35
modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat
melepaskan dirinya dari jeratan hukum.
1. Peraturan Tindak Pidana Korupsi sebelum lahirnya Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 a
Peraturan Penguasa Militer Nomor PrtPM-061957 tanggal 6 April 1957
Atas dasar perlunya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi, pada tanggal 9 April 1957 Kepala Staf Angkatan Darat,
selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan peraturan Nomor PrtPM- 061957.
58
Pada bagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi yang mengalami kemacetan.
59
Peraturan Penguasa milter ini merupakan cikal bakal peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia. Rumusan
Korupsi menurut
peraturan perundangan-undangan
ini dikelompokkan menjadi dua, yakni:
60
1 Tiap Perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk
58
Elwi Danil, Op Cit, hlm 29.
59
Konsideran Peraturan Penguasa Militer itu pada bagian menimbang, menegaskan bahwa dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantasa perbuatan-perbuatan
yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dianamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobs kemacetan dalam usaha
memberantas korupsi.. dan seterusnya.
60
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuk tian Terbalik dalam Delik Korupsi Bnadung: CV. Mandar Maju, 2009, hlm 12
Universitas Sumatera Utara
36
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
2 Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah, yang dengan memperguanakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan
kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya.
Peraturan penguasa militer ini ternyata kemudian dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan lain tentang penilikan harta
benda.
b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Rumusan tindak pidana korupsi menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 “Barang siapa dengan melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian
negara atau diketahui atau patut disangkan oleh bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte culpa, artinya bentuk kesalahan disini tidak hanya disyaratkan adanya
kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan
keuangan atau
perekonomian negara,
sudah dapat
menjerat
Universitas Sumatera Utara
37
pelaku.
61
Demikian pula dengan sarana “melawan hukum”, baik mengandung pengertian melawan hukum formil ataupun materiil, memudahkan pembuktian
perbuatan yang dapat dohukum, yaitu “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan”.
62
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 memformulasikan tindak pidana korupsi hanya dalam satu pasal, yaitu pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 sub
ayat.
63
Pasal 1 ayat 1 tersebut merumuskan tindak pidan korupsi ialah: a. Barang
siapa melawan
hukum dengan
melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut
merugikan keuangan
negara atau
perekonomian negara; b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang laun,
atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara
langsung atau
tidak langsung
dapat merugikan
negara atau
perekonomian negara; c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal
209,210,387,388,415,416,417,418,419,420,423,425, dan 435 KUHP; d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau
61
Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Bandung: CV Mandar Maju, 2010, hlm 38-39
62
Ibid
63
Elwi Danil, Op Cit, hlm 37
Universitas Sumatera Utara
38
sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau oleh si pemberi hadiah atau kedudukan itu;
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418,419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang
berwajib. Sedangkan didalam Pasal 1 ayat 2 dirumuskan, barang siapa melakukan
percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dalam ayat 1 a,b,c,d,e pasal ini.
Pada Pasal 1 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 terlihat adanya rumusan secara tegas mengenai unsur melawan hukum, yang
secara tekstual berlainan dengan unsur yang ada dalam undang-undang korupsi sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat 1 huruf a Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 itu memuat pengertian yang luas, yang mengandung pengertian melawan hukum formal dan materiil.
Pengaturan mengenai sanksi pidana perbutan tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, diatur didalam BAB V pada Pasal
28,29,30,31,32,33,34, dan 35. Pasal
28 : “Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 1 ayat 1 sub a, b, c, d, e dan ayat 2Undang-undang ini, dihukum dengan
hukuman penjara seumur hidup atau penjaraselama-lamanya 20 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 30 tiga puluh juta rupiah. Selain dari pada itu dapat
Universitas Sumatera Utara
39
dijatuhkan juga hukuman tambahan tersebut dapat Pasal 34 sub a, b, dan c Undang-undang ini.
”
Pasal 29 : “Barang siapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara
langsung tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi diancam
dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun danatau denda setinggi- tingginya 5 limajuta rupiah.
”
Pasal 30 :”Barang siapa yang menurut Pasal 6, 7, 8, 9, 18, 20, 21, dan 22
Undang-undang ini wajib memberi keterangan dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, diancam dengan hukuman
penjara selama-lamanya 12 tahun danatau denda setinggitingginya 5 lima juta rupiah.”
Pasal 31 : ”Saksi yang tidak memenuhi ketentuan termaksud Pasal 10 dan
19 Undang-undang ini diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 tahun danatau denda setinggi-
tingginya 2 dua juta rupiah.”
Pasal 32 : “Pelanggaran Pasal 220, 231, 421,422, 429 dan Pasal 430
K.U.H.P. dalamperkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama- lamanya 6 enam tahundanatau denda setinggi-
tingginya 4 empatjuta rupiah.”
Pasal 33 : “Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman yang
tersebut dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang ini adalah kejahatan.”
Universitas Sumatera Utara
40
Pasal 34 : “Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam
K.U.H.P. maka sebagai hukuman tambahan adalah: a. perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud
dan yang tak berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana
itu dilakukan
atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu, begitu pula harga
lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum
ataupun bukan; b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud
dan tak berujud yangtermaksud perusahaan si terhukum, dimana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan
barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun
bukan,akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang- barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal
ini. c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi. Pasal 35 :
1 Perampasan barang-barang bukan kepunyaan si terhukum tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga dengan iktikad baik akan
terganggu.
Universitas Sumatera Utara
41
2 Jika didalam putusan perampasan barang-barang itu termasuk juga barang-barang pihakketiga yang mempunyai iktikad baik, maka
mereka ini dapat mengajukan suratkeberatan terhadap perampasan barangbarangnya
kepada Pengadilan yangbersangkutan, dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman Hakim
Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang-undang untuk memposisikan undang-
undang tersebut sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi. Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan
korupsi sangat merugikan keuanganperekonmian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementar udang-undang yang ada kurang mencukupi
sebagai sarana untuk memberantas tindak pdana korupsi.
64
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 itu sendiri dianggap oleh penegak hukum memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti. Disamping tidak
adanya ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formal, tidak adanya ketentuan yang daapt diterapkan terhadap korporasi sebagai
subjek tindak pidana korupsi coruptie criminal liability tercatat sebagai kelemahan yang dimiliki oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Kelemahan lain yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum
umum dua puluh tahun dan minimum umum satu hari, sehingga Jaksa
64
Ibid, hlm 39
Universitas Sumatera Utara
42
Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenagan diskresi dalam menentukan sanksi
pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktik terdapat kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah satu tahun,
padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.
Secara praktis kehadiran undang-undang baru itu dapat dilihat sebagai suatu upaya untuk meningkatkan efek pencegahan deterrent effect yang lebih
besar bagi pelaku potensial. Dari segi kebutuhan secara praktis dalam proses penegakan hukum pidana, oleh karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
dianggap sudah tidak lagi efektif, maka ia sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Atas dasar pertimbangan demikian, dibentuklah Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Pembentukan undang-
undang baru tersebut untuk menutupi kelemahan yang terdapat didalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971.
2. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun