Teori Pusat Pembangunan Localized poles of development

Pertama, desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan medebewind yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah administratif Kuncoro 2004. Selanjuntya Kuncoro 2004 menyebutkan bahwa titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II Dati IIkabupaten, sebagai ujung tombak pelaksanaan pembangunan sehingga kabupatenlah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Masalahnya, meskipun harus diakui bahwa Undang- Undang Nomor 5 tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi kontrol dari pusat yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan dan pembangunan. Pemerintah pusat dapat memilih apakah akan menekankan pada pemerintah daerah Pemda ataukah pada administrasi lapangan. Pilihan tergantung pada apakah administrasi lapangan dapat seefektif Pemda dalam mengurangi tekanan pusat dan mengembangkan periferi. Di pihak lain dapatkah Pemda melayani kebutuhan masyarakat secara lebih efisien dibandingkan dengan agenkantor pemerintah pusat di daerah? Perbedaannya terutama terletak pada kemampuan untuk memahami kebutuhan dan masalah daerah, serta tingkat tanggung jawab yang diembannya Kuncoro 2004. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi akan mengurangi beban pemerintah pusat terutama dalam penentuan program dan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan yang berkembang dalam masyarakat suatu daerah. Sejalan dengan pendapat Abe 2002 yang mengemukakan bahwa desentralisasi dapat memberikan dampak positif. Pertama ; bagi pemerintah pusat, desentralisasi tentu akan menjadi jalan yang mengurangi beban pusat; Kedua, program atau rencana-rencana pembangunan yang hendak diwujudkan akan lebih realistik, lebih mengena dan lebih dekat dengan kebutuhan lokal; Ketiga, memberikan kesempatan kepada daerah untuk belajar mengurus rumah tangganya sendiri, belajar untuk menangkap dan merumuskan aspirasi masyarakat setempat; Keempat, dengan adanya pemberian kewenangan politis kearah devolusi, maka berarti akan membuka peluang bagi ketertiban rakyat dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Dalam pelaksanaan desentralisasi oleh pemerintah pusat kepada daerah- daerah bukan saja hanya meliputi penyerahan wewenang urusan pemerintahan tetapi didalamnya sudah mencakup desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal adalah proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan public sesuai dengan banyaknya bidang pemerintahan yang dilimpahkan Saragih 2003. Dengan demikian konsekuensi dari suatu desentralisasi maka harus disertai dengan pembiayaan, disinilah berlaku prinsip money follow function. Otonomi Daerah Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedang daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara teoritis kata otonomi berasal dari bahasa Yunani “outonomous‖ berarti pemerintahan sendiri auto = sendiri, nomus = pemerintahan yang mempunyai makna kemandirian untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dapat disebut pula penyerahan penuh kepada daerah otonom untuk melaksanakan urusan rumah tangga. Dengan demikian pengertian otonomi menyangkut dengan dua hal pokok yaitu; kewenangan untuk membuat hukum sendiri own laws dan kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri self government Sjafrizal 2008. Dari pengertian diatas maka otonomi daerah pada hakekatnya adalah hak atau wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom Sarundajang 2000. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya juga telah menunjukkan semangat otonomi daerah, namun ternyata dalam implementasinya tidak sesuai yang diharapkan sehingga otonomi daerah dapat dikatakan bersifat semu pseudo autonomy. Semua wewenang pembangunan dan pemerintahan dari level pemerintahan tingkat propinsi sampai desa diatur oleh pemerintah pusat central goverment Saragih 2003. Sehingga dengan kondisi tersebut, menurut Hidayat, 2000 ada tiga alasan pokok otonomi daerah diperlukan. Pertama, political equality, yaitu guna meningkatkan partisipasi politik pada tingkat daerah. Hal ini penting artinya untuk meningkatkan demokratisasi dalam pengelolaaan negara. Kedua local accountability, yaitu meningkatkan kemampuan dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah. Hal ini sangat penting artinya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial di masing-masing daerah. Ketiga local responsiveness, yaitu meningkatkan tanggungjawab pemerintah daerah terhadap masalah-masalah sosial ekonomi yang terjadi di daerahnya. Kegagalan sistem pemerintahan yang sentralistik yang selama ini diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam pembangunan daerah, hal ini mengakibatkan: Pertama, proses pembangunan daerah secara keseluruhan menjadi kurang efisien dan ketimpangan antar wilayah semakin besar. Keadaaan tersebut terjadi karena sistem pembangunan yanag terpusat cenderung mengambil kebijakan yang seragam dan mengabaikan perbedaan potensi daerah, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sementara itu, daerah yang potensinya kebetulan sesuai dengan kebijakan nasional akan dapat bertumbuh dengan cepat. Sedangkan daerah yang potensinya tidak sesuai dengan prioritas pembangunan nasional akan cenderung tertekan pertumbuhan ekonominya. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung melebar yang selanjutnya cenderung pula mendorong terjadinya keresahan sosial di daerah. Kedua, sistem pembangunan yang sangat terpusat menimbulkan ketidakadilan yang sangat besar dalam alokasi sumberdaya nasional, terutama dana pembangunan. Keadaan tersebut dapat dilihat dari banyaknya provinsi yang kaya sumberdaya alam namun tingkat kesejahteraan masyarakatnya ternyata masih sangat rendah dan ketinggalan dibandingkan dengan daerah lainnya Sjafrizal 2008. Karena kegagalan dan kelemahan tersebut maka tuntutan otonomi daerah semakin besar karena adanya dorongan political equality, local accountability, dan local responsiveness, ketiga unsur ini sangat penting untuk dilaksanakan di era otonomi dan desentralisasi bagi upaya peningkatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di daerah. Ida 2005 mengemukakan bahwa ada 3 esensi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pengelolaan kekuasaan berpusat pada tingkat lokal yang berbasis pada rakyat. Kedua, dimensi ekonomi, artinya dengan otonomi daerah, maka daerah-daerah diharapkan mampu menggali dan mengembangkan sumber-sumber ekonomi yang ada diwilayahnya. Adanya kemampuan daerah untuk membiayai dirinya sendiri paling tidak memperkecil ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Ketiga, dimensi budaya artinya dengan otonomi daerah masyarakat lokal harus diberikan kebebasan untuk berekspresi dalam mengembangkan kebudayaan lokal. Lebih jauh lagi, otonomi tidak saja merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahan yang sifatnya technical administration atau pratical administration saja tetapi terdapat adanya kebebasan daerah dalam melaksanakan desentralisasi kewenangan berdasarkan aspirasi dari rakyat dalam wilayah territorial otonomi. Proses tersebut merupakan suatu process of political interaction, yang berarti bahwa otonomi sangat erat kaitannya dengan demokrasi, hal mana yang diinginkan tidak hanya demokrasi pada tingkat nasional dalam suasana sentralistik, melainkan juga demokrasi ditingkat lokal local democracy yang arahnya kepada pemberdayaan empowering atau kemandirian daerah Isra 2009. Kerangka Pemikiran Implikasi dari Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah di revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan titik berat pada Otonomi Daerah dan Desentralisasi telah mendorong berkembangnya pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru di Indonesia. Kebijakan pemekaran wilayah menjadi booming di era reformasi hal ini berkaitan dengan dua faktor yaitu; 1 Keterbukaan dan demokrasi pasca Soeharto; 2 Kebijakan pemerintah yang bergeser dari sentralisasi ke desentralisasi. Pemekaran wilayah era reformasi bersifat bottom up, dimana proses pengusulannya dimulai dari elit-elit daerah atau kelompok-kelompok masyarakat Ratnawati 2009. Booming ini menjadikan elit-elit daerah atau kelompok-kelompok masyarakat di propinsi, kabupatenkota berlomba mengajukan usulan pemekaran wilayah. Hasil studi dari tim Bank Dunia 2004 dalam Ratnawati 2009 menyimpulkan adanya empat faktor utama pendorong pemekaran wilayah di masa reformasi yaitu: 1 motif untuk efektivitas dan efisiensi administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar, dan ketertinggalan pembangunan, 2 kecenderungan untuk homogenitas etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan,dan lain-lain, 3 adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh undang-undang yaitu disediakanya dana perimbangan daerah berupa; Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi Khusus DAK, dan Dana Bagi Hasil DBH, serta disediakannya sumber-sumber pendapatan asli daerah PAD yang lainnya, 4 motif pemburu “rente” bureaucratic and political rent-seeking para elit Fitrani et al, 2005. Disamping keempat faktor pendorong tersebut, masih ada faktor “tersembunyi” dari pemekaran wilayah yang oleh Bhakti disebut ―gerrymander‖ yaitu usaha pembelaanpemekaran wilayah untuk kepentingan parpol tertentu. Dari keempat pendorong tersebut, motif pragmatis ternyata lebih mendominasi usulan pemekaran wilayah di Indonesia. Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah telah mendorong dan menambah perkembangan jumlah kabupatenkota yang begitu pesat dari tahun 1999 sampai dengan 2013, yang karena didorong oleh berbagai motif seperti ekonomi, sosial, politik dan wilayah. Namun dalam pelaksanaan dan perkembangan pemekaran wilayah ini justru menimbulkan berbagai problema masing-masing di daerah pemekaran tersebut. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan dari berbagai kalangan akademisi, politisi, birokrasi, masyarakat maupun para pemerhati masalah otonomi daerah tentang masa depan dan keberlanjutan dari pelaksanaan pemekaran wilayah di Indonesia. Praktikno 2007 dalam Ratnawati 2009 menyebutkan bahwa pemekaran wilayah memiliki “wajah ganda” ada sisi positif dan sisi negatif, dapat dilihat dari sudut pandang kepentingan daerah atau kepentingan pusat. Dapat dikatakan bahwa implementasi pemekaran wilayah memberikan manfaat maupun kerugian bagi suatu daerah pemekaran. Demikian juga dengan keberhasilan dan kegagalan dari pemekaran wilayah selalu menjadi dikotomi, tergantung dari sudut pandang dan kepentingan masing-masing pusat dan daerah. Berbagai isu problema seputar pemekaran wilayah selain kesenjangan wilayah dan ketidakadilan pemerataan hasil-hasil pembangunan, permasalahan otonomi daerah dan desentralisasi menjadi tantangan terpenting dalam pengembangan wilayah. Semangat otonomi daerah itu sendiri salah satunya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri. Bahkan tidak jarang sebagian stakeholder pembangunan memaknai pengembangan wilayah secara sempit mengidentikkannya dengan pemekaran wilayah Muta’ali 2011. Lebih lanjut disebutkan bahwa pemekaran wilayah juga secara potensial dapat membawa dampak positif bagi pengembangan wilayah, antara lain mempercepat perkembangan perekonomian daerah yang baru dibentuk, meningkatkan kontrol dan pengawasan surveilance daerah yang jauh remote, menghindari konflik horisontal, dan mengefektifkan rentang kendali span of control pemerintah daerah Pratikno 2008 dalam Muta’ali 2011. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong terbentuknya propinsi, kabupaten dan kota sebagai suatu wilayah. Kondisi ini menciptakan perbedaan antara daerah propinsi, kabupaten dan kota pemekaran tersebut, yaitu ada daerah yang pendudukkegiatan terkonsentrasi pada suatu tempat dan ada juga yang kurang terkonsentrasi. Menurut Sutikno dan Maryunani 2007, fenomena terciptanya daerah nodal tidak hanya diwilayah propinsi, namun terjadi diwilayah kabupatenkota, dimana biasanya pusat kegiatan ekonomi terjadi di daerah kota. Untuk kawasan kabupatenkota fenomena tersebut khususnya terjadi pada kabupaten-kabupaten yang mempunyai wilayah yang luas. Kabupaten dengan wilayah yang luas biasanya membagi dua wilayah secara administratif, wilayah kota kotamadya dan wilayah kabupaten. Wilayah kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi pusat pertumbuhan, sedang kabupaten sebagai daerah pendukung hinterland. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah memberi peluang bagi Provinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat untuk melakukan pemekaran. Pemekaran di Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan oleh 4 empat kabupaten induk yaitu Kabupaten Buton, Konawe, Kolaka dan Muna yang mempunyai potensi wilayah, penduduk, maupun SDA yang cukup besar. Pemekaran wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara kemudian berkembang menjadi 12 duabelas kabupaten dan 2 dua kota, telah berlangsung selama ±12 dua belas tahun yaitu sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2013 telah memekarkan 8 delapan kabupaten dan 1 satu kota Tabel 4 . Tabel 4 menunjukkan pemekaran di Propinsi Sulawesi Tenggara dapat dibagi dalam 2 dua periode. Pertama; sebelum tahun 1999 atau masa Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974, pemekaran oleh Kabupaten Kendari Konawe memekarkan 1 satu kota yaitu Kota Madya Kendari pada tahun 1995. Kedua; setelah Tahun 1999 atau masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tabel dibawah menunjukkan dalam kurun waktu 12 tahun yaitu sejak tahun 2001-2013 pemekaran wilayah di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 9 sembilan kabupaten Konawe Selatan, Konawe Utara, Wakatobi, Bombana, Kolaka Utara, Kolaka Timur dan Buton Utara serta Konawe Kepulauan dan 1 kota Kota Bau-Bau hasil pemekaran. Tabel 4 Perkembangan Pemekaran Wilayah di Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat dari tahun 1999 – 2013 Propinsi Sulawesi Tenggara Propinsi Jawa Barat No Kabupaten Induk Daerah Hasil Pemekaran No Kabupaten Induk Daerah Hasil Pemekaran 1 Kab Buton Kota Bau-Bau 1. Kab Bogor Kota Depok Kab Bombana 2. Kab Bandung Kota Cimahi Kab Wakatobi Kab Bandung Barat 2 Kab Konawe Kab Konawe Selatan Kab Konawe Utara 3. Kab Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Kab Konawe Kepulauan 4. Kab Ciamis Kota Banjar 3 Kab Kolaka Kab Kolaka Utara Kab Kolaka Timur Kab Pangandaran 4 Kab Muna Kab Buton Utara Sumber: diolah Kemendagri 2013. Tabel 4 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 14 empatbelas tahun sejak berlakunya otonomi daerah tahun 1999- 2012, Propinsi Jawa Barat memekarkan 4 empat kota dan 2 dua kabupaten. Dengan adanya pemekaran wilayah maka hingga sekarang ini Propinsi Jawa Barat berkembang menjadi 18 delapan belas kabupaten dan 9 sembilan kota. Jika dibandingkan dengan Propinsi Sulawesi Tenggara yang dalam kurun waktu 12 duabelas tahun telah memekarkan 8 delapan kabupaten dan 1 satu kota. Propinsi Jawa Barat pada awalnya terdiri 21 duapuluh satu kabupatenkota masing-masing 16 enam belas kabupaten dan 5 lima kota. Selanjutnya 4 kabupaten induk yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis melakukan pemekaran wilayah Tabel 4 . Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai kota hasil pemekaran tahun 2001 telah menunjukkan perkembangan perekonomian yang cukup signifikan dibandingkan dengan kabupaten induknya. Kondisi inilah mendorong penelitian ini untuk melihat apakah kedua kota hasil pemekaran ini potensial berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru diwilayahnya masing-masing, sebagaimana menurut Simangunsong 2011, bahwa sejatinya pemekaran daerah berdampak positif bagi : 1 demokratisasi; 2 tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru; 3 pendekatan pelayanan kepada masyarakat; 4 kemudahan membangun dan memelihara sarana dan prasarana; 5 tumbuhnya lapangan kerja baru dan 6 adanya motivasi pengembangan inovasi dan kreatifitas daerah. Sebagai salah satu bentuk pengembangan wilayah, pemekaran wilayah diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antar wilayah disparitas wilayah, serta dapat menyeimbangkan pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah Muta’ali 2011. Hirschman 1958 dalam Dawkins 2003, menyatakan bahwa pembangunan terpolarisasi polarized development dapat memberikan manfaat bagi wilayah pertumbuhan dan daerah belakangdaerah sekitarnya. Dari uraian tersebut diatas, kerangka pemikiran penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Kerangka Pemikiran Penelitian Penelitian – Penelitian Terdahulu Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah tatanan maupun sistem pemerintahan di Indonesia. Titik berat dari undang-undang tersebut adalah otonomi daerah dan desentralisasi, dan kondisi ini memberi peluang kepada daerah untuk mengusulkan melakukan pemekaran wilayah dengan berbagai argument baik yang bersifat politik maupun Pemekaran Wilayah Kota Bau-Bau Kota Tasikmalaya Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Ciamis Kota Banjar Kab. Pangandaran Kab. Buton Kab. Buton Utara Kab. Wakatobi Kab. Muna Kab. Bombana Pusat Pertumbuhan Ekonomi Growth PoleGrowth Center Rekomendasi Kebijakan Analisis Shift Share: Sektor memiliki daya saing kompetitiveness wilayah. Sektor berkembang pergeseran cepat. Sektor berkembang pergeseran lambat. Analisis Location Quostient : Sektor basis unggulan sebagai penggerak perekonomian wilayah LQ 1 Sektor non basisnon unggulan LQ 1 Tipologi Klassen : Daerah cepat maju dan cepat tumbuh. I Daerah berkembang cepat.II Daerah maju tapi tertekan. III Daerah relatif tertinggal. IV Indeks Diversiti Entropi : Analisis Tingkat perkembangan perekonomian wil : Wil.berkembang jika nilai IDE besar. Wil. kurang berkembang jika nilai IDE kecil. Analisis Gravitasi : Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah kuat dengan wilayah sekitarnya hinterland. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah lemah dengan wilayah sekitarnya hinterland. Analisis Scalogram : Perkembangan Hirarki wilayah Ketersediaan fasilitas-fasilitas pelayanan infrastruktur dll sebagai keuntungan yg dapat menjadi daya tarik wilayah. Interaksi Ekonomi dan Daya Tarik Wilayah Perkembangan Struktur Perekonomian Wilayah Sektor BasisUnggulanDaya Saing Wilayah sebagai Pusat Pertumbuhan Analisis Hirarki Proses : Untuk menilai perbandingan kepentingan setiap elemen dan mengetahui persepsi dan efektifitas pelaksanaan pemekaran wilayah dan mengevaluasi PP. No. 782007. Hasil Persepsi masyarakat dengan Distribusi frekwensi Potensi Perekonomian Wilayah sebagai Pusat Pertumbuhan EvaluasiMengkritisi PP. No. 782007 dan Mengetahui Persepsi Stakeholder Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 direvisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Titik berat pada : Desentralisasi dan Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Issu-issu krusial : 1. Ketimpangan wilayah. 2. Ketidakmerataan hasil-hasil Pemb. 3. Kesenjangan KTI dan KBI. 4. Jawa dan Luar Jawa. 5. dll. Issu-issu krusial : 1. Kemiskinan 2. Kesehatan 3. Pendapatan 4. Infrastruktur 5. Rentang kendali 6. dll dengan alasan kesejahteraan. Perkembangan pemekaran wilayah yang begitu pesat sejak diberlakukannya otonomi daerah yaitu sebanyak 8 propinsi, 175 kabupaten dan 34 kota yang terbentuk, telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah, aksesibilitas makin terbuka, maupun peningkatan infrastruktur didaerah-daerah pemekaran. Berbagai kajian dan penelitian telah dilaksanakan, dengan menggunakan berbagai metode dan alat analisis maupun pendekatan, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif untuk mengukur dan mengetahui seberapa besar manfaat pemekaran wilayah. Hasil Kajian dan penelitian yang telah dilaksanakan oleh berbagai lembaga juga menimbulkan pro dan kontra, karena disatu sisi suatu daerah hasil pemekaran menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan namun disisi lain terjadi penurunan atau menunjukkan kinerja yang tidak signifikan, sehingga selalu memunculkan penafsiran ganda akan manfaat dan efektifitas dari pelaksanaan pemekaran wilayah. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah telah berlangsung lebih kurang 14 empat belas tahun, namun hal yang menarik bahwa belum pernah ada yang mengkaji seberapa besar dampak kebijakan tersebut memberikan peluang dan potensial propinsikabupatenkota hasil pemekaran berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Berikut ini beberapa hasil kajianpenelitian tentang desentralisasiotonomi daerah dan pusat- pusat pertumbuhan Tabel 5. Tabel 5 Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu Studi tentang DesentralisasiOtonomi DaerahPemekaran Wilayah No. Nama tahunJudul Penelitianorganisasi Alat Analisis Hasil Penelitian 1. Sajjad Ali Khan 2013. Decentralization and Poverty Reduction: A Theoretical Framework for Exploring the Linkages. Journal Deskriptif Penelitian ini mengeksplorasi hubungan antara desentralisasi dan pengurangan kemiskinan, menganggap pelembagaan sebagai faktor kunci circum scribing potensi desentralisasi untuk mengurangi kemiskinan, dan berpendapat bahwa penanggulangan kemiskinan merupakan fungsi dari tingkat pelembagaan reformasi desentralisasi. Artikel ini berpendapat bahwa desentralisasi dan pengurangan kemiskinan sangat erat terkait satu sama lain. 2. Syawal Zakaria 2013. The Impact of Fiscal Decentralization toward Regional Inequalities in Eastern Region of Indonesia. Journal Model Ekonometrika dengan Data Panel Penelitian menyimpulkan: Desentralisasi fiskal belum mampu mengurangi kesenjangan regional di Kawasan Timur Indonesia KTI karena alokasi anggaran untuk hal-hal pemerintah gaji, perjalanan dinas, dan kantor peralatan perlengkapan; Terkait pemanfaatan variabel kontrol: pertumbuhan penduduk, pengangguran terbuka memiliki efek pada peningkatan kesenjangan reg, pertumbuhan ekonomi, partisipasi pendidikan, tingkat investasi dapat mengurangi kesenjangan regional. Terjadi perubahan ekonomi di KTI dari pola tradisional ke modern tercermin dari konfirmasi hipotesis Kuznets U terbalik. Kebijakan desentralisasi fiskal dalam sepuluh tahun, untuk mencapai pemda independen belum mencapai target yang diharapkan. 