program ini, sehingga dikhawatirkan dapat meningkatkan jumlah mereka. Program ini disubsidi oleh Barat sebagai strategi Kristen untuk
menghilangkan Muslim di Indonesia. Transmigran menimbulkan ketakutan penduduk lokal akan
kehilangan mata pencaharian mereka sendiri. Selain itu juga menyebabkan ketakutan penduduk lokal oleh dominasi transmigran
baru. Akibatnya, timbul kebencian penduduk lokal yang sering mengarah pada tindak kekerasan.
60
c. Militerisasi
Keterlibatan militer dalam politik dan ekonomi terjadi pada era pemerintahan Soeharto. Hal ini melibatkan keluarga anggota
pemerintah, termasuk presiden, militer, dan Etnis Cina. Pengusaha Cina yang kaya terlihat bekerja sama dengan pemerintahan Soeharto. Cina
memiliki akses ke berbagai kegiatan komersial dan perekonomian.
61
Kolusi dan persekongkolan masuk ke dalam birokrat pemerintah yang digunakan untuk mempertahankan kekuatan finansial. Lim Sioe
Liong Soedono Salim, misalnya telah menggunakan hubungan istimewa dengan Soeharto untuk memperoleh monopoli atas multi-juta
dolar bisnis impor cengkeh. Kelompok Lim juga merupakan pemegang saham terbesar di Indonesia yang memiliki bank pribadi terbesar.
Begitu juga banyak jenderal, terutama Soeharto dan keluarga dan
60
Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 82.
61
Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 83.
kerabat memperoleh monopoli virtual di industri kunci seperti asuransi, baja, plastik, dan telekomunikasi.
d. Sinocization
Warga negara Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: warga negara Indonesia Warga Negara Indonesia - WNI dan
warga negara asing Warga Negara Asing - WNA. Label penduduk lokal mereka sebagai etnis Cina menimbulkan perpecahan. Hal ini
terlihat bahwa etnis Cina hidup dalam komunitasnya dan berpisah dari mayoritas. Perbankan, hotel dan kantor menara perusahaan yang
mendominasi cakrawala Jakarta, sebagian besar milik etnis Cina.
62
Hal ini menyebabkan kesenjangan bagi penduduk pribumi. Indonesia memiliki sedikit interaksi dengan kelompok kaya, tetapi
mereka hanya dipekerjakan sebagai driver atau pembantu yang sekaligus menjadi korban kekerasan. Semua bidang perdagangan dan
kehidupan ekonomi dikuasai etnis Cina. Mereka broker, pajak kolektor, rentenir, dan pengusaha sukses, yang menghasilkan ketidakpercayaan
dan iri hati di kalangan penduduk setempat. Tidak seperti imigran Arab dan India yang cepat berasimilasi ke
dalam masyarakat Muslim, Imigran Cina dilarang menetap dalam jumlah besar di daerah pedesaan oleh kolonial Belanda dan pemerintah
Indonesia. Mereka dimaksudkan untuk menjadi pemungut pajak dan manajer distribusi tanaman yang dihasilkan oleh Indonesia. Hal ini pada
akhirnya memberikan ruang yang luas di bidang ekonomi, dan akhirnya
62
Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolu
tion in Indonesia,” h. 85.
membiarkan mereka memainkan peran aktif dalam penciptaan monopoli.
63
e. Sekularisasi
Sekularisme di Indonesia telah berlangsung ketika zaman Belanda yang diperkenalkan melalui sistem sekolah modern.
64
Pasca kemerdekaan,
kelompok-kelompok muslim
nasionalis merasa
dikhianati oleh sekularis. Hal ini terlihat dari jabatan politik yang dikuasai sekularis. Akibatnya nasionalis religius menantang sekularis
demi mendapatkan kekuasaan. Kaum nasionalis religius beranggapan bahwa tidak mungkin
memisahkan Islam dari negara politik. Sebab kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia melalui nasionalisme Islam, dan bukan melalui
nasionalisme sekuler atau bukan pemersatu dari agama lain. Nasionalis muslim menginginkan sistem sosial dan hukum berdasarkan pada
hukum Islam. Akan tetapi, Islam tidak bisa menjadi bagian dari politik resmi di bawah rezim Soeharto.
65
Kemudian di awal 1990-an Islam mulai mendapat tempat di parlemen dan kabinet. Langkah ini disambut gembira oleh mayoritas
Muslim sebagai simbol kesuksesan setelah perjuangan panjang melawan non-Muslim. Muslim menyadari bahwa tanpa kekuasaan
politik, seseorang tidak dapat menciptakan sebuah budaya baru untuk
63
Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 86.
64
Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 89.
65
Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for H
orizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 89.