42
Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenagan diskresi dalam menentukan sanksi
pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktik terdapat kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah satu tahun,
padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.
Secara praktis kehadiran undang-undang baru itu dapat dilihat sebagai suatu upaya untuk meningkatkan efek pencegahan deterrent effect yang lebih
besar bagi pelaku potensial. Dari segi kebutuhan secara praktis dalam proses penegakan hukum pidana, oleh karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
dianggap sudah tidak lagi efektif, maka ia sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Atas dasar pertimbangan demikian, dibentuklah Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Pembentukan undang-
undang baru tersebut untuk menutupi kelemahan yang terdapat didalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971.
2. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
a. Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana korupsi
Keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai instrumen hukum pidana untuk memberantas
Universitas Sumatera Utara
43
tindak pidana korupsi, patut pula dipahami dari sisi karakteristik yuridis yang terdapat didalamnya. Paling sedikit ada lima belas aspek pembaruan yang dapat
diposisikan sebagai karakteristik yuridis yang melekat didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
65
a. Aspek hukum yang membedakan antara Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah dirumuskannya
secara eksplisit tindak pidana korupsi sebagai delik formal, sehingga dengan demikian
setiap pengembalian
kerugian keuangan
negara tidak
menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa; b. Diterapkannya
konsep ajaran
melawan hukum
materiil materiele
wederrechttelijkheiddalam fungsinya secara positif; c. Adanya pengaturan korporasi sebagai subjek hukum disamping perseorangan;
d. Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminal yang dapat diberlakukan keluar batas teritorial Indonesia;
e. Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang atau
“balanced burden of prof” dalam Pasal 37 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999;
f. Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimum khusus
disamping ancaman maksimum; g. Diintroduksikannya ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan;
65
Elwi Danil, Op Cit, hlm 47
Universitas Sumatera Utara
44
h. Adanya pengaturan tentang penyidikan gabungan joint investigation teams dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dibawah
koordinasi Jaksa Agung; i.
Adanya pengaturan tentang penyidikan kedalam rahasia bank yang lebih luas yang diawali dengan pembekuan rekening tersangkaterdakwa, yang dapat
dilanjutkan dengan penyitaan; j.
Adanya pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai saran kontrol sosial yang di pertegas dan di perluas, sehingga perlindungan hukum terhadap
saksi pelopor lebih optimal dan efektif; k. Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada undang-undang untuk
membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen. l.
Adanya pengakuan secara eksplisit menyebutkan korupsi sebagai “extra
ordinary crime” yakni kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;
m. Dirumuskannya gratifikasi sebagai salah satu bentuk tindak pidanan korupsi; n. Penganutan sistem pembalikan beban pembuktian omkering van de
bewijslast secara terbatas; o. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dari informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak saja telah menyatakan dengan tegas bahwa tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tetapi telah
Universitas Sumatera Utara
45
menegaskan pula pengertian melawan hukum suatu tindak pidana korupsi dalam arti formil dan materil.
66
Dikatakan sebagai delik formil bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, jika perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik
dalam undang-undang tanpa harus menimbulkan akibat yang merugikan. Jadi meskipun perbuatan itu belum sampai menimbulkan akibat yang merugikan
keuangan negara, maka pelakunya sudah dapat dihukum
67
. Demikian pula meskipun hasil dari perbuatan korupsi telah dikembalikan kepada negara, akan
tetapi menghapus sifat melawan hukum perbuatan tersebut dan pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan di pidana.
Sedangkan pengertian sifat melawan hukum formil dan materiil, adalah perbuatan tersebut tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, tetapi juga merupakan perbuatan tercela dan bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat. Hal ini dirumuskan dalam Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
68
“Bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum, dalam pengertian formil dan materiil, bilamana tindak pidana korupsi tersebut mencakup
perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”.
66
Chaerudin, Strategi Pencegahan Penegak an Huk um Tindak Pidana Korupsi, Bandung; PT Refika Aditama 2008, hlm. 6.
67
Muchtar Lubis dan James C. Scott, Bungan Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1995, hlm. 122
68
Ibid hlm 6
Universitas Sumatera Utara
46
Beberapa pertimbangan pembuat undang-undang mencantumkan unsur melawan hukum dalam perngertian formil maupun materil didalam Undang-
undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: Pertama, Korupsi terjadi secara
sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak dan ekonomi masyarakat secara luas,
sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime, maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Kedua, dampak dari tindak pidana
korupsi selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat
pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan
nasional yang
menuntut efesiensi tinggi; dan Ketiga, dalam upaya merespon perkembangan kebutuhan hukum didalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan di dalam
pembuktian, sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih sophisticated dan
rumit. Marwan Mas mengklasifikasikan setidaknya ada 7 tujuh bentuk dan 30
jenis perbuatan korupsi diatur dalam 13 Pasal UU Korupsi, mulai dari Pasal 2 sampai Pasal 12B UU Korupsi, kecuali Pasal 4 dan Pasal 12A sebagai berikut:
69
1. Kerugian Keuangan Perekonomian Negara Melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.
69
Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bogor: Ghalia Indonesia 2014, hlm 50
Universitas Sumatera Utara
47
2. Suap – Menyuap sogokan atau pelicin
a. Menyuap pegawai negeri memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, pegawai negeri menrima suap, atau pegawai negeri menerima
hadiah yang berhubungan dengan jabatannya, b. Menyuap hakim,
c. Menyuap advokat, d. Hakim dan advokat menerima suap.
3. Penggelapan dalam Jabatan a. Pegawai
negeri menggelapkan
uang negara,
atau membiarkan
penggelapan, b. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi,
c. Pegawai negeri merusak bukti korupsi, d. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak barang bukti,
e. Pegawai negeri membantu orang lain merusak barang bukti. 4. Pemerasan
5. Perbuatan Curang a. Pemborong berbuat curang,
b. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang, c. Rekanan TNIPolri berbuat curang,
d. Pengawas Rekanan TNIPolri membiarkan perbuatan curang, e. Penerima barang TNIPolri membiarkan perbuatan curang,
f. Pegawai negeri menyerobot tanah negara yang merugikan orang lain. 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Universitas Sumatera Utara
48
7. Gratifikasi pemberian hadiah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi merumuskan tindak pidana korupsi ke dalam 30 tiga
puluh bentukjenis tindak pidana Korupsi. Ketiga puluh bentukjenis tindak pidana korupsi tersebut perinciannya adalah sebagai berikut:
70
1. Pasal 2 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perkonomian negara; 2. Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 3. Pasal 5 Ayat 1 huruf a : Setiap orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; 4. Pasal 5 Ayat 1 huruf b : Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya
;
70
Ermansjah Djaja, Op.Cit, hlm 53.
Universitas Sumatera Utara
49
5. Pasal 5 Ayat 2 : Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a
atau huruf b; 6. Pasal 6 Ayat 1 huruf a : Setiap Orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
7. Pasal 6 Ayat 1 huruf b : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; 8. Pasal 6 Ayat 2 : bagi hakim yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b;
9. Pasal 7 Ayat 1 huruf a : pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaaan perang; 10. Pasal 7 Ayat 1 huruf b : setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang;
Universitas Sumatera Utara
50
11. Pasal 7 Ayat 1 huruf c : setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan
perbuatan curang
yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;
12. Pasal 7 Ayat 1 huruf d : setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang; 13. Pasal 7 Ayat 2 : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan
atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau huruf c; 14. Pasal 8 : pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut; 15. Pasal 9: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi. 16. Pasal 10 huruf a : menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan
Universitas Sumatera Utara
51
untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang bersangkutan, yang dikuasai karena jabatannya;
17. Pasal 10 huruf b : membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut; 18. Pasal 10 huruf c : membantu oranglain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
19. Pasal 11 : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan
hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 20. Pasal 12 huruf a : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; 21. Pasal 12 huruf b : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
Universitas Sumatera Utara
52
22. Pasal 12 huruf c : hakim yang menrima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 23. Pasal 12 huruf d : seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili; 24. Pasal 12 huruf e : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan
sesuatu, membayar,
atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; 25. Pasal 12 huruf f : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menajalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas
umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa
hal tersebut bukan merupakan utang; 26. Pasal 12 huruf g : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menajalankan tugas, meminta atau menrima pekerjaan, ataupenyerahan
Universitas Sumatera Utara
53
barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
27. Pasal 12 huruf h : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menajalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 28. Pasal 12 huruf i : pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung
maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. 29. Pasal 12 B : setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubugan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
30. Pasal 13 : setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
Ketigapuluh bentukjenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kerugian keuangan negara; a. Pasal 2
b. Pasal 3
Universitas Sumatera Utara
54
2. Suap – Menyuap;
a. Pasal 5 ayat 1 huruf a b. Pasal 5 ayat 1 huruf b
c. Pasal 5 ayat 2 d. Pasal 6 ayat 1 huruf a
e. Pasal 6 ayat 1 huruf b f. Pasal 6 ayat 2
g. Pasal 11 h. Pasal 12 huruf a
i. Pasal 12 huruf b j. Pasal 12 huruf c
k. Pasal 12 huruf d l. Pasal 13
3. Penggelapan dalam jabatan; a. Pasal 8
b. Pasal 9 c. Pasal 10 huruf a
d. Pasal 10 huruf b e. Pasal 10 huruf c
4. Pemerasan; a. Pasal 12 huruf e
b. Pasal 12 huruf f c. Pasal 12 huruf g
Universitas Sumatera Utara
55
5. Perbuatan curang; a. Pasal 7 ayat 1 huruf a
b. Pasal 7 ayat 1 huruf b c. Pasal 7 ayat 1 huruf c
d. Pasal 7 ayat 1 huruf d e. Pasal 7 ayat 2
f. Pasal 12 huruf h 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
a. Pasal 12 huruf i 7. Gratifikasi;
a. Pasal 12B Jo. Pasal 12C Selain bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan dalam perbuatan tindak
pidana korupsi yang telah dijelaskan diatas, terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Pasal 21, 22, 23 dan
24 Bab III Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas :
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi Pasal 21, 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar Pasal
22 jo. Pasal 28,
Universitas Sumatera Utara
56
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka Pasal 22 jo. Pasal 29,
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu Pasal 22 jo. Pasal 35,
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu Pasal 22 jo. Pasal 36,
6. Saksi yang membuka identitas pelapor Pasal 24 jo. Pasal 31. Pengaturan mengenai bentuk-bentuk perbuatan korupsi sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bersifat lebih rinci dibandingkan
pengaturan yang
ada dalam
undang-undang sebelumnya,
berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 maka
tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
b. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi