72
6.3.2 Saluran Pemasaran Setelah Program Filleting
Pemasaran Ikan lele Bapukan di Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu setelah program Filleting memiliki satu pola saluran pemasaran, yaitu
DKP Indramayu, Pasar, konsumen akhir. Pola saluran pemasaran Ikan lele Bapukan setelah program Filleting yang terbentuk adalah sebagai berikut:
1. Pola III
: Petani – DKP Indramayu –Pasar - Konsumen Akhir
Gambar 3. Skema Saluran Pemasaran Ikan Lele Bapukan Setelah Program
Filleting Proses pemasaran ikan lele Bapukan setelah program Filleting diawali dari
penjualan ikan lele Bapukan oleh petani ke DKP Indramayu. Jalur pemasaran yang ada di tempat penelitian untuk saluran pola III berawal dari petani sebagai
produsen ikan lele Bapukan DKP Indramayu mengolah ikan lele Bapukan menjadi Fillet yang kemudian dijual ke pasar ikan olahan di Batam, Kalimantan
dan dari pasar langsung ke konsumen akhir.
6.4 Analisis Usahatani Ikan Lele Bapukan
Analisis usahatani dilakukan dengan menghitung tingkat pendapatan dan rasio RC usahatani ikan lele Bapukan. Analisis usahatani yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah terhadap petani pemilik dan penggarap yaitu petani yang mengusahakan atau menggarap lahan milik sendiri. Dari 25 responden terdapat 20
orang petani pemilik dan penggarap atau sekitar 80 persen dari total responden. Analisis yang dilakukan mengacu kepada konsep pendapatan atas biaya
yang dikeluarkan yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan dalam bentuk tunai seperti biaya pembelian sarana produksi dan biaya
tenaga kerja luar keluarga. Biaya total adalah biaya tunai ditambah biaya yang diperhitungkan. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya yang pengeluarannya
tidak dalam bentuk tunai seperti penggunaan tenaga kerja keluarga, penyusutan peralatan dan sewa lahan.
Petani DKP
Indramayu Pasar Ikan
OlahanFillet Batam,Kalimantan
Konsumen Akhir
73
6.4.1 Penerimaaan Usahatani
Penerimaan petani berasal dari produksi ikan lele Bapukan. Rata-rata ikan lele Bapukan yang dihasilkan adalah 1.904 kilogram per hektar per musim tanam
dengan harga ikan lele Bapukan Rp 8.000 per kilogram. Produktivitas ikan lele Bapukan di tempat penelitian masih tergolong rendah jika di bandingkan dengan
ikan lele pedaging, dimana ikan lele pedaging per musim tanam dapat menghasilkan rata-rata sebesar 2.000 sampai dengan 3.000 kilogram. Hal ini
disebabkan karena selain teknik budidaya yang masih tradisional juga ukuran benih yang dibutuhkan lebih besar sehingga membutuhkan waktu pemeliharaan
yangg cukup lama. Teknik budidaya yang tradisional maksudnya adalah masih banyak petani
yang tidak menggunakan teknik budidya ikan yang baik yang telah di anjurkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan setempat, seperti penggunaan pupuk yang
hanya menggunakan urea saja, sedangkan yang di anjurkan adalah urea. TSP, NPK dan pupuk kandang. Pencegahaan hama dan penyakit yang terlalu banyak
menggunakann obat-obatan kimia yang membuat bakteri pathogen resisten terhadap dosis standar. Setiap pencegahan dan pengobatan dosisnya selalu
meningkat bahkan tidak ada takaran dosis hanya mengandalkan feeling semata. Ukuran benih yang dibutuhkan cukup besar yaitu ukuran sangkal 12-13
cm, sedangkan untuk mendapatkan benih ukuran sangkal dibutuhkan waktu lebih kurang 2 bulan, dan petani pembenihan hanya menyediakan benih ukuran korek
atau benur 2-3 cm yang membuat petani lele Bapukan harus mendederkan terlebih dahulu atau ”penggelondongan atau ijen” yaitu pemeliharaan benih dari
ukuran 2-3 cm sampai dengan ukuran sangkal12-13 cm. Dengan kondisi benih yang kontinuitasnya masih rendah maka petani membentuk kelompok tani yang
dibagi menjadi petani pembenihan dan pembesaran, sehingga diharapkan mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap kebutuhan benih para petani lele
Bapukan. Fakta di lapangan tidak seperti yang diharapkan sehingga petani tetap membeli pada petani diluar kelompok taninya dengan konsekuensi harga yang
mahal.
74 Penerimaan yang didapat petani lele Bapukan masih rendah dengan harga
Rp 5.000 per kilogram jika dibandingkan penerimaan petani ikan lele yang sudah umum dijual dipasar dengan harga per kilogramnya bisa mencapai Rp 10.200.
Harga yang rendah tersebut disebabkan karena ukuran panen yang terlalu besar, dimana berbanding terbalik dengan kebutuhan pasar yang meminta ukuran 7-10
per kilogramnya. Alasan petani masih membudidayakan ikan lele Bapukan adalah berawal dari persentase yang cukup besar setiap panen ikan lele biasa sekitar 5
persen, serta kolam pemancingan maka petani dengan pola pikirnya yang instan dia langsung membudidayakan ikan lele Bapukan padahal mereka tidak
mengetahui apakah usaha yang mereka jalankan untung atau tidak. Mereka hanya mengandalkan hitungan-hitungan biasa yang tidak terperinci sehingga merasa
usaha yang mereka jalankan untung padahal belum tentu bahkan mungkin sebaliknya. Rata-rata pendapatan usahatani untuk selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 16.
Tabel 16 . Rata-rata Pendapatan Usahatani dan RC rasio Usahatani Ikan Lele
Bapukan sebelum program Filleting per Hektar Musim Tanam.
No Uraian
Jumlah HargaRp
Nilai Rp A
Produksi per musim tanam Kg 1,904
- - B
Penjualan:
1. Ke pasar Kg 1,333
5,500 7,330,400
2. Ke pemancingan Kg
476 5,000
2,380,000 3.
Di jadikan Indukan kg 95
5,000 475,000
C Total Penerimaan B1+B2
10,185,400 D
Biaya Tunai
Benih ekor 69,200
100 6,920,000
Pakan sak 12
210,000 2,545,200
PupukKg 69
2,000 138,400 Obat-obatan sachet
695,200 Tenaga kerja luar keluargaHOK
51 24,000 1,224,000
Total biaya tunai 11,522,400
E Biaya yang diperhitungkan
Penyusutan -
- 59,981
Sewa lahan -
- 1,199,610
Tenaga kerja keluargaHOK 20,6
24,000 494,400
Total biaya yang diperhitungkan 1,753,991
F Total Biaya D+E
13,276,391 G
Pendapatan atas biaya tunai C-D
- -
1,337,000 H
Pendapatan atas biaya total C-F -
-
75
3,090,991 I
RC atas biaya tunai CD
- -
0,88 J
RC atas biaya Total CF
- -
0.77
Penerimaan dari produksi per musim tanam sebelum program Filleting adalah Rp 10,185,400 dimana 70 persen penerimaan berasal dari penjualan ke
pasar, sedangkan 25 persen diperoleh dari penjualan ke pemancingan. Harga jual ikan lele Bapukan di pasar sebesar Rp 5.500 per kg dan harga di pemancingan
sebesar Rp 5.000 dan penerimaan yang di peroleh dari penjualan jika dijadikan indukan adalah Rp 5000 dengan persentase 5 persen. Semua penerimaan tersebut
diperoleh dari rata-rata produksi per musim tanam sebesar 1.904 kg, dimana 1.333 kilogram 70 persen dijual ke pasar, 476 kilogram 25 persen dijual ke
pemancingan. Adapun 95 kilogram lima persen dijadikan indukan lagi oleh petani yang kemudian bisa dijual ke pasar.
Penerimaan petani sebelum program Filleting rendah di akibatkan belum adanya kepastian pasar yang dapat menerima semua hasil produksi lele Bapukan,
sehingga petani tidak hanya menjual ikan lele Bapukan ke pasar saja melainkan mereka jual ke pemancingan. Penerimaan petani juga di pengaruhi oleh harga,
dimana harga yang diterima petani lele Bapukan rendah yaitu barada pada kisaran Rp 5000 sampai dengan Rp 5500. Kondisi tersebut tidak membuat petani mundur
dari usahanya membudidayakan ikan lele Bapukan, karena selain petani tidak mempunyai pekerjaan lain selain usaha ikan lele Bapukan juga adanya informasi
bahwa DKP Indramayu akan mengadakan suatu program yang dapat menangani masalah yang dialami petani ikan lele Bapukan yaitu program Filleting.
Program tersebut diharapkan bisa membantu petani baik dari kepastian pasar dan harga yang lebih tinggi dari harga yang diterima petani jika dijual ke
pasar, sehingga dengan program tersebut dapat meningkatkan penerimaan petani ikan lele Bapukan.
76
Tabel 17 . Rata-rata Pendapatan Usahatani dan RC rasio Usahatani Ikan Lele
Bapukan Setelah program Filleting per Hektar Musim Tanam
No Uraian
Jumlah HargaRp
Nilai Rp A
Produksi per musim tanam Kg 1,904
- B
Penjualan:
DKP Indramayu 1,904
8,000 15.232.000
C Total Penerimaan Jumlah x Harga
15.232.000 D
Biaya Tunai
Benih ekor 69,200
100 6,920,000
Pakan sak 12
210,000 2,545,200
PupukKg 69
2,000 138,400 Obat-obatan sachet
695,200 Tenaga kerja luar keluargaHOK
51 24,000 1,224,000
Total biaya tunai 11,522,400
E Biaya yang diperhitungkan
Penyusutan -
- 59,981
Sewa lahan -
- 1,199,610
Tenaga kerja keluargaHOK 20,6
24,000 494,400
Total biaya yang diperhitungkan 1,753,991
F Total Biaya D+E
13,276,391 G
Pendapatan atas biaya tunai C-D
- -
3,709,600 H
Pendapatan atas biaya total C-F
- -
1,955,609 I
RC atas biaya tunai CD
- -
1,32 J
RC atas biaya Total CF
- -
1,15
Penerimaan dari produksi per musim tanam setelah program Filleting adalah Rp 15.232.000. Hal ini disebabkan total produksi per musim tanam lele
Bapukan sebesar 1.904 kg seluruhnya 100 persen dapat terjual dengan harga yang lebih tinggi sebesar Rp 8.000 per kg dibandingkan dengan harga jual
sebelum adanya program Filleting. Hal ini mengakibatkan pendapatan petani setelah adanya program Filleting lebih tinggi dibandingkan sebelum adanya
program tersebut. Penerimaan petani setelah program Filleting sangat menguntungkan
petani terbukti dengan meningkatnya penerimaan petani. Program Filleting juga dapat meminimumkan risiko tidak terjualnya ikan lele Bapukan dengan
menyarankan adanya pola tanam agar tidak terjadi over supply yang dapat menimbulkan disparitas harga yang pada akhrinya petani juga yang dirugikan.
77 Perbandingan penerimaan diatas menunjukan bahwa usahatani lele
Bapukan setelah program Filleting lebih menguntungkan petani. Hal tersebut ditunjukkan oleh penerimaan petani setelah program Filleting lebih tinggi yaitu
Rp 15.232.000, sedangkan penerimaan petani sebelum program Filleting sebesar Rp 10,185,400. Penyebab dari perbedaan penerimaan tersebut adalah harga jual
ikan lele Bapukan, dimana harga lele Bapukan dengan program Filleting sebesar Rp 8.000 per kilogram lebih tinggi dibandingkan harga jual yang berlaku saat ini
yaitu sebesar Rp 5.500 per kilogram di pasar dan Rp 5.000 per kilogram di pemancingan. Kondisi tersebut mempengaruhi penerimaan petani lele Bapukan di
Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.
6.4.2 Biaya Usahatani
Biaya usahatani adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu komoditi atau produk baik secara tunai maupun
diperhitungkan. Komponen biaya yang di gunakan pada usahatani ikan lele Bapukan tersebut yaitu benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan pakan, serta
biaya lainnya seperti biaya penyusutan, tenaga kerja keluarga dan sewa lahan. Biaya usahatani paling banyak dikeluarkan di lokasi penelitian adalah biaya tunai
yaitu sebesar Rp 11,522,400 sedangkan biaya yang diperhitungkan dikeluarkan petani sebesar Rp 1,753,991.
Komponen biaya tunai yang paling banyak dikeluarkan oleh petani adalah biaya benih dan pakan. Biaya benih sebesar Rp 6.920.000, hal ini disebabkan oleh
ekspektasi atau harapan yang terlalu tinggi pada hasil panen dengan penebaran yang tinggi tetapi petani tidak mempertimbangkan risiko harga yang diterima
petani pada output atau produk yang dihasilkan. Sehingga sering terjadi biaya yang dikeluarkan petani lebih besar dari penerimaan yang diterima petani.
Sedangkan biaya pakan yang dikeluarkan sebesar Rp 2.545.200, hal ini disebabkan karena harga pakan yang terus meningkat sedangkan harga ikan lele
berfluktuasi bahkan seringkali berada dibawah standar penjualan dari produk ikan lele Bapukan. Kondisi tersebut terjadi ketika musim panen raya yaitu pada bulan
april sampai dengan mei, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran jika penawaran suatu produk lebih besar daripada permintaan maka harga produk
78 tersebut secara tidak langsung akan jatuh atau lebih rendah dari harga pada
kondisi permintaan lebih besar daripada penawaran. Biaya tunai lain yang dikeluarkan petani selama proses budidaya adalah pupuk sebesar Rp 138.400,
obat-obatan Rp 695.200 yang meliputi booster, tigerback, linex, Portas dan garam, serta biaya tenaga luar kerja dengan 51 HOK sebesar Rp 1.224.000
Komponen biaya diperhitungkan yang paling banyak dikeluarkan oleh petani adalah sewa lahan, tenaga kerja keluarga, dan penyusutan. Biaya sewa
lahan sebesar Rp 1.199.610, penyusutan Rp 59.981, dan tenaga kerja keluarga dengan 20,6 HOK sebesar Rp 494.400. Sistem sewa terdiri dari sewa tanpa
jaminan dan sewa ada jaminan. Sistem sewa lahan yang tidak ada jaminan yaitu biaya sewa dibayar untuk biaya lahan per satu tahun adalah Rp 500.000 per petak
tambak. Biasanya petani lele Bapukan minimal menyewa tiga sampai lima petak per tahun, jadi untuk sewa lahan atau petakan tambak saja petani sudah
mengeluarkan biaya Rp 1.500.000 sampai dengan Rp 2.500.000 per tahunnya. Sedangkan sewa lahan yang ada jaminan yaitu sewa yang dibayar untuk biaya
lahan per satu tahun adalah Rp 300.000 atau lebih murah karena si penyewa mempunyai piutang terhadap pemilik lahan sehingga jika si pemilik lahan tidak
membayar hutangnya maka ada jaminan berupa lahan yang ia sewakan terhadap si pemberi hutang. Total biaya yang dikeluarkan petani selama proses produksi
sebesar Rp 13,276,391.
6.4.3 Pendapatan Usahatani
Suatu usahatani dikatakan menguntungkan jika selisih antara penerimaan dan pengeluarannya bernilai positif. Pendapatan atas biaya tunai di peroleh dari
pengurangan penerimaan total dengan pengeluaran tunai. Sedangkan pendapatan atas biaya total diperoleh dari pengurangan penerimaan total dengan pengeluaran
total. Pendapatan atas biaya tunai pada usahatani ikan lele Bapukan sebelum program Filleting minus Rp 1,337,000 artinya pendapatan petani tanpa
memperhitungkan biaya yang diperhitungkan sebesar minus Rp 1,337,000 per hektar per musim tanam. Sedangkan pendapatan atas biaya total sebesar minus Rp
3,090,991 artinya pendapatan petani dengan memperhitungkan biaya yang diperhitungkan sebesar minus Rp 3,090,991.
79 Pendapatan atas biaya tunai pada usahatani ikan lele Bapukan setelah
program Filleting adalah Rp 3,709,600 artinya pendapatan petani tanpa memperhitungkan biaya yang diperhitungkan sebesar Rp 3,709,600 per hektar per
musim tanam. Sedangkan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 1,955,609 artinya pendapatan petani dengan memperhitungkan biaya yang diperhitungkan
sebesar Rp 1,955,609. Jika dilihat dari perbandingan antara penerimaan dan biaya RC rasio
atas biaya tunai dan biaya total dapat disimpulkan bahwa usahatani ikan lele Bapukan tidak untung sebelum program Filleting jika dilihat dari RC rasio atas
biaya tunai yaitu bernilai 0,88. Artinya setiap biaya yang dikeluarkan secara tunai sebanyak satu satuan hanya menghasilkan keuntungan sebesar 0,88 satuan.
Sedangkan dari RC rasio atas biaya total juga tidak menguntungkan untuk diusahakan terbukti dengan nilai RC rasio terhadap biaya total sebesar 0,77,
artinya setiap pengeluaran satu satuan biaya total hanya akan menghasilkan penerimaan sebesar 0,77 satuan penerimaan. Usahatani ikan lele Bapukan untung
setelah program Filleting jika dilihat dari RC rasio atas biaya tunai yaitu bernilai 1,32. Artinya setiap biaya yang dikeluarkan secara tunai sebanyak satu satuan
menghasilkan keuntungan sebesar 1,32 satuan. RC rasio atas biaya total juga menguntungkan untuk diusahakan terbukti dengan nilai RC rasio terhadap biaya
total sebesar 1,15, artinya setiap pengeluaran satu satuan biaya total hanya akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,15 satuan penerimaan.
Selisih RC rasio atas biaya tunai dengan RC rasio atas biaya total usahatani lele Bapukan saat ini 0,11 atau 11 persen, sedangkan setelah program
Filleting sebesar 0,17 atau 17 persen. Hal ini menunjukan bahwa biaya yang diperhitungkan pada usahatani tersebut relatif kecil. Salah satu komponen biaya
diperhitungkan yang memiliki nilai paling besar adalah sewa lahan. Besarnya nilai sewa lahan pada biaya yang diperhitungkan dapat mengindikasikan bahwa sewa
lahan pada daerah penelitian tergolong mahal. Hal ini terbukti dengan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara sewa lahan dengan adanya jaminan dan
sewa lahan tanpa jaminan, yang mana sewa lahan tanpa jaminan lebih mahal Rp 200.000 daripada sewa lahan dengan jaminan.
80
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh kesimpulan bahwa usahatani ikan lele Bapukan sebelum program Filleting tidak menguntungkan petani jika
dibandingkan dengan usahatani lele Bapukan setelah program Filleting. Hal ini disebabkan harga jual setelah program Filleting lebih tinggi dibandingkan dengan
harga jual sebelum program Filleting, dari sisi pemasaran setelah program Filleting lebih efisien dibandingkan sebelum program Filleting dimana produk
lele bapukan terserap seluruhnya oleh pasar dengan menambah added value berupa pengolahan ikan lele Bapukan.
Pendapatan atas biaya tunai pada usahatani ikan lele Bapukan sebelum program Filleting minus Rp 1,337,000 artinya pendapatan petani tanpa
memperhitungkan biaya yang diperhitungkan sebesar minus Rp 1,337,000 per hektar per musim tanam. Sedangkan pendapatan atas biaya total sebesar minus Rp
3,090,991 artinya pendapatan petani dengan memperhitungkan biaya yang diperhitungkan sebesar minus Rp 3,090,991. Pendapatan atas biaya tunai pada
usahatani ikan lele Bapukan setelah program Filleting adalah Rp 3,709,600 artinya pendapatan petani tanpa memperhitungkan biaya yang diperhitungkan
sebesar Rp 3,709,600 per hektar per musim tanam. Sedangkan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 1,955,609 artinya pendapatan petani dengan
memperhitungkan biaya yang diperhitungkan sebesar Rp 1,955,609. Jika dilihat dari perbandingan antara penerimaan dan biaya RC rasio
atas biaya tunai dan biaya total dapat disimpulkan bahwa usahatani ikan lele Bapukan tidak untung sebelum program Filleting jika dilihat dari RC rasio atas
biaya tunai yaitu bernilai 0,88. Artinya setiap biaya yang dikeluarkan secara tunai sebanyak satu satuan hanya menghasilkan keuntungan sebesar 0,88 satuan.
Sedangkan dari RC rasio atas biaya total juga tidak menguntungkan untuk diusahakan terbukti dengan nilai RC rasio terhadap biaya total sebesar 0,77,
artinya setiap pengeluaran satu satuan biaya total hanya akan menghasilkan penerimaan sebesar 0,77 satuan penerimaan. Usahatani ikan lele Bapukan untung