Sementara itu, pernyataan dengan skor terendah adalah penyataan no. 23 ‘menginisiasi penatalaksanaan inkontinensia urin, seperti bantuan
toileting, Kegel exercises , dan lain-
lain’. Sebenarnya sebagian besar responden 97.83 mengetahui bahwa
inkontinensia urin bisa membaik dengan penatalaksanaan yang tepat.
Selain itu, 82.61 responden juga mengetahui bahwa l
atihan otot panggul Kegel Exercise bisa membantu menghentikan inkontinensia urin.
Namun, pada praktiknya reponden jarang menginisiasi penatalaksanaan inkontinensia urin, seperti bantuan toileting,
Kegel exercises , dan lain-lain. Hal ini mungkin disebabkan karena perawat
kurang terbiasa melakukan penatalaksanaan inkontinensia urin, bantuan toileting
lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien, perawat belum terlatihterbiasa melakukan senam Kegel, serta kurangnya sarana dan
prasarana untuk melakukan senam Kegel.
B. Analisis Bivariat
1. Hubungan antara Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin
dan Praktik Perawatan Inkontinensia Urin di RSU Kabupaten Tangerang
Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan moderat antara variabel pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin dan variabel
praktik perawatan inkontinensia urin p = 0.035, r = 0.311. Walaupun kekuatan hubungan kedua variabel itu moderat, tetapi koefisien korelasi
dalam penelitian ini bernilai positif, artinya hubungan antara variabel pengetahuan dengan variabel praktik merupakan hubungan yang
sebanding, dimana pengetahuan yang baik disertai dengan praktik yang baik, pengetahuan yang cukup disertai dengan praktik yang cukup, begitu
pula pengetahuan yang kurang juga disertai dengan praktik yang kurang.
Praktik perawatan inkontinensia urin akan timbul dengan adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yaitu pengetahuan tentang
inkontinensia urin. Green 1980, dalam Notoatmodjo 2007 menyatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi yang
mendasari perubahan perilaku seseorang. Hal senada juga diungkapkan oleh WHO 1984, dalam Notoatmodjo 2007 bahwa pengetahuan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku yang dalam hal ini adalah praktik perawatan inkontinensia urin pada
pasien di rumah sakit.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Henderson pada perawat di Texas 1996. Hasil uji statistik antara variabel
pengetahuan dan praktik pada penelitian Henderson 1996 diperoleh nilai p = 0.033. Perawat melakukan perawatan inkontinensia urin dikarenakan
adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yaitu pengetahuan tentang inkontinensia urin. Perawat yang memiliki pengetahuan cukup
tinggi mengenai inkontinensia urin meyakini bahwa perawatan inkontinensia urin merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan
oleh mereka. Sebaliknya, perawat yang berpengetahuan kurang, cenderung tidak berkeinginan untuk melakukan perawatan inkontinensia urin dengan
baik. Beberapa faktor penghambat juga mempengaruhi pelaksanaan
perawatan inkontinensia yaitu, beberapa perawat mungkin masih tidak menganggap perawatan inkontinensia urin sebagai bagian dari kewajiban
mereka, kurangnya sarana penunjang perawatan inkontinensia urin, atau pasien yang merasa engganmalu ketika ditanya tentang hal inkontinensia
urin.
Bloom 2003, dalam Notoatmodjo 2007 mengatakan bahwa terbentuknya suatu perilaku baru, dimulai pada domain kognitif, dalam arti
subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut dan
selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan
menimbulkan respon lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan action sehubungan dengan stimulus yang telah diketahui.
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin dengan perawatan
inkontinensia urin pada pasien di RSU Kabupaten Tangerang. Oleh karena itu,
pihak rumah
sakit perlu
melakukan kegiatan-kegiatan
pembinaanpelatihanpenyegaran guna meningkatkan pengetahuan serta kesadaran dan tanggung jawab staf perawat dalam menangani masalah
inkontinensia urin pada pasien selama proses perawatan di rumah sakit. Pengetahuan tersebut akan menjadi dasar yang kuat untuk menumbuhkan
suatu perilaku tindakan.
Selain pengetahuan, ada beberapa faktor yang diasumsikan dapat mempengaruhi praktik perawatan inkontinensia urin, seperti: sikap,
kepercayaan, nilai-nilai, fasilitas kesehatan, dan manajemen Rumah Sakit. Faktor-faktor tersebut memang secara statistik tidak diuji. Hal ini mungkin
menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini. Akan tetapi, peneliti menganggap bahwa semua faktor tersebut sebagian besar sudah homogen.
Responden berasal dari rumah sakit yang sama, yaitu RSU Kabupaten Tangerang sehingga fasilitas yang tersedia alat-alat, SOP, obat-obatan
juga sama. Selain itu, semua responden juga berada di bawah manajemen Rumah Sakit yang sama sehingga kepercayaan dan nilai-nilai yang
terbentuk sesuai dengan Visi, Misi, Motto, dan Nilai-nilai yang diterapkan di RSU Kabupaten Tangerang. Visinya adalah menjadi RS rujukan yang
bermutu dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Tangerang. Misinya adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan individu
dan membangun sistem manajemen RS yang efektif dan efisien. Sedangkan motto RS adalah BERTEMU KASIH Bersih, Tertib,
berMutu, dan Kasih Sayang. Sementara nilai-nilai yang harus dianut dan diterapkan dalam sikap dan perilaku seluruh jajaran pegawai RSU
Kabupaten Tangerang dalam menjalankan semua kegiatan yaitu CARE Cakap Competent, Akuntabel, Responsif, Efisien.
Dari pernyataan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pihak manajemen RSU Kabupaten Tangerang juga perlu menyediakan fasilitas
penunjang kesehatan termasuk SOP penatalaksanaan inkontinensia urin, disamping melakukan seminarpelatihan guna meningkatkan praktik
perawatan inkontinensia urin. Selain itu, pihak manajemen RS juga harus senantiasa menekankan pelaksanaan visi, misi, motto, serta nilai-nilai yang
telah diterapkan di kalangan semua petugas RSU Kabupaten Tangerang.
C. Keterbatasan Penelitian