Saran Latar Belakang Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Kasus Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial Apbd (Studi Putusan Pengadilan Tipikor Banda Aceh No.55/Pid.Sus-Tpk/2014/Pn.Bna)

131

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan permasalahan didalam skripsi ini adalah: 1. Perlu Kecermatan bagi Hakim, Jaksa Penuntut Umum selaku penegak Hukum, dalam menguraikan dan menganalisa setiap unsur yang terdapat dalam rumusan delik setiap kasus tindak pidana korupsi, agar dalam menjatuhkan vonis kepada para terdakwa pelaku tindak pidana korupsi tersebut sesuai dan setimpal sehingga dapat memberikan kepastian hukum, keadilan hukum serta kemanfaatan bagi masyarakat. 2. Perlu Pengawasan dan kontrol dari pihak yang berwenang kepada setiap orang atau wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga pemerintahan atau instansi-instansibaik dalam pemerintahan pusat maupun daerah khususnya dalam hal penggunaan uang negara. Sehingga setiap anggaran negara yang digunakan tepat sasaran dan efektif bagi kepentingan masyarakat banyak. Universitas Sumatera Utara 33 BAB II PENYALAHGUNAAN DANA HIBAH BANTUAN SOSIAL DITINJAU DARI UU NO. 31 TAHUN 1999 Jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Kompleksitas tindak pidana korupsi, tidak saja menuntut pembaharuan metode pembuktiannya, tetapi telah menuntut dibentuknya suatu lembaga baru di dalam upaya pemberantasannya. Di Indonesia korupsi sudah menjadi suatu masalah yang serius dan sangat memprihatinkan. Dapat dikatakan demikian karena korupsi sudah menggerogoti dan masuk hampir disetiap lapisan masyarakat, bahkan institusi negara yang seharusnya mengabdi dan bekerja melayani masyarakat tidak kalah hebatnya dalam melakukan perbuatan tersebut. Mulai dari nominal yang kecil hingga nominal yang sangat besar, dengan cara yang terorganisir maupun secara individu. Peningkatan kasus korupsi yang semakin tinggi ini bukan hanya memberikan dampak yang buruk pada sektor perekonomian saja, karena secara luas juga dapat memberikan dampak sosial yang buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak dari masyarakat Indonesia yang masih berada dibawah garis kemiskinan, infrastruktur yang masih sangat tertinggal, dan pendidikan yang masih jauh dari harapan, namun banyak dari pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi yang sehingga menghambat pertumbuhan bangsa dan negara. Hal ini dapat memicu adanya kesenjangan ekonomi yang sangat kentara dan mengakibatkan angka kriminalitas meningkat. Hal ini jelas merupakan gambaran nyata akan korupsi yang dapat mengancam kelangsungan kehidupan Universitas Sumatera Utara 34 bangsa dan negara. korupsi tidak hanya berdampak pada lingkup nasional saja melainkan dapat pula mempengaruhi stabilitas Internasional. Itulah sebabnya melalui Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Korupsi dijadikan sebagai kejahatan luar biasa extra ordinary crime. Karena cara-cara yang biasa digunakan sudah tidak dapat lagi menyelesaikan masalah korupsi yang ada, maka harus digunakan cara-cara yang luar biasa extra ordinary untuk menanganinya. Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif 56 . Bahkan peraturan perundang-udangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan, sejak diberlakukannya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRTPM0111957 tentang Pemberantasan Korupsi kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya diubah oleh Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001. 57 Tujuan pemerintah dan pembuat undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai 56 Ridwan, Huk um Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press 2003 hlm 14. Preventif, merupakan suatu pengendalian sosial yang dilakukan untuk mencegah kejadian yang belum terjadi. Atau merupakan suatu usaha yang dilakukan sebelum terjadinya suatu pelanggaran . Represif, merupakan suatu pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran. Atau, merupakan usaha-usaha yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi . 57 Chaerudin, Strategi Pencegahan dan Penegak an Huk um Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, hlm 17 Universitas Sumatera Utara 35 modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat melepaskan dirinya dari jeratan hukum.

1. Peraturan Tindak Pidana Korupsi sebelum lahirnya Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 a Peraturan Penguasa Militer Nomor PrtPM-061957 tanggal 6 April 1957 Atas dasar perlunya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi, pada tanggal 9 April 1957 Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan peraturan Nomor PrtPM- 061957. 58 Pada bagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan. 59 Peraturan Penguasa milter ini merupakan cikal bakal peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Rumusan Korupsi menurut peraturan perundangan-undangan ini dikelompokkan menjadi dua, yakni: 60 1 Tiap Perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk 58 Elwi Danil, Op Cit, hlm 29. 59 Konsideran Peraturan Penguasa Militer itu pada bagian menimbang, menegaskan bahwa dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantasa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dianamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobs kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.. dan seterusnya. 60 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuk tian Terbalik dalam Delik Korupsi Bnadung: CV. Mandar Maju, 2009, hlm 12 Universitas Sumatera Utara 36 kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. 2 Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan memperguanakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya. Peraturan penguasa militer ini ternyata kemudian dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan lain tentang penilikan harta benda. b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Rumusan tindak pidana korupsi menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 “Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangkan oleh bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte culpa, artinya bentuk kesalahan disini tidak hanya disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, sudah dapat menjerat Universitas Sumatera Utara 37 pelaku. 61 Demikian pula dengan sarana “melawan hukum”, baik mengandung pengertian melawan hukum formil ataupun materiil, memudahkan pembuktian perbuatan yang dapat dohukum, yaitu “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan”. 62 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 memformulasikan tindak pidana korupsi hanya dalam satu pasal, yaitu pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 sub ayat. 63 Pasal 1 ayat 1 tersebut merumuskan tindak pidan korupsi ialah: a. Barang siapa melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang laun, atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan negara atau perekonomian negara; c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209,210,387,388,415,416,417,418,419,420,423,425, dan 435 KUHP; d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau 61 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Bandung: CV Mandar Maju, 2010, hlm 38-39 62 Ibid 63 Elwi Danil, Op Cit, hlm 37 Universitas Sumatera Utara 38 sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau oleh si pemberi hadiah atau kedudukan itu; e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418,419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. Sedangkan didalam Pasal 1 ayat 2 dirumuskan, barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dalam ayat 1 a,b,c,d,e pasal ini. Pada Pasal 1 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 terlihat adanya rumusan secara tegas mengenai unsur melawan hukum, yang secara tekstual berlainan dengan unsur yang ada dalam undang-undang korupsi sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat 1 huruf a Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 itu memuat pengertian yang luas, yang mengandung pengertian melawan hukum formal dan materiil. Pengaturan mengenai sanksi pidana perbutan tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, diatur didalam BAB V pada Pasal 28,29,30,31,32,33,34, dan 35. Pasal 28 : “Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 1 ayat 1 sub a, b, c, d, e dan ayat 2Undang-undang ini, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjaraselama-lamanya 20 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 30 tiga puluh juta rupiah. Selain dari pada itu dapat Universitas Sumatera Utara 39 dijatuhkan juga hukuman tambahan tersebut dapat Pasal 34 sub a, b, dan c Undang-undang ini. ” Pasal 29 : “Barang siapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara langsung tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun danatau denda setinggi- tingginya 5 limajuta rupiah. ” Pasal 30 :”Barang siapa yang menurut Pasal 6, 7, 8, 9, 18, 20, 21, dan 22 Undang-undang ini wajib memberi keterangan dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun danatau denda setinggitingginya 5 lima juta rupiah.” Pasal 31 : ”Saksi yang tidak memenuhi ketentuan termaksud Pasal 10 dan 19 Undang-undang ini diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 tahun danatau denda setinggi- tingginya 2 dua juta rupiah.” Pasal 32 : “Pelanggaran Pasal 220, 231, 421,422, 429 dan Pasal 430 K.U.H.P. dalamperkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama- lamanya 6 enam tahundanatau denda setinggi- tingginya 4 empatjuta rupiah.” Pasal 33 : “Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman yang tersebut dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang ini adalah kejahatan.” Universitas Sumatera Utara 40 Pasal 34 : “Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam K.U.H.P. maka sebagai hukuman tambahan adalah: a. perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan yang tak berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu, begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan; b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan tak berujud yangtermaksud perusahaan si terhukum, dimana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan,akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang- barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini. c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi. Pasal 35 : 1 Perampasan barang-barang bukan kepunyaan si terhukum tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga dengan iktikad baik akan terganggu. Universitas Sumatera Utara 41 2 Jika didalam putusan perampasan barang-barang itu termasuk juga barang-barang pihakketiga yang mempunyai iktikad baik, maka mereka ini dapat mengajukan suratkeberatan terhadap perampasan barangbarangnya kepada Pengadilan yangbersangkutan, dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman Hakim Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang-undang untuk memposisikan undang- undang tersebut sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi. Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuanganperekonmian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementar udang-undang yang ada kurang mencukupi sebagai sarana untuk memberantas tindak pdana korupsi. 64 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 itu sendiri dianggap oleh penegak hukum memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti. Disamping tidak adanya ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formal, tidak adanya ketentuan yang daapt diterapkan terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi coruptie criminal liability tercatat sebagai kelemahan yang dimiliki oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Kelemahan lain yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum dua puluh tahun dan minimum umum satu hari, sehingga Jaksa 64 Ibid, hlm 39 Universitas Sumatera Utara 42 Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenagan diskresi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktik terdapat kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat. Secara praktis kehadiran undang-undang baru itu dapat dilihat sebagai suatu upaya untuk meningkatkan efek pencegahan deterrent effect yang lebih besar bagi pelaku potensial. Dari segi kebutuhan secara praktis dalam proses penegakan hukum pidana, oleh karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dianggap sudah tidak lagi efektif, maka ia sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Atas dasar pertimbangan demikian, dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Pembentukan undang- undang baru tersebut untuk menutupi kelemahan yang terdapat didalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971.

2. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

a. Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana korupsi

Keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai instrumen hukum pidana untuk memberantas Universitas Sumatera Utara 43 tindak pidana korupsi, patut pula dipahami dari sisi karakteristik yuridis yang terdapat didalamnya. Paling sedikit ada lima belas aspek pembaruan yang dapat diposisikan sebagai karakteristik yuridis yang melekat didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu: 65 a. Aspek hukum yang membedakan antara Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah dirumuskannya secara eksplisit tindak pidana korupsi sebagai delik formal, sehingga dengan demikian setiap pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa; b. Diterapkannya konsep ajaran melawan hukum materiil materiele wederrechttelijkheiddalam fungsinya secara positif; c. Adanya pengaturan korporasi sebagai subjek hukum disamping perseorangan; d. Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminal yang dapat diberlakukan keluar batas teritorial Indonesia; e. Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang atau “balanced burden of prof” dalam Pasal 37 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999; f. Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimum khusus disamping ancaman maksimum; g. Diintroduksikannya ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan; 65 Elwi Danil, Op Cit, hlm 47 Universitas Sumatera Utara 44 h. Adanya pengaturan tentang penyidikan gabungan joint investigation teams dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dibawah koordinasi Jaksa Agung; i. Adanya pengaturan tentang penyidikan kedalam rahasia bank yang lebih luas yang diawali dengan pembekuan rekening tersangkaterdakwa, yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan; j. Adanya pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai saran kontrol sosial yang di pertegas dan di perluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelopor lebih optimal dan efektif; k. Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada undang-undang untuk membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen. l. Adanya pengakuan secara eksplisit menyebutkan korupsi sebagai “extra ordinary crime” yakni kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa; m. Dirumuskannya gratifikasi sebagai salah satu bentuk tindak pidanan korupsi; n. Penganutan sistem pembalikan beban pembuktian omkering van de bewijslast secara terbatas; o. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dari informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak saja telah menyatakan dengan tegas bahwa tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tetapi telah Universitas Sumatera Utara 45 menegaskan pula pengertian melawan hukum suatu tindak pidana korupsi dalam arti formil dan materil. 66 Dikatakan sebagai delik formil bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, jika perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang tanpa harus menimbulkan akibat yang merugikan. Jadi meskipun perbuatan itu belum sampai menimbulkan akibat yang merugikan keuangan negara, maka pelakunya sudah dapat dihukum 67 . Demikian pula meskipun hasil dari perbuatan korupsi telah dikembalikan kepada negara, akan tetapi menghapus sifat melawan hukum perbuatan tersebut dan pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan di pidana. Sedangkan pengertian sifat melawan hukum formil dan materiil, adalah perbuatan tersebut tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, tetapi juga merupakan perbuatan tercela dan bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat. Hal ini dirumuskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai berikut: 68 “Bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum, dalam pengertian formil dan materiil, bilamana tindak pidana korupsi tersebut mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”. 66 Chaerudin, Strategi Pencegahan Penegak an Huk um Tindak Pidana Korupsi, Bandung; PT Refika Aditama 2008, hlm. 6. 67 Muchtar Lubis dan James C. Scott, Bungan Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1995, hlm. 122 68 Ibid hlm 6 Universitas Sumatera Utara 46 Beberapa pertimbangan pembuat undang-undang mencantumkan unsur melawan hukum dalam perngertian formil maupun materil didalam Undang- undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: Pertama, Korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime, maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Kedua, dampak dari tindak pidana korupsi selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efesiensi tinggi; dan Ketiga, dalam upaya merespon perkembangan kebutuhan hukum didalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan di dalam pembuktian, sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih sophisticated dan rumit. Marwan Mas mengklasifikasikan setidaknya ada 7 tujuh bentuk dan 30 jenis perbuatan korupsi diatur dalam 13 Pasal UU Korupsi, mulai dari Pasal 2 sampai Pasal 12B UU Korupsi, kecuali Pasal 4 dan Pasal 12A sebagai berikut: 69 1. Kerugian Keuangan Perekonomian Negara Melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. 69 Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bogor: Ghalia Indonesia 2014, hlm 50 Universitas Sumatera Utara 47 2. Suap – Menyuap sogokan atau pelicin a. Menyuap pegawai negeri memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, pegawai negeri menrima suap, atau pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya, b. Menyuap hakim, c. Menyuap advokat, d. Hakim dan advokat menerima suap. 3. Penggelapan dalam Jabatan a. Pegawai negeri menggelapkan uang negara, atau membiarkan penggelapan, b. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi, c. Pegawai negeri merusak bukti korupsi, d. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak barang bukti, e. Pegawai negeri membantu orang lain merusak barang bukti. 4. Pemerasan 5. Perbuatan Curang a. Pemborong berbuat curang, b. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang, c. Rekanan TNIPolri berbuat curang, d. Pengawas Rekanan TNIPolri membiarkan perbuatan curang, e. Penerima barang TNIPolri membiarkan perbuatan curang, f. Pegawai negeri menyerobot tanah negara yang merugikan orang lain. 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan Universitas Sumatera Utara 48 7. Gratifikasi pemberian hadiah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi merumuskan tindak pidana korupsi ke dalam 30 tiga puluh bentukjenis tindak pidana Korupsi. Ketiga puluh bentukjenis tindak pidana korupsi tersebut perinciannya adalah sebagai berikut: 70 1. Pasal 2 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perkonomian negara; 2. Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 3. Pasal 5 Ayat 1 huruf a : Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; 4. Pasal 5 Ayat 1 huruf b : Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya ; 70 Ermansjah Djaja, Op.Cit, hlm 53. Universitas Sumatera Utara 49 5. Pasal 5 Ayat 2 : Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau huruf b; 6. Pasal 6 Ayat 1 huruf a : Setiap Orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 7. Pasal 6 Ayat 1 huruf b : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; 8. Pasal 6 Ayat 2 : bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b; 9. Pasal 7 Ayat 1 huruf a : pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaaan perang; 10. Pasal 7 Ayat 1 huruf b : setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang; Universitas Sumatera Utara 50 11. Pasal 7 Ayat 1 huruf c : setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; 12. Pasal 7 Ayat 1 huruf d : setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang; 13. Pasal 7 Ayat 2 : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau huruf c; 14. Pasal 8 : pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut; 15. Pasal 9: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. 16. Pasal 10 huruf a : menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan Universitas Sumatera Utara 51 untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang bersangkutan, yang dikuasai karena jabatannya; 17. Pasal 10 huruf b : membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; 18. Pasal 10 huruf c : membantu oranglain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. 19. Pasal 11 : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 20. Pasal 12 huruf a : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; 21. Pasal 12 huruf b : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; Universitas Sumatera Utara 52 22. Pasal 12 huruf c : hakim yang menrima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 23. Pasal 12 huruf d : seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; 24. Pasal 12 huruf e : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; 25. Pasal 12 huruf f : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menajalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; 26. Pasal 12 huruf g : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menajalankan tugas, meminta atau menrima pekerjaan, ataupenyerahan Universitas Sumatera Utara 53 barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; 27. Pasal 12 huruf h : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menajalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 28. Pasal 12 huruf i : pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. 29. Pasal 12 B : setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubugan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, 30. Pasal 13 : setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Ketigapuluh bentukjenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Kerugian keuangan negara; a. Pasal 2 b. Pasal 3 Universitas Sumatera Utara 54 2. Suap – Menyuap; a. Pasal 5 ayat 1 huruf a b. Pasal 5 ayat 1 huruf b c. Pasal 5 ayat 2 d. Pasal 6 ayat 1 huruf a e. Pasal 6 ayat 1 huruf b f. Pasal 6 ayat 2 g. Pasal 11 h. Pasal 12 huruf a i. Pasal 12 huruf b j. Pasal 12 huruf c k. Pasal 12 huruf d l. Pasal 13 3. Penggelapan dalam jabatan; a. Pasal 8 b. Pasal 9 c. Pasal 10 huruf a d. Pasal 10 huruf b e. Pasal 10 huruf c 4. Pemerasan; a. Pasal 12 huruf e b. Pasal 12 huruf f c. Pasal 12 huruf g Universitas Sumatera Utara 55 5. Perbuatan curang; a. Pasal 7 ayat 1 huruf a b. Pasal 7 ayat 1 huruf b c. Pasal 7 ayat 1 huruf c d. Pasal 7 ayat 1 huruf d e. Pasal 7 ayat 2 f. Pasal 12 huruf h 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan; a. Pasal 12 huruf i 7. Gratifikasi; a. Pasal 12B Jo. Pasal 12C Selain bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan dalam perbuatan tindak pidana korupsi yang telah dijelaskan diatas, terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Pasal 21, 22, 23 dan 24 Bab III Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas : 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi Pasal 21, 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar Pasal 22 jo. Pasal 28, Universitas Sumatera Utara 56 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka Pasal 22 jo. Pasal 29, 4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu Pasal 22 jo. Pasal 35, 5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu Pasal 22 jo. Pasal 36, 6. Saksi yang membuka identitas pelapor Pasal 24 jo. Pasal 31. Pengaturan mengenai bentuk-bentuk perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya, berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

b. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Secara leksikal, kata “pertanggungjawaban” berasal dari bentuk kata majemuk “tanggungjawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala Universitas Sumatera Utara 57 sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri dan orang lain. Selain itu, kata “tanggungjawab” merupakan kata benda abstrak yang bisa dipahami melalui sikap, tindakan dan prilaku. Setelah bentuk dasar, kata “tanggungjawab” mendapat imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi “pertanggungjwaban” yang berarti perbuatan bertanggungjawab atau suatu yang dipertanggungjawabkan. 71 Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana crimina lliability diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan. Sedangkan pertanggungjawaban pidana menurut Roeslan Saleh, menyangkut pengenaan pidana karena sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan perbuatan pidana, karena perbuatan pidana menentukan sejauh mana seseorang dapat dimintai pertanggungjawabanya. Menurut Moeljatno bahwa seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhkan pidana apabila kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian bahwa, pertanggungjawaban pidana tergantung pada dilakukanya tindak pidana, dalam artian bahwa adanya unsur kesalahan seperti melakukan perbuatan pidana terlebih dahulu, baru seseorang itu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana . 72 71 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, hlm.1139. 72 Chairul Huda, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2006 , hlm.26. Universitas Sumatera Utara 58 Menurut ajaran dualistis antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana walaupun berkaitan erat haruslah dipisahkan karena ajaran dualistis beranggapan bahwa unsur pembentuk pidana hanyalah perbuatan. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat- sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. 73 Oleh karena itu berdasarkan ajaran dualistis tersebut maka antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana adalah berbeda namun berkaitan erat. Pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana membawa konsekuensi bahwa belum tentu jika seseorang telah terbukti melakukan perbuatan pidana, dapat dimintai pertanggungjawabannya karena bisa saja orang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya misalnya karena orang tersebut gila, atau mungkin orang tersebut dipaksa untuk melakukan perbuatan itu. Seseorang dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat dimintai pertanggung jawabnya apabila orang tersebut telah memenuhi 3 elemen, antara lain: 74

1. Kemampuan untuk bertanggungjawab;

2. Adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan pidana yang dilakukan, dimana sikap batin ini melahirkan 2 bentuk kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan. Dimana syarat kesengajaan adalah weten en wilen 73 Ibid, hlm.26. 74 Ismu Gunadi Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Huk um Pidana , Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014, hlm.88-89. Universitas Sumatera Utara 59 mengetahui dan menghendaki, sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian; 3. Tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana yang secara garis besar dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf. Pada tindak pidana korupsi sendiri, subjek yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu sebagai berikut: 75

1. Korporasi; 2. Pegawai Negeri, yang meliputi;

a. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Kepegawaian; b. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana; c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau Daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah; e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 3. Setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi. 75 Hasbullah F. Sjawie, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Pranada Media Group, 2015, hlm.148. Universitas Sumatera Utara 60 Oleh karena itu, berdasarkan pasal tersebut maka dapat dilihat bahwa pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi itu dapat dibebankan kepada seseorang dan korporasi. Dimana jika seseorang yang melakukan tindak pidana Korupsi maka pertanggungjawaban pidana dapat langsung dibebankan kepada orang tersebut, asal saja orang tersebut telah memenuhi 3 elemen untuk menyatakan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggung jawabanya. Namun jika Korporasi yang melakukan tindak pidana Korupsi maka berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pengurusnya saja, ataupun korporasinya saja, atau dapat juga dibebankan kepada kedua-duanya, karena ketentuan Pasal 20 tersebutmemberikan peluang alternatif pilihan kepada penuntut umum untuk memberikan Dakwaan dan Tuntutan. 76

c. Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi

Samksi pidana terhadap tindak pidana korupsi dijatuhkan apabila perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum vide Pasal 193 ayat 1 KUHAP berdasarkan alat- alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP. 77 Macam-macam sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada terdakwa terdiri atas : 1. Pidana Pokok yang dapat berupa; 78 a. Pidana Mati 76 Ibid, hlm.148. 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 19951996 Bahan Pokok Penyuluhan Hukum, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta, hlm 77 dan 80 78 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 355-356. Universitas Sumatera Utara 61 Pidana mati dapat diberikan kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomiannegara sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1 Undnag-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dilakukan dalam keadaan tertentu seperti, pada saat terjadi bencana alam, peperangan, kericuhan, dan lain sebagainya; b. Pidana Penjara 1 Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat Tahun dan paling lama 20 dua puluh Tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Pasal 2. 2 Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu Tahun danatau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan Universitas Sumatera Utara 62 kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Pasal 3. 3 Pidana penjara paling singkat 3 tiga Tahun dan paling lama 12 dua belas Tahun danatau denda paling sedikit Rp. 150.000.000.00 seratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.600.000.000.00 enam ratus juta rupiah bagi setiap orang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan langsung atau secara tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi Pasal 21. 4 Pidana penjara paling singkat 3 tiga Tahun atau paling lama 12 dua belas Tahun danatau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 enam ratus juta rupiah bagi setiap orang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36. c. Pidana tambahan ; 79 1 Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; 79 R.WiyoNo, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm.127-129. Universitas Sumatera Utara 63 2 Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; 3 Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 satu Tahun; 4 Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana; 5 Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 satu Bulan sesudah putusan pengadilanyang telah berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut; 6 Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan lamanya pidana tersebut sudah diputuskan dalam pengadilan

B. Perbuatan Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial

1. Prosedural Penggunaan Dana Hibah Bantuan Sosial Menurut Peraturan

Pemerintah No. 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan Universitas Sumatera Utara 64 Perbuatan yang menyalahgunakan dana hibah dan bantuan sosial tentunya sangat tercela. Idealnya negara hukum dan menjunjung nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, Hibah dan bantuan sosial selayaknya digunakan sesuai peruntukan yang diatur dalam peraturan di Indonesia. Hibah adalah pemberian uangbarang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah. Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan berupa uangbarang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok danatau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. 80 Pemberian Dana Hibah Bantuan Sosial tentunya memiliki prosedur yang diatur secara hukum sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana Hibah Bantuan Negara juga dapat di berikan kepada yayasan yang memiliki program kerja dan melaksanakan kegiatan yang menunjang program Pemerintah Pusat danatau Pemerintah Daerah. 80 Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber dari Anggaran Pendapata n dan Belanja Daerah. Universitas Sumatera Utara 65 Beberapa Tahapan yang harus dilalui yayasan untuk penggunaan Dana Hibah Bantuan Sosial yaitu melalui proses permohonan, pemberian, dan penerimaan dan penggunaan. Berikut akan diuraikan tahapan-tahapan pemberian dana hibah bantuan sosial:

a. Proses Permohonan

Pengajuan permohonan untuk menerima dana hibah bantuan sosial secara tertulis dilakukan oleh Yayasan kepada: 1 Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan kegiatan yayasan; atau 2 Gubernur, Bupati, atau Walikota di tempat Yayasan melakukan kegiatannya. Adapun syarat permohonan bantuan sosial yang diajukan harus dengan melampirkan dan melengkapi dokumen seperti: a. Fotocopy mengenai keputusan Menteri Hukum dan HAM mengenai status badan hukum Yayasan; b. Fotocopy keputusan Menteri mengenai persetujuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan, surat penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan, danatau surat penerimaan perubahan data Yayasan, jika ada; c. Fotocopy Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat Anggaran Dasar Yayasan; d. Keterangan mengenai nama lengkap dan alamat pengurus Yayasan; Universitas Sumatera Utara 66 e. Fotocopy laporan keuangan Yayasan selama 2 tahun terakhir secara berturut-turut sesuai dengan Undang-Undang; f. Keterangan mengenai program kerja Yayasan yang sedang dan akan dilaksanakan; g. Pernyataan tertulis dari instansi teknis yang berwenang dibidang kegiatan Yayasan. 81

b. Proses Pemberian Dana Hibah Bantuan Sosial

Menteri terkait atau pimpian lembaga pemerintah non departemen, Gubernur, Bupati, atau Walikota meneliti kebenaran dokumen dana hibah bantuan sosial dan mencari fakta atau keterangan tentang keadaan Yayasan yang bersangkutan dari pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. 82 Tahapan setelah syarat dan dokumen Permohonan bantuan sosial diberikan yaitu: 1 Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang memberikan dana bantuan sosial menunjuk SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk melakukan usulan tertulis yang dilakukan pemohon bantuan sosial; 2 Kepala SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada kepala daerah melalui TAPD Tim Anggaran Pemerintah Daerah. 81 Pasal 22 ayat 3 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 tentang Pelaksanaan tentang Undang-Undang Yayasan. 82 Ibid Pasal 22 ayat 5 Universitas Sumatera Utara 67 3 TAPD Tim Anggaran Pemerintah Daerah memberikan pertimbangan atas rekomendasi yang dilakukan SKPD sesuai dengan prioritas dan kemampuan keuangan daerah. 4 Rekomendasi kepala SKPD dan pertimbangan TAPD menjadi dasar pencantuman alokasi anggaran bantuan sosial dalam rancangan KUA Kebijakan Umum Anggaran dan PPAS Prioritas Plafon Anggaran Sementara. 5 Bantuan sosial berupa uang dicantumkan dalam RKA-PKPD Rencana Kerja dan Anggaran- Pejabat Pengelola Perangkat Daerah dan barang dalam RKA-SKPD. 6 Pelakasanaan Anggaran bantuan sosial berupa uang berdasarkan atas DPA-PPKD Dokumen Pelaksana Anggaran-Pejabat Pengelola Keuangan Daerah dan berupa barang berdasarkan DPA-SKPD. 7 Kepala Daerah menetapkan daftar penerima dan besaran bantuan sosial dengan keputusan kepala daerah berdasarkan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. 83

c. Proses Penerimaan dan Penggunaan Dana Bantuan Sosial

Yayasan Penerima dana bantuan sosial menurut Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang- Undang tentang Yayasan: “Yayasan yang menerima bantuan 83 Pasal 27 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Universitas Sumatera Utara 68 negara wajib membuat dan menyampaikan laporan tahunan Yayasan setia 1 satu tahun sekali kepada menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah No.ndepartemen, gubernur, bupati atau walikota yang memberikan bantuan tersebut”. Penyaluranpenyerahan dana bantuan sosial tersebut didasarkan pada daftar penerima bantuan sosial yang tercantum dalam keputusan kepala daerah, dan pencairan bantuan sosial berupa uang dilakukan dengan cara pembayaran langsung LS dan di lengkapi dengan kuitansi bukti penerimaan uang bantuan sosial. 84 Setelah adanya pemberian bantuan sosial tersebut kepada Yayasan juga diaturdibatasi penggunaan dari bantuan sosial tersebut, seperti yang tercantum pada Pasal 37 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 yaitu: a. Penerimaan bantuan sosial bertanggung jawab secara formal dan material atas penggunaan bantuan sosisal yang diterimanya. b. Pertangungjawaban penerima bantuan sosial meliputi: 1 Laporan penggunaan bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial; 2 Surat pernyataan tanggungjawab yang menyatakan bahwa bantuan sosial yang diterima telah digunakan sesuai dengan usulan; dan 3 Bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai peraturan perundang-undangan bagi penerima bantuan sosial berupa uang atau salinan bukti serah terima barang bagi penerima bantuan sosial berupa barang. 84 Ibid, Pasal 32. Universitas Sumatera Utara 69 c. Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a dan b disampaikan kepada kepala daerah paling lambat tanggal 10 Januari tahun anggaran berikutnya, kecuali ditentukan lain sesuai peraturan perundang-undangan. d. Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf c disimpan dipergunakan leh penerima bantuan sosial selaku obyek pemeriksaan. Dana Hibah Bantuan sosial yang diterima oleh Yayasan hanya dapat digunakan sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar dan sesuai dengan program kerja Yayasan. Bantuan sosial yang diterima oleh Yayasan dilarang dialihkan secara langsung kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas, atau pihak lain. 85 Dan bantuan sosial yang diberikan oleh negara hanya diperuntukkan pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat.

2. Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial Sebagai Tindak Pidana

Korupsi ditinjau dari Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana korupsi seperti yang dijelaskan pada pasal 2 dan 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 tahun 2001 85 Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang- Undang tentang Yayasan. Universitas Sumatera Utara 70 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikut akan di uraikan mengenai setiap unsur yang ada pada pasal 2 dan 3. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah ”. Unsur Objektif Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial Sebagai Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 2 1 Setiap orang; 2 Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3 Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;

a. Setiap orang

Selaku subjek hukum pidana pengertian setiap orang dalam tindak pidana korupsi dapat dilihat pada rumusan Pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang di perbaharui dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu merupakan perorangan dan termasuk juga suatu korporasi. Universitas Sumatera Utara 71 Jika melihat pengertian diatas, maka pelaku tindak pidana korupsi dapat disimpulkan menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah berupa kumpulan orang atau harta kekayaan terorganisasi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Penerima dana hibah bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah ialah sebagaimana yang telah ditetapkan pada pasal 1 ayat 14 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 “Hibah adalah pemberian uangbarang atau jasa dari pemerintah daerah kepeada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.” Pemerintah dana hibah bantuan sosial yang melakukan tindak pidana korupsi perbuatan penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial, dapat diminta pertanggungjawabann ya karena telah memenuhi unsur “setiap orang”.

b. Unsur Memperkaya Diri Sendiri Atau Orang Lain Atau Suatu

Korporasi Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dapat dilihat pertama sekali dari istilah “memperkaya” sebagai suatu bagian inti bestanddeel, dan merupakan istilah yang baru dalam hukum pidana Indonesia Universitas Sumatera Utara 72 sehingga dalam KUHP tidak terdapat pengaturannya. Akan tetapi dalam Pasal 368, 369, 378 KUHP ada unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” yang dialakukan dengan cara melawan hukum dan bukanlah unsur tingkah laku, tetapi unsur yang dituju oleh batin atau kesalahan dalam bentuk maksud. Jadi kehendak dalam melakukan perbuatan memaksa seperti yang ada dalam Pasal 368 dan 369 KUHP atau melakukan perbuatan menggerakkan. Pasal 378 KUHP ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum yang bersifat subjektif. Para ahli sepakat bahwa unsur “menguntungkan diri” yang terdapat dalam ketiga Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yaitu Pasal 368, 369, dan 378 KUHP ini adalah sebagai “memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada”. Dalam salah satu putusannya 2411950 Hoge Raad menyatakan bahwa “si pelaku haruslah mempunyai maksud memperoleh keuntungan berarti memperoleh kekayaan, dalam hal ini keuntungan dihubungkan dengan kekayaan materil, bukan keuntungan yang berbentuk immaterial, misalnya kepuasan batin ketika mendapat penghargaan. 86 Dalam Penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub a Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan unsur “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” jika dihubungkan dalam Pasal 18 ayat 2 maka akan ada kewajiban bagi terdakwa pelaku tindak pidana korupsi untuk mengumumkan atau memberikan keterangan tentang sumber-sumber kekayaan yang dimilikinya sehingga dengan demikian 86 Adami Chazawi, Op.Cit.hlm.37. Universitas Sumatera Utara 73 kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi dalam persidangan terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi apabila telah memenuhi unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain”, maksutnya ialah dana hibah bantuan sosial tersebut telah digunakan menjadi keuntungan pribadi ataupun orang lain dan tidak sesuai dengan tujuan awal dari dana hibah bantuan sosial itu di peruntukkan. Sebagaimana yang dimaksudkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah menyatakan : “Hibah adalah pemberian uangbarang dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusa pemerintah daerah”

c. Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian

Negara Dalam Pasal 2 ayat 1 UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 menjelaskan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi cukup dengan Universitas Sumatera Utara 74 dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. 87 Dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 “keuangan negara” diartikan sebagai seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun daerah; b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMNBUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara 88 Sedangkan pengertian perekonomian negara adalah perekonomian yang disusun sebagai suatu bentuk usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah seuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bertujuan untuk memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluru kehidupan rakyat. 89 Dana Hibah bantuan sosial yang diberikan negara merupakan salah satu program pemerintah yang telah tercantum dalam APBN ataupun APBD, dan telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011. Setiap 87 Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Prak tik , Jakarta: Maharani Press, 2008, hlm.38 88 Ibid, hlm.34 89 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.45-46 Universitas Sumatera Utara 75 pemberian hibah bantuan sosial yang diberikan pemerintah baik berupa uang maupun barang harus sesuai dengan Undang-Undang sebagaimana yang telah diatur. Apabila hibah bantuan sosial tersebut disalahgunakan dan tidak sesuai dengan peraturan yang ada, maka “perbuatan penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial” telah memenuhi unsur “merugikan keuangan atau perekonomian negara”, karena tidaka sesuai dengan konsep dari dana bantuan sosial itu diberikan yang bersal dari APBD yaitu demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Unsur Objektif Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan sebagai Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 3

a. Perbuatan Menyalahgunakan Kewenangan Karena Jabatan Atau

Kedudukan Menurut Prof.Jean Rivero dan Prof.Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu: 90 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain; 90 http:www.hukumonline.comklinikdetaillt54fbbf142fc22arti-menyalahgunakan- wewenang-dalam-tindak-pidana-korupsi Universitas Sumatera Utara 76 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana; Penyalahgunaan Dana hibah bantuan sosial juga telah memenuhi unsur “penyalahgunaan kewenangan yang ada padanya” karena sesuai dengan pasal 22 ayat 1 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 hibah bantuan sosial diberikan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Dan peggunaan bantuan sosial itu pun diatur dalam pasal 24 ayat 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 yaitu ; rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan, dan penanggulangan bencana. Dapat disimpulkan dari semua uraian unsur diatas, perbuatan penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi. Karena telah memenuhi unsur objektif Pasal 3 Undang- Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya”. Yaitu dengan menggunakan dana hibah bantuan sosial tersebut tidak seusai dengan diperuntukkan seharusnya sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Perbuatan terdakwa H.Dasni Yuzar, dimana bertindak sebagai pemilik dan pengurus Yayasan Cakradonya, menggunakan dana hibah yang diterima Yayasan Cakradonya dari Pemerintah Daerah bukan untuk pembangunan sport center Universitas Sumatera Utara 77 melainkan untuk keperluan pribadi terdakwa. Terdakwa Dasni Yuzar ialah orang yang berwenang dan memiliki kekuasaan pada Yayasan Cakradonya, maka unsur “menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan telah terpenuhi. Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum Rechtstaat, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka Machtstaat. Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum 1 yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum 2 , melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum. 1 M. Hadjon Philipus, Kedaulatan Rak yat ,Negara Huk um dan Hak -hak Asasi Manusia, Kumpulan Tulisan dalam rangk a 70 tahun Sri Soemantri Martosoewignjo, Jakarta: Media Pratama,1996, hlm.72, Negara Hukum adalah negara yang mengambil tindakan didasarkan pada aturan hukum yang telah ada, jadi dalam Tugas Negaraadalah menjalankan kesadaran hukum berdasarkan hukum yang berlaku yang harus ditaati oleh seluruh warga negara tersebut . 2 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003PUU-IV2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan khusus mengenai poni “Unsur Melawan Hukum”. Pasal 2 ayat 1 tersebut memperluas kategori unsur “melawan huk um”, dalam hukum pidana, tidak lagi hanya sebagai formale wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele wederrechtelijk heid. Penjelasan Pasal 2 ayat 1 kalimat bagian pertama tersebut berbunyi, “yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma -norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut d apat dipidana” Universitas Sumatera Utara 2 Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak Pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara 3 , tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga Indonesia. Bahkan, perkembangan masalah Korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. 4 Masalah Korupsi sudah sedemikian parahnya dalam dunia internasional, dalam mengungkapkan keprihatinan internasional terhadap masalah korupsi, ada bermacam-macam sebutan atau istilah yang digunakan untuk menyebut tindak pidana korupsi, diantaranya adalah sebagai salah satu bentuk dari “crime as 3 Lihat pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara ynag dapat dinilai dengan uang, seta segala sesuatu baik berupa barang yang dapat dijadikan milik nega ra berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 4 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi , Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005, hlm 1. Universitas Sumatera Utara 3 bussiness, economic crimes, white collar crime, official crime”, atau sebagai salah satu bentuk “abuse of power”. 5 Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang, dimana ada indikasi yang mencerminkan ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisis ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di Indonesia dan praktik korupsi inilah yang menjadi akar masalah. 6 Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survey Transparency International TI pada tahun 2015 menunjukkan penigkatan dari tahun 2014 yang pada saat itu Indonesia menempati peringkat 107 dengan point 34, menjadi negara paling korup nomor 88 dari 133 negara dengan poin 36. Nilai rata-rata untuk tahun 2015 ialah 43, artinya Indonesia masih dibawah rata-rata skor persepsi dunia. Di Asia Tenggara sendiri indonesia masih dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Meskipun Indonesia mengalami peningkatan dari hasil survey tahun 2014 namun terhambat oleh masih 5 Elwi Danil, KORUPSI:Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya Depok, PT Raja Grafindo Persada,2012, hlm 61 6 Adrian Sutendi, Huk um Keuangan Negara. Jakarta: Sinar Grafika,2010 hlm 189. Universitas Sumatera Utara 4 tingginya korupsi di sektor penegakan hukum dan politik. 7 Apabila korupsi itu tidak segera diberantas, tentunya akan menjadi masalah yang sangat serius bagi bangsa ini. Bahkan bukan tidak mungkin akhirnya justru akan menghancurkan negara ini. Jika kita lihat kebelakang sejarah bangsa ini, sejak diproklamasikan kemerdekaan bangsa oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 maka pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi tindak pidana Korupsi dengan membuat Undang-Undang dan membentuk lembaga khusus untuk memberantas korupsi. 8 Hal ini dibuktikan dengan diundangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dengan Undang- Undang No. 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 68, Nomor 60, dan Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660. 9 Namun, upaya pemerintah tidak pernah berhenti untuk melakukan penyempurnaan terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal ini terbukti sudah dimulai dari Peraturan Penguasa Militer Nomor PRTPM061957 sampai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan dewasa ini telah dibentuk Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 7 http:www.ti.or.idindex.phppublication20160127corruption-perceptions-index-2015 diakses tanggal 26 juli 2016 8 Evi Hartanti,Tindak Pidana Korupsi,Edisi Kedua Jakarta; Sinar Grafika, 2007 hlm 3 9 Edi Yunara, Op Cit, hlm 3 Universitas Sumatera Utara 5 Korupsi serta dibentuknya lembaga khusus menangani tindak pidana korupsi pada tahun 2003 yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Di Indonesia kejahatan korupsi sudah sedemikian parah dan merajalela khususnya yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat DPR, aparat penegak hukum, kepala daerah, dan lain sebagainya. Korupsi sudah menjadi budaya sendiri bagi kaum yang serakah akan sebuah kekayaan semata sehingga menyebabkan dampak kemiskinan dimana-mana terhadap rakyat yang berekonomi kecil ataupun susah dalam hal ekonomi. Korupsi yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang terjadi di Indonesia sehingga disinyalir negara mengalami kerugian hingga triliunan rupiah. Beberapa kasus korupsi yang menyita perhatian publik ialah seperti: 1. Kasus Simulator SIM Surat Izin Mengemudi yang libatkan 2 jenderal Polri yakni Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo dan Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo. Perbutan tersebut menurut perhitungan BPK Badan Pemeriksa Keuangan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 121,3 milyar. 10 2. Kasus proyek hambalang senilai Rp 2,5 triliun yang dilakukan pertengahan 2012, yang melibatkan mantan menteri Pemuda dan Olah Raga Kabinet Indonesia Bersatu II Andy malarangeng. KPK berhasil mengungkap keterlibatan Anas Urbaningrum berdasarkan kesaksian mantan bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazarudin. Uang hasil dugaan korupsi tersebut digunakan untuk biaya pemenangan Anas dalam Kongres Partai Demokrat pada tahun 2010 sebesar Rp 100 milyar. 11 10 https:www.tempo.cotopikmasalah2861korupsi-simulator-sim diakses pada tanggal 26 juli 2016 11 https:www.tempo.cotopikmasalah2808korupsi-proyek-stadion-hambalang diakses pada tanggal 26 juli 2016 Universitas Sumatera Utara 6 3. Kasus Kuota Impor Daging sapi, yang dilakukan oleh Ahmad Fathanah sebagai tersangka utama, yang juga melibatkan Kertua Partai Keadilan Sejahtera PKS Luthfi Hasan Ishak yang juga ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka. Ahmad Fathanah diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 1,3 milyar dari bos PT Indoguna. Uang itu disebutkan akan diberikan kepada Luthfi Hasan Ishak guna memuluskan pengurusan penetapan kuota impor daging sapi dari Kementerian Pertanian. 12 Contoh kasus korupsi yang disebutkan hanyalah sedikit gambaran dari sekian banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Korupsi telah menjadi permasalahan akut dan sistemik yang sangat membahayakan dan merugikan negara maupun masyarakat. Pemberitaan mengenai korupsi seakan tidak ada habisnya, hampir setiap hari pemberitaan di media mengenai korupsi. Salah satu jenis korupsi yang sangat memprihatinkan di Indonesia ialah, penyalahguanaan dana hibah bantuan sosial 13 , yang dimana seharusnya dana hibah bantuan sosial tersebut diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat. Belanja Hibah dan Bantuan sosial merupakan dua kode rekening yang saat ini menjadi banyak perhatian publik. Kedua rekening tersebut memiliki kepentingan yang perlu diakomodir yaitu membantu tugas pemerintah daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menanggulangi penyakit sosial akibat 12 https:www.selasar.compolitik5-kasus-korupsi-era-kpk-yang-sempat-heboh diakses pada tanggal 26 juli 2016 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Pasal 1 ayat 14 Hibah ada pemberian uangbarang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah. Ayat 15 Bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uangbarang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok danatau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Universitas Sumatera Utara 7 resiko sosial 14 masyarakat serta juga memuat kepentingan politik dalam arti luas. Dalam perjalanan pengelolaannya, Hibah dan Bansos telah mengalami berbagai permasalahan baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban serta penatausahaannya. Bahkan pemerintah setiap tahun mengeluarkan dana triliunan rupiah untuk dana bantuan sosial. Pada periode 2007-2011, anggaran bantuan sosial yang disiapkan pemerintah mencapai Rp 300,94 triliun untuk tingkat daerah dan pusat. Tahun 2012, jumlah alokasi dana bantuan sosial yang dikelolah oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia berjumlah Rp.47 triliun dan pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp 63,4 triliun. Belanja bantuan sosial merupakan sektor pembelanjaan anggaran yang sangat rentan terhadap praktik korupsi. Korupsi dana bantuan sosial menjadi wabah seperti penyakit aspek regulasi, Komisi Pemberantasan keadilan dalam pengelolaan dana bantuan sosial. Dalam aspek tata laksana ditemukan sejumlah masalah dalam proses penganggaran, penyaluran, pengawasan, dan pertanggungjawaban. 15 Permasalahan seperti ini lah yang kerap kali di manfaatkan oleh para koruptor untuk menyalahgunakan anggaran dana hibah dan bantuan sosial yang berasal dari APBD tersebut. Indonesia Corruption Watch ICW mengungkapkan rata-rata vonis kasus korupsi sepanjang tahun 2015 terendah dalam tiga tahun terakhir, bahkan ada 68 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Pasal 1 ayat 16, resiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensial terjadinya kerentanan sosial yang di tanggung oleh individu, keluarga, kelompok danatau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar. 15 http:nasional.kompas.comread2013030107374311Dana.Bantuan.Koruptor diakses pada tanggal 20 juli 2016 Universitas Sumatera Utara 8 yang divonis bebas 16 , sehingga tidak menimbulkan efek jera. ICW memantau 524 perkara dan 564 terdakwa kasus korupsi yang ditangani Polri, KPK dan Kejaksaan pada 2015 lalu, sekitar 71 persen divonis bersalah. 17 Berdasarkan temuan ini, apa yang dihasilkan pengadilan tipikor sangatlah memprihatinkan. Seperti kasus yang menjerat mantan bupati seluma, Murman Effendi. Ia di vonis bebas oleh PN bengkulu setelah jaksa menuntut hukuman tujuh tahun penjara. Lalu kasus pencucian uang terkait proyek migas di batam, terdakwa Deki yang di tuntut 15 tahun penjara oleh jaksa, di putuskan bebas oleh PN Pekanbaru. Banyaknya kasus korupsi yang divonis bebas oleh hakim akan menimbulkan polemik yuridis, sosiologis, dan politis di kalangan masyarakat luas. Polemik yuridis terkait persoalan integritas dan kemampuan penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melaksanakan wewenang, tugas dan fungsinya. Polemik sosiologis, terkait ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum yang mempersoalkan validitas putusan bebas apakah benar tidak terbukti atau ada unsur-unsur suap atau mafia peradilan yang sebenarnya dianggap sudah membudaya dalam sistem peradilan di indonesia. Polemik politis, terkait upaya-upaya sekelompok orang baik dari kalangan anggota Legislatif, Eksekutif, Yudikatif 18 , Partai Politik, Pengamat Politik, 16 Lilik Mulyadi, Kompilas Huk um Pidana Dalam Perspek tif Teoretis dan Prak tik Peradilan Bandung : Mandar Maju, 2010, hlm 107. Pada Asasnya Putusan Bebas vrijsk praak terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan JaksaPenuntut Umum dalam surat dakwakan. Konkretnya, terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Atau untuk singkatnya lagi terdakwa “tidak dijatuhi pidana” 17 http:www.bbc.comindonesiaberitaindonesia201602160207indonesiakorupsi diakses pada tanggal 27 juli 2016, ICW Indonesian Coruption Watch tuntutan jaksa yang ringan dan tidak adanya pedoman penanganan kasus korupsi bagi para hakim MA Mahkamah Agung menjadi penyebab rendahnya putusan hakim pengadilan tipikor itu. Universitas Sumatera Utara 9 Pengamat Hukum, para koruptor dan simpatisannya, untuk Menghapus KPK karena eksistensi KPK hanya mereka anggap bersifat sementara waktu ad hoc, karena itu mereka bermaksud untuk mengubah Undang-Undang KPK, mengkriminalisasi pimpinan KPK, Mengurangi Kewenangan KPK, danatau Mengawasi Penyadapan KPK secara ketat. Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan penegakan hukum wajib didasarkan atas hukum. Salah satu kesenjangan yang dianggap sangat memprihatinkan adalah belum terwujudnya penegakan hukum tindak pidana korupsi yang mampu secara maksimal memberikan efek jera danatau mengurangi maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia. Kasus Hukum yang terjadi terkait dengan penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial di provinsi Nanggroe Aceh Darusalam ini menjadi dorongan bagi penulis untuk menganalisis lebih lanjut terkait putusan bebas hakim terhadap kasus penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial, yang mana juga telah menimbulkan berbagai polemik yuridis, sosiologis dan politis di masyarakat. Maka itu penulis mengangkat judul yakni “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS VRIJSPRAAK DALAM KASUS PENYALAHGUNAAN DANA HIBAH BANTUAN SOSIAL YANG DILAKUKAN OLEH YAYASAN Studi Putusan Pengadilan Tipikor Banda Aceh No.55Pid.Sus- TPK2014PN.BNA”. 18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Huk um Tata Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2011, hlm 283. Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Esprit des Lois” 1748, yang mengikuti jalan pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu; i kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang -undang; ii kekuasaan eksekutif yang melaksanakan; dan iii kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Universitas Sumatera Utara 10

B. Perumusan Masalah