Teori Kutub Pertumbuhan Growth pole theory

Rengasamy 2008. Menurutnya konsep pusat-pinggiran merugikan daerah pinggiran, sehingga perlu diatasi dengan membatasi migrasi urbanisasi, mencegah keluarnya modal dari daerah pinggiran, membangun daerah pinggiran, dan membangun wilayah pedesaan. Menurut Myrdal, setiap daerah mempunyai pusat pertumbuhan yang menjadi daya tarik bagi tenaga buruh dari pinggiran. Pusat pertumbuhan mempunyai daya tarik terhadap tenaga terampil, modal, dan barang-barang dagangan yang menunjang pertumbuhan suatu lokasi. Demikian terus-menerus akan terjadi pertumbuhan yang makin lama makin pesat atau akan terjadi polarisasi pertumbuhan ekonomi polarization of economic growth. Sebagaimana halnya teori polarisasi ekonomi Myrdal dengan konsep pusat-pinggiran core-periphery dan spread dan backwash effect, konsep yang sama yang dikemukan Hirschman dengan ―trickling-down effect” dan ―polarization effects‖. Hirschman 1958 adalah seorang penganjur teori pertumbuhan tidak seimbang unbalanced theory. Menurutnya pertumbuhan ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari faktor lingkungan dan keuntungan-keuntungan lokasi. Pembangunan terpolarisasi dapat memberikan manfaat bagi wilayah pertumbuhan dan daerah belakangsekitarnya Hirschman 1958 dalam Muta’ali 1999; Dawkins 2003. Hirschman menggunakan istilah titik pertumbuhan growing point atau pusat pertumbuhan growing centre. Pertumbuhan ekonomi diutamakan pada titik originalnya sebelum disebarkan ke berbagai tempat lainnya. Hirschman 1958 dalam Adisasmita 2008 menyebutkan bahwa dalam suatu negara terdapat beberapa titik pertumbuhan. Industri akan cenderung berkelompok suatu tempat, karena diperoleh beberapa manfaat dalam bentuk penghematan-penghematan dan kemudahan-kemudahan. Kesempatan investasi, lapangan kerja dan upah buruh relatif tinggi lebih banyak terdapat di pusat- pusat pertumbuhan dari pada daerah belakang. Pusat dan daerah belakang terdapat ketergantungan dalam suplai barang dan tenaga kerja. Pengaruh yang paling hebat adalah migrasi penduduk ke kota-kota besar urbanisasi akan dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang trampil dan pihak lain akan mengurangi pengangguran tidak kentara di daerah belakang. Hal ini tergantung pada tingkat komplementaritas antara dua tempat tersebut. Komplementaritas yang kuat akan mendorong trikling down effect kedaerah-daerah belakang, sebaliknya jika komplementaritas lemah akan terjadi polarization effects. Jika pengaruh polarisasi lebih kuat dari pengaruh penyebaran pembangunan maka akan timbul masyarakat dualistik, yaitu selain memiliki ciri- ciri daerah perkotaan modern juga memiliki daerah perdesaan terbelakang Hammand 1985; Catri 1993. Walaupun terlihat suatu kecenderungan yang suram namun Hirschman optimis dan percaya bahwa pengaruh trikling-down akan mengatasi polarization effects. Perbedaan pandangan antara Hirschman dan Myrdal, kebijaksanaan perspektif yang dianjurkan oleh keduanya berbeda pula. Hirschman menyarankan agar membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat menciptakan pengaruh-pengaruh penyebaran pembangunan yang efektif, sedangkan Myrdal menekankan pada langkah-langkah kebijaksanaan untuk melemahkan backwash effets dan memperkuat sread effect agar proses kausasi sirkuler kumulatif mengarah keatas, dengan demikian semakin memperkecil ketimpangan regional Adisasmita 2008.

d. Teori Pusat Pembangunan Localized poles of development

Boudeville 1961 seorang ahli ekonomi Perancis, mengemukakan teori kutub pembangunan yang terlokalisasikan localized poles of development. Teori yang dikemukakan oleh Boudeville merupakan pengembangan dari teori kutub pertumbuhan Perroux. Menurut Boudeville dalam Miyoshi 1997, kutub pertumbuhan adalah a set of expanding industries located in an urban area and inducing further development of economic activity throughout its zone of influence. Seperangkat industri berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi seluruh wilayah pengaruhnya. Lebih lanjut, Boudeville mengembangkan konsep kutub pertumbuhan menjadi model perencanaan operasional yang menjelaskan suatu kondisi di mana pertumbuhan akan dibuat dalam wilayah terpolarisasi dan mendefinisikan tiga jenis polarisasi yaitu polarisasi pusat nasional, regional dan lokal, dan mengubah teori kutub pertumbuhan menjadi sebuah konsep praktis untuk perencanaan regional. Boudeville dalam Muta’ali 1999, menyatakan bahwa setiap wilayah mempunyai perbedaan struktur ekonomi. Perbedaan ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan latar belakang historis dan potensi sumberdaya manusia pada wilayah tersebut. Konsep kutub pertumbuhan dapat diinterpretasikan sebagai aglomerasi geografis dari adanya propulsive industries didalam kota atau wilayah tertentu dan pertumbuhan ekonomi cenderung akan terpolarisasikan pada kota atau wilayah tersebut. Untuk dapat menyebarkan pertumbuhan ekonomi dari pusat ke daerah belakangnya, ia mengusulkan perlu dilakukan pemilihan lokasi pusat atau kutub pertumbuhan yang dapat mendorong efek kumulatif kegiatan ekonomi dan menyebarkannya ke wilayah belakangnya. Teori yang dikemukakan Boudeville merupakan modifikasi dari teori kutub pertumbuhan karena dapat dipergunakan untuk menganalisis gejala-gejala dinamis dan praktis untuk perencanaan regional Miyoshi 1997; Adisasmita 2008. Karena bersifat dinamis dan praktis menurut Boudeville pusat pertumbuhan adalah sekumpulan fenomena geografis dari semua kegiatan yang ada di permukaan Bumi. Suatu kota atau wilayah kota yang mempunyai industri propulsif yang kompleks, dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan. Industri propulsif merupakan industri yang mempunyai pengaruh yang besar baik langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan lainnya. Dalam aplikasinya, teori dan konsep kutub pertumbuhan dalam konteks geografis dan regional, pendapat Boudenville dan konsep Perroux tidak searah. Perroux menganggap tata ruang secara abstrak, yang menekankan karakteristik- karakteristik regional tata ruang ekonomi. Boudeville menekankan pada tata ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis, dalam mengembangkan pemikirannya lebih lanjut Boudeville menekankan pada tata ruang polarisasi. Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian ketergantungan antara berbagai elemen yang terdapat di dalamnya. Konsep ini erat berkaitan dengan pengertian hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk studi pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya Adisasmita 2008. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Menurut Perroux, dalam Dawkins 2003 pembangunan adalah jumlah dari perubahan pola sosial dan mentalitas di mana perangkat produksi ditambah dengan populasi. Konsep pembangunan identik dengan memperoleh kapasitas untuk memanfaatkan perangkat produksi dalam mencapai apa yang dianggap menjadi tingkat pertumbuhan yang memuaskan, dan perangkat produksi memasok produk yang melayani penduduk. Pengembangan wilayah terdiri dari dua kata yaitu pengembangan dan wilayah. Pengembangan dapat berarti sebagai suatu usaha-usaha tertentu untuk mengubah kondisi yang ada menjadi suatu kondisi yang lebih baik. Wilayah bagian permukaan bumi yang memiliki satu kesatuan tertentu yang lebih besar daripada kota dan lebih kecil daripada negara Muta’ali 2011. Menurut Rustiadi, et al 2009, beberapa pihak lebih senang menggunakan istilah pengembangan daripada pembangunan untuk beberapa hal yang spesifik. Secara umum istilah pembangunan dan pengembangan di Indonesia memang sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan lokalitas. Sedang Jayadinata 1999 membedakan istilah pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Pengembangan ialah memajukan atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Selanjutnya Rustiadi et al. 2009 menyatakan bahwa ada juga yang berpendapat bahwa pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam artian pengembangan tidak membuat sesuatu dari nol, melainkan dari sesuatu yang sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan dan diperluas. Oleh karena itu dalam konteks kewilayahan, isitilah pengembangan wilayah lebih banyak dipakai daripada pembangunan wilayah. Dari beberapa pandangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan lebih bersifat fisik dan dimulai dari nol, sedang pengembangan dapat bersifat fisik atau non fisik dan tidak dimulai dari nol. Sekalipun kedua konsep tersebut pembangunan dan pengembangan secara harfiah berbeda namun tujuan dilaksanakannya pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Jayadinata 1999. Menurut Mubyarto 2000, hakekat pengembangan atau pengembangunan wilayah pada dasarnya adalah: 1. Meningkatkan kelompok masyarakat termiskin di perdesaan; 2. Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam upaya pembangunan perdesaan yang mampu menaikkan produktivitas kelompok masyarakat miskin; 3. Meningkatkan kemampuan pemerintah pusat dalam memberikan dukungan kepada upaya-upaya pembangunan perdesaan oleh pemerintah daerah yang akan menaikkan pendapatan masyarakat miskin di perdesaan. Sedang Muta’ali 2011 menyebutkan bahwa pengembangan wilayah merupakan perencanaan mengenai bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki, baik sumberdaya manusia tenaga kerja, sumberdaya alam, maupun kesempatan-kesempatan interregional yang dikaitkan dengan prospek-prospek dan kecenderungan ekonomi dalam jangka panjang. Lebih lanjut disebutkan pembangunan wilayah juga bertujuan untuk memperkecil kesenjangan antar wilayah disparitas wilayah. Di sini peran pengembangan wilayah adalah untuk menyeimbangkan pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah.