Analisis Tipologi Kota Tasikmalaya
urgensi gagasan manuver dari pemekaran tersebut dengan berbagai alasan yang mendasar seperti alasan ekonomi, politik, sosiologi, religius dan historis.
Kuatnya wacana Orde Baru, menjadi domain Pemerintah, lebih bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, perencanaan lebih merupakan inisiatif
pemerintah pusat top down daripada partisipasi dari bawah bottom up. Proses pemekaran wilayah seringkali menjadi proses yang sangat tertutup dan menjadi
arena kalangan pemerintah pusat.
Menyimak perkembangan politik nasional dan lokal saat ini, isu mengenai pemekaran wilayah nampaknya akan terus menjadi wacana politik yang
tidak akan pudar. Hal itu karena berkaitan dengan konsen utama masyarakat lokal yang menyangkut berbagai tekanan politik seperti perasaan dan keinginan
untuk mandiri. Alasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah konsen utama untuk mensejahterakan rakyat karena biasanya daerah yang ingin dimekarkan tertinggal
jauh dari daerah lainnya. Akibatnya isu pemekaran wilayah selama ini menjadi lebih banyak merupakan jawaban atas persoalan perasaan ketidakadilan, perasaan
tidak diperhatikan, ataupun perasaan-perasaan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Indonesia. Silang pendapat yang terus berkembang selama
beberapa waktu sekitar isu pemekaran wilayah merupakan salah satu bentuk penegasan dari kesemrawutan kebijakan desentralisasi pasca-Soeharto.
Sejarah perjalanan panjang yang mewarnai terbentuknya kedua kota tersebut menjadi daerah otonom baru. Diawali dengan terbentuknya Kabupaten
Buton menjadi kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swantara Tk. II di Sulawesi,
Kabupaten Buton menjadikan Bau-Bau sebagai ibukota. Selanjutnya pada tahun 1981 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 diresmikan sebagai
Kota Administratif kotif Bau-Bau. Dalam kurun waktu 34 tahun perjalanan sebagai kota administratif, berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, menjadi momentum bagi Kota Administratif kotif Bau-Bau menjadi daerah otonom baru terlepas dari Kabupaten Buton sebagai
kabupaten induknya melalui Undang-undang Nomor 13 tahun 2001, tanggal 21 Juni 2001, resmi menjadi daerah otonom Kota Bau-Bau mempunyai kewenangan
untuk mengatur rumah tangga sendiri.
Sejarah perkembangan Kota Tasikmalaya dilatarbelakangi dengan terbentuknya Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1913. Pada tahun 1976
diresmikan Kota Administratif kotif Tasikmalaya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1976. Kota Administratif kotif Tasikmalaya yang secara
administratif berada dibawah pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya. Melalui proses panjang sebagai Kota Administratif kotif yakni selama 39 tahun sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi momentum bagi Kota Administratif kotif Tasikmalaya resmi menjadi
daerah otonom Kota Tasikmalaya yang mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001, tanggal 17
Oktober 2001.
Proses menjadi kota administratif kedua kota tersebut dalam kurun waktu 34 tahun bagi Kota Baubau dan 39 tahun bagi Kota Tasikmalaya, merupakan waktu
yang sangat panjang. Hal ini karena pada era pemerintahan Orde Baru dengan dasar pelaksanaan pemerintahan yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, kebijakan pemekaran wilayah pada
masa pemerintahan Orde Baru, menjadi domain Pemerintah, lebih bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, perencanaan untuk pemekaran lebih merupakan
inisiatif pemerintah pusat top down daripada partisipasi dari bawah bottom up. Proses pemekaran wilayah seringkali menjadi proses yang sangat tertutup dan
menjadi arena kalangan pemerintah pusat.
