Analisis Daya Saing Perekonomian Wilayah

Tabel 29 Analisis Shift Share KabKota Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterland Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran tahun 20032007 dan 20092013 No KabKota Kompo nen Tahun Lapangan Usaha Pertanian Pertamb angan Penggali an Industri Pengol ahan Listrik dan Air Bersih Bangu nan Perdaga ngan, Hotel Restoran Penga ngkuta n Komu nikasi Keuan gan, Perse waan Jasa Jasa- Jasa 1. Kota Tasikmalaya Tahun 20032007 KS 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 PS -0,01622 -0,85856 0,10342 0,05305 0,25178 0,15777 0,07611 -0,01668 -0,16527 DS -0,17499 0,69238 -0,04305 0,12482 -0,22613 0,21887 -0,21702 0,41363 0,04284 Tahun 20092013 KS 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 PS -0,23736 -0,39468 -0,07558 -0,00502 0,33670 0,17921 0,36576 0,21306 0,06028 DS 0,01016 0,19756 0,01059 -0,05241 -0,10222 -0,09521 -0,51954 -0,25922 -0,24859 2. Kab. Tasikmalaya Tahun 20032007 KS 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 PS -0,01622 -0,85856 0,10342 0,05305 0,25178 0,15777 0,07611 -0,01668 -0,16527 DS 3,18655 2,71272 2,71145 1,51174 -0,97187 1,55978 2,05251 2,48324 1,04410 Tahun 20092013 KS 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 PS -0,23736 -0,39468 -0,07558 -0,00502 0,33670 0,17921 0,36576 0,21306 0,06028 DS 0,04110 0,11969 0,04105 0,35882 -0,47446 4,70650 -0,64076 -0,23765 -0,05229 3. Kab. Garut Tahun 20032007 KS 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 PS -0,01622 -0,85856 0,10342 0,05305 0,25178 0,15777 0,07611 -0,01668 -0,16527 DS -0,14485 0,81068 -0,24412 -0,01685 -0,28352 -0,14129 -0,08955 0,45329 0,41565 Tahun 20032007 SS 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 PS -0,23736 -0,39468 -0,07558 -0,00502 0,33670 0,17921 0,36576 0,21306 0,06028 DS 0,07758 0,23410 -0,01322 0,00828 -0,31285 -0,23606 -0,47241 -0,27485 -0,18959 4. Kab. Ciamis Tahun 20032007 SS 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 PS -0,01622 -0,85856 0,10342 0,05305 0,25178 0,15777 0,07611 -0,01668 -0,16527 DS -0,12034 0,77948 -0,14986 -0,15428 -0,37927 -0,10844 -0,01855 -0,05051 0,14586 Tahun 20092013 KS 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 PS -0,23736 -0,39468 -0,07558 -0,00502 0,33670 0,17921 0,36576 0,21306 0,06028 DS 0,03928 0,20150 0,12914 0,15927 -0,48269 -0,13153 -0,48495 -0,19722 -0,03901 5. Kota Banjar Tahun 20032007 KS 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 0,23999 PS -0,01622 -0,85856 0,10342 0,05305 0,25178 0,15777 0,07611 -0,01668 -0,16527 DS -0,15835 0,65936 -0,26711 -0,07507 -0,23671 0,21479 -0,12214 -0,58363 0,25827 Tahun 20092013 KS 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 0,27499 PS -0,23736 -0,39468 -0,07558 -0,00502 0,33670 0,17921 0,36576 0,21306 0,06028 DS -0,00581 0,13656 0,08828 -0,06220 -0,25313 -0,13103 -0,39797 -0,24963 -0,14209 6. Kab. Pangandaran Tahun 20112013 KS 0,13317 0,13317 0,13317 0,13317 0,13317 0,13317 0,13317 0,13317 0,13317 PS -0,10487 -0,21065 -0,03850 0,03644 0,09800 0,06892 0,09511 0,09873 0,08158 DS 0,00353 0,09435 0,19303 0,03817 0,12739 0,12109 0,01451 0,00652 -0,02157 Sumber: Hasil analisis Shift Share 2014, data diolah dari BPS Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Ciamis, Kota Banjar, Kab. Pangandaran dan Propinsi Jawa Barat, 2009-2013. Keterangan: KS : Komponen Share PS : Proportional Shift DS : Differential Shift Berdasarkan Tabel 29 hasil analisis shift share pada komponen share SS menunjukkan laju pertumbuhan sektor-sektor PDRB di Jawa Barat, terlihat pada komponen share tahun 20032007 sebesar 0,23999 bertumbuh sebesar 0,27499 pada tahun 20092013. Sedang pada komponen proportional shift PS memperlihatkan tahun 20032007 terdapat 4 empat sektor yang memiliki proportional shift PS negatif yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, keuangan, persewaan dan jasa dan jasa-jasa, sedang 5 lima sektor lainnya bernilai positif yaitu industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan komunikasi. Namun pada tahun 20092013 ada pergeseran sektor-sektor yang memiliki proportional shift PS negatif, dimana tahun 20092013 4 empat sektor mengalami pergeseran negatif yaitu sektor pertanian -0,23736, pertambangan dan penggalian -0,39468, industri pengolahan -0,07558, dan listrik dan air bersih -0,00502, artinya sektor –sektor tersebut bukan merupakan sektor yang potensial untuk dikembang dalam perekonomian Propinsi Jawa Barat. Sebaliknya 5 sektor bernilai positif yaitu sektor bangunan 0,33670, perdagangan, hotel dan restoran 0,17921, pengangkutan dan komunikasi 0,36576, keuangan, persewaan dan jasa 0,21306, dan sektor jasa-jasa 0,06028, mengalami pertumbuhan yang pesat diasumsikan sektor ini merupakan sektor unggulan yang memiliki potensi untuk dikembangan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan Tabel 29, hasil analisis shift share terhadap Kota Tasikmalaya tahun 20032007 dan 20092013 menunjukkan bahwa sektor-sektor PDRB Kota Tasikmalaya pada komponen differential shift DS tahun 20032007 memperlihatkan 5 lima sektor memiliki differential shift DS positif yaitu pertambangan dan penggalian, listrik dan air bersih, perdagangan, hotel dan restoran, keuangan, persewaan dan jasa, jasa-jasa sedang 4 empat sektor lainnya bernilai negatif yaitu pertanian, industri pengolahan, bangunan, pengangkutan dan komunikasi. Namun pada tahun 20092013 sektor-sektor tersebut mengalami perubahan khususnya pada komponen differential shift. Dimana tahun 20092013 memperlihatkan 3 tiga sektor yaitu pertanian 0,01016, pertambangan dan penggalian 0,19756, industri pengolahan 0,01059, memiliki nilai differential shift positif, hal ini mengindikasikan pada tingkat lokal sektor-sektor memiliki keunggulan kompetitif yang relatif cukup besar untuk dikembangkan dibanding sektor-sektor lainnya di Kota Tasikmalaya. Namun jika dibandingkan sektor yang sama dengan di Propinsi Jawa Barat, pertumbuhan sektor pertanian, pertambangan dan penggalian dan industri pengolahan lebih tinggi di Kota Tasikmalaya. Sedang 6 enam sektor memiliki nilai differential shift yang negatif yaitu listrik dan air bersih -0,05241, bangunan -0,10222, perdagangan, hotel dan restoran -0,09521, pengangkutan dan komunikasi -0,51954, keuangan, persewaan dan jasa -0,25922, dan jasa-jasa -0,24859, di Kota Tasikmalaya mempunyai tingkat daya saing yang rendah dibandingkan sektor-sektor lain. Berdasarkan Tabel 29, untuk membandingkan perkembangan shift share Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran tahun 20032007 dan 20092013 dapat dijelaskan sebagai berikut: Dengan Kabupaten Tasikmalaya tahun 20092013, pada tingkat lokal memperlihatkan 4 empat sektor yaitu sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, dan sektor jasa-jasa, memiliki nilai differential shift DS yang negatif, artinya pada tingkat lokal sektor-sektor ini memiliki daya saing competitiveness yang rendah dibandingkan sektor lainnya. Sedang 5 lima sektor memiliki nilai differential shift positif yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, dan perdagangan, hotel dan restoran, diasumsikan sektor-sektor tersebut memiliki keunggulan kompetitif competitiveness yang relatif cukup besar untuk dikembangan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Tasikmalaya. Dengan Kabupaten Garut tahun 20092013, dinamika sektor- sektor di tingkat lokal menunjukkan 6 enam sektor memiliki nilai differential shift negatif yaitu sektor industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, dan sektor jasa-jasa, artinya sektor-sektor tersebut memiliki daya saing yang rendah dalam pembentukan perekonomian di Kabupaten Garut. Sedang 3 tiga sektor yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, dan sektor listrik dan air bersih, memiliki nilai differential shift positif, artinya sektor ini memiliki keunggulan kompetitif competitiveness yang relatif cukup besar untuk dikembangan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Garut. Kabupaten Ciamis tahun 20092013, memperlihatkan 4 empat sektor yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, memiliki nilai differential shift positif, sektor-sektor ini diasumsikan memiliki daya saing dan keunggulan kompetitif yang relatif cukup besar di Kabupaten Ciamis. Sedang 5 lima sektor memiliki nilai Differential Shift negatif yaitu sektor bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pertanian, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, dan jasa-jasa, diasumsikan sektor-sektor tersebut mempunyai tingkat daya saing yang rendah dalam perekonomian di Kabupaten Ciamis. Dengan Kota Banjar tahun 20092013, dinamika perkembangan sektor-sektor pada tingkat lokal memperlihatkan 7 tujuh sektor memiliki nilai differential shift negatif yaitu sektor pertanian, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, dan sektor jasa-jasa, diasumsikan sektor-sektor tersebut mempunyai tingkat daya saing yang rendah dalam perekonomian di Kota Banjar. Hanya terdapat 2 dua sektor yang memiliki nilai differential shift positif yaitu pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, diasumsikan sektor tersebut memiliki daya saing dan keunggulan kompetitif yang relative cukup besar untuk dikembangan di Kota Banjar. Dengan Kabupaten Pangandaran tahun 20092013, data PDRB ADHK 2000 Kabupaten Pangandaran memperlihatkan bahwa semua sektor mengalami pertumbuhan dari 9 sembilan sektor ekonomi 8 delapan sektor memiliki nilai differential shift yang positif yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa, sektor ini memiliki daya saing dan keunggulan kompetitif yang relatif besar untuk dikembangkan dan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pangandaran. Sebaliknya hanya terdapat 1 satu sektor yang memiliki nilai differential shift negatif yaitu jasa-jasa, diasumsikan sektor tersebut memiliki tingkat daya saing yang rendah pada tingkat lokal. Dari analisis perbandingan Kota Tasikmalaya tahun 20092013, dengan daerah sekitarnya hinterland, menunjukkan dari 9 sembilan sektor yang ada dalam perekonomian Kota Tasikmalaya, 6 enam sektor diantaranya memiliki nilai differential shift yang negatif, yaitu listrik dan air bersih, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa dan sektor jasa-jasa artinya pertumbuhan sektor ini terjadi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pada sektor-sektor ini pertumbuhan ekonomi Jawa Barat komponen share memberikan pengaruh positif, namun pertumbuhan sektor yang sama di Jawa Barat pada komponen proportional shift enam sektor yaitu bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, dan keuangan, persewaan dan jasa dan sektor jasa-jasa memberikan pengaruh positif. Sedangkan tiga sektor lainnya yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan dan listrik dan air bersih, memberikan pengaruh negatif. Sebaliknya pada tingkat lokal komponen differential shift sektor-sektor yang memiliki kinerja negatif diasumsikan tidak memiliki tingkat daya saing. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor-sektor tersebut sangat bergantung pada suplai dari daerah sekitarnya hinterland maupun dari daerah lain di Jawa Barat, atau dari propinsi lain seperti Jawa Tengah. Sedangkan sektor yang secara aktual dan potensial mampu memberikan keunggulan kompetitif bagi Kota Tasikmalaya tahun 20092013 adalah sektor pertanian, pertambangan penggalian, industri pengolahan. Secara aktual, sektor ini mengalami pergeseran yang positif pertumbuhan dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Sektor ini juga memiliki potensi untuk terus dikembangkan karena dinamika di level lokal juga mengalami pergeseran yang positif nilai differential shift positif. Fenomena bertentangan dengan kondisi di lapangan karena perekonomian Kota Tasikmalaya jika melihat dari PDRB ADHK 2000, dimana sektor pertanian, pertambangan dan penggalian dan industri pengolahan kontribusi terhadap pembentukan PDRB Kota Tasikmalaya tidak signifikan dilihat dari besaran perkembangannya. Perlu diketahui bahwa ketika Kota Tasikmalaya masih menjadi kota administratif kotif hanya terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Cihideung, Cipedes dan Kecamatan Tawang. Namun ketika dimekarkan dari Kabupaten Tasikmalaya tahun 2001 menjadi daerah otonom ada penambahan 7 tujuh kecamatan dari Kabupaten Tasikmalaya sehingga Kota Tasikmalaya menjadi 10 kecamatan. 7 tujuh kecamatan ini secara administratif sebelumnya masuk dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya, wilayahnya dominan pertanian, pertambangan penggalian dan industri pengolahan sehingga jika diakumulasi 7 tujuh kecamatan mendominasi 3 kecamatan kotif. banyak ditopang oleh aktivitas pembangunan yang berkembang, disatu sisi Kota Tasikmalaya merupakan daerah penyangga untuk kebutuhan pembangunan bagi wilayah sekitarnya, meningkatnya aktivitas perdagangan antar daerah maupun perdagangan dengan luar daerah, berkembangnya hotel dan restauran karena posisi Kota Tasikmalaya sebagai persinggahan jika masyarakat luar akan berkunjung atau berwisata kedaerah- daerah sekitarnya. 6 PERKEMBANGAN WILAYAH, INTERAKSI EKONOMI DAN DAYA TARIK WILAYAH DAN ANALISIS PEMEKARAN WILAYAH Perkembangan Wilayah, Interaksi Ekonomi dan Daya Tarik Wilayah 1. Analisis Perkembangan Wilayah Untuk mengetahui tingkat perkembangan suatu wilayah analisis skalogram merupakan suatu alat analisis yang biasa digunakan. Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi suatu wilayahdaerah potensial menjadi pusat pertumbuhan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya. Semakin lengkap dan banyak fasilitas yang dimiliki oleh suatu wilayah akan semakin tinggi hirarki dan sebaliknya. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang akan cenderung menjadi daerah belakang hinterland. Ketersediaan fasilitas yang dimiliki oleh suatu wilayah akan menentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu wilayah. Dengan analisis skalogram dapat ditentukan daerah yang dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan. Daerah yang memiliki kelengkapan fasilitas tertinggi dapat ditentukan sebagai pusat pertumbuhan. Tujuan analisis skalogram adalah untuk mengidentifikasi kota-kota yang dapat dikelompokkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan berdasarkan pada fasilitas kota yang tersedia atau dimiliki Blakely 1994. Untuk mengetahui Indeks Perkembangan Kabupaten IPK ditentukan dengan cara menghitung jumlah hasil standardisasi sarana dan aksesibilitas pada suatu wilayah. Nilai Indeks Perkembangan Kabupaten IPK diurutkan nilainya berdasarkan nilai yang terbesar sampai nilai terkecil. Semakin besar nilai IPK suatu wilayah maka semakin tinggi tingkat perkembangan dan hirarkinya, sebaliknya semakin kecil nilai IPK suatu wilayah maka semakin rendah tingkat perkembangan dan hirarkinya. Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten IPK wilayah dapat dikelompokkan dalam tiga hirarki, yaitu hirarki I tinggi, hirarki II sedang, dan hirarki III rendah. Untuk menentukan hirarki wilayah didasarkan pada nilai standar deviasi Std Dev Indeks Perkembangan Kabupaten IPK masing-masing kabupatenkota dan nilai rataannya, seperti terlihat pada Tabel 30. Tabel 30 Nilai Selang Hirarki Indeks Perkembangan Kabupaten IPK Hirarki Nilai Selang X Tingkat Perkembangan I IPK X [rataanIPK+St Dev IPK] Tinggi II Rataan IPK ≥IPK X ≤ St DevIPK Sedang III IPK X rataan IPK Rendah Berdasarkan Tabel 30, penentuan hirarki wilayah dilakukan untuk mengetahui ketersediaan sarana dan prasarana dan fasilitas perkotaan yang dimiliki suatu daerah sebagai sebagai daya tarik maupun sebagai salah satu pusat pelayanan maupun pusat pertumbuhan. Hirarki dan tingkat perkembangan wilayah dalam skalogram dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Hirarki I adalah kabupatenkota dengan tingkat perkembangan wilayah yang lebih maju dibandingkan dengan wilayah lainnya. Wilayah dengan hirarki I memiliki jumlah dan fasilitas yang lengkap sehingga dikategorikan tingkat perkembangan tinggi. KabupatenKota yang termasuk pada kategori ini memiliki aksesibilitas dan sarana prasarana yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga wilayah ini dapat menjadi pusat pelayanan dan penyedia fasilitas bagi wilayah disekitarnya. 2. Hirarki II adalah kabupatenkota dengan tingkat perkembangan wilayah sedang. Wilayah dengan hirarki II adalah wilayah dimana jumlah dan jenis prasarananya tidak selengkap dengan wilayah pada hirarki I, sehingga dikategorikan tingkat perkembangan sedang. Wilayah ini tidak dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan maupun pusat pelayanan bagi wilayah disekitarnya, hanya berfungsi sebagai wilayah hinterland. 3. Hirarki III adalah kabupatenkota dengan tingkat tingkat perkembangan wilayah yang paling rendah. Wilayah dengan hirarki III adalah wilayah dimana jumlah dan jenis fasilitas sarana dan prasarananya tidak selengkap dengan wilayah pada hirarki I dan II, sehingga dikategorikan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah dan berfungsi sebagai wilayah hinterland. Dengan menggunakan data tahun 2013 hasil analisis skalogram menunjukkan bahwa perkembangan wilayah kabupatenkota se Sultra Kepulauan yang meliputi Kota Baubau dan wilayah sekitarnya hinterland, dimana dari 6 enam kabupatenkota yang dianalisis, terlihat wilayah yang berada pada hirarki I adalah Kabupaten Buton Utara dengan Indeks Perkembangan Wilayah IPK sebesar 22,609. Sedangkan 2 dua daerah masuk dalam kategori wilayah dengan hirarki II yaitu Kota Baubau dengan Indeks Perkembangan Wilayah IPK sebesar 11,156 dan Kabupaten Wakatobi Indeks Perkembangan Wilayah IPK sebesar 17,211. Pada wilayah dengan kategori hirarki III terdapat 3 tiga kabupaten yaitu Kabupaten Buton Indeks Perkembangan Wilayah IPK 6,604, Kabupaten Bombana Indeks Perkembangan Wilayah IPK 4,391 dan Kabupaten Muna Indeks Perkembangan Wilayah IPK 0,413. Hasil analisis skalogram Standar Deviasi StdDev sebesar 8,322 dengan rata-rata average sebesar 10,397. Fenomena yang terjadi dari hasil analisis skalogram adalah Kota Baubau sebagai pusat perlayanan dan pertumbuhan justru berada pada wilayah dengan hirarki II, sekalipun berdasarkan kondisi dilapangan Kota Baubau lebih maju dan berkembang namun karena faktor kependudukan salah satu penentu dalam perhitungan analisis skalogram dimana jumlah penduduk Kota Baubau sebanyak 139.717 jiwa sedang Kabupaten Buton Utara sebanyak 57.422 Jiwa. Tabel 31 Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten Kota Sultra Kepulauan tahun 2013 KabupatenKota Rataan IPK StDevIPK Hirarki Tingkat Perkembangan Kota Baubau 11,156 2,12 II Sedang Kabupaten Buton 6,604 1,45 III Rendah Kabupaten Buton Utara 22,609 4,32 I Tinggi Kabupaten Wakatobi 17,211 0,71 II Sedang Kabupaten Muna 0,413 3,53 III Rendah Kabupaten Bombana 4,3910 0,04 III Rendah Average IPK = 10,397; StDev = 8,322 Sumber: BPS, diolah, 2015 Berdasarkan Tabel 31 hasil analisis skalogram memperlihatkan Kabupaten Buton Utara masuk kategori wilayah dengan hirarki I ditunjukkan dengan nilai IPK yang besar, mengindikasikan bahwa daerah tersebut tingkat perkembangannya tinggimaju. Ini berarti memiliki jumlah dan fasilitas yang lengkap dan memiliki aksesibilitas dan sarana prasarana yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga potensial menjadi pusat pelayanan. Sedang Kota Baubau dan Kabupaten Wakatobi masuk kategori wilayah dengan hirarki II, diasumsikan tingkat perkembangan sedang. Kabupaten Buton Kabupaten, Bombana dan Kabupaten Muna masuk pada kategori wilayah hirarki III atau tingkat perkembangan wilayah yang rendah. Tabel 32 hasil dari analisis skalogram dengan menggunakan data tahun 2013 menunjukkan bahwa perkembangan wilayah kabupatenkota se Priangan Timur yang meliputi Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran, memperlihatkan wilayah dengan hirarki I atau tingkat perkembangan tinggimaju adalah Kota Tasikmalaya dengan Indeks Perkembangan Wilayah IPK sebesar 0,662, artinya Kota Tasikmalaya merupakan wilayah maju yang berpotensi menjadi pusat pelayanan maupun sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan kabupatenkota hinterland yang masuk dalam kategori wilayah dengan hirarki II yaitu Kabupaten Garut dengan Indeks Perkembangan Kabupaten IPK sebesar 0,613 dan Kabupaten Ciamis dengan Indeks Perkembangan Kabupaten IPK sebesar 0,592. Sedangkan 2 dua kabupaten lainnya berada pada wilayah dengan kategori hirarki III atau tingkat perkembangan rendah yaitu Kabupaten Tasikmalaya dengan Indeks Perkembangan Wilayah IPK 0,383, dan Kota Banjar sebesar 0,363, diasumsikan ketersediaan fasilitas sarana dan prasaranya tidak selengkap dengan wilayah pada hirarki I dan hirarki