Hambatan Dalam Penilaian Kinerja

7. Menyempurnakan sistem informasi sumber daya manusia sehingga benar- benar dapat diandalkan dalam menyelenggarakan berbagai fungsi yang menjadi tanggung jawab manajemen sumber daya manusia. 8. Menyempurnakan sistem rancang bangun pekerjaan karena tidak mustahil kinerja karyawan tidak sesuai dengan harapan karena rancang bangun yang kurang tepat. 9. Membantu perusahaan meningkatkan kemampuan untuk menghadapi tantangan eksternal di masa datang.

2.3.4 Hambatan Dalam Penilaian Kinerja

Penilaian yang dilakukan dengan adil diharapkan dapat meningkatkan produktivitas karyawan. Karyawan yang tidak berprestasi baik akan memperoleh umpan balik dan diharapkan akan meningkatkan prestasinya. Namun, terkadang cara Penilaian Kinerja tidak memperbaiki kondisi. Karyawan yang mendapat teguran atau mempunyai penilaian tidak baik di mata pimpinan akan merasa tersinggung atau putus asa. Hal ini akan semakin memperburuk prestasinya. Dengan demikian, Penilai harus berhati-hati dalam menjelaskan hasil Penilaian Kinerja terhadap karyawan. Penilaian diharapkan menjadi proses kontinu yang merupakan bagian integral dari proses interaksi antara manajer dengan karyawan. Rachmawati 2008, menjelaskan beberapa faktor yang mungkin dapat menjadi hambatan dalam Penilaian Kinerja yang adil: 1. Perubahan standar Standar yang tidak konsisten dan berubah-ubah akan mempengaruhi pengukuran prestasi karyawan. Sebagai contoh, penilai mungkin cenderung memberikan penilaian yang baik terhadap karyawan yang kelihatannya penurut dibandingkan karyawan yang suka membantah, meskipun karyawan tersebut mempunyai prestasi yang baik. 2. Hallo effect Hallo effect terjadi apabila penilaian penilai terhadap prestasi karyawan secara keseluruhan hanya bergantung pada satu atau beberapa aspek saja. Efek tersebut merupakan efek berantai. Biasanya hal ini terjadi karena pimpinan melibatkan emosi dalam sebuah penilaian, menilai terlalu lunak atau keras, melibatkan prasangka pribadi, serta menilai berdasarkan data atau fakta dari waktu yang paling akhir saja. 3. Perbedaan sifat penilai Penilai mempunyai sifat dan karakter yang berbeda. Penilaian karyawan bisa menjadi berbeda karena sifat penilai. Oleh karena itu, disarankan untuk membuat standarpedoman penilaian untuk dijadikan patokan penilaian agar penilaian secara adil dapat diwujudkan dan karyawan terhindar dari bias yang disebabkan karakter penilai. 4. Perbedaan stereotipe tertentu Penilai dapat menjadi bias karena faktor etnis, jenis kelamin, atau golongan tertentu. Untuk menghindari hal itu, penilai harus berpegang pada pedomanstandar tertulis dan hasil Penilaian Kinerja pun harus dilakukan secara tertulis sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut Grote seperti dikutip dalam Nisa, 2006, menyebutkan bahwa ketidakpuasan terhadap sistem Penilaian Kinerja selama ini terjadi karena: 1. Kriteria penilaian dirasakan tidak adil. 2. Tidak ada feedback dan coaching. 3. Tidak bisa menjawab pertanyaan tentang pengembangan diri atau peningkatan karier. 4. Tidak ada korelasi yang jelas antara kinerja dengan upah yang diterima. 5. Sistem Penilaian Kinerja dinilai fragmented, bukan merupakan sistem yang berkelanjutan. Menurut Grote seperti dikutip dalam Nisa, 2006 Agar sistem Penilaian Kinerja menjadi efektif, maka organisasi dituntut untuk memfokuskan perhatian pada empat hal, yaitu: 1. Kesiapan organisasi Kesiapan organisasi disini termasuk juga komitmen organisasi yang mana manajemen puncak mencontohkan model perilaku yang tepat, melibatkan karyawan dalam pengembangan sistem untuk membangun ownership, mengkomunikasikan tata cara pelaksanaan sistem serta secara jelas menegaskan bahwa sistem yang ada merefleksikan nilai-nilai organisasi. 2. Integrasi sistem Sistem penilaian kinerja tidak bisa berdiri sendiri, harus terintegrasi dengan sistem lain dalam organisasi. Faktor integrasi ini penting karena sistem penilaian kinerja baru efektif apabila didukung oleh sistem SDM lainnya antara lain pelatihan, kompensasi, managemen development, seleksi, manpower planning, dan strategic planning. Harus ada kepastian bahwa tujuan individu, tim maupun departemen memang terkait erat dengan strategi organisasi dan nilai-nilai organisasi. 3. Pelatihan Harus dilakukan sosialisasi serta pelatihan yang terkait dengan substansi maupun mekanisme penilaian kinerja, baik kepada penilai appraiser maupun yang dinilai appraisee. Para pimpinan dan karyawan harus diajarkan bagaimana cara menetapkan tujuan, mengidentifikasi perilaku kunci dan menilai kinerja secara benar. Para pimpinan juga perlu diberikan pelatihan interpersonal dan coaching skill agar proses konsultasi berlangsung efektif. 4. Evaluasi Efektivitas sistem penilaian kinerja juga tergantung pada komitmen pemimpin untuk mempergunakannya secara efektif. Kualitas dan kesinambungan review yang dilakukan perlu diperhatikan. Organisasi yang ingin sistemnya berjalan efektif menuntut para pemimpin untuk melakukan review paling sedikit 1 tahun sekali. Organisasi dapat menilai tanggungjawab pemimpin melalui evaluasi pemanfaatan sistem penilaian kinerja terhadap pengembangan dan peningkatan karier bawahan.

2.3.5 Metode Penilaian Kinerja