti, bukan tidak mungkin, populasinya akan terus mengalami penurunan dan kepunahan akan segera terjadi.

2.6 Taman Nasional Gunung Leuser 2.6.1 Status dan Potensi

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) menyandang tiga gelar sekaligus, yaitu sebagai Cagar Biosfer, Tropical Rainforest Heritage of

Sumatera/World Heritage Site dan ASEAN Heritage Park. Hal tersebut

menandakan betapa pentingnya ekosistem dan keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Leuser tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia.

TNGL pertama kali dideklarasikan pada tanggal 6 Maret 1980 sesuai Pengumuman Menteri Pertanian Nomor : 811/Kpts/Um/II/1980 dengan luas 792.675 hektar. Kemudian ditunjuk oleh Menteri Kehutanan melalui SK Nomor : 276/Kpts-VI/1997 dengan luas 1.094. 692 hektar. TNGL terletak di Provinsi Sumatera Utara (Kabupaten Langkat, Karo dan Dairi) dan Daerah Istimewa Aceh (Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Aceh Tamiang), dengan temperatur udara antara 21-28oC, curah hujan 200-3200 mm/th serta ketinggian tempat 0-3.381 m dpl. Saat ini, Balai Besar TNGL dibagi menjadi tiga bidang pengelolaan TN Wilayah, yaitu Tapaktuan, Kutacane dan Stabat; enam seksi pengelolaan TN Wilayah, yaitu Blang Pidie, Kluet Utara,


(42)

Blangkejeren, Badar, Bukit Lawang dan Besitang; 31 Resort; 2 Stasiun Penelitian dan 1 PPOS (Dirjen PHKA, tanpa tahun).

TNGL merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan. Jenis batuannya terdiri dari batuan sediment, batuan vulkanik, batuan kapur, batuan pluton, batuan alluvium dan batuan lainnya. Keadaan tanahnya didominasi oleh komplek podsolik coklat, podsolik dan litosol. Van Steenis membagi wilayah tumbuh-tumbuhan di TNGL atas 4 zona, yaitu (Dirjen PHKA, tanpa tahun).:

- Zona Tropika (termasuk zona Colline, terletak 500 – 1000 mdpl)

Zona tropika merupakan daerah berhutan lebat ditumbuhi berbagai jenis tegakan kayu yang berdiameter besar dan tinggi sampai mencapai 40 meter. Pohon tersebut digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik seperti anggrek dan lainnya. - Zona peralihan dari zona tropika ke zona Colline dan zona sub-montana

ditandai dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan berbeda jenis karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat maka pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan makin banyak dijumpai jenis rotan berduri.

- Zona Montana (termasuk zona sub-montana, terletak 1000 - 1500 mdpl) Zona Montana merupakan hutan montana. Tegakan kayu tidak lagi tertlalu tinggi hanya berkisar antara 10 – 20 meter. Tidak terdapat lagi jenis tumbuhan liana. Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon. Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut. - Zona Sub-Alphine (2900 – 4200 mdpl)


(43)

Zona sub alphine merupakan zona hutan ercacoid dan tidak berpohon lagi. Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak dengan beberapa pohon berbentuk payung (suku Ericaceae) yang menjulang tersendiri serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut. Diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis flora. Terdapat tumbuhan langka dan khas yaitu daun payung raksasa (Johannesteijsmannia altifrons), bunga raflesia

(Rafflesia atjehensis dan R. micropylora) serta Rhizanthes zippelnii yang

merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter. Selain itu, terdapat tumbuhan yang unik yaitu ara atau tumbuhan pencekik (Dirjen PHKA, tanpa tahun).

TNGL dan kawasan disekitarnya yang disebut sebagai Kawasan ekosistem Leuser (KEL) merupakan habitat dari berbagai jenis mamalia, burung, reptil, amfibi, ikan dan invertebrata. Untuk jenis mamalia dan/primata Taman Nasional Gunung Leuser memiliki 130 jenis mamalia atau sepertiga puluh dua dari keseluruhan jenis mamalia yang ada di dunia atau seperempat dari seluruh jumlah jenis mamalia yang ada di Indonesia. Diantaranya yang paling menonjol adalah Mawas/orang-utan sumatera (Pongo pygmaeus abelii), Sarudung/owa (Hylobates

lar), Siamang (Hylobates syndactilus syndactilus), Kera (Macaca fascicularis),

Beruk (Macaca nemestriana) dan Kedih (Presbytis thomasi). Untuk jenis satwa

karnivora seperti Macan dahan (Neofelis nebulosa), Beruang (Helarctos

malayanus), Harimau sumatera (Panthera tigris Sumatraensis). Jenis satwa

herbivora seperti Gajah (Elephas maximus), Badak Sumatera (Dicerorhinus

sumatraensis), Rusa (Cervus unicolor) (TFCA Sumatera, 2010; Dirjen PHKA,


(44)

Jenis satwa Aves/burung, diperkirakan ada sekitar 325 jenis burung di Taman Nasional Gunung Leuser atau 1/30

Diperkirakan ada sekitar 89 jenis satwa yang tergolong langka dan dilindungi ada di hutan Taman Nasional Gunung Leuser di samping jenis satwa lainnya. Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di taman nasional ini antara lain: Mawas/Orang Utan (Pongo pygmaeus abelii), Badak

Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau loreng Sumatera (Panthera tigris

sumatrae, Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Beruang

Madu (Helarctos malayanus), Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis),

Anjing Ajag (Cuon Alpinus), Siamang (Hylobates syndactylus syndactylus),

Kambing hutan (Capricornis sumatraensis), Rusa Sambar (Cervus unicolor), dan

Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis sumatrana) (TFCA Sumatera, 2010;

Dirjen PHKA, tanpa tahun).

dari jumlah jenis burung yang ada di dunia. Diantaranya yang paling menonjol adalah Rangkong Badak (Buceros

rhinoceros). Jenis fauna Reptilia dan Amphibia didominasi oleh jenis fauna ular

berbisa dan Buaya (Crocodillus sp). Untuk fauna jenis Pisces yang menarik

adalah Ikan Jurung (Tor sp), yang merupakan ikan khas Sungai Alas dan

dagingnya terkenal akan kelezatannya serta bisa mencapai panjang 1 meter. Sedangkan jenis fauna invertebrata, didominasi oleh Kupu-kupu (TFCA Sumatera, 2010; Dirjen PHKA, tanpa tahun).

2.6.2 Aspek sosial ekonomi dan budaya

Keberadaan masyarakat di sekitar TNGL, tak jarang menimbulkan konflik tersendiri dan merupakan ancaman yang serius bagi kelestarian TNGL.


(45)

lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya (Faisal dan Siti Maskanah, 2000). Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Alasannya sederhana, karena terlalu banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Pada masa lalu, konflik kehutanan seringkali ditutup-tutupi karena berbagai alasan; dan apabila terjadi konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan pihak yang lemah tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, Era Reformasi telah merubah keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah berani melawan yang kuat dengan berbagai cara, dari mulai tuntutan biasa, protes, demonstrasi, sampai benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai mengakui bahwa konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera ditanggulangi dalam pengelolaan hutan (Wulan et al, 2004).

Ancaman nyata bagi keanekaragaman hayati di kawasan ekosistem leuser (KEL) adalah konversi lahan untuk tujuan pertanian dan perkebunan (milik Negara, korporasi/perusahaan dan milik masyarakat), penggalian batu kapur dan penambangan skala kecil (seperti emas), IDPs (pengungsi internal – mencapai ribuan keluarga), pertumbuhan enklave, illegal logging, perambahan, sawmill

illegal, usaha perabot/meubel, kilang kayu, pembukaan jalan (pembangunan

jaringan jalan “Ladia Galaska”), panglong kayu, perburuan satwa dan penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit, sengatan listrik, potassium dan racun berbahaya lainnya. Ancaman lain yang juga terjadi adalah pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit seperti yang terjadi di Aceh Tamiang, Aceh


(46)

Selatan (Rawa Kluet) dan Rawa Singkil (Kabupaten Rawa Singkil) (TFCA Sumatera, 2010).

Pembalakan liar di Taman Nasional Gunung Leuser kawasan Besitang, Kabupaten Langkat diperhitungkan mencapai Rp 3,6 triliun. Kerugian tersebut dihitung dari luas kerusakan hutan Taman Nasional Gunung Leuser di kawasan Besitang yang mencapai lebih dari 21.000 hektar. Hutan yang rusak ini didominasi oleh jenis meranti. Tenaga kerja untuk illegal logging ini antara lain

pengungsi asal Aceh yang masih menetap di dalam kawasan TNGL. Saat ini masih terdapat sekitar 700 kepala keluarga pengungsi asal Aceh yang menetap di TNGL kawasan Besitang (TFCA Sumatera, 2010).

Beberapa indikasi yang menunjukkan adanya ancaman kerusakan ekosistem Leuser antara lain (TFCA Sumatera, 2010):

- Jumlah penduduk umumnya berada dalam batas ambang yang berarti sebagian besar penduduk yang bergantung kepada lahan budidaya pertanian, dihadapkan pada daya dukung lahan yang semakin rendah, sementara tekanan akibat pertambahan penduduk absolut semakin meningkat

- Isu pembangunan perkebunan (dan pertanian) mempengaruhi motivasi sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem Leuser, terutama di Kabupaten Aceh Selatan dan Langkat untuk mengembangkan lahan usaha budidaya tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao) yang membutuhkan areal relatif luas. Dalam hal ini, konflik antara kepentingan pengembangan lahan budidaya dengan aspek pelestarian sumberdaya alam ekosistem Leuser semakin dirasakan.


(47)

Upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor non-pertanian di kecamatan-kecamatan di kawasan penyangga ekosistem Leuser tampaknya terbatas, bahkan dalam kebijaksanaan pembangunan Provinsi NAD, dua kabupaten dimana ekosistem Leuser berada yaitu Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Tenggara diarahkan kepada wilayah pembangunan dan pengembangan pertanian-perkebunan (TFCA Sumatera, 2010).

Terdapat sedikitnya 31 wilayah kecamatan di empat kabupaten yang merupakan daerah penyangga ekosistem leuseur. Penggunaan lahan di kawasan penyangga ekosistem Leuser ini umumnya terdiri dari pemukiman, perkebunan rakyat, sawah, pertanaman campuran dan hutan lindung (TFCA Sumatera, 2010).

Terlepas dari keanekaragaman hayatinya yang kaya, Ekosistem Leuser menyediakan fungsi pendukung kehidupan untuk pengembangan yang bisa mendukung kira-kira empat juta orang-orang yang hidup di sekitarnya. Beberapa contoh dari fungsi ini adalah: persediaan air bersih yang rutin, pengendali banjir dan erosi, perlindungan plasma nutfah, pengaturan iklim lokal, penjerap karbon, perikanan air tawar dan kecantikan alami untuk mendukung pariwisata (TFCA Sumatera, 2010).

2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG mulai dikenal pada awal 1980-an. Sejalan dengan berkembangnya perangkat komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras, SIG berkembang sangat pesat pada era 1990-an. Secara harfiah, SIG dapat diartikan sebagai: suatu komponen yang terdiri atas perangkat keras, perangkat lunak, data

geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk


(48)

memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam

suatu informasi berbasis geografis (Puntodewo et al., 2003). Lebih lanjut

dijelaskan bahwa aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya.

Informasi geografis selalu berhubungan erat dengan ilmu tumbuh-tumbuhan, sejak dimulainya eksplorasi sampai dengan mengkombinasikannya dengan pemetaan, dan membantu ahli botani dalam manganalisis identifikasi prioritas konservasi tumbuhan. Aplikasi SIG dan teknologi Remote Sensing

(Penginderaan Jauh) menunjukkan peningkatan dalam penggunaannya untuk konservasi tumbuhan selama lebih dari dua dekade. Kegunaan utamanya dalam konservasi tumbuhan adalah: pemetaan (lokasi spesimen dan distribusi spesimen), pemetaan vegetasi dan habitat, deteksi perubahan habitat, dan mendukung dalam pengelolaan lahan (Moat et al., 2009; Foody, 2008).

2.8 Pemodelan Kesesuaian Habitat Berbasis SIG dan Statistika

Pemodelan kesesuaian habitat (habitat suitability) dikenal juga dengan

istilah ecological niche, environmental niche, species distribution modeling, dan

bioclimate envelope modeling (Pearson, 2007; Hirzel dan Lay, 2008). Pemodelan

ini menjadi popular dan efektif dalam ilmu ekologi dan digunakan secara luas pada berbagai aplikasi ekologi (Elith et al., 2006; Nazeri et al., 2010; Gelfand et

al., 2006).

Prinsipnya adalah interpolasi data hasil survey biologi pada skala keruangan. Pemodelan ini merupakan model prediksi kuantitatif hubungan antara spesies dengan lingkungannya, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi


(49)

sebaran aktualnya atau potensi sebarannya (Pallaris, 1998; Cayuela et al., 2009;

Hoeting, 2006, Nanyomo, 2010, Pearson, 2007, Gelfand et al., 2006; William et

al., 2009; Gaston dan Fuller, 2008; Kumar dan Stohlgren, 2009). Oleh karenanya

dapat dimanfaatkan untuk perencanaan konservasi, menilai status spesies, memproyeksikan dampak perubahan iklim, memprediksi invasif spesies, restorasi ekologi, dampak lingkungan dan analisis resiko (Franklin, 2010).

Prediksi dan pemetaan potensi kesesuaian habitat untuk spesies terancam punah sangat penting. Hal ini perlu untuk memantau dan memulihkan penurunan populasi pada habitat alaminya, untuk kepentingan introduksi buatan atau pemilihan lokasi konservasi dan perlindungan serta pengelolaan habitat alaminya (Gaston, 1996; Bartel dan Sexton, 2009). Sebaran data spesies terancam punah seringkali tersebar (Guissan et al., 2006) dan terkelompok yang biasanya

menyebabkan pendekatan pemodelan kesesuian habitat sulit untuk dilakukan (Kumar dan Stohlgren, 2009).

Kerangka pemikiran pemodelan ini dilandasi oleh teori niche, yang

dikemukakan oleh Hutchinson (1957) dalam Phillips et al. (2004) yaitu suatu

tempat dimana spesies memilih untuk hidup dan memenuhi persyaratan untuk

kelangsungan hidupnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Franklin (2010) yang

mengutip pendapat Hutchinson (1987), ‘…hypervolume yang didefinisikan oleh

lingkungan dimana spesies tersebut dapat bertahan hidup dan berreproduksi’.

Hutchinson lebih jauh membedakan antara istilah niche dasar/fundamental niche

(secara fisiologi atau potensial) yang didefinisikan sebagai respon spesies kepada lingkungannya (sumberdaya) dalam suatu interaksi biotik (kompetisi, pemangsaan, fasilitasi) dengan niche nyata/realized niche (secara ekologi, aktual)


(50)

yang didefinisikan sebagai dimensi lingkungan dimana spesies dapat bertahan hidup dan berreproduksi, termasuk dari efek interaksi biotik.

Model konseptual tentang pengaruh lingkungan pada suatu niche dikemukakan oleh Franklin (2010) berdasarkan inspirasi dari Guissan dan Zimmermann (2000) sebagaimana terlihat pada Gambar 2.2.

· Gambar 2.2. Model konseptual pengaruh lingkungan pada suatu niche

Sumber: Franklin (2010)

Pemodelan kesesuaian habitat didukung oleh tiga komponen utama, yaitu ekologi, data dan model statistika (Austin, 2002). Model ekologi meliputi teori ekologi yang diterapkan atau hipotesis yang diuji dalam suatu penelitian. Model data terdiri dari keputusan yang dibuat tentang bagaimana data dikumpulkan dan bagaimana data akan diukur atau diperkirakan. Model statistika mencakup pilihan metode dan keputusan tentang pelaksanaan (kalibrasi dan validasi). Guissan dan Zimmermann (2000) membedakan tahapan pemodelan statistik menjadi empat tahap, yaitu: perumusan model konseptual, perumusan model statistika, kalibrasi dan evaluasi. Skemanya dapat dilihat pada Gambar 2.3.


(51)

Gambar 2.3. Diagram komponen pemodelan kesesuaian habitat Sumber: Franklin (2010)

Beberapa teknik pemodelan yang biasa digunakan adalah (Newbold, 2009):

1. Climate envelopes

Teknik ini merupakan pemodelan paling sederhana. Envelopes mendefinisikan

kondisi kesesuaian lingkungan untuk suatu spesies dengan referensi kondisi tapak dimana spesies tersebut ditemukan. BIOCLIM lebih biasa digunakan untuk teknik ini. Teknik ini mempunyai kelemahan, yaitu over prediksi. Hal ini terjadi mungkin karena sensitivitas BIOCLIM pada data pencilan spesies pada ruang lingkungan atau karena interaksi antara variabel iklim yang tidak dipertimbangkan. Performa teknik ini sedang sampai rendah.

2. Logistic regression

Teknik kedua terdiri atas pendekatan statistik tradisional. Secara umum, Model Linear telah banyak dikenal oleh para ahli ekologi, dianggap tidak sesuai untuk


(52)

pemodelan sebaran spesies karena berasumsi variansnya homogen, hubungan antara variabel respon dan variabel bebas linear dan galat terdistribusi normal.

Generalized linear models (GLMs) adalah perluasan dari model linear umum,

yang memungkinkan untuk berbagai distribusi kesalahan dan mengendurkan asumsi linieritas dan homogenitas varians.

3. Maximum Entrophy

Untuk model sebaran spesies menggunakan GLMs, catatan kejadian spesies (ada dan tidak ada) dicocokkan sebagai variabel respon dan variabel lingkungan sebagai variabel bebas. Model didasarkan pada data ada dan tidaknya spesies mempunyai distribusi galat yang binomial. Model ini dikenal sebagai model regresi logistik. GLMs secara umum mempunyai performa yang sangat bagus dibandingkan teknik pemodelan yang lain, tetapi relatif jelek dengan ukuran sampel yang sangat kecil. Penelitian dan review penggunaan GLMs telah dilakukan oleh Guisan dan Zimmermann (2000) dan Guisan et al. (2002). Generalized additive models(GAMs) adalah perluasan

dari GLMs. GAMs juga mempunyai performa yang baik , hanya saja sensitif terhadap ukuran sampel yang kecil.

Maxent merupakan metode yang didasarkan pada prinsip maksimum entropi, tujuannya adalah untuk menghasilkan sebuah prediksi yang sebisa mungkin sama dengan kendala bahwa nilai harapan dari masing masing variabel lingkungan harus sama dengan rata-rata empiris. Maxent hanya membutuhkan catatan keberadaan spesies, membandingkannya dengan sampel latar belakang secara acak dari semua grid cell pada lokasi penelitian. Maxent merupakan teknik


(53)

dan review Maxent telah dilakukan oleh Kumar dan Stohlgren (2009) dan Phillips et al. (2004).

4. Genetic Algorithm for Rule-set Prediction(GARP)

GARP mengembangkan satu set pernyataan jika-maka (aturan) yang menentukan apakah spesies tersebut diperkirakan ada atau tidak sesuai dengan kondisi lingkungan dari sel grid tersebut. GARP menunjukkan performa campuran pada uji akurasi yang dilakukan. Ada yang menunjukkan performa yang akurat tapi ada juga yang menunjukkan performa yang relatif jelek dan cenderung over prediksi.


(54)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Sekundur Resort Sei Betung, TNGL yang secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Resort Sei Betung berada pada posisi 3o52’26,83” - 4o2’46,32” LU dan 97o58’40,27” – 98o

3.2 Obyek Penelitian

7’9,83” BT. Analisis data dilakukan di Laboratorium Tanah BPTP Sumatera Utara dan Laboratorium Pemetaan. Tata waktu penelitian selengkapnya, tercantum pada Lampiran 1.

Obyek penelitian meliputi Daun Sang yang berada di Kawasan Hutan Sekundur, serta masyarakat yang bermukim di perkampungan sekitarnya. Perkampungan terdekat yang banyak memanfaatkan Daun Sang adalah Dusun Aras Napal Kanan dan Dusun Aras Napal Kiri, Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat.

3.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan berupa: Peta Rupa Bumi, Peta Administrasi, Peta Batas TNGL, Peta-peta tematik (topografi, tutupan lahan, iklim, jenis tanah, jalan dan perkampungan) serta data sosial ekonomi masyarakat. Alat yang digunakan berupa GPS, Luxmeter, Altimeter, peralatan untuk analisis vegetasi, peralatan untuk survei sosial ekonomi dan peralatan untuk pemasukan, pengolahan dan analisis data GIS.


(55)

3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Batasan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser. Data lokasi keberadaan Daun Sang belum tersedia dan diketahui. Oleh karenanya dilakukan pengambilan sampel berdasarkan presence/kehadiran Daun

Sang, dengan metode purposive sampling. Kepentingan dari pengambilan data

lapangan bukan untuk menemukan informasi ukuran populasi, tetapi untuk menemukan hubungan antara Daun Sang dengan habitatnya (Franklin, 2010). Hernandez et al (2006) menyatakan bahwa dengan ukuran sampel kecil seperti 5,

10, 25 kejadian sudah dapat digunakan sebagai pembangun model dengan cukup akurat.

3.4.2 Survei Lapangan

Survei lapangan yang dilakukan dibagi dalam dua survei, yaitu survei Daun Sang dan survei sosial ekonomi masyarakat.

Survei Daun Sang

Survei dilakukan secara purposive, dan berdasarkan kehadiran/presence,

mengingat data lokasi tidak diketahui secara pasti, dan tidak di semua lokasi dapat ditemukan Daun Sang. Informasi keberadaan Daun Sang diperoleh dari masyarakat setempat. Sampel dibuat sebanyak 30 petak ukur, berbentuk single

plot. Masing-masing sampel akan dibuat petak ukur dengan ukuran 20 x 20 m

(untuk pengamatan Daun Sang dan pohon spesies lain), dan sub-sub petak dengan ukuran 10 x 10 m (untuk pengamatan tiang spesies lain ), 5 x 5 m (untuk pengamatan pancang spesies lain) dan 2 x 2 m (untuk pengamatan semai spesies lain). Pada petak ukur tersebut dilakukan pencatatan:


(56)

- jumlah Daun Sang, tinggi, diameter tajuk, jumlah daun, jumlah daun hidup, panjang dan lebar daun

- jumlah dan jenis tumbuhan pada tingkat semai (2 x 2 )

- jumlah, jenis dan tinggi tumbuhan pada tingkat pancang (5 x 5)

- jumlah, jenis dan tinggi, tinggi bebas cabang, diameter, diameter tajuk tumbuhan pada tingkat tiang (10 x 10)

- jumlah, jenis dan tinggi, tinggi bebas cabang, diameter, diameter tajuk tumbuhan pada tingkat pohon (20 x 20)

- kelerengan, ketinggian tempat, ketebalan serasah, suhu, kelembaban, intensitas sinar matahari

- Contoh tanah diambil pada setiap petak pengamatan, dengan masing-masing petak pengamatan diambil sebanyak lima sampel. Pengambilan sampel tanah dari setiap petak tersebut dilakukan secara komposit, kemudian dicampurkan. Setiap sampel tanah diambil pada kedalaman 1 -

20 cm

- koordinat lokasi masing-masing Daun Sang dengan menggunakan GPS Survei Sosial Ekonomi

Data Sosek diperoleh melalui data sekunder (berupa data-data yang tersedia dari instansi terkait) dan data primer berupa wawancara secara langsung dengan masyarakat sekitar kawasan hutan Sekundur. Perkampungan terdekat dan yang masyarakatnya memanfaatkan Daun Sang terdapat di Dusun Aras Napal Kanan dan Aras Napal Kiri. Wawancara dilakukan untuk mengetahui kondisi sosial (umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan lama bermukim), kondisi


(57)

ekonomi (mata pencaharian, kepemilikan lahan, penghasilan), serta persepsi dan pemahaman dan interaksi dengan Daun Sang.

3.4.3 Analisis Laboratorium

Analisis Laboratorium dibedakan menjadi tiga tahapan, yaitu:

- analisis tanah, dilakukan untuk mengetahui sifat fisik (tekstur) dan kimia (pH, C-organik, N, P, K) tanah

- identifikasi jenis tumbuhan, dilakukan untuk mengetahui nama-nama ilmiah tumbuhan hasil analisa vegetasi yang belum teridentifikasi dengan menggunakan literatur-literatur yang mendukung

- pemasukan, penyusunan dan analisis SIG dilakukan untuk mendapatkan peta tutupan lahan, ketinggian, kelerengan, jarak dari perkampungan, jarak dari jalur jalan, sebaran Daun Sang, iklim, dan jenis tanah pada lokasi penelitian. Selanjutnya akan dilakukan pemodelan untuk mendapatkan prediksi sebaran Daun Sang di kawasan hutan Sekundur

3.5 Analisis Data

Berdasarkan data-data hasil penelitian yang diperoleh, kemudian dilakukan berbagai analisis sebagai berikut:

3.5.1 Analisis Deskriptif

Data yang diperoleh dari lapangan, baik data biologi maupun data sosial ekonomi budaya akan disusun, ditabulasikan dan dibuat grafik serta dijabarkan dengan jelas, untuk menunjang analisis selanjutnya.


(58)

3.5.2 Sebaran dan Populasi Daun Sang

3.5.2.1 Analisis Tingkat Permudaan Daun Sang

Tingkat permudaan Daun Sang dibedakan menjadi 3, yaitu semai, juvenil dan dewasa. Data yang dipakai untuk pengkategorian meliputi: jumlah daun hidup, panjang pelepah daun, panjang daun, lebar pangkal daun, lebar tengah daun, diameter tajuk dan tinggi. Selanjutnya data tersebut akan dianalisis menggunakan clasify-K-Means dari software SPSS. Untuk melihat hubungan

antara faktor-faktor pendukung yang digunakan untuk mengkategorikan tingkat pertumbuhan Daun Sang dilakukan analisis regresi linear berganda.

3.5.2.2Indeks Penyebaran Morisita untuk Daun Sang

Untuk mengetahui pola sebaran jenis pada habitat digunakan metode pola sebaran Morisita. Apabila nilainya >1, maka sebarannya mengelompok; 1, maka sebarannya acak dan bila <1, maka sebarannya normal. Untuk melihat signifikasi

nilai dengan 1, dilakukan uji χ². Apabila χ²hitung > dari χ²tabel, maka terdapat

signifikansi nilai dengan 1. χ²tabel dilihat pada tabel, dengan derajat bebas v = n-1

dan α = 0,05. Rumus untuk menghitung Indeks Penyebaran Morisita dan χ²hitung

        − − =

) 1 ( 2 N N N X n Id

adalah sebagai berikut :

χ²hitung

Dimana :

= ((n x ƩX²)/N) - N

Id = Indeks sebaran Morisita n = jumlah petak

N = total jumlah individu pada semua petak


(1)

Lampiran 9. Indeks Jaccard pada assosiasi Daun Sang dengan semai vegetasi lain

No. Pasangan Indeks Jaccard

1 Meranti Beras Daun Sang 0,10

2 Meranti Batu Daun Sang 0,27

3 Kelat Daun Sang 0,03

4 Otop Daun Sang 0,13

5 Kopi kopi Daun Sang 0,40

6 Jarum Merah Daun Sang 0,33

7 Tiga Urat Hijau Daun Sang 0,10

8 Pinang Baik Daun Sang 0,23

9 Keruing Daun Sang 0,17

10 Arang arang Daun Sang 0,37

11 Kamuk Daun Sang 0,07

12 Jambu gunung Daun Sang 0,17

13 Bayur batu Daun Sang 0,17

14 Medang Telor Daun Sang 0,03

15 Munel Putih Daun Sang 0,43

16 Kacang putih Daun Sang 0,27

17 Redas Daun Sang 0,07

18 Jelutung Daun Sang 0,03

19 Banitan daun kecil Daun Sang 0,03

20 Kuli batu Daun Sang 0,27

21 Damar keriting Daun Sang 0,07

22 Damar laut Daun Sang 0,07

23 Kedondong hutan Daun Sang 0,03

24 Ubar gunung Daun Sang 0,07

25 Cengal Daun Sang 0,20

26 Medang gatal Daun Sang 0,03

27 Duku hutan Daun Sang 0,07

28 Gelombang rawa Daun Sang 0,07

29 Jerik gunung Daun Sang 0,07

30 Meranti kuning Daun Sang 0,10

31 Merbau Daun Sang 0,07

32 Ubar jambu Daun Sang 0,07

33 Tongkat ali Daun Sang 0,03

34 Rengas ayam Daun Sang 0,10

35 Bintangur tiga urat Daun Sang 0,07

36 Dada kedih Daun Sang 0,03


(2)

41 Manggis hutan Daun Sang 0,03

42 Pulai Daun Sang 0,03

43 Gelenggang merak kecil Daun Sang 0,03

44 Jambu rawa Daun Sang 0,03

45 Jerik rawa Daun Sang 0,03

46 Jambu jambu Daun Sang 0,03

47 Kembang semangkok Daun Sang 0,03

48 Kelat daun lebar Daun Sang 0,03

49 Banitan Daun Sang 0,10

50 Semantok Daun Sang 0,03

51 Lenggen Daun Sang 0,03


(3)

Lampiran 10. Indeks Jaccard pada assosiasi Daun Sang dengan tiang vegetasi lain

No. Pasangan Indeks Jaccard

1 Bintangur Daun Sang 0,10

2 Medang telur Daun Sang 0,03

3 Bintangur tiga urat Daun Sang 0,03

4 Temboho Daun Sang 0,03

5 Meranti beras Daun Sang 0,10

6 Kuli batu Daun Sang 0,07

7 Meranti gembung Daun Sang 0,07

8 Medang rungku Daun Sang 0,07

9 Damar keriting Daun Sang 0,10

10 Banitan tahi ayam Daun Sang 0,07

11 Bayur batu Daun Sang 0,03

12 Sri gunung Daun Sang 0,03

13 Ubar gunung Daun Sang 0,03

14 Meranti kuning Daun Sang 0,07

15 Meranti udang Daun Sang 0,07

16 Cengal Daun Sang 0,07

17 Banitan Daun Sang 0,03

18 Pinang baik Daun Sang 0,10

19 Petai Daun Sang 0,03

20 Rengas Daun Sang 0,03

21 Jelutung Daun Sang 0,03

22 Arang arang daun lebar Daun Sang 0,03

23 Jarum merah Daun Sang 0,07

24 Besi besi Daun Sang 0,07

25 Jerik gunung Daun Sang 0,03

26 Pelawi Daun Sang 0,03

27 Kembang semangkok Daun Sang 0,03

28 Meranti batu Daun Sang 0,03

29 Ubar rawa Daun Sang 0,03

30 Cempedak hutan Daun Sang 0,03

31 Medang semut Daun Sang 0,03

32 Kelat tiga urat Daun Sang 0,10

33 Merbau Daun Sang 0,07

34 Kelat daun lebar Daun Sang 0,03

35 Darah darah Daun Sang 0,03

36 Mayang Daun Sang 0,07


(4)

41 Duku hutan Daun Sang 0,07

42 Tempinis Daun Sang 0,03

43 Geseng krakah Daun Sang 0,03

44 Gelombang batu Daun Sang 0,03

45 Asam king Daun Sang 0,03

46 Kopi kopi Daun Sang 0,03

47 Kompas Daun Sang 0,03

48 Semantok Daun Sang 0,03

49 Kemuning Daun Sang 0,03


(5)

Lampiran 11. Rekapitulasi data sosial ekonomi budaya

No. Dusun Nama Umur

(tahun) Pendidikan

Jumlah Lama bermukim

Mata

Pencaharian Lahan Penghasilan Agama Suku ang

klrg

1 Aras Napal Kiri Sueb (Kadus) 59 SD 8 30an tahun Bertani 5 ha 2.000.000 Islam Jawa

2 Agus Winarno 34 SD 1 12 tahun Buruh - 1.500.000 Islam Jawa

3 Edi Sucipto 39 SD 6 16 tahun Bertani 0,28 ha 1.300.000 Islam Jawa

4 Logo Sihombing 42 SD 6 42 tahun Bertani 1 ha 600.000 Kristen Batak

5 Amsar Pardosi 36 SD 6 36 tahun Bertani 1 ha 1.000.000 Islam Mandailing

6 Tukirin 39 SD 5 12 tahun Bertani - 500.000 Islam Jawa

7 Borman Matondang 38 SMP 5 15 tahun Bertani 0,5 ha 2.000.000 Islam Mandailing

8 Jamin 58 SD 9 40 tahun Bertani - 1.000.000 Islam Gayo

9 Sahrizal 31 SD 3 2,5 tahun Bertani - 500.000 Islam Gayo

10 Ruslan 45 SMA 5 20 tahun Bertani 2 ha 1.500.000 Islam Jawa

11 Supiyanto 38 SD 5 15 tahun Bertani 0,2 ha 500.000 Islam Jawa

12 Surya Atmaja 31 SMP 3 5 tahun Bertani - 500.000 Islam Jawa

13 Pius Sabar Turnip 23 SMA 2 23 tahun Bertani - 600.000 Kristen Batak

14 Aras Napal Kanan Situmeang 62 Tidak sekolah 8 33 tahun Bertani 1 ha 1.000.000 Kristen Batak Toba 15 Harli Siringo ringo 31 S1 Pertanian IPB 27an tahun Bertani 12 ha 3 - 4 juta Kristen Batak Toba 16 Zainal Abidin Purba 39 SMP 2 23 tahun Bertani - 500.000 Kristen Batak Toba

17 Misnan Sijabat 45 SMP 6 25 tahun Bertani 1 ha 600.000 Kristen Tapanuli

18 Pairin 50 SD 5 22 tahun Buruh - 500.000 Islam Jawa


(6)

23 Aman Saragih 50 SMP 2 27 tahun Bertani 2 ha 1.600.000 Islam Mandailing