Sejarah Perkembangan Pluralisme dan Pluralitas

tidak ada keselamatan. 36 Meskipun gagasan pluralisme agama ini muncul dalam masyarakat Kristen, tetapi pada dasarnya pemikiran ini juga ditemukan dalam faham-faham humanisme sekular pada gerakan Hindu Brahma Samaj, Masyarakat Teosofi, dan pemikiran kebenaran abadi. Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya gagasan pluralisme sebenarnya bukan hanya dominasi pemikiran Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India. Cikal bakal pluralisme agama lebih dahulu muncul di India pada abad ke-15 dalam gagasan kabir 1440-1518 dan muridnya yaitu Guru Nanak 1469-1538 yang merupakan pendiri agama “Sikhisme”. 37 Rammohan Ray 1772-1833 pencetus gerakan Brahma Samaj yang semula pemeluk agama Hindu mencetuskan pemikiran Tuhan Satu dan persamaan antar agama. 38 Sri Ramakrishna 1834-1886 telah mengarungi pengembaraan spiritual dari Hindu ke Islam dan Kristen serta kembali lagi ke Hindu. Dia menyatakan perbedaan dalam setiap agama tidaklah berarti, karena pada hakikatnya semua agama sama mengantarkan kepada satu tujuan yang sama. Kemudian gagasan ini berkembang dan diterima di dunia Barat khususnya. Menyusul kemudian tokoh-tokoh India lain seperti Mahatma Gandhi 1869-1948 dan Sarvepalli Radhakrishnan 1888-1975 yang juga menyuarakan gagasan pluralisme agama yang sama. Ada perbedaan yang cukup menonjol antara gagasan pluralisme agama yang muncul pada abad pra-modern dan pada abad modern di India. 36 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 20. 37 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 20. 38 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 21. Pada masa pra-modern, pluralisme tersebut ditandai dengan munculnya agama baru “Sikhisme” yang merupakan perpaduan antara Hindu dan Islam. Sedangkan pada masa modern, pluralisme tersebut mencetuskan gagasan pluralisme agama yang lebih bercorak Hindu. 39 Kemudian juga terdapat perbedaan mendasar antara gagasan pluralisme agama yang dicetuskan oleh teolog-teolog India dengan yang dicetuskan oleh Barat, khususnya Eropa. Gagasan pluralisme agama India lebih memiliki akar teologisnya, karena kerangka dasarnya bersumber dari ajaran kitab suci Hindu, seperti saling dimilikinya kebenaran oleh jalan- jalan yang mengantarkan kepada Tuhan. Sedangkan di Barat gagasan ini lebih merupakan produk filsafat atheisme modern yang muncul pada pencerahan Eropa. 40

3. Islam, Pluralisme dan Pluralitas

Dalam pemikiran Islam, pluralisme masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme, khususnya pluralisme agama yang muncul lebih merupakan pemikiran baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini diperkuat oleh fakta bahwa gagasan pluralisme agama dalam Islam baru muncul pada masa-masa pasca perang Dunia Kedua. Anis Malik Thoha mengatakan: “Terminologi pluralisme tidaklah dikenal secara populer di kalangan Islam, kecuali sejak abad ke-20 yang lalu. Yaitu ketika Barat berupaya menyebarkan ideologi modernnya yang dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM, dan pasar bebas 39 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 22. 40 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 23. untuk berbagai kepentingannya. Atas dasar superioritas ras dan kultur Barat terus meremehkan dan menghina segala sesuatu yang bukan Barat, khususnya Islam dengan tuduhan intoleran, fundamentalis, anti demokrasi, dan sebagainya. ” 41 Lebih lanjut Anis mengatakan bahwa: “Dalam Al-Qur’an maupun Sunnah serta kitab-kitab klasik karya para ulama tidak ada terminologi pluralisme agama secara verbal. Namun dalam pandangan para ulama Islam lebih membahas pluralitas agama dalam berinteraksi sosial dalam keragaman suku, agama, ras, dan antar golongan SARA. Teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologis, sedangkan Islam memberikan solusi praktis sosiologis. ” 42 Masalah kehidupan bersama antar agama dalam masyarakat Islam merupakan masalah sosial yang sangat penting sekaligus sensitif. Islam memberikan aturan-aturan terhadap masalah ini yang bersumber dari Al- Qur’an dan Sunnah. Dasar-dasar teoritis ini meliputi Tauhid, pluralitas adalah sunnatullah, kebebasan beragama, dan pluralitas mengandaikan frame of reference. 43

a. Tauhid

Sentralitas Tauhid dalam Islam terhadap gagasan pluralisme agama sangat jelas bagaimana Islam melihat hakikat Tuhan, wahyu, manusia, dan masyarakat. Keempat hakikat ini berkaitan dengan hakikat agama lain, karena akan menentukan posisi agama lain dalam Islam. 44 Dalam Tauhid ini hakikat ketuhanan hanya dimiliki Allah swt, sebagaimana al- Qur’an menegaskan hakikat ini dengan sangat jelas. 41 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 181. 42 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 183. 43 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 184. 44 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 185-186. Anis mengatakan: “Hakikat wahyu dalam Tauhid yaitu manusia dapat mengenal Allah swt dengan adanya wahyu yang merupakan rahmat kepada seluruh umat manusia. Wahyu dan kenabian merupakan hal umum dan universal yang diturunkan Allah kepada setiap umat atau golongan sebagai petunjuk keimanan dan penyelamat mereka dari kesesatan. ” 45 Selanjutnya hakikat manusia dalam Tauhid adalah sama di hadapan Allah swt. Mereka diciptakan sebagai khalifah di muka bumi dengan menyembah Allah swt. Islam menyatakan fitrah manusia ketika dilahirkan ke dunia, tanpa membawa dosa keturunan. Dengan konsep “agama fitrah” Islam telah meletakkan landasan universal yang lebih kuat dan luas bagi humanisme yang sebenarnya bagi seluruh umat manusia dengan berbagai latar belakang agama, dan sebagainya. Kemudian Tauhid dan hakikat masyarakat meliputi seperangkat sistem, aturan, hukum, etika, dan nilai yang sistematis saling melengkapi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, dalam perspektif Tauhid, masyarakat merupakan ekspresi riil sosiologis bagi teori, kepercayaan, atau mazhab. 46 Hal ini berarti Islam menginginkan agar kehidupan Islam merambah ke segala aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Islam memandang seluruh manusia, Muslim dan non-Muslim yang hidup berdampingan di masyarakat Islami sebagai “ummah wahidah” umat yang satu seperti yang tertuang dalam “Piagam Madinah”. 47 Semua ini menunjukkan bahwa non-Muslim menikmati otonomi dalam 45 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 190. 46 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 203. 47 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 205.