Analisis Tipologi Kota Tasikmalaya

urgensi gagasan manuver dari pemekaran tersebut dengan berbagai alasan yang mendasar seperti alasan ekonomi, politik, sosiologi, religius dan historis. Kuatnya wacana Orde Baru, menjadi domain Pemerintah, lebih bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, perencanaan lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat top down daripada partisipasi dari bawah bottom up. Proses pemekaran wilayah seringkali menjadi proses yang sangat tertutup dan menjadi arena kalangan pemerintah pusat. Menyimak perkembangan politik nasional dan lokal saat ini, isu mengenai pemekaran wilayah nampaknya akan terus menjadi wacana politik yang tidak akan pudar. Hal itu karena berkaitan dengan konsen utama masyarakat lokal yang menyangkut berbagai tekanan politik seperti perasaan dan keinginan untuk mandiri. Alasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah konsen utama untuk mensejahterakan rakyat karena biasanya daerah yang ingin dimekarkan tertinggal jauh dari daerah lainnya. Akibatnya isu pemekaran wilayah selama ini menjadi lebih banyak merupakan jawaban atas persoalan perasaan ketidakadilan, perasaan tidak diperhatikan, ataupun perasaan-perasaan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Indonesia. Silang pendapat yang terus berkembang selama beberapa waktu sekitar isu pemekaran wilayah merupakan salah satu bentuk penegasan dari kesemrawutan kebijakan desentralisasi pasca-Soeharto. Sejarah perjalanan panjang yang mewarnai terbentuknya kedua kota tersebut menjadi daerah otonom baru. Diawali dengan terbentuknya Kabupaten Buton menjadi kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swantara Tk. II di Sulawesi, Kabupaten Buton menjadikan Bau-Bau sebagai ibukota. Selanjutnya pada tahun 1981 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 diresmikan sebagai Kota Administratif kotif Bau-Bau. Dalam kurun waktu 34 tahun perjalanan sebagai kota administratif, berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi momentum bagi Kota Administratif kotif Bau-Bau menjadi daerah otonom baru terlepas dari Kabupaten Buton sebagai kabupaten induknya melalui Undang-undang Nomor 13 tahun 2001, tanggal 21 Juni 2001, resmi menjadi daerah otonom Kota Bau-Bau mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri. Sejarah perkembangan Kota Tasikmalaya dilatarbelakangi dengan terbentuknya Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1913. Pada tahun 1976 diresmikan Kota Administratif kotif Tasikmalaya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1976. Kota Administratif kotif Tasikmalaya yang secara administratif berada dibawah pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya. Melalui proses panjang sebagai Kota Administratif kotif yakni selama 39 tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi momentum bagi Kota Administratif kotif Tasikmalaya resmi menjadi daerah otonom Kota Tasikmalaya yang mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001, tanggal 17 Oktober 2001. Proses menjadi kota administratif kedua kota tersebut dalam kurun waktu 34 tahun bagi Kota Baubau dan 39 tahun bagi Kota Tasikmalaya, merupakan waktu yang sangat panjang. Hal ini karena pada era pemerintahan Orde Baru dengan dasar pelaksanaan pemerintahan yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, kebijakan pemekaran wilayah pada masa pemerintahan Orde Baru, menjadi domain Pemerintah, lebih bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, perencanaan untuk pemekaran lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat top down daripada partisipasi dari bawah bottom up. Proses pemekaran wilayah seringkali menjadi proses yang sangat tertutup dan menjadi arena kalangan pemerintah pusat. Pemekaran wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dari induk kabupatennya masing-masing dilihat dari sisi rentang kendali span of control memberikan 2 pandangan yang berbeda, jika dilihat dari kondisi fisik kewilayahan Kota Baubau sangat layak untuk dimekarkan dari Kabupaten Buton, mengingat hanya terdapat 2 kabupaten daerah otonom yang memerintah di kawasan Sultra Kepulauan yaitu Kabupaten Buton dimana wilayahnya mencakup sebagian Pulau Muna dan sebagian Pulau Buton, Pulau Kabaena dan Kepulauan Wakatobi dan Kabupaten Muna wilayahnya mencakup sebagian Pulau Muna dan sebagian Pulau Buton. Sehingga pada pada periode sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 rentang kendali Kabupaten Buton terhadap pulau- pulau lainnya sangat luas dan jauh. Sehingga proses pemekaran Kota Baubau dan beberapa kabupaten lainnya sangat layak dalam rangka untuk memperpendek dan lebih efektifnya pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan sosial kemasyarakatan. Sedang Kota Tasikmalaya dilihat dari sisi rentang kendali span of control dan dari kondisi fisik kewilayahan, tidaklah menjadi penting untuk dimekarkan dari kabupaten induknya, mengingat kawasan Priangan Timur khususnya Kabupaten Tasikmalaya adalah daerah dengan wilayah dataran yang rata, dimana akses terhadap daerahwilayah lainnya cenderung mudah dijangkau dan terbuka. Dari sisi ekonomi politik, apakah pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya semata-mata persoalan ekonomi dalam hal ini karena tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat masih dibawah garis kemiskinan ketika masih menjadi kota administratif, atau karena persoalan politik karena dorongan untuk bagi-bagi kekuasaan, jabatan. Jika melihat kondisi fisik wilayah dan kondisi sosial ekonomi kedua kota tersebut, biasanya kondisi perekonomian masyarakat yang berada dipusat kota lebih baik dibandingkan daerahwilayah lain diluar pusat kota. Demikian juga dengan keberagaman ekonomi dipusat kota lebih cenderung lebih beragam aktivitas ekonomi sehingga peluang untuk mendapatkan pekerjaan lebih mudan dan baik. Sehingga menurut saya pemekaran wilayah kedua kota tersebut lebih cenderung didorong persoalan politik, dalam hal ini dari aspek pemerintahan yang merasa selama menjadi kota administratif segala kewenangan pembiayaan pembangunan dan pengelolaan anggaran masih ditentukan oleh daerah induk. Disisi lain keinginan untuk berkuasa bagi-bagi kekuasaan oleh elit-elit di daerah menjadikan jargon peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat menjadi arena politik dalam proses pengusulan pemekaran wilayah kedua kota tersebut. Berdasarkan hasil penelitian pada 2 kota sehubungan dengan pemekaran wilayah di Indonesia timbul pertanyaan “siapa yang di untungkan dan menginginkan pemekaran, apakah masyarakat atau elit politik didaerah”. Pemekaran wilayah yang dilakukan dapat dikatakan sebagai bentuk aktualisasi dari pelaksanaan demokratisasi untuk merespon keberagaman di Indonesia, hal tersebut tentunya sangatlah tepat untuk dilaksanakan sepanjang tetap bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun realitas sosial yang terjadi pemekaran wilayah lebih banyak menguntungkan sebagian elit daerah yang kemudian menjadi penguasa sebagai akibat dari adanya pemekaran wilayah tersebut. Sementara masyarakat lebih banyak yang dirugikan. Hal ini tidak hanya sekedar karena pemekaran wilayah tidak dapat meningkatkan kesejahteraan mereka namun, tidak jarang bahwa pemekaran wilayah justru menimbulkan konflik diantara masyarakat. Untuk menghentikan pemekaran wilayah yang terjadi sekarang ini tentunya adalah suatu persoalan yang sulit apalagi menggabungkan daerah yang telah menjadi daerah otonom. Namun upaya itu hanya bisa dilakukan bila kerangka regulasi yang mengaturnya di ubah atau revisi. Hal ini membutuhkan sikap kerjasama yang baik antar berbagai elemen dan stakeholder yang terlibat didalamnya. Usulan pemekaran wilayah saat ini berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 2009 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dilaksanakan melalui 3 tiga pintu yaitu Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Perwakilan Daerah DPD dan Pemerintah Kemendagri. Dengan adanya 3 pintu pemekaran wilayah elite-elite didaerah mencari berbagai peluang untuk mencapai dan menggolkan tujuan politiknya. Pengamatan dilapangan, normatif usulan pemekaran selalu melalui pintu Kemendagri, yang diusulkan oleh kabupaten induk, lewat gubernur. Namun situasi tersebut akan berubah ketika proses usulan mengalami deadlock ketika melalui pintu Kemendagri. Elite-elite kemudian beralih pada jalur politik melalui wakil-wakil rakyat yang berada di pusat, pada kondisi inilah manajemen pemekaran tidak berjalan dengan baik. Karena disatu sisi ditegakkannya efektivitas manajemen pemekaran wilayah justru oleh sebagian elite memandang itu merupakan proses menghambat aspirasi yang berkembang didaerah. Sehingga ditempuh proses pemekaran melalui pintujalur politik yaitu DPR dan DPD, yang lebih banyak didominasi oleh kepentingan politik dan partai ketimbang pencapaian hakekat pemekaran wilayah. Harapan terjadinya perubahan 3 pintu usulan pemekaran sebenarnya sudah dirancang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, dimana dalam rancangan tersebut bahwa pengusulan pembentukan daerah otonom baru melalui mekanisme DPR dan DPD, salah satu syaratnya mendapatkan rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri sebagai menteri yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri. Namun naskah rancangan undang- undang yang “berani” tersebut mengalami perubahan yang drastis ketika disahkan menjadi undang-undang. DPR dan DPD tetap diberi kewenangan dalam pembentukan daerah otonom baru sebagaimana diatur dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Proses pemekaran wilayah pada saat sekarang ini dalam kondisi “dilematis” artinya untuk menghentikan pemekaran wilayah adalah sesuatu hal yang tidak mungkin karena masih ada kerangka regulasi yang mengatur dan memberikan peluang kepada setiap daerah untuk mengusulkan pemekaran. Pilihan “moratorium” oleh Pemerintah bukanlah solusi yang tepat karena masih adanya pintu-pintu lain pengusulan pemekaran, dan isu ini biasanya akan semakin menguat ketika proses pemilihan legislatif dan pemilihan presiden akan dilaksanakan, karena issu pemekaran kemudian menjadi komoditas politik yang dijual dimasyarakat dan didaerah-daerah. Untuk itu kedepan dalam upaya menyelamatkan agar kebijakan pemekaran wilayah tetap dapat berjalan sehingga mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, diperlukan berbagai solusi perbaikan di dalam mekanisme pemekaran wilayah diantaranya adalah: 1 Perlunya dilakukan penataan daerah dan persyaratan yang ketat dalam pembentukan daerah otonom baru sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 33 sampai pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. 2 Revisi terhadap undang-undang khususnya bagi lembaga yang berkompetensi dalam pembentukan daerah otonom baru terutama kewenangan ketiga lembaga tersebut yaitu DPR, DPD dan Kemendagri, dengan memberikan sepenuhnya kewenangan kepada Kemendagri karena pertimbangan pemerintah mempunyai sumberdaya keahlian personil yang memadai. DPR dan DPD menjadi lembaga yang mengawasi Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan implementasi pemekaran wilayah. Hasil penelitian yang dilakukan pada 2 kota yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dalam proses untuk menjadi daerah otonom telah melewati tahapan yang lama menjadi kota administratif. Proses menjadi kota administratif yang begitu panjang, disatu sisi disebabkan pada masa pemerintahan Orde Baru proses pemekaran wilayah sangat sulit, namun disisi lain proses yang begitu panjang tersebut merupakan kesempatan untuk berbenah dan mempersiapkan diri menjadi daerah otonom. Sehingga hasil penelitian dipandang dari sisi pemerintahan, proses Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menjadi daerah otonom baru dapat di jadikan model pemekaran wilayah di era reformasi. Artinya bahwa suatu kabupatenkota yang akan menjadi daerah otonom baru sebaiknya melewati tahapan menjadi kota administratif untuk kota dan kabupaten persiapandaerah persiapan untuk kabupaten. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 pasal 32 ayat 2 tentang pembentukan daerah disebutkan syarat bagi daerah yang diusulkan menjadi daerah otonom baru yang memenuhi persyaratan administrasi ditetapkan menjadi Daerah Persiapan yang secara administratif dipimpin oleh seorang kepala daerah persiapan yang diisi oleh pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri. Untuk itu konsep pemekaran wilayah kedepan perlu diterapkan kembali pembentukan kota administratif untuk kota dan kabupaten administratif untuk kabupaten yang akan menjadi daerah otonom baru, hal ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang memakai istilah Daerah Persiapan propinsi untuk tingkat propinsi dan Daerah Persiapan KabupatenKota untuk tingkat kabupatenkota sebagaimana pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Pemekaran wilayah yang dilaksanakan selama ini yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 berserta seluruh peraturan dibawahnya yang menjadi pedoman pelaksanaan pemekaran wilayah tidak bisa dikatakan gagal karena pada kenyataan dilapangan justru dapat meningkatkan infrastruktur daerah dan membuka daerah-daerah terisolir, namun harus diakui bahwa terjadi kelemahan dan kekurangan didalam pelaksanaannya, untuk itu pemerintah seharus lebih intensif melakukan pengawasan ketika suatu daerah yang baru menjadi mekar, namun pada kenyataannya fungsi pengawasan tidak berjalan, sehingga daerah otonom yang baru dibentuk berjalan sendiri sesuai dengan kemauan dari pimpinan daerahnya. Gubernur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat juga tidak efektif dalam melakukan pengawasan terhadap daerah otonom baru hal ini karena adanya berbagai kepentingan terutama kepentingan politik dan partai apalagi ketika yang berkuasa dari partai, maka ada kecenderungan untuk mengamankan jabatan atau suara untuk pemilihan dan kepentingan partai ketimbangan untuk melaksanakan tugas pengawasan kepada daerah-daerah yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Oleh karena itu agar pelaksanaan pemekaran wilayah kedepan berjalan sesuai dengan hakekat pemekaran maka berikut ini disajikan baganskema proses pengusulan Daerah Otonom Baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan beberapa modifikasi sebagai berikut: Gambar 39 BaganSkema Proses Pengusulan Pemekaran Wilayah di Indonesia Implikasi Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis tipologi klasen 12 kabupatenkota dalam wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan Kota Baubau berada pada kalsifikasi wilayah berkembang cepat, artinya bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi dan Tim Kajian Independen Jika memenuhi persyaratan dilanjutkan pengusulan dan sebaliknya Hasil kajian Tim Kajian Independen Dikonsulta sikan Pemerintah Pusat Kemendagri Dewan Perwakilan Daerah DPD Dewan Perwakilan Rakyat DPR Rekomendasi terhadap Usulan DOB Kelayakan Pembentukan Daerah Persiapan Feedback sebagai dasar kebijakan Pemerintah Pusat dalam penetapan Pemerintah Pusat menetapkan Daerah Persiapan Pemerintah Pusat Membentuk Memperhatikan syarat-syarat teknis yang menjadi persyaratan pengusulan Musyawarah desakecamatankab upaten cakupan wilayah yang akan diusulkan Pembentukan panitia Daerah Persiapan Hasil musyawarah dibawahdiusulkan kepada : DPRD dan Bupati kabupaten Induk mendapatkan persetujuan Gubernur dengan mendapatkan persetujuan DPRD propinsi Gubernur melakukan penilaian kelayakan kabkota untuk dimekarkan dengan