3. Abachi Terhemen Philip dan Salamatu Isah 2012. An Analysis of the Effect of Fiscal Decentralisation on Eonomic Growth in Nigeria. Journal Barro- type endogenous growth model Tiga ukuran berbeda dari desentralisasi fiscal DF yang digunakan dalam penelitian ini. DF 1 memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria, tetapi secara statistik tidak signifikan, karena pendapatan yang dihasilkan secara internal dari pemerintah daerah rendah maka kontribusinya signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. DF 2 dari hasil estimasi adalah negatif, secara statistik tidak signifikan, menunjukkan belanja daerah sangat besar kaitannya dengan sumber daya yang tersedia, terdapat ketidaksesuaian antara tanggung jawab fiskal dan alokasi sumber daya ditingkat yang lebih rendah dari pemerintah di Nigeria. DF 3 memiliki koefisien statistik tidak signifikan, berarti ukuran desentralisasi fiskal tidak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan desentralisasi fiskal berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi di Nigeria Kesimpulan : desentralisasi fiscal tidak berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di Negeria. 4. Michael Kiwanuka. 2012. Decentralization and Good Governance in Africa: Institutional Challenges to Ugandas Local Governments. Journal Survei cross - sectional dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif Kekhawatiran mengenai kapasitas pemerintah pusat, kendala fiskal dan akuntabilitas yang terbatas di semua tingkat pemerintahan menyebabkan negara-negara Afrika menempatkan pentingnya desentralisasi dan mengembangkan kapasitas pemerintahan lokal yang efektif. Penelitian ini mengeksplorasi tantangan kelembagaan pemerintah daerah untuk tata pemerintahan yang baik di Uganda. Disimpulkan bahwa lingkungan hukum – pemerintahan memperlambat pemerintahan yang baik; kurangnya informasi sangat membatasi partisipasi mereka. Kurangnya kapasitas personil yang kompeten menggagalkan kinerja pemerintah daerah. Direkomendasikan pemerintah pusat untuk membuat kebijakan yang mendukung inklusi dan keterlibatan semua warga negara, memperkuat proses reformasi kebijakan kelembagaan dan penguatan struktur pemerintah daerah untuk mendukung kebebasan politik dan pemerintahan. 5. Winnie V. Mitullah, 2012. Decentralized Service Delivery in Nairobi and Mombasa Policies: Politics and inter- Governmental Relations. Journal Deskriptif Di banyak negara Afrika, desentralisasi telah lama dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan pelayanan lokal. Namun, terlepas dari berbagai upaya desentralisasi, pelayanan publik terus menjadi bermasalah di dua kota terbesar di Kenya, Nairobi dan Mombasa. Reformasi pemerintahan lakukan untuk meningkatkan proses desentralisasi di Kenya, dengan dukungan undang-undang. Bahwa proliferasi aparat pemerintah dengan tugas yang tumpang tindih, kerangka pembangunan yang tidak jelas, dan politik intra-dan antar-partai masih menjadi kendala dalam menyediakan layanan penting dikota Nairobi dan Mombasa. Efektivitas desentralisasi tidak dapat dilakukan tanpa kebijakan penting menyertainya, komitmen pemimpin baik di tingkat pusat dan daerah termasuk pelimpahan sumber daya dan hubungan antar-pemerintah. 6. Anne Booth 2011. Splitting, Splitting and Splitting Again: A Brief History of The Development of Regional Government in Indonesia since Independence. Journal Deskriptif Artikel ini berpendapat bahwa perubahan pasca - Soeharto dalam pemerintahan daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai reaksi terhadap kebijakan sentralisasi otokratis rezim Soeharto, yang pada gilirannya adalah reaksi terhadap de facto federalisme dari tahun 1960-an. 7. Einar Braathen 2008. Decentralisation and Poverty Reduction: A review of the Linkages in Tanzania and the International Literature. Deskriptif Tanzania menyajikan jenis baru dari desentralisasi : tidak konservatif , dan tidak transformatif. Reformasi telah membantu menghasilkan kemajuan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir dalam kemampuan layanan dan peran pemerintah daerah, mereka telah meningkatkan demokrasi pada akar rumput dan partisipasi kaum miskin, telah menyebabkan peningkatan keuangan daerah untuk mengurangi kemiskinan. 8. Blessings Chinsinga 2008. Decentralisation and Poverty Reduction in Malawi – A Critical Appraisal. Deskriptif Upaya kebijakan desentralisasi di Malawi digambarkan sebagai dekonsentrasi namun sulit membuat penilaian dampak reformasi desentralisasi terhadap pemerintahan lokal dan pengentasan kemiskinan karena desentralisasi belum sepenuhnya dilaksanakan. Desentralisasi memiliki potensi meningkatkan partisipasi politik dan mengurangi kemiskinan, namun hasilnya tergantung pada penerapannya. Kasus Malawi, menunjukkan ada resiko besar dalam pelaksanaan reformasi desentralisasi karena hanya menjadi tempat masyarakat untuk menyampaikan keinginan mereka, namun keputusan hampir seluruhnya hak prerogatif negara. Ini berarti bahwa desentralisasi tidak mungkin menjadi elemen penting dalam meningkatkan kemampuan kelembagaan negara, baik sebagai dasar untuk sektor publik yang efektif maupun sebagai sarana mendekatkan negara kepada masyarakat. 9. John-Mary Kauzya 2007 . Political Decentralization in Africa: Experiences of Uganda, Rwanda, and South Africa. Deskriptif Tujuan desentralisasi di tiga negara, adalah untuk pengembangan masyarakat lokal dalam menentukan nasib mereka. Meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan, memungkinkan masyarakat menentukan kepemimpinan lokal melalui pemilu demokratis, berdasarkan pengaturan struktural kelembagaan untuk perencanaan pembangunan dari bawah yang partisipatif, melibatkan kelompok khusus perempuan, kaum muda dan orang cacat dalam pengambilan keputusan. Memfasilitasi pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan di tingkat lokal. Tiga kasus menunjukkan desentralisasi bukan hanya tindakan tapi proses yang berjalan terus- menerus melibatkan stakeholder untuk menghasilkan tujuan yang diinginkan. Akhirnya jika desentralisasi harus sukses harus dipahami sebagai transfer kekuasaan dan otoritas kepada rakyat dan tidak hanya kepada pemerintah daerah. 10. Benjamin Kohl 2003. Democratizing Decentralization in Bolivia The Law of Popular Participation. Journal Deskriptif Pada tahun 1994, Bolivia melembagakan program desentralisasi bukan hanya dana transfer dan tanggung jawab baru untuk pemerintah kota tetapi juga diamanatkan penganggaran partisipatif dan pengawasan oleh organisasi lokal. Artikel ini menawarkan penilaian awal dari program desentralisasi, berfokus pada dampaknya terhadap efisiensi pemerintah, pembangunan ekonomi, dan akuntabilitas politik. Ditemukan di beberapa pemerintah kota, dengan organisasi dan lembaga swadaya masyarakat yang kuat, proses demokratis desentralisasi relatif terjadi meskipun desentralisasi bukan sebagai penggerak pembangunan ekonomi. Di banyak pemerintah kota, kebijakan desentralisasi menghasilkan penguatan hubungan dukungan elit lokal dan desentralisasi korupsi. 11. Richard C. Crook 2003.Decentralizati on and Poverty Reduction In Africa: The Politics of Local –Central Relations. Journal Deskriptif Para penganut desentralisasi berpendapat bahwa pemerintah yang desentralisasi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat miskin dari pada pemerintah pusat, karena lebih mungkin untuk memahami dan melaksanakan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin. Prospek penerapan desentralisasi pemerintahan untuk mengembangkan kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat miskin harus bergantung pada upaya nyata yang dilakukan untuk memperkuat dan memperluas mekanisme akuntabilitas , baik horisontal dan vertikal, baik di tingkat lokal maupun nasional. 12. Namaraj Ghimire. Decentralization in Nepal: Review of Fiscal Decentralization Policy. Journal Deskriptif Jurnal menjelaskan upaya yang dilakukan oleh pemerintah Nepal untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal. Desentralisasi menjadi kebijakan utama pemerintahan Nepal sejak tahun 1950an dan diambil sebagai alat kebijakan yang kuat untuk alokasi sumber daya dan pengurangan kemiskinan. Kesadaran masyarakat tumbuh dan menyadari perlunya pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. Kemampuan mobilisasi sumber daya di tingkat lokal ditingkatkan dan otonomi badan lokal untuk meningkatkan pendapatan dan pengeluaran bagi perkembangan masyarakat. Pengaruh pemerintah pusat dalam pembangunan harus dihilangkan, sehingga sepenuhnya sistem pemerintahan daerah dapat berhasil dilaksanakan di Nepal. 13. Brendan F. D. Barrett Deskriptif Makalah ini telah menjelaskan reformasi 2000. Decentralization in Japan: Negotiating the Transfer of Authority. Journal desentralisasi di Jepang difokuskan pada hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah. Pengalaman di Jepang menunjukkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi yang menyeluruh mensyaratkan bahwa sejumlah hambatan politik, sosial, kelembagaan, administrasi dan keuangan dapat diatasi. Tujuan utama reformasi desentralisasi adalah meningkatkan pemerintah daerah yang kuat, efisien dalam kerangka pemerintahan nasional yang kuat. Bahwa langkah berikutnya dalam proses reformasi desentralisasi harus melibatkan perubahan dalam rangka untuk meningkatkan otonomi daerah, bukan hanya sekedar transfer kekuasaan. Keberhasilan pelaksanaan reformasi desentralisasi pemerintahan di Jepang karena pelimpahan kekuasaan yang lebih besar dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Studi tentang Kutub dan Pusat Pertumbuhan growth polegrowth center No. Nama Tahun Judul Penelitian organisasi Alat Analisis Hasil Penelitian 1. Alimos Mushuku dan Rejoice Takuva 2013. Growth Points or Ghost Towns? Post Independence Experiences of the Industrialisation Process at Nemamwa Growth Points in Zimbabwe. Journal Deskriptif Penelitian ini berusaha untuk menyelidiki pengalaman industrialisasi Titik Pertumbuhan di Nemamwa. Penelitian ini menemukan bahwa sejumlah industri telah dikembangkan di Titik Pertumbuhan, namun gagal memicu pembangunan sehingga menciptakan kesenjangan hubungan antara sumber daya didaerah belakang dan kegiatan di Nemamwa . Terjadi migrasi desa-kota yang besar karena orang berusaha mendapatkan pekerjaan lebih baik sesuai kualifikasinya, menyebabkan kesenjangan antara inti dan pinggiran. Terungkap bahwa industri menghadapi sejumlah tantangan kurangnya investasi modal, infrastruktur, pemasaran, transportasi dan dokumen penting seperti sertifikat pendirian, sehingga ancaman bagi proses industrialisasi di titik Pertumbuhan Nemamwa. Di rekomendasikan pemerintah harus mendukung pertumbuhan industri di Nemamwa melalui pengenalan bebas pajak, pembangunan infrastruktur, target pendanaan dan menempatkan industri dekat titik pertumbuhan. 2. Sang-arun Nattapon, 2012. Development of regional growth centers and impact on regional growth: A Case Study of Thailand’s Northeastern region. Journal A One ‑Stage Theil Decompositio n Method; Theil index; Z ‑Score Regression; Gravity Model Analysis; Multiple Regression Studi pada 4 wilayah di Thailand melihat kebijakan desentralisasi sangat penting dalam meningkatkan strategi pusat-pusat pertumbuhan dengan mengembangkan hubungan ekonomi antara pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan pertumbuhan daerah sekitarnya. Ditemukan dampak pusat pertumbuhan regional sebagai pendorong pertumbuhan sub – regional, serta sebagian besar pembangunan pusat pertumbuhan regional berkorelasi positif dengan pertumbuhan sub-region, perkembangan spasial pusat-pusat pertumbuhan Model. regional telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang positif, walaupun pertumbuhan ini belum merata. Kebijakan desentralisasi yang tepat akan menyebarkan pertumbuhan pusat- pusat pertumbuhan regional dan mengarah pada pengembangan daerah sekitarnya. 3. Biplob Kanti Mondal dan Kausik Das 2010. Role of Growth Center: A Rural Development Perspective. Journal Deskriptif Penelitian ini melihat manfaat dari pusat pertumbuhan terhadap pembangunan ekonomi dan sosial pedesaan di Bangladesh. Bahwa pusat pertumbuhan memfasilitasi penyediaan pertanian, perikanan, peternakan dan sektor lainnya untuk perbaikan pembangunan pedesaan. Pusat pertumbuhan mendominasi penyediaan layanan dan pembangunan infrastruktur untuk menjamin keberlanjutan sosial dan menciptakan kesempatan kerja produktif dan perluasan ekonomi; Ditemukan pusat pertumbuhan sebagai tempat berkembang pelayanan di daerah pedesaan dan menjembatani kesenjangan antara ekonomi pedesaan dan perekonomian daerah. 3. Mauricio Aguiar Serra 2003. Development Pole Theory and the Brazilian Amazon. Journal Deskriptif Artikel ini menganalisis strategi kutub pembangunan yang dilaksanakan di wilayah Amazon, berfokus pada asumsi-asumsi di balik teori sehubungan dengan efek penyebaran, yang menguntungkan seharusnya dihasilkan oleh kutub-kutub pembangunan untuk daerah periferi. 4. Sari Pekkala 2003: What Draws People to Urban Growth Centers: Jobs vs. Pay? Ekonomi Mikro Model Harris - Todaro Penelitian ini menganalisis pola migrasi di Finlandia untuk menguji apakah terbukti model ekonomi mikro Harris - Todaro dapat ditemukan dalam pola migrasi. Terungkap komponen modal manusia berpendidikan tinggi , individu muda dari angkatan kerja pindah ke atau berada di pusat-pusat pertumbuhan. Ditemukan bukti model Harris – Todaro, bahwa terjadinya migrasi dari desa- kota disebabkan upah yang lebih tinggi dan prospek pekerjaan yang lebih baik di daerah perkotaan. Hasil tingkat mikro membuktikan model Harris – Todaro, bahwa pendapatan dan pekerjaan memikat orang ke pusat pertumbuhan. M enunjukkan utilitas yang dirasakan lebih besar di pusat-pusat pertumbuhan regional, seperti yang diasumsikan dalam model. 6. Jörgen Gren 2003. Reaching the Peripheral Regional Growth Centres: Centre-periphery convergence through the Structural Funds transport infrastructure actions and the evolution of the centre-periphery Deskriptif Artikel ini memberikan analisis sistematis kontribusi dan dampak dari dana struktural terhadap infrastruktur transportasi untuk konvergensi pusat-pinggiran; membahas kemungkinan evolusi paradigma pusat- pinggiran dalam perkembangan pembangunan ekonomi, kohesi dan aksesibilitas di daerah pinggiran Eropa, yang tampaknya investasi infrastruktur di bawah dana struktural benar- benar cukup berhasil mengurangi kesenjangan antara intipusat dan pinggiran. Artikel ini paradigm. Journal berpendapat,pusat-pusat pertumbuhan regional memainkan peranan yang penting dalam menjelaskan konsep pusat-pinggiran serta meragukan paradigma pusat-pinggiran tradisional. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan daerah pinggiran, dalam kenyataannya dampak investasi tersebut dalam transportasi untuk meningkatkan aksesibilitas diwujudkan dalam pembangunan yang lebih baik dari pusat-pusat pertumbuhan regional dalam daerah pinggiran. Pusat pertumbuhan regional juga cenderung menarik daerah belakang hinterland. 7. Harry W. Richardson 1999. Growth Centers, Rural Development and National Urban Policy: A Defense. Journal Deskriptif Pusat-pusat pertumbuhan telah mengalami kegagalan sebagai instrumen kebijakan tata ruang di negara berkembang. Makalah ini menunjukkan pusat pertumbuhan mungkin masih bias diterapkan, jika diselaraskan dengan kondisi ekonomi dan sosial setempat. Pusat- pusat pertumbuhan harus diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan pedesaan dengan mengembangkan industri agro-processing daripada manufaktur padat modal, dan berfungsi sebagai tujuan alternatif bagi perpindahan dari desa ke kota, dengan memperkuat hirarki layanan di wilayah pedesaan. Kebijakan pusat pertumbuhan akan berhasil jika pusat pertumbuhan terintegrasi dalam kerangka strategi pembangunan nasional perkotaan. 8. John B. Parr 1999. Growth-pole Strategies in Regional Economic Planning: A Retrospective View. Part 1. Origins and Advocacy. Journal Deskriptif Makalah ini menjelaskan secara mendalam pentingnya strategi kutub pertumbuhan dalam perencanaan ekonomi regional selama tahun 1960-an. Hasil dari strategi Growth-pole: Pertama, mendorong pertumbuhan lapangan kerja dan jumlah penduduk dalam suatu wilayahlokasi atau kutub yang direncanakan. Kedua, menetapkan batasan yang pasti tentang jumlah lokasi atau pusat yang ditunjuk sebagai kutub yang direncanakan. Ketiga, diperlukan perbedaan spasial atau selektivitas antara lokasi, ini berkaitan identifikasi pusat-pusat yang memiliki potensi untuk mendukung kegiatan ekonomi tertentu, didasarkan pada faktor-faktor seperti keuntungan locational antardaerah atau intraregional, hirarki dalam sistem perkotaan atau kondisi pertumbuhan masa lalu. Keempat, melibatkan perubahan dari struktur ruang kerja dan jumlah penduduk suatu daerah, perubahan struktur spasial berhubungan pekerjaan dan struktur penduduk. 9. Takahiro Miyoshi 1997. Successes and Failures Associated With the Growth Pole Strategies. disertasi Deskriptif Studi melihat penerapan dari strategi kutub pertumbuhan di negara – negara maju dan berkembang. Review empiris untuk masa depan. Pertama, kutub pertumbuhan tidak dilaksanakan lagi karena tujuan pembangunan diubah untuk pemberantasan kemiskinan dan pembangunan kota-kota kecil, sehingga meninggalkan ide pengembangan pusat pertumbuhan, padahal kutub pertumbuhan bisa untuk pembangunan pedesaan, misalnya, pengembangan agropolitan. Kedua, kutub pertumbuhan dihadapkan masalah keuangan, kesalahpahaman pemerintah melihat strategi kutub pertumbuhan hanya investasi di daerah terbatas, adanya persepsi kutub pertumbuhan terlalu mahal sekalipun bukan alasan logis meninggalkan strategi kutub pertumbuhan karena konsep kutub pertumbuhan masih menjadi kerangka kerja analisis yang bermanfaat. Ketiga, bukti empiris kasus Jepang dan Korea menunjukkan keberhasilan perencanaan daerah terkait kuat dengan keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Kutub pertumbuhan, memiliki keterbatasan mengadopsi perencanaan wilayah yang baik, kasus Amerika Serikat, dua kutub pertumbuhan menunjukkan hasil kontras, keberhasilan dan kegagalan. Sebaiknya, growth pole harus memiliki berbagai bentuk dari besar, industri, perspektif perkotaan kecil, pertanian, perspektif pedesaan sesuai karakteristik masalah regional. Akhirnya kedepan perencanaan daerah harus kembali ke pemikiran Perroux dalam membangun kerangka umum analisis ekonomi. 10. Harry W. Richardson 1976. Growth Pole Spillovers: The Dynamics of Backwash and Spread. Journal Deskriptif Strategi kutub pertumbuhan sudah ditinggalkan oleh banyak negara karena kegagalan untuk menghasilkan pembangunan daerah yang jauh dari sasaran. Makalah ini menggunakan teori spread dan backwash, untuk menunjukkan bahwa spillovers positif tidak akan menimbulkan di sekeliling kutub pertumbuhan pada tahun awal pelaksanaannya, dan dalam jangka panjang dibutuhkan suatu strategi agar berhasil. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada pengaruh spread dan backwash atas ruang asimetris, temuan yang sampai sejauh itu berimplikasi berpengaruh terhadap perencanaan tata ruang. 11. Hansen, N. M. 1975. An Evaluation of Growth-Center Theory and Practice. Journal Deskriptif Makalah ini membahas isu-isu empiris dan teoritis terkait dengan pendekatan pusat pertumbuhan untuk pembangunan daerah. Berpendapat bahwa meskipun banyak kesulitan dalam pembahasan literatur pusat pertumbuhan namun masih memiliki relevansi dengan kebijakan daerah. Meskipun telah ada peningkatan perhatian dalam menganalisis jenis dan pentingnya secara spontan tempat-tempat pertumbuhan perkotaan, pendekatan pusat pertumbuhan mempunyai pengaruh dalam pertumbuhan. Sedikit bukti bahwa pusat-pusat pertumbuhan menghasilkan pengaruh efek penyebaran yang signifikan terhadap daerah- daerah belakang yang tertinggal secara ekonomi; tetapi dapat berfungsi sebagai pusat regional migrasi. Disamping itu beberapa studi dan penelitian tentang desentralisasi, otonomi daerah dan pemekaran wilayah yang dilakukan oleh mahasiswa dilingkungan Institut Pertanian Bogor sebagai berikut: Tabel 6 Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu di Lingkungan IPB No. Nama Tahun Judul Penelitian organisasi Alat Analisis Hasil Penelitian 1. Bambang Supriyadi 2012. Pengembangan Wilayah di Daerah Otonom Baru Studi Kasus 3 Kabupaten Pemekaran di Indonesia. Disertasi Pascasarjana IPB. Bogor. Analisis Klassen Tipology; Location Quotient; Indeks Spesialisasi; SSA; Indeks Diversity Entropy IDE; Indeks Williamson 1. Hasil analisis Typology Klassen menunjukkan Kab Rokan Hilir sebagai daerah maju tetapi tertekan; Kab. Roten Ndao merupakan daerah relatif tertinggal; Kab Mamasa daerah berkembang cepat. 