Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial, yang secara individual membutuhkan orang lain. Ia dituntut hidup bersama dan berdampingan dengan orang lain dalam upaya mencapai tujuan hidupnya. Tanpa bantuan orang lain, manusia tidak akan dapat mengaktualisasikan dirinya sehingga tidak dapat meneruskan keberlangsungan hidupnya untuk mencapai posisi sebagai khalifah fil al-ardl. Masyarakat merupakan sebuah kelompok manusia yang memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang secara bersama-sama ditaati oleh seluruh anggota masyarakatnya. Tatanan kehidupan, norma dan adat istiadat tersebut merupakan dasar kehidupan sosial dalam lingkungan mereka yang pada gilirannya membentuk kelompok manusia yang mempunyai ciri kehidupan yang khas. 1 Dalam sebuah masyarakat, dalam kaitannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktifitas sosial. Dengan demikian, interaksi sosial merupakan kunci kehidupan sosial dimana dalam proses tersebut terjadi hubungan sosial yang dinamis baik antara individu, antara kelompok maupun antara individu dan kelompok. 2 1 M. Arifin Noor; Ilmu Sosial Dasar, Bandung : Pustaka Setia, 1999, h. 85 2 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Garafindo Persada, 2001, cet. Ke-32, h. 67 1 Proses interaksi sosial terjadi melalui empat hal yaitu, imitasi, sugesti, identifikasi, simpati. 3 Proses-proses tersebut mengandung banyak kelebihan dan kekurangannya yang semuanya tergantung dari individu dalam mengaktualisasikan hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk. Hal ini ditandai oleh pelbagai perbedaan-perbedaan seperti: suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama. Perbedaan-perbedaan ini sering kali menimbulkan konflik-konflik terutama perbedaan agama, hal ini disebabkan oleh sikap saling curiga dan salah faham dari satu penganut agama terhadap sikap dan prilaku agama lain. Oleh karena itu masyarakat dituntut untuk bersikap toleran agar tercipta kehidupan yang harmonis antar umat beragama dan setiap agama mengakui eksistensi agama-agama lain dan saling menghormati hak asasi penganutnya. Ketidakharmonisan antar pemeluk agama juga di latar belakangi oleh banyak faktor. Secara kategoris-simplistis hal itu dapat dibedakan ke dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi seseorang dalam bersikap yang disebabkan atas dasar pemahaman keagamaan terhadap agamanya. Seperti, adanya kecenderugan pemahaman radikal-ekstrim dan fundamental-subjektif. Demikian pula sikap eksklusifisme, dan kesalahpahaman terhadap ajaran agama sendiri telah menjadikan agama sebagai ancaman bagi pemeluk agama lainnya. Tidak hanya faktor internal, faktor lain seperti sikap hedonitas dan oportunitas dengan mengatas namakan agama sebagai komoditas kepentingan telah menjadikan petaka kemanusian yang berkepanjangan. 4 3 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, h. 69 Indonesia merupakan negara yang memberikan kebebasan kepada warganya untuk memeluk dan menjalankan agama berdasarkan keyakinannya. Di sini, warga diberikan kebebasan dalam mengaktualisasikan ajaran agamanya sepanjang dibarengi dengan sikap toleransi dan saling menghargai antar pemeluk agama. Kenyataan ini membawa citra Indonesia dimata internasional sebagai negara yang toleran. Namun kenyataannya, masih terjadi konflik di mana-mana seperti yang terjadi di Ambon, Poso, Madura dan lain-lain. Konflik dan pertikaian ini terjadi karena kemajemukan masyarakat Indonesia yang diperparah lagi oleh kesenjangan sosial dan ekonomi yang tajam dan belum tumbuhnya budaya multikultural yang lebih memungkinkan masyarakat kita membangun kerjasama dan kemitraan secara tulus. Misalnya kasus kerusuhan Ambon dapat dilihat sebagai bagian dari disharmonisitas yang terpendam disebabkan pertentangan ekonomi dan status sosial selama Orde Baru. Sebagian besar petani Ambon beragama Kristen, sementara itu pelaku bisnis papan bawah dan papan atas dimonopoli oleh kelompok masyarakat yang beragama Islam. Kelompok ini didukung oleh orang Bugis-Makassar dan orang-orang Ambon keturunan Arab. Sedangkan para pejabat yang duduk di birokrasi pemerintah dan angkatan bersenjata mayoritas dikuasai oleh penduduk yang beragama Kristen. Pembagian okupasi ini seakan sebuah division of labaour pembagian lapangan kerja yang telah mentradisi sejak Maluku jatuh ke tangan Belanda. Kemiskinan yang dialami kelompok petani Ambon di zaman orde baru telah menjatuhkan prestise mereka dihadapan kelompok okupasi lainnya, khususnya pendatang muslim. Ketika terjadi ekspansi terhadap lahan pendapatan kelompok lainnya, maka munculah kecurigaan dan mengundang sentimen 4 Said Agil Husen Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005, Cet.ke 3, h. Pengantar Editor sehingga mengakibatkan keseimbangan sosial tersebut goyah. Sesungguhnya pertarungan antar kelompok etnik merupakan pertarungan antar kelompok kepentingan. Namun pertarungan itu selalu dikemas dalam bungkus agama agar ia kelihatan sakral dan mudah melestarikannya. Kerusuhan-kerusuhan ini menimbulkan korban harta dan jiwa, selain itu juga yang tak kalah penting adalah rusaknya harmoni kehidupan masyarakat yang telah terbentuk sekian lama. Kecurigaan dan dendam melanda berbagai kelompok masyarakat. Masyarakat kini telah kehilangan panutan dan norma hidup berbangsa dan bernegara Fenomena di atas, menuntut seluruh warga negara untuk bersikap toleran sehingga dapat hidup berdampingan di antara sesama. Sikap toleran ini harus dikembangkan oleh segenap lapisan masyarakat dalam semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali bagi para siswa. Di Indonesia, terdapat perbedaan antara madrasah dengan sekolah, terutama jika dilihat dari aspek latar belakang agamanya. Madrasah lebih bersifat singularis, yakni semua guru, tenaga kependidikan dan para siswanya beragama Islam. Sedangkan para guru, tenaga kependidikan dan siswa di sekolah bersifat pluralis, yakni terdiri atas berbagai latar belakang agama. Suasana semacam itu menuntut tumbuh kembangnya sikap dan kesadaran pluralisme. Di sekolah-sekolah umum, biasanya tidak hanya didominasi siswa dari satu agama saja. Kebanyakan sekolah-sekolah tersebut menerima siswa dengan latar agama yang berbeda-beda. Salah satunya di SMAN 79 Jakarta. Di sekolah ini jumlah siswa non muslim sekitar 5,28 dari agama lain. 5 5 Sumber data hasil observasi Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal berfungsi dalam menyiapkan generasi penerus. Dalam menanamkan dan membina sikap toleransi antara sesama murid, terutama yang tidak seagama jika diperlukan hanya terbatas dalam membantu menyiapkan sarana yang diperlukan untuk upacara yang dimaksud, dan bukan ikut menghadiri atau melaksanakan upacara ritual agama tertentu. Di sekolah-sekolah umum, biasanya terdapat berbagai macam organisasi siswa. Salah satunya adalah organisasi kegamaan yaitu, Rohis Rohani Islam dan Rohkris Rohani Kristen. Dalam organisasi ini, siswa-siswi muslim dan non muslim dibina untuk mendalami ajaran agamanya. Selain itu dalam organisasi ini juga, siswa-siswi ini diajarkan cara berorganisasi dan berinteraksi dengan sesama, sebagai bekal nantinya hidup di masyarakat. Selain itu, siswa-siswi yang ikut dalam organisasi ini diharapkan dapat menerapkan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari, terlebih lagi cara mereka berinteraksi dengan lingkungan. Dalam hal ini, cara mereka berinteraksi dengan siswa-siswi yang berbeda agama. Hal ini amat menarik untuk dikaji lebih jauh, terutama untuk memahami pandangan siswa-siswi muslim yang aktif dalam organisasi rohis rohani Islam terhadap siswa-siswi non muslim begitu juga memahami pandangan siswa-siswi non muslim yang aktif dalam organisasi rohkris rohani Kristen terhadap siswa-siswi muslim. Serta bagaimana mereka mampu memahami setiap perbedaan yang ada di antara mereka. Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisa dalam sebuah penelitian berbentuk skripsi yang diberi judul “Agama dan Interaksi Sosial: Studi Kasus Relasi Aktivis Rohis dan Aktivis Rohkris dengan Pemeluk Agama lain di SMAN 79 Jakarta Selatan.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah