membangkitkan kebahagian batin tetapi juga pada waktu yang sama menimbulkan perasaan takut dan ngeri.
16
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya.
17
Thomas F.O. Dea, memakai definisi yang banyak dipakai dalam teori fungsional. Agama ialah pendayagunaan sarana. Sarana supra empiris untuk maksud-
maksud non empiris atau supra empiris.
18
Dari beberapa definisi di atas, jelas tergambar bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar
jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supra natural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang non empiris.
2. Fungsi Agama
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan
secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera,
aman, stabil dan sebagainya.
19
Pemahaman mengenai fungsi agama tidak dapat dilepas dari tantangan- tantangan yang dihadapi manusia dan masyarakatnya. Berdasarkan pengalaman dan
16
Bernard Raho, Sosiologi : Sebuah Pengantar, h.120.
17
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002, Cet. II, h.129.
18
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta: PT. Kanisus, 1983, h.34.
19
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h.130.
pengamatan dapat disimpulkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dihadapkan pada tiga hal, yakni ketidakpastian, ketidakmampuan dan kelangkaan. Untuk
mengatasi masalah tersebut maka manusia akan lari pada agama. Berikut inilah fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu:
20
1. Fungsi Edukatif Manusia mempercayakan fungsi edukatif kepada agama yang mencakup tugas
mengajar dan tugas bimbingan. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantaraan petugas-petugasnya baik di dalam upacara perayaan keagamaan, khotbah, renungan
meditasi, pendalaman rohani dan lain-lain. Untuk melaksanakan tugas itu ditunjuk sejumlah fungsionaris seperti dukun, kyai, pendeta, imam, nabi dan lain-lain. Mengenai
yang disebut nabi ini penunjukkannya dilakukan oleh Tuhan. Kebenaran ajaran mereka harus diterima karena tak ada yang keliru, hal tersebut diyakini oleh para penganutnya
bahwa mereka dapat berhubungan langsung dengan “yang gaib” dan “yang sakral” serta mendapat ilham khusus darinya.
2. Fungsi Penyelamatan Setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam kehidupan sekarang
maupun sesudah mati. Usaha untuk mencapai cita-cita tertinggi yang tumbuh dari naluri manusia sendiri itu tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Jaminan untuk itu mereka
temukan dalam agama. Agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagian di dunia maupun di akhirat yaitu :
a. Agama membantu manusia untuk mengenal “yang sakral” dan “makhluk
tertinggi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya.
20
Hendropuspito, Sosiologi Agama, h. 38-57.
b. Agama sanggup mendamaikan kembali “yang salah” dengan Tuhan dengan
jalan pengampunan dan penyucian. 3. Fungsi Pengawasan Sosial Social Control
Agama ikut bertanggung jawab akan adanya norma-norma susila yang baik yang berlaku di masyarakat. Karena hal itulah, agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang
ada dan mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang baik dan menolak kaidah yang buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Agama juga memberikan sanksi-
sanksi yang harus dijatuhkan bagi orang yang melanggarnya dan melakukan pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.
4. Fungsi Memupuk Persaudaraan Mengenai fungsi ini, jika kita menyoroti keadaan persaudaraan dalam satu jenis
golongan beragama saja misalnya umat Islam tersendiri, umat Kristen tersendiri maka menjadi teranglah bahwa agama masing-masing sungguh berhasil dalam menjalankan
tugas “memupuk persaudaraan”. Karena baik agama Islam maupun Kristen masing- masing berhasil mempersatukan sekian banyak bangsa yang berbeda ras dan
kebudayaannya dalam satu keluarga besar dimana mereka menemukan ketentraman dan kedamaian.
5. Fungsi Transformatif Kata transformatif berasal dari bahasa latin “Transformare” artinya mengubah
bentuk. Jadi fungsi transformatif yang dilakukan kepada agama berarti mengubah bentuk kehidupan masyarakat lama dalam bentuk kehidupan baru. Ini berarti mengubah
nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru. Sementara itu transformasi berarti mengubah kesetiaan manusia kepada nilai-nilai adat yang kurang manusiawi dan
membentuk kepribadian manusia yang ideal. Thomas F. O’Dea menyebutkan ada enam fungsi agama, yaitu : 1 sebagai
pendukung pelipur lara dan perekonsiliasi, 2 sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara adat, 3 penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada, 4
pengoreksi fungsi yang sudah ada, 5 pemberi identitas diri dan 6 pendewasaan agama.
21
Horton dan Hunt membedakan fungsi agama jadi dua yakni fungsi manifes dan fungsi laten. Menurut mereka fungsi manifes agama berkaitan dengan segi doktrin, ritual
aturan dalam agama. Namun yang perlu juga diketahui adalah fungsi laten agama. Dalam hal ini Durkheim terkenal karena pandangannya bahwa agama mempunyai fungsi positif
bagi integrasi masyarakat, baik pada tingkat mikro maupun makro. Pada tingkat mikro, menurut Durkheim fungsi agama ialah untuk menggerakkan kita dan membantu kita
untuk hidup, karena menurutnya melalui komunikasi dengan Tuhan orang yang beriman bukan saja mengetahui kebenaran yang tidak diketahui oleh orang kafir tetapi juga
menjadi seseorang yang lebih kuat. Di segi makro agama pun menjalankan fungsi positif, karena memenuhi keperluan masyarakat untuk secara berkala menegakkan dan
memperkuat perasaan serta ide kolektif yang menjadi ciri dan inti persatuan masyarakat tersebut. Melalui upacara agama yang dilakukan secara berjamaah maka persatuan dan
kebersamaan umat dapat dipupuk dan dibina.
22
21
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h.130.
22
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Jakarta: LPFE UI, 2000, h. 71.
3. Ruang Lingkup Agama