Gambaran Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin di RSU

mereka bekerja. Mereka bisa menjadi role model yang baik bagi para pekerja pemula serta memiliki loyalitas yang tinggi dalam bekerja.

2. Gambaran Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin di RSU

Kabupaten Tangerang Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba Notoatmodjo, 2007. Sedangkan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin didefinisikan sebagai penguasaan dan pemahaman perawat yang diperoleh dari fakta atau informasi tentang inkontinensia urin Henderson, 1996. Notoatmodjo 2007 berpendapat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang tidaklah sama, melainkan bertingkat-tingkat dimana hal tersebut tergantung pada upaya untuk mempelajarinya lebih dalam. Adanya variasi pengetahuan menunjukkan pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: tingkat pendidikan, informasi, budaya pengalaman, dan sosial ekonomi. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar responden 62.5 memiliki pengetahuan yang cukup tentang inkontinensia urin, 17.4 diantaranya berpengetahuan baik, dan 17.4 lagi dinyatakan berpengetahuan kurang. Pengetahuan yang cukup tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: pendidikan, masa kerja, pengalaman, minat, dan sumber informasi Notoatmodjo, 2007. Dari segi pendidikan, sebagian besar responden telah memnempuh pendidikan D3 Keperawatan sehingga mereka sudah familiar dengan istilah inkontinensia urin. Dari segi pengalaman dan lama kerja, sebagian besar responden telah bekerja selama ≥11 tahun 37.0. Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu baik dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya. pengalaman nantinya akan melekat menjadi pengetahuan pada individu secara subjektif sehingga semakin banyak pengalaman tentunya pengetahuan yang didapat juga semakin banyak. Dari segi informasi, kemudahan dalam mendapatkan informasi dari berbagai sumber melalui media promosi kesehatan atau internet juga dapat meningkatkan pengetahuan. Tingkat pengetahuan responden tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan praktik perawatan inkontinensia urin pasien di rumah sakit. Hal ini terjadi karena pengetahuan merupakan bekal yang paling esensial dalam pembentukan perilaku seseorang. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Saxer et al 2008. Saxer 2008 tidak mengelompokkan pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin ke dalam kategori baik, cukup, dan kurang, melainkan hanya melihat persentase jawaban benar. Hasil penelitian Saxer et al 2008 menunjukkan bahwa 96-98 dari perawat menjawab dengan benar pada tiga item pernyataan berikut: ‘inkontinensia urin dapat lebih sering terjadi pada saat bersin, batuk dan berjalan ’, ‘stroke dapat menyebabkan inkontinensia ’, ‘toilet training dapat memperbaiki inkontinensia pada pasien lansia yang membutuhkan perawatan ’. Sekitar 85 dari perawat tidak tahu jawaban yang tepat untuk pernyataan: ‘perempuan lebih sering mengalami inkontinensia daripada laki-laki’, ‘lebih dari 80 penduduk di panti jompo menderita inkontinensia urin’. Adapun berdasarkan hasil penelitian ini, pernyataan dengan jawaban benar tertinggi adalah pernyataan no.5 pernyataan positif ‘infeksi kandung kemih dapat menyebabkan inkontinensia urin’. 100 responden menjawab benar pada item no.5. Sementara itu, pernyataan dengan jawaban benar terendah adalah penyataan no. 22 pernyataan negatif ‘persentase kejadian inkontinensia urin tipe stres hanya sebagian kecil dari persentase semua tipe inkontinensia urin’. Pada item ini, hanya 4 orang 8.69 yang menjawab benar dan mengetahui bahwa persentase kejadian inkontinensia urin tipe stres bukan merupakan sebagian kecil dari persentase semua tipe inkontinensia urin. Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa perawat mempunyai pengetahuan yang cukup baik bahwa inkontinensia urin bisa disebabkan oleh infeksi kandung kemih. Infeksi saluran kemih seperti sistitis dan urethritis dapat menyebabkan iritasi kandung kemih sehingga timbul frekuensi, disuria, dan urgensi yang mengakibatkan seseorang tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih Doughty, 2006. Kejadian infeksi saluran kemih ini pun sudah sangat familiar dan sering terjadi pada pasien di RSU Kabupaten Tangerang sehingga mereka pun mampu mengenali dampak dari kejadian tersebut, diantaranya inkontinensia urin. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Maaike et al 2007 menunjukkan bahwa infeksi saluran kemih merupakan komorbiditas inkontinensia urin yang paling sering terjadi OR=2.90 dibanding faktor komorbiditas lain seperti: konstipsi, depresi, diabetes mellitus, gagal jantung, dan lainnya. Sementara itu, responden kurang memahami hal-hal terkait insidensi inkontinensia urin tipe stres. Berdasarkan penelitian meta- analisis epidemiologi inkontinensia urin di dunia, inkontinensia stres adalah jenis inkontinensia yang paling umum terjadi. Inkontinensia stres diperhitungkan hampir setengah dari total prevalensi inkontinensia urin di seluruh dunia Diokno, 2003. Akan tetapi, hanya sebagian kecil responden yang mengetahui hal tersebut. Peneliti mendapatkan bahwa sebagian besar responden salah mengartikan inkontinensia tipe stres sebagai akibat masalah psikologis padahal sebenarnya inkontinensia tipe ini terjadi akibat peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen, cedera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi destrusor, kelainan kongenital seperti ekstrofi vesika urinaria atau ureter ektopik, dan sejumlah keadaan lainnya Lewis, 2011. Hal ini menunjukkan bahwa responden kurang familiar dengan kejadian inkontinensia urin tipe stres. Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan Lewis et al., 2011. Inkontinensia urin bukan merupakan hal baru di Indonesia, namun masih beberapa perawat yang masuk kategori berpengetahuan kurang tentang inkontinensia urin. Terbukti dari hasil penelitian terdapat 8 perawat 17.4 mempunyai pengetahuan yang kurang tentang inkontinensia urin. Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya pengalaman, kurangnya informasi, kurangnya keinginan responden untuk mencari tahu tentang inkontinensia urin, serta kurangnya partisipasi aktif dari pihak Manajemen Rumah Sakit untuk mengadakan seminar, workshop, atau penyediaan media informasi terkait inkontinensia urin. Peneliti berpendapat bahwa pihak Manajemen Rumah Sakit perlu mempertimbangkan secara aktif untuk melibatkan perawat dalam mengembangkan pengetahuan tentang inkontinensia urin dan perawatannya melalui seminar, simposium, lokakarya, atau membaca jurnal tentang inkontinensia urin. Selain itu, perawat juga perlu melakukan penyegaran mengenai perawatan inkontinensia urin. Dengan demikian, penyegaran tersebut diharapkan menjadi wadah diskusi yang aktif antar perawat. Selain itu, penyegaran juga bisa menjadi wadah berbagi pengalaman yang nantinya akan menambah pengetahuan semua perawat.

3. Gambaran Praktik Perawatan Inkontinensia Urin di RSU