3. Ruang Lingkup Agama
1. Segi Pemahaman Dilihat dari sudut pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang
membedakan dalam perwujudannya, yaitu:
23
Pertama, segi kejiwaan Psychological State, yaitu suatu kondisi subjektif atau
kondisi dalam jiwa manusia berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi inilah yang biasa disebut kondisi agama, yakni kondisi patuh dan taat kepada
yang disembah. Kondisi ini bisa dikatakan sebagai emosi yang dimiliki oleh setiap pemeluk agama yang menjadikannya sebagai hamba Tuhan. Dimensi religiusitas
seseorang merupakan inti kebergamaan, sehingga di hati mereka bisa bangkit rasa solidaritas bagi yang seagama, menumbuhkan kesadaran beragama, dan menjadikan
seseorang menjadi orang yang sholeh dan takwa. Segi psikologis ini sangat sulit diukur dan susah diamati karena merupakan milik pribadi pemeluk agama. Pengungkapan
keberagamaan segi psikologis ini baru bisa dipahami ketika telah menjadi sesuatu yang diucapkan atau dinyatakan dalam perilaku orang yang beragama tersebut.
Kedua, segi objektif Objective State, yaitu segi luar yang disebut juga kejadian
objektif, yang merupakan dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyataka oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual
maupun persekutuan. Segi objektif inilah yang bisa dipelajari dengan menggunakan metode ilmu sosial. Segi kedua ini mencakup adat istiadat, upacara keagamaan,
bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita yang dikisahkan, kepercayaan, dan prinsip- prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat.
2. Kawasan dalam Agama
23
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h.14.
Menurut Hendropuspito berdasarkan pengamatan analitis atas kawasan agama sebagai objek sosiologis terdapat tiga pembatasan dalam kawasan ini, yaitu:
24
Pertama, Kawasan “Putih”, yaitu suatu kawasan di mana kebutuhan manusiawi
yang hendak dicapai masih dapat dicapai dengan kekuatan manusia itu sendiri. Manusia tidak perlu lari pada kekuatan supra-empiris. Dengan akal budinya dan dibantu oleh
teknolgi maka manusia dapat berhasil. Tetapi hal ini pada tingkatnya akan berbeda di masyarakat. Terutama masyarakat yang lebih terbelakang primitif, mereka lebih cepat
lari pada kekuatan gaib untuk menerima bantuan. Kedua,
Kawasan “Hijau” meliputi daerah usaha di mana manusia merasa aman dalam artian akhlak moral. Dalam kawasan ini tindak langkah manusia diatur oleh
norma-norma rasional yang mendapat legitimasi dari agama. Misalnya hal ihwal yang berkaitan dengan hidup kekeluargaan, perkawinan, warisan, pertukaran barang-barang,
diatur oleh peraturan-peraturan manusia yang dibenarkan oleh agama yang dianutnya. Dengan adanya legitimasi dari agama maka hilanglah rasa bimbang dan keraguan yang
semula membayanginya. Ketiga,
Kawasan “gelap” meliputi daerah usaha di mana manusia secara radikal dan total mengalami kegagalan yang disebabkan ketidakmampuan mutlak manusia itu
sendiri. Apapun daya manusia sendiri di daerah ini menghadapi suatu “titik putus” breaking point yang tidak mungkin disambung lagi dengan kekuatannya sendiri. Satu-
satunya jalan keluar dari kesulitan ini ialah mengadakan komunikasi dengan kekuatan yang ada di luar yang mengatasi segala kekuatan alam. Kawasan ini disebut daerah
“gelap” karena rasio manusia tidak sanggup menangkap hakekat subtansi kekuatan luar karena “Dia” itu di luar jangkauan pengalaman.
24
Hendropuspito, Sosiologi Agama, h. 36-38.
4. Pengertian Keberagamaan