berdasarkan syarat- syarat teknis dan administrasi Jika memenuhi persyaratan dilanjutkan pengusulan dan sebaliknya Pengusulan lewat 1 pintu Pemerintah Pusat Kemendagri Dewan Perwakilan Daerah DPD Dewan Perwakilan Rakyat DPR Pemerintah Pusat Kemendagri melakukan penilaian kelayakan usulan DOB Mengawasi Mengawasi PDRB perkapita Kota Baubau cukup besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Muna dan Kabupaten Bombana, namun lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Wakatobi. Sedangkan hasil analisis tipologi klasen 27 kabupatenkota dalam wilayah Propinsi Jawa barat menunjukkan Kota Tasikmalaya berada pada kalsifikasi wilayah berkembang cepat, artinya bahwa Kota Tasikmalaya rata-rata pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapitanya lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Hasil analisis indeks diversitas entropi, menunjukkan bahwa kabupatenkota Sultra Kepulauan dimana Kota Baubau nilai IDEnya lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana, artinya struktur perekonomian Kota Baubau lebih maju dan berkembang dibandingkan lima kabupaten hinterlandnya. Demikian halnya dengan kabupatenkota Priangan Timur menunjukkan nilai IDE Kota Tasikmalaya lebih besar dibandingkan dengan dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Artinya bahwa struktur perekonomian Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan kabupaten hinterlandnya. Hasil analisis IDE Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menunjukkan bahwa lebih tinggi keragaman aktivitaskegiatan ekonomi pada wilayah perkotaan. Hasil analisis location quotient LQ, menunjukkan LQ Kota Baubau lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana, artinya sektor-sektor perekonomian Kota Baubau khususnya sektor basis memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDRB dibandingkan kabupaten sekitarnya hinterland. Sedangkan kabupaten kota Priangan Timur menunjukkan Kota Tasikmalaya nilai LQ lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Artinya sektor-sektor perekonomian Kota Tasikmalaya khususnya sektor basis memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDRB dibandingkan kabupatenkota hinterlandnya. Hasil analisis shift share, menunjukkan sektor-sektor perekonomian Kota Baubau mengalami pergeseran yang lambat, hal ini terjadi juga terhadap daerah sekitarnya yang mengalami pergeseran yang lambat. Demikian halnya Kota Tasikmalaya menunjukkan sektor-sektor perekonomian mengalami pergeseran yang lambat, hal ini terjadi juga terhadap daerah sekitarnya yang mengalami pergeseran yang lambat. Hasil analisis skalogram menunjukkan Kota Baubau berada pada wilayah hirarki II, wilayah dengan hirarki Itinggi untuk kawasan Sultra Kepulauan yaitu Kabupaten Buton Utara, hal ini karena faktor jumlah penduduk Kabupaten Buton Utara yang relatif sedikit dibandingkan Kota Baubau. Karena faktor jumlah penduduk sebagai pembagi dari ketersediaan fasilitas dan sarana prasarana memberikan dampak pada kedua wilayah tersebut, sekalipun kondisi dilapangan ketersediaan fasilitas sarana prasarana lebih lengkap di Kota Baubau dibandingkan kabupaten sekitarnya hinterland. Sedang Kota Tasikmalaya untuk kawasan Priangan Timur berada pada wilayah hirarki I hal ini berarti ketersediaan fasilitas sarana prasarana lebih lengkap dibandingkan kabupatenkota sekitarnya hinterland. Hasil analisis gravitasi menunjukkan bahwa Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya mempunyai interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang kuat terhadap daerah sekitarnya, khususnya Kabupaten Buton artinya bahwa ada mobilitas penduduk dari daerah sekitarnya untuk masuk ke Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Pekkala 2003 membuktikan bahwa terjadinya migrasi dari desa-kota disebabkan upah yang lebih tinggi dan prospek pekerjaan yang lebih baik di daerah perkotaan. Pendapatan dan pekerjaan memikat orang ke pusat pertumbuhan, hal ini karena utilitas yang dirasakan lebih besar di pusat-pusat pertumbuhan. Dari hasil analisis tipologi klasen, indeks diversitas entropi, location quotient LQ, menunjukkan bahwa sektor-sektor PDRB Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya mempunyai keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif dibandingkan dengan daerah sekitarnya, sekalipun pada analisis shift share menunjukkan sektor-sektor PDRB mengalami pergeseran yang lambat namun hal tersebut juga terjadi dengan daerah sekitarnya. Dari hasil analisis skalogram dan analisis gravitasi menunjukkan bahwa Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan karena ketersediaan fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan daerah sekitarnya, sehingga menjadi daya tarik wilayah yang cukup besar. Dari hasil analisis persepsi masyarakat dengan distribusi frekuensi dan analisis hierarchy process menunjukkan bahwa masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya merasakan manfaat dari pemekaran wilayah dibandingkan ketika menjadi kota administratif. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan alat analisis tipologi klasen, indeks diversitas entropi, location quotient LQ, shift share, skalogram dan analisis gravitasi, temuan dari analisis tersebut mendukung dan memperkuat hipotesis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan ekonomi bagi daerah sekitarnya. Sedangkan hasil analisis hierarchy process terhadap persepsi masyarakat pada dua kota tersebut mendukung dan memperkuat manfaat dari pemekaran wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dari kabupaten induknya masing-masing, artinya bahwa kedua kota itu mengalami perkembangan yang sangat pesat pasca pemekaran pada tahun 2001, disatu sisi hasil analisis hierarchy process persepsi masyarakat pada dua kota ditemukan alternatif strategi “pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan PW- PP” sebagaimana yang dialami oleh Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dalam kurun waktu yang cukup lama mengalami metamorfosis dari kota tradisional menjadi kota modern. Pemekaran wilayah tahun 2001 telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah yang begitu pesat, sehingga dalam perkembangan selanjutnya Kota Baubau tumbuh secara alamiah menjadi Pusat Pertumbuhan growth center sedangkan Kota Tasikmalaya dalam perkembangan awalnya tumbuh secara alamiah namun dalam perkembangannya ada desain dari pemerintah maupun keterlibatan pihak swasta untuk berinvestasi sehingga lambat laun Kota Tasikmalaya mengalami perkembangan kearah Kutub Pertumbuhan growth pole. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sektor-sektor perekonomian Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih besar hal ini menjadi daya tarik wilayah bagi daerah- daerah sekitarnya, sehingga posisi sebagai Pusat Pertumbuhan growth center dan Kutub Pertumbuhan growth pole bagi daerah sekitarnya cukup tepat. 8 KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan dengan daerah sekitarnya hinterland, Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, sedang daerah sekitarnya berada pada klasifikasi daerah daerah berkembang cepat dan daerah relatif tertinggal. Sektor perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang. Sektor-sektor unggulan yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya adalah bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa keuangan dan jasa-jasa. Namun pada ditingkat lokal differential shift menunjukkan sektor-sektor yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya justru mengalami pergeseran dan pertumbuhan yang lambat. 2. Hasil penelitian menunjukkan perkembangan wilayah Kota Baubau berada pada wilayah dengan kategori Hirarki IIsedang, perkembangan wilayah Kota Tasikmalaya berada pada wilayah dengan kategori Hirarki Itinggi. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya bervariasi intensitasnya. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau yang kuat adalah dengan Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna, sedang dengan kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana sangat lemah terlihat dari nilai indeks gravitasi yang kecil. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya yang kuat adalah dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis terlihat dari indeks gravitasi yang besar, sedang dengan kabupaten lain yaitu Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran sangat lemah dari indeks gravitasi yang kecil. 3. Hasil mengevaluasimengkritisi terhadap sebelas faktor-faktor penilaian usulan pemekaran wilayah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 berdasarkan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan menggunakan analytical hierarchy process menunjukkan ada perbedaan prioritas terhadap 11 sebelas faktor pembentukan daerah otonom baru. 4. Hasil analisis persepsi masyarakat secara umum menunjukkan pemekaran wilayah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat baik dari sisi pendapatan, pelayanan dan ketersediaan infrastruktur maupun perkembangan perekonomian Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Hasil analisis persepsi masyarakat dengan analytical hierarchy process AHP menunjukkan dari empat alternatif strategi, alternatif strategi yang menjadi prioritas utama adalah pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan PW-PP. Implikasi Kebijakan Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang berlaku sejak Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan implikasi pemekaran wilayahdaerah telah memberikan ruang dan peluang kepada daerah- daerah untuk menuntut pemekaran wilayah sehingga berakibat meningkat dan bertambahnya jumlah propinsi, kabupaten dan kota, dimana sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terdapat 319 propinsi, kabupaten dan kota dengan perincian propinsi sebanyak 26, kabupaten sebanyak 234 dan kota sebanyak 9. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terjadi penambahan sebanyak 217 terdiri dari 8 propinsi , 175 kabupaten dan 34 kota. Sampai dengan tahun 2013 terdapat 34 propinsi, 409 kabupaten dan 93 kota sehingga total terdapat 536 propinsikabupatenkota. Pemekaran wilayahdaerah yang berkembang pesat sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah muncul sebagai akibat karena sistem pemerintahan yang terpusat sentralisasi, kesenjangan regional disparity antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, kesenjangan antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia disatu pihak terjadi percepatan pembangunan dan penumpukan manufaktur, dipihak lain pembangunan berjalan sangat lambat, serta terjadinya berbagai ketimpangan pembangunan dan kesenjangan wilayah baik yang bersifat vertikal maupun horizontal secara spasial, ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menyebabkan daerah-daerah semakin tertinggal. Namun pemekaran wilayahdaerah yang dilakukan bukan merupakan satu satunya solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas, karena ternyata pemekaran wilayahdaerah berwajah ganda, ada sisi positif ada sisi negatif, disatu sisi memberikan manfaat kepada daerah namun disisi lain menimbulkan permasalahan didaerah. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa perguruan tinggi, LSM, Pemerintah maupun lembaga penelitian mendukung kedua argumen tersebut. Penelitian ini merupakan salah satu argumen yang melihat bahwa kebijakan pemekaran wilayahdaerah telah mendorong dan memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian wilayah, bahkan mendorong suatu daerah berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah atau kawasan khususnya bagi daerah sekitarnya hinterland. Penelitian yang dilaksanakan Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dimana kedua kota ini sebelumnya berstatus sebagai kota administratif kotif, kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, kedua kota tersebut dimekarkan dari kabupaten induknya masing-masing pada tahun 2001 melalui proses transformasi yaitu Kota Baubau dimekarkan dari Kabupaten Buton dan Kota Tasikmalaya dari Kabupaten Tasikmalaya. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya pada tahun 2001 telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah kedua kota begitu pesat dibandingkan ketika masih berstatus sebagai kota administratif kotif. Karena perkembangan perekonomian yang begitu pesat kedua kota tersebut ditetapkan sebagai pusat kegiatan nasional dan wilayah. Kota Baubau ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional PKN tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWN maupun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Propinsi Sulawesi Tenggara pada kawasan Sultra Kepulauan. Sebagai pusat kegiatan Wilayah PKW Priangan Timur ditetapkan Kota Tasikmalaya yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Nasional RTRN maupun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Propinsi Jawa Barat. Penetapan kedua kota secara khusus dimaksudkan untuk mendorong perkembangan ekonomi wilayah dan perekonomian bagi daerah sekitarnya dan kontribusi pada perekonomian nasional secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, penelitian ini memberikan beberapa implikasi kebijakan terhadap stakeholder yang terlibat dalam proses pembentukan daerah otonom baru, antara lain:

1. Implikasi Kebijakan terhadap Pemerintah Pusat

Sehubungan dengan perencanaan pemekaran wilayahdaerah kedepan perlunya ditetapkan kebijakan pengusulan pemekaran melalui satu pintu, dimana selama ini pengusulan pemekaran wilayahdaerah melalui DPR, Kemendagri, dan DPD, menjadi satu pintu yaitu Kemendagri. Dengan pertimbangan eksekutif mempunyai sumberdaya personil yang memadai dan keahlian yang tinggi dibandingkan dengan DPR dan DPD. Selama ini pemekaran wilayahdaerah yang dilakukan melalui DPR lebih banyak didominasi oleh kepentingan politik, disatu sisi kewenangan DPD masih sangat terbatas dalam UUD. Untuk itu sebaiknya DPR dan DPD cukup menjadi lembaga pengawas dan memberikan pertimbangan kepada eksekutif Kemendagri sehubungan kebijakan dan implementasi pemekaran daerah. Sehubungan dengan proses penetapan suatu daerah menjadi daerah otonom baru perlu dilakukan seleksi yang ketat terhadap usulan-usulan pembentukan DOB. Penetapan pembentukan daerah otonomi baru harus benar-benar memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, dimana suatu daerah dapat dimekarkan apabila memenuhi tiga persyaratan yaitu; syarat teknis, fisik kewilayahan, dan administrasi. Satu syarat saja tidak terpenuhi dari ketiga syarat tersebut semestinya suatu daerah tidak dapat dimekarkan Dalam rangka pemekaran wilayahdaerah kedepan lebih berhasil, perlunya ada persiapan-persiapan yang harus dilalui oleh suatu daerah untuk menjadi daerah otonom baru DOB. Untuk itu perlu ada proses pertahapan yang harus dilewati suatu kabupatenkota untuk menjadi kabupatenkota yang otonom. melalui kota administratif kotif sebelum menjadi kota otonom. Untuk kabupaten sebelumnya perlu proses pertahapan melalui kabupaten administratif. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mempersiapkan suatu daerah untuk menjadi DOB melalui kesiapan infrastruktur pemerintahan, terutama mempersiapkan masyarakat dalam proses pemekaran dimaksud, karena selama ini yang terjadi kabupaten-kabupaten yang baru mekar ketika pemilihan dan penentuan ibukota sering menimbulkan gejolak sosial di masyakat. Disisi lain kabupaten-kabupaten yang baru mekar selalu terkendala dengan masalah infrastruktur pemerintahan karena keterbatasan anggaran.

2. Implikasi Kebijakan terhadap Pemerintah Daerah

Sehubungan dengan pemekaran wilayahdaerah, pemerintah daerah dalam hal ini daerah induk perlu melihat potensi SDA dan sumber daya manusia yang dimiliki suatu daerah yang diusulkan. Selama ini pemahaman seperti itu tidak ada, usulan pemekaran lebih banyak didorong oleh tendensi politik, jabatan dan untuk mendapatkan dana dari pusat sehingga tujuan pemekaran untuk memajukan daerah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi bias. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tahun 2001, telah mendorong perkembangan prekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan daerah hinterland, artinya penerapan otonomi daerah pemekaran wilayah memberikan manfaat terhadap daerah itu sendiri, terutama dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan program pembangunan lebih fokus dan mandiri. Untuk itu agar Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya kedepan lebih berkembang perlu menetapkan kebijakan pembangunan yang diprioritaskan pada pengembangan sektor basisunggulan sebagai pendorong pembangunan dengan tetap memperhatikan sektor lainnya secara proporsional sesuai potensi dan peluang pengembangannya. Dalam upaya untuk mendorong perkembangan perekonomian wilayah, selain meningkatkan sektor basis sebagai penggerak perekonomian wilayah, Pemerintah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya perlu mengembangkan kebijakan baru yang lebih mendorong, memfasilitasi dan memberikan ruang bagi tumbuhnya investasi melalui insentif pajak dan kemudahan berinvestasi, karena sektor ini sangat memberikan dampak bagi pengembangan dan perekonomian wilayah, dengan tetap mendorong dan mengembangkan industri-industri dan sektor pengolahan lainnya yang telah ada. Sehingga akan memiliki dan meningkatkan keterkaitan wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah sekitarnya hinterland. Untuk itu perlu ada dan seharusnya dapat diupayakan oleh pemerintah daerah dalam membuat konsep perjanjian kerjasama yang lebih menguntungkan dengan wilayah sekitarnya hinterland. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah terhadap daerah sekitarnya hinterland dapat dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan ketersediaan fasilitas-fasilitas yang menjadi daya tarik bagi daerah sekitarnya, karena posisi Kota Baubau yang cukup strategis pada wilayahkawasan Sultra Kepulauan dan Kota Tasikmalaya yang cukup strategis pada wilayahkawasan Priangan Timur. Disisi lain arus pergerakan penduduk pada pusat kota dapat menjadi sumber-sumber pendapatan lain bagi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya karena akan mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor hotel dan restoran, industri kecil, pengangkutan dan komunikasi serta meningkatkan perdagangan baik antar daerah maupun luar daerah. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah Sultra Kepulauan dan Priangan Timur, Pemerintahan Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya perlu meningkatkan kualitas jasa pelayanan seperti jasa pelayanan perdagangan, pendidikan, serta hiburan dan rekreasi, yang biasanya kurang dimiliki daerah sekitarnya hinterland sehingga dengan demikian dapat meningkatkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah bagi daerah hinterland serta menjadi sumber – sumber pendapatan ekonomi dari luar Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya.

3. Implikasi Kebijakan terhadap Masyarakat

Untuk wilayahdaerah perlu ada persiapan-persiapan sosial masyarakat dalam proses pemekaran wilayah khususnya sosialisasi proses pengusulan daerah, dan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh suatu daerah. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir terjadinya konflik dilapangan, karena selama ini terkadang masyarakat tidak mendapatkan informasi mengenai tahapan dan proses suatu daerah diusulkan untuk menjadi DOB, akibatnya sering dipergunakan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat dengan memprovokasi sehingga menimbulkan konflik vertikal maupun konflik horizontal. Untuk itu peran pemerintah daerah dan tokoh masyarakat sangat diperlukan dalam proses untuk memfasilitasi dan meminimalisir terjadi konflik tersebut. Saran Penelitian Lanjutan 1. Dengan menggunakan pendekatan pusat pertumbuhan growth center dan kutub pertumbuhan growth pole, penelitian ini mengidentifikasi bahwa dua kota hasil pemekaran yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya hinterland. Namun kelemahan dari penelitian ini belum mampu memberikan informasi seberapa besar disparitas disparity antar wilayah, dan seberapa besar spread dan backwash effect Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai pusat dan kutub pertumbuhan terhadap daerah sekitarnya. Sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui seberapa besar disparitas disparity antar wilayah spread dan backwash effect Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya hinterland. 2. Penelitian ini menggunakan analisis gravitasi untuk mengetahui interaksi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya hinterland. Namun kelemahan dari penelitian ini belum mampu memberikan informasi yang menjadi penyebab interaksi dan daya tarik wilayah kedua kota tersebut, apakah daya tarik disebabkan oleh aktivitas produksi atau aktivitas pasar di wilayah tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab interaksi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Adisasmita R. 2008. Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori. Yogyakarta: Graha Ilmu. Adisasmita R. 1984. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah Purnomosidi: Kasus Sulawesi Selatan. Disertasi Universitas Hasanuddin. Tidak dipublikasikan. Agustino L, Yussof, MA. 2008. Proliferasi dan Etno Nasionalisme daripada Pemberdayaan dalam Pemekaran Daerah di Indonesia. Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. Volume 15 Nomor 3, Sept – Des. 2008 hlm. 196 – 201. Arafat M. 2011. Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Daerah Studi Kasus di Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Ardila R. 2012. Analisis Pengembangan Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Banjarnegara.Fakultas Ekonomi UNS.Economic Development Analysis Journal EDAJ 1 2 2012. Arsyad L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE YKPN. Supriyadi B. 2012. Pengembangan Wilayah di Daerah Otonom Baru Studi Kasus 3 Kabupaten Pemekaran di Indonesia. Disertasi Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Barrett BFD. 2000. Decentralization in Japan: Negotiating the Transfer of Authority. United Nations UniversityInstitute of Advanced Studies. Japanese Studies, Volume 20, No. 1, 2000. www.googel.com Blakely EJ. 1994. Planning Local Economic Development: Theory and Practice. Sage Publications. Booth A. 2011. Splitting, Splitting and Splitting Again: A Brief History of The Development of Regional Government in Indonesia Since Independence. Bijdragen tot de Taal – Land – en Volkenkunde, Vol. 167, No. 12011, pp. 31-59. [BPMPPT] Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Terpadu. 2014. Profil Perijinan dan Promosi Investasi Kota Tasikmalaya. Pemerintah Kota Tasikmalaya. 2014. [BPNB] Balai Pelestarian Nilai Budaya. 2014. Sejarah Kota Tasikmalaya: Pertumbuhan dan Perkembangan Kota di Priangan Timur. Bandung. 2014. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bombana. 2013-2014. Bombana Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kab. Bombana. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. 2013-2014. Buton Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Buton. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton Utara. 2013-2014. Buton Utara Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kab. Buton Utara. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis. 2003-2014. Ciamis Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Ciamis. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut. 2003-2014. Garut Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Garut. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Muna. 2003-2014. Muna Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Muna. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangandaran. 2011-2014. Pangandaran Dalam Angka 2014 dan PDRB 2011-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Pangandaran. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya. 2003-2014. Tasikmalaya Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Tasikmalaya. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi. 2003-2014. Wakatobi Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kab. Wakatobi. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Banjar. 2003-2014. Kota Banjar Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kota Banjar. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Baubau. 2003-2014. Kota Baubau Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kota Baubau. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya. 2003-2014. Kota Tasikmalaya Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kota Tasikmalaya. [BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat. 2003-2014. Jawa Barat Dalam Angka 2014 dan PDRB Propinsi Jawa Barat 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Propinsi Jawa Barat. [BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tenggara. 2013-2014. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2014 dan PDRB 2009-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Propinsi Sulawesi Tenggara. Braathen E. 2008. Decentralization and Poverty Reduction: A review of the Linkages in Tanzania and the International Literature. Norad Report 22b2008 Discussion. Norwegian Institute for Urban and Regional Research NIBR. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Butt S. 2010. Regional Autonomy and Legal Disorder: The Proliferation of Local Laws in Indonesia. Singapore Journal of Legal Studies, 2010. 1-21. www. google.com. Capello R. 2007. Regional Economics. First Publised 2007 by Routledge. Cheema GS, Rondinelli DA. 2007. Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Dalam From Government Decentralization to Decentralized Governance Washington : Brooking Institution Press. Chinsinga B. 2008. Decentralization and Poverty Reduction in Malawi – A Critical Appraisal. Dalam: Gordon Crawford and Christof Hartmann eds. 2008. Decentralization in Africa: A Pathway out of Poverty and Conflict? Amsterdam University Press. www.googel.com Crook RC. 2003. Decentralization and Poverty Reduction in Africa: The Politics of Local –Central Relations. Journal Public Administration and Development, Volume 23, Issue 1, pages 77 –88, February 2003. www.googel.com Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Model-Model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah : Konsep dan Aplikasi. IPB Press. Dawkins CJ. 2003. Regional Development Theory: Conceptual Foundations, Classic Works, and Recent Developments. Journal of Planning Literature, Vol.18, No. 2, Nov. 2003. CPL Bibliography 370.Copyright © 2003 by Sage Publications. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2014. Baubau Dalam Konteks Pengembangan Kota. Pemerintah Kota Baubau tidak dipublikasikan. Fitrani F, Hofman B, Kaiser K. 2005. Unity in diversity? The Creation of New Local Goverments in A Decentralizing Indonesia. Routledge. Bullettin of Indonesian Economics Studies, Vol. 41, No. 1, 2005: 57 – 79. Ghimire N. Tanpa tahun. Decentralization in Nepal: Review of Fiscal Decentralization Policy. Prashasan. The Nepalese Journal of Public Administration. www.googel.com Gren J. 2003. Reaching the Peripheral Regional Growth Centres: Centre- periphery convergence through the Structural Funds’ transport infrastructure actions and the evolution of the centre-periphery paradigm. European Journal of Spatial Development, Nomor 3, Articles Jan 2003. www.googel.com Hansen NM. 1975. An Evaluation of Growth-Center Theory and Practice. Journal Environment and Planning. Volume A 77 821 – 832. www.googel.com Harahap E. 2009. Kecamatan Perbaungan sebagai Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Serdang Bedagai. Thesis Sekolah Pascasarjana USU. Tidak dipublikasikan. Harmantyo D. 2007. Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Makara, Sains, Vol. 11, No. 1, April 2007: 16-22. Higgins B, Salvoie DJ. 2005. Regional Development Theories and Their Application. Transaction Publicers. New Brunswick, New Jersey. Ida L. 2005. Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia. Jakarta: Media Indonesia. Isard W. 1960. Methods of Regional Analysis: an Introduction to Regional Science. Cambridge, Massachusetts, and London, England. The MIT Press. Isra S. 2009. Makalah Seminar “Quo Vadis Pemekaran Daerah”, oleh Pusat Studi Konstitusi PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas, bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Daerah DPD RI. Jayadinata JT. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan, Perkotaan dan Wilayah. Bandung: ITB. Jewang RE. 2009. Pemekaran Daerah di Indonesia; Sewindu Otonomi Daerah: Persfektif Ekonomi. Jakarta: KPPOD. Juanda B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press.