Pluralitas Butuh Frame of Reference

baik dan benar tentu akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi Indonesia. Tetapi sebaliknya , jika pluralitas tersebut tidak dikelola dengan tepat, maka akan menimbulkan konflik yang mengarah pada perpecahan bangsa. Konflik bernuansa SARA tersebut setidaknya terjadi di 40 kota yang disebabkan oleh ketidakpuasan dan kemarahan yang telah ditekan dan tidak disalurkan dengan cara yang konstruktif sejak tahun 1997. Bermula di Pontianak Kalimantan Barat terjadi konflik antara Dayak dan Madura dari provinsi Jawa Timur sejak awal 1997. Pada pertengahan-1997 di Makassar, Sulawesi, ratusan toko Cina dibakar. Kemudian pada Januari 1999, ribuan orang Kristen dan Muslim telah tewas, ratusan tempat ibadah dibakar, dan ribuan non-Maluku melarikan diri kembali ke tanah asal mereka, menyusul konflik etnis-agama di Maluku. 53 Data yang diperoleh dari Andi Faisal Bakti menyebutkan bahwa: “Pada awal tahun 2000, ratusan baik Muslim dan Kristen kehilangan nyawa mereka dalam konflik serupa di Poso, Sulawesi Tengah. Sementara Timor Timur telah merdeka sejak tahun 1999, sedangkan Aceh di Sumatera melalui Gerakan Aceh Merdeka menuntut kemerdekaan, sampai pada 15 Agustus 2005 terjadi kesepakatan damai yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Begitu juga Papua Irian Jayans dan minoritas lainnya yang tidak puas dengan pemerintah pusat. ” 54 Andi Faisal Bakti mengatakan bahwa: “Hal ini juga diperparah oleh faktor-faktor sejarah yang membuat Indonesia rentan terhadap konflik-konflik bernuansa SARA. Ada 7 tujuh faktor utama yang terkait konflik pluralitas tersebut, yaitu 53 Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia, Identity, Culture and Politics an afro-asian dialogue; ” Vol. 9, no. 1 Juli 2008: h. 75. 54 Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 75. proselitisasi, sentralisasi, militerisasi, sinocization, sekularisasi, modernisasi, dan maskulinasi. ” 55

a. Proselitisasi

Proselitisasi ini berkaitan dengan agama, khususnya Islam dengan Kristen. Pada abad ke-7, Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang Muslim yang berasal dari Arab. Sambil berdagang, mereka menyebarkan ajaran yang mereka bawa, yaitu Islam kepada penduduk nusantara. Kemudian pada abad ke-10, umat Islam mulai membangun tempat tinggal di wilayah pesisir melalui pernikahan campuran dengan penduduk setempat. Semenjak ini, Islam kian berkembang popular di tengah-tengah masyarakat seiring dengan didirikannya pusat-pusat keagamaan, termasuk masjid. Selanjutnya Islam membangun politik dari abad ke-13 sampai ke-17. Hal ini terlihat oleh munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, Mataram, Gowa-Tallo, dan sebagainya. Namun proses ini kemudian dipengaruhi oleh kedatangan orang Eropa pada abad ke-19. Tujuan mereka adalah untuk menyebarkan agama Kristen di kalangan penduduk Gospel, untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara untuk kesejahteraan ekonomi mereka Gold, dan menundukkan kekuasaan politik Islam, melalui kolonisasi Glory. Kehadiran mereka inilah yang menandai awal dari sebuah percampuran konflik agama dan etnis. 56 55 Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 76. 56 Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 77.