Pemekaran wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dari induk kabupatennya masing-masing dilihat dari sisi rentang kendali span of control
memberikan 2 pandangan yang berbeda, jika dilihat dari kondisi fisik kewilayahan Kota Baubau sangat layak untuk dimekarkan dari Kabupaten Buton,
mengingat hanya terdapat 2 kabupaten daerah otonom yang memerintah di kawasan Sultra Kepulauan yaitu Kabupaten Buton dimana wilayahnya mencakup
sebagian Pulau Muna dan sebagian Pulau Buton, Pulau Kabaena dan Kepulauan Wakatobi dan Kabupaten Muna wilayahnya mencakup sebagian Pulau Muna dan
sebagian Pulau Buton. Sehingga pada pada periode sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 rentang kendali Kabupaten Buton terhadap pulau-
pulau lainnya sangat luas dan jauh. Sehingga proses pemekaran Kota Baubau dan beberapa kabupaten lainnya sangat layak dalam rangka untuk memperpendek dan
lebih efektifnya pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan sosial kemasyarakatan. Sedang Kota Tasikmalaya dilihat dari sisi rentang kendali span
of control dan dari kondisi fisik kewilayahan, tidaklah menjadi penting untuk dimekarkan dari kabupaten induknya, mengingat kawasan Priangan Timur
khususnya Kabupaten Tasikmalaya adalah daerah dengan wilayah dataran yang rata, dimana akses terhadap daerahwilayah lainnya cenderung mudah dijangkau
dan terbuka.
Dari sisi ekonomi politik, apakah pemekaran wilayah di Kota Baubau dan
Kota Tasikmalaya semata-mata persoalan ekonomi dalam hal ini karena tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat masih dibawah garis kemiskinan ketika
masih menjadi kota administratif, atau karena persoalan politik karena dorongan untuk bagi-bagi kekuasaan, jabatan. Jika melihat kondisi fisik wilayah dan kondisi
sosial ekonomi kedua kota tersebut, biasanya kondisi perekonomian masyarakat yang berada dipusat kota lebih baik dibandingkan daerahwilayah lain diluar pusat
kota. Demikian juga dengan keberagaman ekonomi dipusat kota lebih cenderung lebih beragam aktivitas ekonomi sehingga peluang untuk mendapatkan pekerjaan
lebih mudan dan baik. Sehingga menurut saya pemekaran wilayah kedua kota tersebut lebih cenderung didorong persoalan politik, dalam hal ini dari aspek
pemerintahan yang merasa selama menjadi kota administratif segala kewenangan pembiayaan pembangunan dan pengelolaan anggaran masih ditentukan oleh
daerah induk. Disisi lain keinginan untuk berkuasa bagi-bagi kekuasaan oleh elit-elit di daerah menjadikan jargon peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat menjadi arena politik dalam proses pengusulan pemekaran wilayah kedua kota tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian pada 2 kota sehubungan dengan pemekaran wilayah di Indonesia timbul pertanyaan “siapa yang di untungkan dan
menginginkan pemekaran, apakah masyarakat atau elit politik didaerah”.
Pemekaran wilayah yang dilakukan dapat dikatakan sebagai bentuk aktualisasi dari pelaksanaan demokratisasi untuk merespon keberagaman di Indonesia, hal
tersebut tentunya sangatlah tepat untuk dilaksanakan sepanjang tetap bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun realitas sosial yang terjadi
pemekaran wilayah lebih banyak menguntungkan sebagian elit daerah yang kemudian menjadi penguasa sebagai akibat dari adanya pemekaran wilayah
tersebut. Sementara masyarakat lebih banyak yang dirugikan. Hal ini tidak hanya sekedar karena pemekaran wilayah tidak dapat meningkatkan kesejahteraan
mereka namun, tidak jarang bahwa pemekaran wilayah justru menimbulkan konflik diantara masyarakat.
Untuk menghentikan pemekaran wilayah yang terjadi sekarang ini tentunya adalah suatu persoalan yang sulit apalagi menggabungkan daerah yang telah
menjadi daerah otonom. Namun upaya itu hanya bisa dilakukan bila kerangka regulasi yang mengaturnya di ubah atau revisi. Hal ini membutuhkan sikap
kerjasama yang baik antar berbagai elemen dan stakeholder yang terlibat didalamnya. Usulan pemekaran wilayah saat ini berdasarkan undang-undang
nomor 22 tahun 2009 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dilaksanakan melalui 3 tiga pintu yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
DPR, Dewan Perwakilan Daerah DPD dan Pemerintah Kemendagri. Dengan adanya 3 pintu pemekaran wilayah elite-elite didaerah mencari berbagai peluang
untuk mencapai dan menggolkan tujuan politiknya. Pengamatan dilapangan, normatif usulan pemekaran selalu melalui pintu Kemendagri, yang diusulkan oleh
kabupaten induk, lewat gubernur. Namun situasi tersebut akan berubah ketika proses usulan mengalami deadlock ketika melalui pintu Kemendagri. Elite-elite
kemudian beralih pada jalur politik melalui wakil-wakil rakyat yang berada di pusat, pada kondisi inilah manajemen pemekaran tidak berjalan dengan baik.
Karena disatu sisi ditegakkannya efektivitas manajemen pemekaran wilayah justru oleh sebagian elite memandang itu merupakan proses menghambat aspirasi yang
berkembang didaerah. Sehingga ditempuh proses pemekaran melalui pintujalur politik yaitu DPR dan DPD, yang lebih banyak didominasi oleh kepentingan
politik dan partai ketimbang pencapaian hakekat pemekaran wilayah.
Harapan terjadinya perubahan 3 pintu usulan pemekaran sebenarnya sudah dirancang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, dimana dalam
rancangan tersebut bahwa pengusulan pembentukan daerah otonom baru melalui mekanisme DPR dan DPD, salah satu syaratnya mendapatkan rekomendasi dari
Menteri Dalam Negeri sebagai menteri yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri. Namun naskah rancangan undang-
undang yang “berani” tersebut mengalami perubahan yang drastis ketika disahkan menjadi undang-undang. DPR
dan DPD tetap diberi kewenangan dalam pembentukan daerah otonom baru sebagaimana diatur dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.
Proses pemekaran wilayah pada saat sekarang ini dalam kondisi “dilematis” artinya untuk menghentikan pemekaran wilayah adalah sesuatu hal yang tidak
mungkin karena masih ada kerangka regulasi yang mengatur dan memberikan peluang kepada setiap daerah untuk mengusulkan pemekaran. Pilihan
“moratorium” oleh Pemerintah bukanlah solusi yang tepat karena masih adanya pintu-pintu lain pengusulan pemekaran, dan isu ini biasanya akan semakin
menguat ketika proses pemilihan legislatif dan pemilihan presiden akan dilaksanakan, karena issu pemekaran kemudian menjadi komoditas politik yang
dijual dimasyarakat dan didaerah-daerah.
Untuk itu kedepan dalam upaya menyelamatkan agar kebijakan pemekaran wilayah tetap dapat berjalan sehingga mencapai tujuan sebagaimana yang
diharapkan, diperlukan berbagai solusi perbaikan di dalam mekanisme pemekaran
wilayah diantaranya adalah: 1 Perlunya dilakukan penataan daerah dan persyaratan yang ketat dalam pembentukan daerah otonom baru sebagaimana
yang diamanatkan dalam pasal 33 sampai pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. 2 Revisi terhadap undang-undang khususnya bagi lembaga yang
berkompetensi dalam pembentukan daerah otonom baru terutama kewenangan ketiga lembaga tersebut yaitu DPR, DPD dan Kemendagri, dengan memberikan
sepenuhnya kewenangan kepada Kemendagri karena pertimbangan pemerintah mempunyai sumberdaya keahlian personil yang memadai. DPR dan DPD menjadi
lembaga yang mengawasi Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan implementasi pemekaran wilayah.
Hasil penelitian yang dilakukan pada 2 kota yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dalam proses untuk menjadi daerah otonom telah melewati tahapan
yang lama menjadi kota administratif. Proses menjadi kota administratif yang begitu panjang, disatu sisi disebabkan pada masa pemerintahan Orde Baru proses
pemekaran wilayah sangat sulit, namun disisi lain proses yang begitu panjang tersebut merupakan kesempatan untuk berbenah dan mempersiapkan diri menjadi
daerah otonom. Sehingga hasil penelitian dipandang dari sisi pemerintahan, proses Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menjadi daerah otonom baru dapat di
jadikan model pemekaran wilayah di era reformasi. Artinya bahwa suatu kabupatenkota yang akan menjadi daerah otonom baru sebaiknya melewati
tahapan menjadi kota administratif untuk kota dan kabupaten persiapandaerah persiapan untuk kabupaten.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 pasal 32 ayat 2 tentang pembentukan daerah disebutkan syarat bagi daerah yang diusulkan menjadi
daerah otonom baru yang memenuhi persyaratan administrasi ditetapkan menjadi Daerah Persiapan yang secara administratif dipimpin oleh seorang kepala daerah
persiapan yang diisi oleh pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri. Untuk itu konsep pemekaran wilayah kedepan perlu
diterapkan kembali pembentukan kota administratif untuk kota dan kabupaten administratif untuk kabupaten yang akan menjadi daerah otonom baru, hal ini
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang memakai istilah Daerah Persiapan propinsi untuk tingkat propinsi dan Daerah Persiapan
KabupatenKota untuk tingkat kabupatenkota sebagaimana pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.
Pemekaran wilayah yang dilaksanakan selama ini yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 berserta seluruh peraturan dibawahnya yang menjadi pedoman pelaksanaan pemekaran wilayah tidak bisa dikatakan gagal karena pada
kenyataan dilapangan justru dapat meningkatkan infrastruktur daerah dan membuka daerah-daerah terisolir, namun harus diakui bahwa terjadi kelemahan
dan kekurangan didalam pelaksanaannya, untuk itu pemerintah seharus lebih intensif melakukan pengawasan ketika suatu daerah yang baru menjadi mekar,
namun pada kenyataannya fungsi pengawasan tidak berjalan, sehingga daerah otonom yang baru dibentuk berjalan sendiri sesuai dengan kemauan dari pimpinan
daerahnya. Gubernur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat juga tidak efektif dalam melakukan pengawasan terhadap daerah otonom baru hal ini karena
adanya berbagai kepentingan terutama kepentingan politik dan partai apalagi ketika yang berkuasa dari partai, maka ada kecenderungan untuk mengamankan
jabatan atau suara untuk pemilihan dan kepentingan partai ketimbangan untuk melaksanakan tugas pengawasan kepada daerah-daerah yang berada dalam
wilayah kekuasaannya.
Oleh karena itu agar pelaksanaan pemekaran wilayah kedepan berjalan sesuai dengan hakekat pemekaran maka berikut ini disajikan baganskema proses
pengusulan Daerah Otonom Baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan beberapa modifikasi sebagai berikut:
Gambar 39 BaganSkema Proses Pengusulan Pemekaran Wilayah di Indonesia
Implikasi Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil analisis tipologi klasen 12 kabupatenkota dalam wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan Kota Baubau berada pada kalsifikasi
wilayah berkembang cepat, artinya bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi dan
Tim Kajian Independen
Jika memenuhi persyaratan
dilanjutkan pengusulan dan
sebaliknya
Hasil kajian Tim Kajian Independen
Dikonsulta sikan
Pemerintah Pusat Kemendagri
Dewan Perwakilan Daerah DPD
Dewan Perwakilan Rakyat DPR
Rekomendasi terhadap Usulan
DOB
Kelayakan Pembentukan
Daerah Persiapan Feedback sebagai dasar kebijakan
Pemerintah Pusat dalam penetapan
Pemerintah Pusat menetapkan Daerah Persiapan
Pemerintah Pusat Membentuk
Memperhatikan syarat-syarat teknis
yang menjadi persyaratan
pengusulan
Musyawarah desakecamatankab
upaten cakupan wilayah yang akan
diusulkan Pembentukan panitia
Daerah Persiapan Hasil musyawarah
dibawahdiusulkan kepada :
DPRD dan Bupati kabupaten Induk
mendapatkan persetujuan
Gubernur dengan mendapatkan
persetujuan DPRD propinsi
Gubernur melakukan penilaian kelayakan
kabkota untuk dimekarkan dengan
berdasarkan syarat- syarat teknis dan
administrasi Jika memenuhi
persyaratan dilanjutkan
pengusulan dan sebaliknya
Pengusulan lewat 1 pintu
Pemerintah Pusat Kemendagri
Dewan Perwakilan Daerah DPD
Dewan Perwakilan Rakyat DPR
Pemerintah Pusat Kemendagri
melakukan penilaian kelayakan usulan
DOB Mengawasi
Mengawasi
PDRB perkapita Kota Baubau cukup besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Muna dan Kabupaten Bombana, namun lebih kecil
dibandingkan dengan Kabupaten Wakatobi. Sedangkan hasil analisis tipologi klasen 27 kabupatenkota dalam wilayah Propinsi Jawa barat menunjukkan Kota
Tasikmalaya berada pada kalsifikasi wilayah berkembang cepat, artinya bahwa Kota Tasikmalaya rata-rata pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapitanya lebih
besar dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran.
Hasil analisis indeks diversitas entropi, menunjukkan bahwa kabupatenkota Sultra Kepulauan dimana Kota Baubau nilai IDEnya lebih besar dibandingkan
dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana, artinya struktur perekonomian Kota Baubau lebih maju dan
berkembang dibandingkan lima kabupaten hinterlandnya. Demikian halnya dengan kabupatenkota Priangan Timur menunjukkan nilai IDE Kota Tasikmalaya
lebih besar dibandingkan dengan dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Artinya bahwa struktur
perekonomian Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan kabupaten hinterlandnya. Hasil analisis IDE Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya
menunjukkan bahwa lebih tinggi keragaman aktivitaskegiatan ekonomi pada wilayah perkotaan.
Hasil analisis location quotient LQ, menunjukkan LQ Kota Baubau lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan
Kabupaten Bombana, artinya sektor-sektor perekonomian Kota Baubau khususnya sektor basis memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan
PDRB dibandingkan kabupaten sekitarnya hinterland. Sedangkan kabupaten kota Priangan Timur menunjukkan Kota Tasikmalaya nilai LQ lebih besar
dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Artinya sektor-sektor perekonomian Kota Tasikmalaya
khususnya sektor basis memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDRB dibandingkan kabupatenkota hinterlandnya.
Hasil analisis shift share, menunjukkan sektor-sektor perekonomian Kota Baubau mengalami pergeseran yang lambat, hal ini terjadi juga terhadap daerah
sekitarnya yang mengalami pergeseran yang lambat. Demikian halnya Kota Tasikmalaya menunjukkan sektor-sektor perekonomian mengalami pergeseran
yang lambat, hal ini terjadi juga terhadap daerah sekitarnya yang mengalami pergeseran yang lambat.
Hasil analisis skalogram menunjukkan Kota Baubau berada pada wilayah hirarki II, wilayah dengan hirarki Itinggi untuk kawasan Sultra Kepulauan yaitu
Kabupaten Buton Utara, hal ini karena faktor jumlah penduduk Kabupaten Buton Utara yang relatif sedikit dibandingkan Kota Baubau. Karena faktor jumlah
penduduk sebagai pembagi dari ketersediaan fasilitas dan sarana prasarana memberikan dampak pada kedua wilayah tersebut, sekalipun kondisi dilapangan
ketersediaan fasilitas sarana prasarana lebih lengkap di Kota Baubau dibandingkan kabupaten sekitarnya hinterland. Sedang Kota Tasikmalaya untuk
kawasan Priangan Timur berada pada wilayah hirarki I hal ini berarti ketersediaan fasilitas sarana prasarana lebih lengkap dibandingkan kabupatenkota sekitarnya
hinterland.
Hasil analisis gravitasi menunjukkan bahwa Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya mempunyai interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang kuat
terhadap daerah sekitarnya, khususnya Kabupaten Buton artinya bahwa ada mobilitas penduduk dari daerah sekitarnya untuk masuk ke Kota Baubau dan Kota
Tasikmalaya.
Pekkala 2003 membuktikan bahwa terjadinya migrasi dari desa-kota disebabkan upah yang lebih tinggi dan prospek pekerjaan yang lebih baik di
daerah perkotaan. Pendapatan dan pekerjaan memikat orang ke pusat pertumbuhan, hal ini karena utilitas yang dirasakan lebih besar di pusat-pusat
pertumbuhan. Dari hasil analisis tipologi klasen, indeks diversitas entropi, location quotient LQ, menunjukkan bahwa sektor-sektor PDRB Kota Baubau
dan Kota Tasikmalaya mempunyai keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif dibandingkan dengan daerah sekitarnya, sekalipun pada analisis shift
share menunjukkan sektor-sektor PDRB mengalami pergeseran yang lambat namun hal tersebut juga terjadi dengan daerah sekitarnya. Dari hasil analisis
skalogram dan analisis gravitasi menunjukkan bahwa Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan karena
ketersediaan fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan daerah sekitarnya, sehingga menjadi daya tarik wilayah yang cukup besar. Dari hasil analisis
persepsi masyarakat dengan distribusi frekuensi dan analisis hierarchy process menunjukkan bahwa masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya merasakan
manfaat dari pemekaran wilayah dibandingkan ketika menjadi kota administratif.
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan alat analisis tipologi klasen, indeks diversitas entropi, location quotient LQ, shift share, skalogram
dan analisis gravitasi, temuan dari analisis tersebut mendukung dan memperkuat hipotesis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi bagi daerah sekitarnya. Sedangkan hasil analisis hierarchy process terhadap persepsi masyarakat pada dua kota tersebut mendukung dan
memperkuat manfaat dari pemekaran wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dari kabupaten induknya masing-masing, artinya bahwa kedua kota
itu mengalami perkembangan yang sangat pesat pasca pemekaran pada tahun 2001, disatu sisi hasil analisis hierarchy process persepsi masyarakat pada dua
kota ditemukan alternatif strategi “pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan PW-
PP” sebagaimana yang dialami oleh Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dalam kurun waktu yang cukup lama mengalami metamorfosis dari
kota tradisional menjadi kota modern. Pemekaran wilayah tahun 2001 telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah yang begitu pesat, sehingga
dalam perkembangan selanjutnya Kota Baubau tumbuh secara alamiah menjadi Pusat Pertumbuhan growth center sedangkan Kota Tasikmalaya dalam
perkembangan awalnya tumbuh secara alamiah namun dalam perkembangannya ada desain dari pemerintah maupun keterlibatan pihak swasta untuk berinvestasi
sehingga lambat laun Kota Tasikmalaya mengalami perkembangan kearah Kutub Pertumbuhan growth pole. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa sektor-sektor perekonomian Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih besar hal ini menjadi daya tarik wilayah bagi daerah-
daerah sekitarnya, sehingga posisi sebagai Pusat Pertumbuhan growth center dan Kutub Pertumbuhan growth pole bagi daerah sekitarnya cukup tepat.
8 KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan dengan daerah sekitarnya hinterland,
Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, sedang daerah sekitarnya berada pada klasifikasi daerah
daerah berkembang cepat dan daerah relatif tertinggal. Sektor perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang.
Sektor-sektor unggulan yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya adalah bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan
dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa keuangan dan jasa-jasa. Namun pada ditingkat lokal differential shift menunjukkan sektor-sektor yang
menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya justru mengalami pergeseran dan pertumbuhan yang lambat.
2. Hasil penelitian menunjukkan perkembangan wilayah Kota Baubau berada
pada wilayah dengan kategori Hirarki IIsedang, perkembangan wilayah Kota Tasikmalaya berada pada wilayah dengan kategori Hirarki Itinggi. Interaksi
ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya bervariasi intensitasnya. Interaksi ekonomi dan daya
tarik wilayah Kota Baubau yang kuat adalah dengan Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna, sedang dengan kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buton
Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana sangat lemah terlihat dari nilai indeks gravitasi yang kecil. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah
Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya yang kuat adalah dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis terlihat dari indeks gravitasi
yang besar, sedang dengan kabupaten lain yaitu Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran sangat lemah dari indeks gravitasi yang kecil.
3. Hasil mengevaluasimengkritisi terhadap sebelas faktor-faktor penilaian usulan
pemekaran wilayah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 berdasarkan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan menggunakan
analytical hierarchy process menunjukkan ada perbedaan prioritas terhadap 11 sebelas faktor pembentukan daerah otonom baru.
4. Hasil analisis persepsi masyarakat secara umum menunjukkan pemekaran
wilayah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat baik dari sisi pendapatan, pelayanan dan ketersediaan infrastruktur maupun perkembangan
perekonomian Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Hasil analisis persepsi masyarakat dengan analytical hierarchy process AHP menunjukkan dari
empat alternatif strategi, alternatif strategi yang menjadi prioritas utama adalah pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan PW-PP.
Implikasi Kebijakan
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang berlaku sejak Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan implikasi
pemekaran wilayahdaerah telah memberikan ruang dan peluang kepada daerah- daerah untuk menuntut pemekaran wilayah sehingga berakibat meningkat dan
bertambahnya jumlah propinsi, kabupaten dan kota, dimana sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terdapat 319 propinsi, kabupaten dan kota
dengan perincian propinsi sebanyak 26, kabupaten sebanyak 234 dan kota sebanyak 9. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
terjadi penambahan sebanyak 217 terdiri dari 8 propinsi , 175 kabupaten dan 34 kota. Sampai dengan tahun 2013 terdapat 34 propinsi, 409 kabupaten dan 93 kota
sehingga total terdapat 536 propinsikabupatenkota.
Pemekaran wilayahdaerah yang berkembang pesat sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah muncul sebagai akibat karena sistem pemerintahan yang terpusat sentralisasi, kesenjangan
regional disparity antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, kesenjangan antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia disatu pihak
terjadi percepatan pembangunan dan penumpukan manufaktur, dipihak lain pembangunan berjalan sangat lambat, serta terjadinya berbagai ketimpangan
pembangunan dan kesenjangan wilayah baik yang bersifat vertikal maupun horizontal secara spasial, ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menyebabkan
daerah-daerah semakin tertinggal.
Namun pemekaran wilayahdaerah yang dilakukan bukan merupakan satu satunya solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas, karena ternyata
pemekaran wilayahdaerah berwajah ganda, ada sisi positif ada sisi negatif, disatu sisi memberikan manfaat kepada daerah namun disisi lain menimbulkan
permasalahan didaerah. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa perguruan tinggi, LSM, Pemerintah maupun lembaga penelitian mendukung
kedua argumen tersebut.
Penelitian ini merupakan salah satu argumen yang melihat bahwa kebijakan pemekaran wilayahdaerah telah mendorong dan memberikan manfaat bagi
perkembangan perekonomian wilayah, bahkan mendorong suatu daerah berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah atau kawasan
khususnya bagi daerah sekitarnya hinterland. Penelitian yang dilaksanakan Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dimana kedua kota ini sebelumnya berstatus
sebagai kota administratif kotif, kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, kedua kota tersebut dimekarkan dari kabupaten induknya
masing-masing pada tahun 2001 melalui proses transformasi yaitu Kota Baubau dimekarkan dari Kabupaten Buton dan Kota Tasikmalaya dari Kabupaten
Tasikmalaya.
Hasil penelitian menunjukkan kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya pada tahun 2001 telah mendorong perkembangan
perekonomian wilayah kedua kota begitu pesat dibandingkan ketika masih berstatus sebagai kota administratif kotif. Karena perkembangan perekonomian
yang begitu pesat kedua kota tersebut ditetapkan sebagai pusat kegiatan nasional dan wilayah. Kota Baubau ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional PKN
tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWN maupun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Propinsi Sulawesi Tenggara pada
kawasan Sultra Kepulauan. Sebagai pusat kegiatan Wilayah PKW Priangan Timur ditetapkan Kota Tasikmalaya yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang
Nasional RTRN maupun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Propinsi Jawa Barat. Penetapan kedua kota secara khusus dimaksudkan untuk mendorong
perkembangan ekonomi wilayah dan perekonomian bagi daerah sekitarnya dan kontribusi pada perekonomian nasional secara keseluruhan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, penelitian ini memberikan beberapa implikasi kebijakan terhadap
stakeholder yang terlibat dalam proses pembentukan daerah otonom baru, antara lain: