24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Agribisnis Sapi Potong
Para pelaku agribisnis peternakan harus memahami bahwa mata rantai agribisnis peternakan sapi potong, dapat dipandang sebagai suatu sistem industri
peternakan. Artinya, setiap subsistem dalam agribisnis peternakan merupakan unit usaha yang secara manajemen terpisah tapi saling memiliki keterkaitan. Adapun
penjelasan dari maksud di atas dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Sistem Agribisnis Sapi Potong Sumber : Rahardi Hartono 2005:16
Sistem Agribisnis Peternakan Sapi potong Pascaproduksi
Penyediaan bibit sapi
potong, pakan dan obat-obatan
Pemeliharaan dan perawatan
ternak untuk menghasilkan
daging Karkas daging
dijual ke pengumpul,
industri pengolahan atau
langsung ke konsumen
Budi Daya Praproduksi
25 1. Subsistem Praproduksi :
Subsistem praproduksi adalah mata rantai pertama dalam kegiatan usaha sapi potong. Jenis usaha atau industri yang terlibat dalam subsistem ini
antara lain usaha pembibitan, industri obat-obatan, dan industri penyediaan peralatan ternak untuk sapi potong.
2. Subsistem Usaha Produksi budidaya : Subsistem produksi ternak adalah inti dari agribisnis sapi potong karena
didalamnya terdapat kegiatan budi daya. Dalam subsistem ini produk utama yang dihasilkan adalah daging ternak. Daging sapi yang dihasilkan
tergantung dari pemilihan jenis sapi potong. Terdapat beberapa jenis sapi yang biasa digunakan untuk pemotongan, baik dari jenis lokal maupun
impor, antara lain : a.Sapi Bali
b.Sapi Madura c.Sapi Hereford
d.Sapi Brahman. 3. Subsistem Pasca Produksi.
Subsistem pasca produksi peternakan merupakan kegiatan usaha ekonomi yang meliputi pengolahan produk sapi potong beserta pemasarannya.
Kegiatan yang dilakukan antara lain penanganan produk primer dengan memberi nilai tambah sehingga menghasilkan produk olahan.Pengolahan
daging sapi potong menjadi pengalengan daging dan sosis adalah sebagian kegiatan dalam subsistem pasca produksi Rahardi Hartono, 2003:17
26
2.1.2. Prospek Bisnis Sapi Potong
Prospek beternak sapi potong di Indonesia masih tetap terbuka lebar dalam waktu yang lama. Hal ini disebabkan permintaan daging sapi dari tahun ke tahun
terus menunjukan peningkatan yang sejalan dengan kesadaran akan gizi masyarakat. Semakin bertambahnya penduduk maka akan bertambah pula
konsumsi daging sapi Sugeng, 1993:184. Menurut Riyadi 2006:2-3, terdapat tantangan dan peluang untuk prospek
bisnis sapi potong :
1. Tantangan
a. Grand Strategy. Pembangunan Pertanian belum menempatkan protein hewani sebagai prioritas tinggi pangan hewani sebagai komoditas
strategis. Hingga saat ini, sasaran pembangunan pertanian masih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan karbohidrat beras dan jagung.
b. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem dan usaha agribisnis peternakan hulu–hilir dan pendukungnya belum sinergi dan
memadai. Amandemen Undang-undang No. 6 tahun 1967 yang merupakan landasan hukum bagi pembangunan peternakan belum juga rampung dan
diterbitkan. Tingkat ketergantungan usaha peternakan terhadap impor sangat tinggi, sehingga sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di
luar negeri. Sebagai contoh, untuk mencukupi kebutuhan konsumsi daging dalam negeri, masih diperlukan impor daging dan sapi potong sekitar
27 −30.
27 c. Peningkatan produksi sapi potong relatif lambat dibandingkan dengan
peningkatan permintaan, terkait dengan penerapan IPTEK teknologi produksi, reproduksi, pakan, kesehatan hewan, dan efisiensi manajemen.
Tingkat pertumbuhan sapi potong selama tiga tahun terakhir hanya mencapai 1,08tahun.
d. Daya saing antara ternak sapi lokal dengan sapi potong ex impor masih lemah. Pada saat-saat tertentu harga sapi lokal lebih rendah dari sapi ex
impor, sehingga menurunkan gairah peternak untuk meningkatkan produktivitas ternaknya.
e. Usaha pembibitan sapi potong sangat kurang diminati investor atau swasta dengan usaha ternak skala besar dan menengah, sehingga terkesan kurang
mendapat perhatian. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat pertumbuhan ternak, yang mengakibatkan stagnansi populasi sapi
potong di Indonesia. f. Usaha budidaya sapi potong kurang berorientasi kepada pasar dan profit.
Pola pikir peternak sukar diubah untuk menempatkan usaha budidaya ternak pada posisi sebagai usaha pokok, sehingga usaha masih berskala
non ekonomis. g. Sistem dan usaha agribisnis berbasis sapi potong masih belum
berkerakyatan, pola kemitraan tidak diminati usaha skala besar perusahaan, peternak plasma masih sangat tergantung kepada perusahaan
inti, akses dari hulu ke hilir belum berjalan lancar.
28
2. Peluang
a. Potensi agroklimat dan tersedianya lahan yang masih cukup luas
Potensi agroklimat Indonesia sangat mendukung perkembangan ternak sapi potong baik sapi lokal maupun sapi ex impor. Sumberdaya lahan yang
dapat dimanfaatkan oleh peternak yaitu lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat, dengan tingkat
kepadatan ternak tergantung kepada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air, jenis sapi potong yang dipelihara. Luasnya lahan sawah,
kebun dan hutan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak–tanaman yang merupakan suatu proses saling menunjang dan
saling menguntungkan, melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk mengolah tanah dan kotoran sapi sebagai pupuk organik. Sementara lahan sawah dan
lahan tanaman pangan menghasilkan jerami padi dan hasil samping tanaman yang dapat diolah sebagai pakan sapi, sedangkan kebun dan hutan
memberikan sumbangan rumput lapangan dan jenis tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan
pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas ternak. Menurut beberapa hasil penelitian, potensi tanaman
pakan ternak di Indonesia masih dapat menampung lebih dari 11 juta Satuan Ternak ST.
b. Potensi sumberdaya genetik sapi potong Indonesia mempunyai kekayaan dan potensi sumber daya genetik ternak
sapi potong nasional, yang telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan
29 daging, tenaga kerja, energi dan pupuk. Sumberdaya genetik tersebut
berupa ternak asli Indonesia, atau ternak yang sudah sejak lama didomestikasi di Indonesia, dan ternak-ternak yang didatangkan dari luar
negeri. Pada tahun 2003, populasi sapi potong di Indonesia sekitar 11.395.688 ekor. Dengan tingkat pertumbuhan populasi sekitar 1,08,
idealnya minimal 15,27 untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dari populasi sapi tersebut, sebagian 45
−50 adalah sapi asli Indonesia, yang berpotensi untuk dikembangkan. Berdasarkan data tahun 1984, sapi Bali
termasuk jenis sapi terbanyak, yaitu 23,81, diikuti sapi Madura 11,28, dan sisanya terdiri dari sapi Ongole, Peranakan Ongole,
Brahman Cross, dan persilangan sapi lokal dengan sapi impor Simmental, Limousin, Hereford, dll. Sapi Bali merupakan sapi kebanggaan Indonesia
yang paling mudah dikembangkan karena mudah beradaptasi. Kawasan Indonesia Timur dapat dikatakan sentra produksi Sapi Bali. Oleh karena
itu pengembangan Sapi Bali lebih dikonsentrasikan di kawasan tersebut. c. Indonesia bebas dari penyakit menular berbahaya
Negara Indonesia bebas 10 dari 12 Penyakit Hewan Menular List A OIE, sehingga memberikan iklim investasi yang lebih baik dan memiliki
kesempatan dan kemampuan untuk ekspor. d. Potensi kelembagaan petani ternak dan petugas teknis
Sebagian besar petani peternak membentuk kelompok-kelompok tani ternak, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan kesehatan
hewan, penyuluhan, pelayanan inseminasi buatan IB, yang bertujuan
30 untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak. Petugas fungsional
pengawas mutu bibit, penyuluh, pengawas mutu pakan, petugas pelayanan kesehatan hewan, dan petugas pelayanan IB sudah cukup banya tersebar di
seluruh propinsi dan siap untuk melaksanakan tugas sesuai kewenangan masing-masing
e. Terbukanya pasar di negara lain Permintaan dari negara lain terhadap ternak dan produk ternak lokal
Indonesia cukup tinggi. Jenis sapi potong yang cukup diminati negara tetangga kita Malaysia adalah sapi Bali, baik sapi bakalan, bibit, maupun
berupa semen bekunya. Selama lima tahun mendatang, Malaysia mengharapkan Indonesia dapat mengekspor 10.000 ekor sapi potong, dan
dari jumlah tersebut baru sebagian kecil, yaitu sekitar 850 ekor yang telah diekspor ke negara tersebut pada tahun 2003. Ekspor ternak sapi potong
lokal diharapkan dapat meningkatkan motivasi peternak maupun para investor untuk mengembangkan usaha pembibitan ternak, yang selama ini
hanya dilakukan oleh peternak skala usaha kecil. f. Tersedianya teknologi tepat guna
Lembaga Penelitian bersama-sama Perguruan Tinggi merupakan institusi yang berwenang mengeluarkan teknologi hasil penelitian. Inovasi baru ini
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya serta meningkatkan efisiensi dalam menghasilkan produk yang berdaya
saing tinggi.
31 g. Regulasi untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif
Kita mempunyai peraturan perundang- undangan yang memberikan kepastian hukum, dan dalam melakukan pembangunan peternakan sinergis
dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Beberapa peraturan yang terkait dengan usaha ternak potong antara lain UU No. 6
1967, SNI Bibit Ternak, SK Menteri Pertanian tentang Ijin Usaha, dsb.
2.1.3. Skala Usaha Sapi Potong
Perencanaan skala usaha menjadi penting diperhatikan karena berhubungan dengan modal, tenaga kerja, dan jumlah produksi yang akan
dihasilkan. Skala usaha peternakan sendiri terdiri dari skala kecil, menengah, dan besar, selain itu skala usaha peternakan juga berhubungan dengan perizinan.
Untuk usaha peternakan skala kecil peternakan rakyat tidak perlu mengurus izin pendirian usaha kepada pemerintah, tetapi cukup dengan melaporkan saja. Namun
untuk usaha menengah dan besar memerlukan prosedur perizinan. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.362KPTSIN.12051990 bahwa jenis untuk berbagai
macam ternak memiliki ketentuannya sendiri namun untuk sapi potong harus sebanyak 100 ekor campuran Rahardi dan Hartono, 2005:24 dan 33.
2.1.4. Konsep Pemasaran