II. Standar Deviasi StdDev hasil analisis skalogram sebesar 0,138 dengan rata-rata average sebesar 0,523. Hirarki wilayah kabupatenkota Priangan Timur terlihat pada Tabel 32. Tabel 32 Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten Kota Priangan Timur tahun 2013 KabupatenKota Rataan IPK StDevIPK Hirarki Tingkat Perkembangan Kota Tasikmalaya 0,662 0,08 I Tinggi Kabupaten Tasikmalaya 0,383 0,10 III Rendah Kabupaten Garut 0,613 0,09 II Sedang Kabupaten Ciamis 0,592 0,05 II Sedang Kota Banjar 0,363 0,11 III Rendah Kabupaten Pangandaran - - - - Average IPK = 0,523; StDev = 0,138 Sumber: BPS, data diolah, 2015 Tabel 32 memperlihatkan dari enam kabupatenkota se Priangan Timur Kota Tasikmalaya adalah wilayah dengan hirarki I atau tingkat perkembangan tinggimaju hal ini ditunjukkan dengan nilai rataan IPK yang besar, sehingga diasumsikan wilayah ini memiliki jumlah dan fasilitas yang lengkap dan memiliki aksesibilitas dan sarana prasarana yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga potensial menjadi pusat pelayanan dan pusat pertumbuhan. Kabupaten Garut dan Kabupaten Ciamis termasuk dalam kategori wilayah hirarki II atau tingkat perkembangan sedang, diasumsikan wilayah ini dimana jumlah dan jenis prasarananya tidak selengkap dengan wilayah pada hirarki I. Sedang Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Banjar termasuk dalam kategori wilayah hirarki III atau tingkat perkembangan rendah, diasumsikan ketersediaan fasilitas sarana dan prasaranya tidak selengkap dengan wilayah pada hirarki I dan hirarki II. Kabupatenkota yang termasuk dalam kategori wilayah hirarki II dan III berfungsi sebagai wilayah hinterland. Berdasarkan tabel 25 dan 26 untuk membandingkan tingkat perkembangan wilayah kabupaten kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Perbandingan Analisis Skalogram Tingkat Perkembangan Wilayah menurut KabupatenKota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2013 Kabupaten Kota se Sultra Kepulauan Kabupaten Kota se Priangan Timur Kabupaten Kota Rataan IPK StDevIPK HirarkiTingkat Perkembangan Kabupaten Kota Rataan IPK StDevIPK HirarkiTingkat Perkembangan Kota Baubau 11,156 2,12 IISedang Kota Tasikmalaya 0,662 0,08 ITinggi Kabupaten Buton 6,604 1,45 IIIRendah Kab.Tasikmalaya 0,383 0,10 IIIRendah Kab. Buton Utara 22,609 4,32 ITinggi Kabupaten Garut 0,613 0,09 IISedang Kab. Wakatobi 17,211 0,71 IISedang Kabupaten Ciamis 0,592 0,05 IISedang Kabupaten Muna 0,413 3,53 IIIRendah Kota Banjar 0,363 0,11 IIIRendah Kab. Bombana 4,391 0,04 IIIRendah Kab.Pangandaran - - - Average IPK = 10,397; StDev = 8,322 Average IPK = 0,523; StDev = 0,138 Sumber: BPS, data diolah, 2015 Tabel 33 memperlihatkan pada wilayah Sultra Kepulaun, dibandingkan dengan daerah sekitarnya hinterland Kota Baubau sebagai pusat pertumbuhan berada pada wilayah hirarki II, sedangkan Kabupaten Buton Utara berada pada wilayah hirarki I. Walaupun kondisi wilayah menunjukan bahwa Kota Baubau aktivitas ekonominya lebih beragam, ketersediaan sarana dan prasarana lebih lengkap, namun selisih jumlah penduduk yang cukup besar yaitu Kota Baubau sebesar 139.717 jiwa dan Kabupaten Buton Utara sebanyak 57.422 Jiwa menjadikan Kota Baubau berada pada wilayah hirarki II. Sebaliknya pada wilayah Priangan Timur dibandingkan dengan daerah sekitarnya hinterland Kota Tasikmalaya berada pada wilayah hirarki I, artinya bahwa ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana sebagai pendukung untuk menjadi pusat pelayanan dan pertumbuhan sangat mendukung. Perbedaan tingkat perkembangan wilayah maupun ekonomi antar kabupatenkota yang besar dalam suatu wilayahkawasan akan memicu terjadinya arus pergerakan dan mobilitas penduduk yang semakin meningkat pula, dimana penduduk akan cenderung bergerak ke pusat-pusat kota pertumbuhan untuk mencari peluang maupun kesempatan kerja dan upah yang lebih besar. Kondisi ini akan berdampak pada hilang atau berkurangnya tenaga potensial dan produktif pada suatu wilayah. Perbedaan tingkat perkembangan antar wilayah yang sangat besar dalam suatu wilayahkawasan juga dapat melemahkan dan menghambat kemajuan wilayah pada akhirnya dapat mengganggu sistem perekonomian wilayah. Sebaliknya jika terdapat hirarki wilayah yang berjenjang dengan tingkat keberimbangan yang baik antar wilayah disatu sisi bisa menimbulkan dan meningkatkan persaingan antar daerah, namun disisi lain dapat mendorong dan menggerakan wilayah-wilayah lainnya secara simultan sehingga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan meminimalkan terjadinya arus mobilitas penduduk antar wilayah.

2. Analisis Interaksi Ekonomi dan Daya Tarik Wilayah

Model gravitasi dalam ekonomi dipergunakan untuk menjelaskan interaksi dan hubungan antar daerah. Sasaran yang ingin dicapai dalam model gravitasi adalah untuk mengetahui secara kuantitatif hubungan ekonomi antara dua wilayah atau lebih melalui interaksi jumlah penduduk, pendapatan perkapita dan jarak. Interaksi ekonomi terjadi antara pusat-pusat yang umumnya merupakan kota, yang tidak hanya berkembang sangat pesat, akan tetapi memiliki daya tarik yang kuat bagi wilayah-wilayah sekitarnya. Perkembangan pusat kota baik cepat maupun lambat akan memberikan dampak pada wilayah pinggiran yang ada di sekitar pusat kota maupun pada wilayah sekitarnya yang secara geografis berada dalam satu kawasan atau berada pada jalur lintasan perekonomian yang sama. Pembangunan daerah yang diterapkan selama ini sebagai bagian dari pembangunan wilayah dan nasional menetapkan kota sebagai pusat pertumbuhan dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan diharapkan memberikan pengaruh perkembangan ekonomi ke wilayah-wilayah sekitar dimana pusat kota itu berada. Pengaruh tersebut bukan saja akan menciptakan interdependensi antara pusat kota sebagai pusat pertumbuhan dengan daerah – daerah disekitarnya hinterland namun menciptakan interaksi dan pengaruh ekonomi yang kuat terhadap daerah sekitarnya. Akibat dari interaksi dan pengaruh ekonomi akan mendorong terjadinya trade off arus penduduk, modal, dan sumberdaya ke luar wilayah pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya yang saling dimanfaatkan untuk menunjang dan mendorong perkembangan ekonomi baik di pusat pertumbuhan maupun menunjang dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi daerah sekitarnya hinterland. Dalam arti hasil produksi pusat pertumbuhan dapat dipakai untuk mendorong kegiatan ekonomi daerah sekitarnya hinterland, disisi lain hasil produksi daerah hinterland dipakai untuk menunjang kegiatan ekonomi yang ada di pusat pertumbuhan. Kota Baubau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWN maupun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Propinsi Sulawesi Tenggara ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional PKN pada kawasan Sultra Kepulauan. Penetapan sebagai Pusat Kegiatan Nasional PKN dimaksudkan untuk mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau karena posisinya yang strategis berada pada bagian selatan Propinsi Sulawesi Tenggara dalam jalur perlintasan laut yang menghubungkan antara Indonesia Barat – Indonesia Timur disatu sisi sebagai daerah penyangga khususnya pada kawasan Sultra Kepulauan, diharapkan dapat memberikan efek penyebaran spread effect dan menggerakkan kegiatan ekonomi bagi daerah- daerah sekitarnya. Dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, PDRB perkapita dan jarak antar kabupatenkota, dapat diketahui interaksi ekonomi pusat pertumbuhan dengan kabupatenkota sekitarnya maupun interaksi dari masing-masing kabupatenkota dari nilai indeks gravitasi. Hasil perhitungan metode gravitasi selama periode pengamatan tahun 2009-2013 Kota Baubau dan wilayah sekitarnya hinterland yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Indeks Gravitasi KabupatenKota Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana tahun 2009-2013 Kabupaten Kota Nilai Indeks Gravitasi KabupatenKota Priangan Timur Tahun Kota Baubau Kab. Buton Kab. Buton Utara Kab. Wakatobi Kab. Muna Kab. Bombana Kota Baubau 2009 217 50,3 6,04 75,1 2,7 2010 232 61,6 7,51 95,3 3,28 2011 281 73,6 9,09 112 3,86 2012 335 86,9 10,9 132 4,6 2013 393 103 12,7 153 5,42 Rata-rata 291,6 75,08 9,25 113,48 3,97 Kab. Buton 2009 217 6,95 3,88 31,6 2,28 2010 232 7,24 4,11 34,1 2,35 2011 281 8,77 5,05 40,7 2,81 2012 335 10,4 6,03 47,9 3,34 2013 393 12,3 7,08 55,7 3,96 Rata-rata 291,6 9,13 5,23 42,00 2,95 Kab. Buton Utara 2009 50,3 6,95 0,87 4,25 0,69 2010 61,6 7,24 1,05 5,26 0,82 2011 73,6 8,77 1,27 6,18 0,97 2012 86,9 10,4 1,51 7,22 1,14 2013 103 12,3 1,78 8,46 1,36 Rata-rata 75,08 9,13 1,30 6,27 1,00 Kab. Wakatobi 2009 6,04 3,88 0,87 2,56 0,45 2010 7,51 4,11 1,05 3,23 0,55 2011 9,09 5,05 1,27 3,84 0,65 2012 10,9 6,03 1,51 4,54 0,78 2013 12,7 7,08 1,78 5,25 0,92 Rata-rata 9,25 5,23 1,30 3,88 0,67 Kab. Muna 2009 75,1 31,6 4,25 2,56 4,01 2010 95,3 34,1 5,26 3,23 4,93 2011 112 40,7 6,18 3,84 5,71 2012 132 47,9 7,22 4,54 6,72 2013 153 55,7 8,46 5,25 7,84 Rata-rata 113,48 42,00 6,27 3,88 5,84 Kab. Bombana 2009 2,70 2,28 0,69 0,45 4,01 2010 3,28 2,35 0,82 0,55 4,93 2011 3,86 2,81 0,97 0,65 5,71 2012 4,60 3,34 1,14 0,78 6,72 2013 5,42 3,96 1,36 0,92 7,84 Rata-rata 3,97 2,95 1,00 0,67 5,84 Sumber: Hasil analisis Gravitasi, data diolah dari BPS Kota Baubau 2009-2013 Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana 2009-2013. Tabel 34 menunjukkan hasil analisis gravitasi kabupatenkota Sultra Kepulauan tahun 2009-2013, dari hasil analisis menunjukkan bahwa semakin besar indeks gravitasi antara suatu wilayahdaerahkabupaten dengan wilayahdaerahkabupaten lainnya berarti semakin besar interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah dan sebaliknya. Hasil analisis gravitasi tahun 2009-2013 tabel 31 diatas menunjukkan rata-rata indeks gravitasi kabupatenkota yang memiliki interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang sangat kuat dengan Kota Baubau yaitu Kabupaten Buton dengan rata-rata indeks gravitasi yang besar yaitu 291,6 satuan gravitasi. Besarnya interaksi kedua daerah ini karena Kabupaten Buton wilayahnya berbatasan langsung dengan Kota Baubau. Selanjutnya interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang cukup kuat terjadi antara Kota Baubau dengan Kabupaten Muna ditunjukkan dengan rata-rata nilai gravitasi sebesar 113,45 satuan gravitasi. Kedua daerah tersebut yaitu Kota Baubau dan Kabupaten Muna secara geografis dipisahkan oleh laut namun jarak tempuh lewat laut ± 1satu jam memungkinkan interaksi keduanya cukup kuat. Besarnya nilai indeks gravitasi tersebut menunjukkan keeratan hubungan dan pengaruh yang kuat Kota Baubau terhadap Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna. Sebaliknya 3 tiga kabupaten yaitu terhadap Kabupaten Buton Utara, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau sangat lemah terlihat dari rataan nilai indeks gravitasi yang kecil sebesar 75,08 satuan gravitasi. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau terhadap Kabupaten Wakatobi sangat lemah terlihat dari rataan nilai indeks gravitasi yang kecil sebesar 9,25 satuan gravitasi. Terhadap Kabupaten Bombana interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau sangat lemah terlihat dari rataan nilai gravitasi yang kecil sebesar 3,97 satuan gravitasi. Dari hasil analisis gravitasi tersebut terlihat bahwa interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau terhadap 3 tiga kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana menunjukkan rataan nilai gravitasinya yang kecil diasumsikan hubungan dan pengaruhinteraksi sangat lemah walaupun menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Seiring dengan perkembangan ekonomi dan kemajuan yang dialami oleh kabupaten-kabupaten disekitarnya, terjadi perkembangan, perubahan dan pergeseran interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau terhadap daerah sekitarnya hinterland, jika dilihat dari perkembangan nilai indeks gravitasi tahun 2009-2013 terjadi peningkatan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah walaupun intensitasnya berbeda-beda. Tabel 34 menunjukkan dalam lima tahun terakhir terjadi perkembangan, perubahan dan pergeseran daya tarik dan pengaruh Kota Baubau, ini ditunjukkan dengan indeks gravitasi kabupatenkota. Peningkatan dan besarnya nilai indeks gravitasi dari tahun ke tahun, mengindikasikan hubungan dan daya tarik antara dua wilayah semakin erat. Hubungan dan daya tarik antara dua wilayah yang erat akan mendorong mobilitas penduduk, tenaga kerja, perdagangan maupun sumber-sumber ekonomi lainnya sangat tinggi dan sebaliknya. Gambar 29 memperlihatkan model gravitasi dari interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau terhadap daerah sekitarnya hinterland. Sebagaimana dijelaskan diatas, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau yang sangat kuat adalah terhadap Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna, hal ini karena dua wilayah ini memiliki jarak yang dekat serta berbatasan langsung dengan Kota Baubau. Terhadap 3 tiga kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau cukup sangat lemah, jika dilihat dari indeks gravitasi Tabel 34. Model gravitasi interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau terhadap daerah-daerah sekitarnya hinterland dapat dilihat pada Gambar 29. Sumber: data diolah 2015, Peta Propinsi Sulawesi Tenggara dari www.google.com dan Bappeda Propinsi Sulawesi Tenggara 2013. Gambar 29 Model Gravitasi KabupatenKota Wilayah Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan ekonomi, Kota Baubau berkembang sebagai pusat pertumbuhan di wilayah Sultra Kepulauan. Hal ini karena didukung tersedianya berbagai fasilitas-fasilitas, sarana prasarana dan jasa layanan yang merupakan daya tarik bagi daerah-daerah sekitarnya seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas hiburan dan rekreasi, fasilitas dan layanan perdagangan seperti pusat perbelanjaan, perkembangan industri manufaktur, tersedianya lapangan udara, berkembangnya lembaga-lembaga keuangan, fasilitas tranportasi, kesempatan berusaha dan memperoleh pekerjaan serta upah minum regional yang lebih besar dibandingkan daerah-daerah sekitarnya. Dalam Rencana Tata Ruang Nasional RTRN maupun dalam Rencana Tata Ruang Propinsi Jawa Barat ditetapkan dua Pusat Kegiatan Nasional PKN yaitu Wilayah Barat dan Wilayah Timur. Pusat Kegiatan Nasional PKN selanjutnya dibagi dalam beberapa Pusat Kegiatan Wilayah PKW. Pusat Kegiatan Nasional PKN Wilayah Barat di pusatkan di Kota Bandung, dan Pusat Kegiatan Nasional PKN Wilayah Timur dipusatkan di Kota Cirebon, untuk wilayah timur Pusat Kegiatan Wilayah PKW ditetapkan di Kota Tasikmalaya. Penetapan Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Kegiatan Wilayah PKW tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWN dimaksudkan untuk mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya dan wilayah sekitarnya karena posisinya yang strategis berada pada bagian timur Kab. Konawe Utara Kab. Buton Utara Kab. Buton KabKota Sultra Kepulauan Pusat Pertumbuhan Kota Baubau Kota Ibukota Kabupaten Interaksi wilayah Kota Baubau Propinsi Jawa Barat dalam jalur perlintasan selatan tujuan Jakarta – Jogya dan Surabaya, disatu sisi sebagai daerah penyangga khususnya pada kawasan Priangan Timur yang berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah. Penetapan Kota Tasikmalaya sebagai pusat kegiatan wilayah PKW dimaksudkan bukan saja untuk mendorong perkembangan perekonomian wilayah Kota Tasikmalaya itu sendiri, namun diharapkan mampu memberikan efek penyebaran spread effect dan menggerakkan kegiatan ekonomi bagi daerah- daerah sekitarnya, yang meliputi Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Untuk melihat interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya hinterland serta identifikasi keterkaitan antar kabupaten dan kota, dalam penelitian ini periode pengamatan akan dilakukan antara tahun 2009-2013, dalam rentang lima tahun diharapkan dapat diketahui besaran perkembangan pengaruh, pergeseran dan daya tarik Kota Tasikmalaya terhadap daerah-daerah sekitar hinterland. Tabel 35 menunjukkan hasil perhitungan analisis gravitasi kabupatenkota Priangan Timur tahun 2009-2013. Dari hasil analisis diketahui kabupaten yang memiliki interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang sangat kuat terjadi antara Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Tasikmalaya ditunjukkan dengan rataan nilai gravitasi yang besar yaitu 174,60 satuan gravitasi. Selanjutnya interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah antara Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Ciamis dengan rataan nilai gravitasi yang sebesar 101,52 satuan gravitasi. Sedang dengan 3 tiga kabupatenkota yaitu interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Garut rataan nilai gravitasi sebesar 17,46 satuan gravitasi, Kota Tasikmalaya dengan Kota Banjar rataan nilai gravitasi sebesar 1,44 satuan gravitasi dan Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Pangandaran rataan nilai gravitasi sebesar 0,87 satuan gravitasi. Dari analisis tersebut terlihat rataan nilai gravitasi yang kecil, diasumsikan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya terhadap 3 tiga kabupatenkota tersebut sangat lemah. Disatu sisi Kota Banjar sebagai kota alternatif selain Kota Tasikmalaya di Priangan Timur ternyata kurang memiliki daya tarik wilayah yang kuat dengan kabupatenkota se Priangan Timur jika dilihat dari rataan nilai gravitasi. Demikian halnya interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah antar kabupaten se Priangan Timur terlihat lemah jika dilihat dari analisis gravitasi kabupatenkota wilayah Priangan Timur Tabel 35. Tabel 35 Indeks Gravitasi KabupatenKota Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan daerah sekitarnya hinterland tahun 2009-2013 Kabupaten Kota Nilai Indeks Gravitasi KabupatenKota Priangan Timur Tahun Kota Tasikmalaya Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Ciamis Kota Banjar Kab. Pangandaran Kota Tasikmalaya 2009 141 14,1 78,6 1,18 0,70 2010 156 15,4 87,0 1,28 0,77 2011 173 17,3 101 1,41 0,86 2012 190 19,1 113 1,57 0,95 2013 213 21,4 128 1,78 1,07 Rata-rata 174,6 17,46 101,52 1,44 0,87 Kab. Tasikmalaya 2009 141 10,1 39,8 1,27 0,82 2010 156 10,9 43,4 1,36 0,89 2011 173 12,0 49,8 1,47 0,98 2012 190 13,1 54,8 1,62 1,07 2013 213 14,3 60,4 1,79 1,17 Rata-rata 174,6 12,08 49,64 1,50 0,99 Kab. Garut 2009 14,1 10,1 7,39 0,49 0,85 2010 15,4 10,9 8,02 0,52 0,93 2011 17,3 12,0 9,28 0,57 1,02 2012 19,1 13,1 10,3 0,63 1,12 2013 21,4 14,3 11,4 0,70 1,23 Rata-rata 17,46 12,08 9,28 0,58 1,03 Kab. Ciamis 2009 78,6 39,8 7,39 9,30 2,30 2010 87,0 43,4 8,02 9,97 2,52 2011 101 49,8 9,28 11,4 2,90 2012 113 54,8 10,3 12,7 3,21 2013 128 60,4 11,4 14,1 3,56 Rata-rata 101,52 49,64 9,28 11,49 2,90 Kota Banjar 2009 1,18 1,27 0,49 9,30 0,47 2010 1,28 1,36 0,52 9,97 0,51 2011 1,41 1,47 0,57 11,4 0,55 2012 1,57 1,62 0,63 12,7 0,61 2013 1,78 1,79 0,70 14,1 0,68 Rata-rata 1,44 1,50 0,58 11,49 0,56 Kab. Pangandaran 2009 0,70 0,82 0,85 2,30 0,47 2010 0,77 0,89 0,93 2,52 0,51 2011 0,86 0,98 1,02 2,90 0,55 2012 0,95 1,07 1,12 3,21 0,61 2013 1,07 1,17 1,23 3,56 0,68 Rata-rata 0,87 0,99 1,03 2,90 0,56 Sumber: Analisis Gravitasi, data diolah dari BPS data diolah dari BPS Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Ciamis, Kota Banjar, Kab. Pangandaran, 2009-2013. Tabel 35 menunjukkan terjadi peningkatan indeks gravitasi antar kabupatenkota se Priangan Timur dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 walaupun intensitasnya berbeda-beda. Peningkatan indeks gravitasi ini seiring dengan kemajuan dan perkembangan masing-masing kabupatenkota. Besarnya nilai indeks gravitasi menunjukkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang kuat antar wilayah tersebut. Peningkatan nilai indeks gravitasi mengindikasikan interaksi ekonomihubungan dan daya tarik wilayah antara dua wilayah semakin erat. Hubungan dan daya tarik antara dua wilayah yang erat mengindikasikan meningkatnya mobilitas penduduk, tenaga kerja, perdagangan maupun sumber- sumber ekonomi lainnya sangat tinggi dan sebaliknya. Gambar 30 memperlihatkan model gravitasi kabupatenkota se Priangan Timur, dimana Kota Tasikmalaya sebagai pusat pelayanan dan pusat pertumbuhan. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, dari hasil analisis gravitasi menunjukkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya yang sangat kuat adalah terhadap Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis, hal ini karena dua kota ini berbatasan langsung dengan Kota Tasikmalaya. Terhadap Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran interaksi ekonomi dan