17.4 mempunyai pengetahuan yang kurang tentang inkontinensia urin. Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya pengalaman, kurangnya
informasi, kurangnya keinginan responden untuk mencari tahu tentang inkontinensia urin, serta kurangnya partisipasi aktif dari pihak Manajemen
Rumah Sakit untuk mengadakan seminar, workshop, atau penyediaan media informasi terkait inkontinensia urin.
Peneliti berpendapat bahwa pihak Manajemen Rumah Sakit perlu mempertimbangkan secara aktif untuk melibatkan perawat dalam
mengembangkan pengetahuan
tentang inkontinensia
urin dan
perawatannya melalui seminar, simposium, lokakarya, atau membaca jurnal tentang inkontinensia urin. Selain itu, perawat juga perlu melakukan
penyegaran mengenai perawatan inkontinensia urin. Dengan demikian, penyegaran tersebut diharapkan menjadi wadah diskusi yang aktif antar
perawat. Selain itu, penyegaran juga bisa menjadi wadah berbagi pengalaman yang nantinya akan menambah pengetahuan semua perawat.
3. Gambaran Praktik Perawatan Inkontinensia Urin di RSU
Kabupaten Tangerang
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008, praktik didefinisikan sebagai pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam
teori. Sementara praktik perawatan merupakan tindakan mandiri perawat profesional melalui kerja sama bersifat kolaborasi dengan klien dan tenaga
kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya Kusnanto, 2004. Dalam penelitian
ini, praktik perawatan yang dimaksud adalah praktik perawatan inkontinensia urin. Agency for Health Care Policy and Research AHCPR
mendefinisikan praktik perawatan inkontinensia urin sebagai sumber daya perilaku yang diidentifikasi sebagai tindakan yang diambil oleh perawat
yang relevan untuk merawat klien dengan inkontinensia urin Henderson, 1996.
Perilaku yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu praktik perawatan inkontinensia urin yang masih belum bisa peneliti observasi secara
langsung. Peneliti hanya mengajukan pertanyaan melalui kuisioner mengenai praktik perawatan inkontinensia urin.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden masuk dalam kategori cukup dalam melakukan praktik perawatan
inkontinensia urin, yakni sebesar 24 responden 52.2. Sedangkan yang masuk dalam kategori praktik baik sebesar 19 responden 41.3 dan yang
berkategori praktik kurang sebesar 3 responden 6.5. Lain halnya dengan penelitian Zurcher 2011, prevalensi perawat yang mengenali dan
menyelesaikan masalah inkontinensia urin di ruang perawatan akut masih sangat minimal, yaitu sebesar 24,4 .
Sebagian besar responden dalam penelitian ini melakukan praktik perawatan inkontinensia urin dengan cukup baik. Hal ini dapat disebabkan
adanya pengetahuan yang cukup tentang inkontinensia urin di kalangan responden yang diteliti, sehingga ada kemampuan untuk melakukan
praktik perawatan inkontinensia urin. Domain praktik dalam pembentukan
suatu perilaku mempunyai nilai yang sangat penting karena pengetahuan yang tinggi tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan pelaksanaan
yang baik .
Penelitian yang dilakukan di RSU Kabupaten Tangerang ini menunjukkan bahwa masih ada 6.5 responden yang masuk dalam
kategori kurang dalam hal praktik perawatan inkontinensia urin. Faktor- faktor yang menyebabkan perawat tidak melaksanakan perawatan
inkontinensia urin dengan baik, diantaranya: kurangnya kemampuan perawat dalam mengenali kejadian inkontinensia urin pada pasien, perawat
mungkin masih tidak menganggap perawatan inkontinensia urin sebagai bagian dari kewajiban tenaga keperawatan, bantuan toileting lebih sering
dilakukan oleh keluarga pasien, serta kurangnya pengetahuan terkait pengkajian dan manajemen inkontinensia urin. Selain itu, berdasarkan
wawancara dengan beberapa Kepala Ruangan, mereka menyebutkan bahwa belum ada Standart Operational Procedure SOP yang spesifik
terkait penatalaksanaan inkontinensia urin di RSU Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan item
pernyataan terkait
praktik perawatan
inkontinensia urin, pernyataan dengan skor tertinggi adalah pernyataan no.6 ‘menyarankan pasien inkontinensia urin untuk menanyakan kondisiya
kepada dokter atau tenaga kesehatan lain’. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa responden senantiasa menyarankan kepada pasien untuk
menanyakan kondisinya kepada tenaga kesehatan karena setiap pasien mendapatkan hak atas informasi tentang penyakitnya.
Sementara itu, pernyataan dengan skor terendah adalah penyataan no. 23 ‘menginisiasi penatalaksanaan inkontinensia urin, seperti bantuan
toileting, Kegel exercises , dan lain-
lain’. Sebenarnya sebagian besar responden 97.83 mengetahui bahwa
inkontinensia urin bisa membaik dengan penatalaksanaan yang tepat.
Selain itu, 82.61 responden juga mengetahui bahwa l
atihan otot panggul Kegel Exercise bisa membantu menghentikan inkontinensia urin.
Namun, pada praktiknya reponden jarang menginisiasi penatalaksanaan inkontinensia urin, seperti bantuan toileting,
Kegel exercises , dan lain-lain. Hal ini mungkin disebabkan karena perawat
kurang terbiasa melakukan penatalaksanaan inkontinensia urin, bantuan toileting
lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien, perawat belum terlatihterbiasa melakukan senam Kegel, serta kurangnya sarana dan
prasarana untuk melakukan senam Kegel.
B. Analisis Bivariat
1. Hubungan antara Pengetahuan Perawat tentang Inkontinensia Urin
dan Praktik Perawatan Inkontinensia Urin di RSU Kabupaten Tangerang
Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan moderat antara variabel pengetahuan perawat tentang inkontinensia urin dan variabel
praktik perawatan inkontinensia urin p = 0.035, r = 0.311. Walaupun kekuatan hubungan kedua variabel itu moderat, tetapi koefisien korelasi
dalam penelitian ini bernilai positif, artinya hubungan antara variabel pengetahuan dengan variabel praktik merupakan hubungan yang