2. Hasil IDE, Kab. Roten Ndao memiliki nilai tertinggi disusul Mamasa dan Rokan Hilir artinya perekonomian di Kab. Roten Ndao lebih menyebar dan berimbang tapi sektor tidak berdaya saing; Kab Mamasa semua sektor berdaya saing kecuali pengangkutan dan jasa; Kab Rokan Hilir daya saing utamanya sektor pertanian. 3. Persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik di 3 kabupaten adalah baik. 4. Penerapan teori Christaller dan teori Molotch di Kab. Roten Ndao; Di Kab Rokan Hilir perlu didukung teori path-goal ; Di Kab Mamasa, tidak dapat diterapkan karena tidak ada birokrasi yang kuat dan fungsi spasial dari infrastruktur. 2. Muhammad Arafat 2011. Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Daerah Studi Kasus di Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Analisis Deskriptif; Analisis IDE; Analisis Kelayakan Pemekaran; Analisis Regresi dengan Peubah Dummy; Analisis Potensi Pajak Daerah; Metode Penghitungan IPM; Analisis Persepsi Stakeholder 1. Berdasarkan PP. No. 78 tahun 2007, Kab. Mamasa tidak layak dimekarkan ditinjau dari aspek kependudukan dan kemampuan ekonomi. 2. Perkembangan ekonomi menunjukkan IDE Kab. Polewali Mandar lebih baik daripada Kab. Mamasa yang IDEnya fluktuatif peningkatannya. 3. Terhadap Kapasitas fiskal Kab. Mamasa lebih baik dari perbandingan laju pendapatan daerah tetapi dari perbandingan perkembangan belanja langsung daerah, perkembangan DBH dan pengaruh pemekaran terhadap PAD Kab. Polewali Mandar lebih baik. 4. Terhadap pelayanan publik dan aparatur daerah; Kab. Mamasa lebih baik dari Kab. Polewali Mandar; Kualitas infrastruktur jalan serta pesentase jumlah PNS yang S1 Kab. Polewali Mandar lebih baik dari Kab. Mamasa. 3. Nelson Sayori 2009. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah Kepulauan dan Pengembangan Analisis Deskriptif dan Skoring; Analisis IDE; Analisis Komparatif dan Kompetitif Wilayah; Analisis Strategi 1. Pembentukan karena alasan politik dibandingkan alasan teknis, hak inisiatif DPR; tidak memiliki indikator pemekaran wilayah. 2. Pertumbuhan ekonomi wilayah belum nyata meningkat, namun dari tahun ke tahun kecenderungan peningkatan ekonomi wil. 3. Kapasitas fiskal setelah pemekaran tumbuh, namun perkembangannya cenderung menurun. 4. Proporsi PAD terhadap total penerimaan belum menunjukkan peningkatan, ketergantungan pemda Pariwisata Bahari Studi Kasus di Kabupaten Raja Ampat Propinsi Papua Barat. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Pengembangan Pariwisata Bahari; Analisis Koresponden terhadap Daper. 5. Sektor pertanian subsektor perikanan dan sektor pertambangan subsector minyak dan gas bumi menjadi unggulan, sektor lainnya prioritas kedua. 6. Kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian wilayah masih minim, karena minim sarana prasarana pendukung. 7. Persepsi masyarakat, secara umum menilai pembangunan meningkat setelah adanya pemekaran. 4. Rosda Malia 2009. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah Studi Kasus di Kota Cimahi Propinsi Jawa Barat. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Analisis Deskriptif; Analisis Indeks Diversity Entropy IDE; Analisis Partisipatif; Uji Friedman; Analisis Keuangan; Analisis Kelayakan Pemekaran 1. Awal pemekaran Pertumbuhan Ekonomi PE menurun, meningkat tahun berikutnya. Laju PE masih dibawah daerah induk. Analisis IDE PDRB struktur ekonomi berkembang tapi masih di bawah kabupaten induk. Analisis Partisipatif, pemekaran berdampak positif. 2. Kapasitas fiskal KF meningkat karena meningkatnya penerimaan DAU. Nilai IDE pendapatan daerah 0.55-0.60 artinya KF daerah belum berkembang, demikian juga daerah induk. 3. Pemberian otonomi belum meningkatkan kemampuan daerah dalam menghasilkan penerimaan. Ketergantungan yang besar terhadap dana perimbangan. 4. Hasil skoring kelayakan pemekaran, Kota Cimahi tidak layak dimekarkan karena tidak memenuhi nilai minimal faktor kependudukan. 5. Nurlaela 2010. Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Manusia Human Capital di Propinsi Sulawesi Barat. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. 1. Pembangunan pendidikan dan kesehatan semakin meningkat dari tahun ketahun. 2. Perhitungan IPM sejak pemekaran meningkat tahun 2008 senilai 68,55 kategorikan standar PBB menengah keatas. 3. Laju IPM Sulawesi Barat cenderung menurun setelah dimekarkan, namun lebih tinggi dibanding induknya Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2005 dan 2006. 4. Keuangan daerah meningkat sejak pemekaran, peningkatan bukan dari PAD melainkan tingginya penerimaan DAU dengan kontribusi 70. 5. Nilai IDE yang berkisar 0,16-0,37 artinya kapasitas fiskal daerah belum berkembang. 6. Ami Agusniar 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat Studi Kasus di Kabupaten Aceh Singkil Propinsi Nangroe Aceh Darussalam . Tesis Pascasarjana Analisis Deskriptif; Analisis Indeks Diversity Entropy IDE; AHP; Analisis Kuantifikasi Hayasi II 1. Pertumbuhan ekonomi meningkat dibandingkan sebelum pemekaran. 2. Nilai IDE rendah dibawah masih dengan kabupaten induk. 3. Kapasitas fiskal meningkat setelah pemekaran namun ketergantungan yang tinggi terhadap DAU dan DAK. 4. Persepsi stakeholder, dampak pemekaran belum merata. Pemekaran menguntungkan pemerintah pengusaha. 5. Tingkat kesejahteraan setelah pemekaran menurut persepsi masyarakat untuk bidang ekonomi, partisipasi masyarakat, layanan pemerintah dan penyediaan fasilitas umum semakin baikada peningkatan. IPB. Bogor. 7. Kadir Lumbesi 2005. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perkembangan Perekonomian Wilayah dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Buru. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Analisis Location Quotient LQ, Location Indeks LI, Specialization Indeks SI; SSA; Analisis Statistika Deskriptif; Analisis Kebijakan dan Proses Pemekaran; AHP; Analisis Koresponden; Analisis Economies of Scale and Economies of Scope 1. Hasil LQ setelah pemekaran memberikan dinamika pertumbuhan ekonomi. Hasil LI, tidak ada pemusatan disuatu daerah yang dikembangkan. Hasil SI, bahwa tidak ada perubahan aktifitas tenaga kerja disetiap wilayah kecamatan, berarti pembangunan tetap seperti sebelumnya, tidak ada suatu wil yang mempunyai keunggulan yang dikembangkan. 2. Hasil SSA, tahun 1999-2002 total laju pertumbuhan 0.073. Terjadi pergeseran kegiatan pada sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti pertanian, industri pengolahan dll. Berarti pemekaran berdampak positif di Kab. Buru. 3. Hasil AHP, masyarakat menginginkan pemekaran, namun manfaatnya hanya dirasakan oleh pemerintah, pengusaha besarkecil menengah, masyarakat adat dan transmigrasi. 4. Hasil Analisis Economies of Scale and Economies of Scope, pelayanan dan peranan pemerintah dlm pembangunan infrastruktur sudah memenuhi Economies of Scale sekalipun pelayanan masih terbatas pada pelayanan adm pemerintahan. SDM belum memenuhi Economies of Scale. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagaimana disebutkan diatas, hal yang membedakan dengan penelitian ini adalah: 1. Dari sisi pendekatan: penelitian ini mencoba menganalisis dengan pendekatan pusat pertumbuhan growth center dan kutub pertumbuhan growth pole terhadap 2 kota hasil pemekaran Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. 2. Dari sisi metode penelitian: penelitian ini mencoba menganalisis interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap wilayah sekitarnya, dengan menggunakan Analisis Model Gravitasi. 3. Mengevaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 khususnya 11 sebelas faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran dengan persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. 3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada dua kota hasil pemekaran tahun 2001 yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya yang memiliki karakteristik sebagai pusat pertumbuhan. Pemilihan kedua lokasi penelitian untuk membandingkan 2 dua kota hasil pemekaran potensial berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, dimana Kota Baubau berada di Kawasan Timur Indonesia serta merupakan kota pesisirkepulauan dan Kota Tasikmalaya berada di Kawasan Barat Indonesia serta merupakan kota daratan. Penelitian direncanakan pada bulan Juli 2014 sampai dengan Desember 2014. Sumber : BPS Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat 2012 Gambar 9 Peta lokasi penelitian di Kota Tasikmalaya dan Kota Baubau Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan informan kunci di lapangan melalui wawancara dan menggunakan pertanyaan kuisioner yang terstruktur sesuai dengan tujuan penelitian. Data primer yang dikumpulkan adalah; data karakteristik responden umur, perkerjaan dan pendidikan formal. Data persepsi stakeholder mengenai manfaat pemekaran daerah dan data persepsi masyarakat mengenai dampak pemekaran terhadap perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat. Data sekunder adalah data diperoleh dan dikumpulkan dari berbagai literatur maupun referensi, dari berbagai laporan maupun penelitian terdahulu yang telah dilakukan. Data sekunder juga diperoleh dari instansi dan dinas-dinas yang terkait dengan penelitian ini, seperti BPS, Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah maupun data yang dikumpulkan dan bersumber dari lembaga pemerintah seperti; data PDRB, APBD, RPJMD, RTRW, gambaran umum daerah penelitian yang meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya dan data sekunder lainnya. Lokasi Penelitian Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah kabupatenkota hasil pemekaran yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 8 delapan kabupaten dan 1 satu kota dan kabupatenkota hasil hasil pemekaran yang berada di Propinsi Jawa Barat sebanyak 4 empat kota dan 2 dua kabupaten serta kabupaten induk sebagai kabupaten kontrol. Sampel penelitian adalah Kota Baubau terdiri dari 8 kecamatan dan Kota Tasikmalaya terdiri dari 10 kecamatan. Pemilihan sampel Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya karena 2 kota tersebut merupakan salah satu kota yang pertama kali dimekarkan sejak Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 diberlakukan, dimana Kota Baubau berada di Kawasan Timur Indonesia serta merupakan kota pesisirkepulauan dan Kota Tasikmalaya berada di Kawasan Barat Indonesia serta merupakan kota daratan yang memiliki karakteristik sebagai pusat pertumbuhan serta berada pada satu kawasan dikelilingi oleh beberapa kabupatenkota disekitarnya. Untuk mencapai tujuan penelitian maka responden diambildipilih secara disengaja purposive sampling dari kalangan legislatif, eksekutif birokrasi dan masyarakat yang dianggap mengetahui tentang permasalahan penelitian Juanda 2009. Pemilihan dengan disengaja purposive sampling dalam penelitian untuk meminimalisir terjadinya bias dalam pengambilan data primer, sehingga diharapkan dengan responden yang mempunyai wawasan terhadap masalah yang diteliti dapat diperoleh jawaban sesuai dengan permasalahan dimaksud. Jumlah responden dalam penelitian ini masing – masing diambil dari: Legislatif DPRD sebanyak 5 orang; Eksekutif birokrasi masing – masing sebagai key person Walikota, Wakil Walikota dan Sekretaris Kota, sedang dari DinasBadanKantor dipilih 8 Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD sesuai dengan tujuan penelitian masing – masing setiap SKPD dipilih 3 orang responden eselon II, III, dan IVStaff; masyarakat diambil dari kecamatan sampel masing-masing 3 orang responden. Pemilihan kecamatan diambil masing-masing kecamatan yang berada di pusat kota, pinggiran dan luar kota. Dari setiap kecamatan sampel kemudian diambil 3 orang responden masing-masing dari 3 kelurahan yang berbeda, yaitu kelurahan yang berada di pusat kecamatan, kelurahan berada pada wilayah tengah dan luarpinggiran kecamatan; sedang pengusahainvestor dan akademisi masing- masing diambil 2 orang responden, seperti terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah Responden Penelitian No. LembagaIntansi Jumlah Responden Keterangan Kota Bau-Bau Kota Tasikmalaya 1. DPRD Legislatif 5 orang 5 orang Ketua 1 orang; Wakil ketua 2 orang dan anggota 2 orang. 2. Birokrasi Eksekutif DinasBadanKantor 10 3 orang x 8 =27 responden 3 orang x 8 = 27 responden Walikota, Wakil Walikota dan Sekretaris Daerah. Eselon II = 1 orang Eselon III = 1 orang Eselon IVstaf = 1 orang. 3. Kecamatan 3 orang x 5 kecamatan =15 responden 3 orang x 6 kecamatan = 18 responden Terdiri tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh dan mengetahui seputar permasalahan pemekaran wilayah. 4. Pengusahainvestor 2 orang 2 orang Pengusaha lokal 5. Akademisi 2 orang 2 orang Mewakili universitas Jumlah responden penelitian tersebut diatas untuk mengetahui persepsi masyarakat stakeholder manfaat pemekaran wilayah dan analisis hirarki proses AHP. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan pada Bab I. Untuk itu dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut: Tabel 8 Tujuan penelitian, Uraian data yang dibutuhkan, Jenis data, Teknik Pengumpulan Data, AlatMetode Analisis dan Output yang di harapkan No Tujuan Penelitian Uraian Data yang dibutuhkan Jenis Data yang diperoleh Teknik Pengumpul an Data Alat Metode Analisis Output yang diharapkan 1. Menganalisis perkembangan struktur perekonomian wilayah dan sektor unggulan yang menjadi daya saing wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dibandingkan dengan daerah sekitarnya hinterland. Data – data sosial pemerintah an, fasilitas umum. Data – data Ekonomi PDRB kabkotapro pinsi, PDRB perkapita kabkotapro pinsi, PDRB persektor. Primer. Sekunder. Kuesioner. StudiPenga matan lapangan. Studi literatur. Analisis Shift Share SSA Mengetahui keunggulan kompetitif sektor- sektor dua kota. Mengetahuimemba ndingkan sektor- sektor dgn daerah yang diatasnya. Mengetahui cepat lambat perkembangan pergeseran sektor. Analisis Location Quotient LQ Mengetahui sektor basis dan non basis sebagai sektor- sektor potensial pendorong pertumbuhan dua kota. Indeks Diversity Entropi Mengetahui tingkat perkembangan struktur perekonomian wilayah Wilayah berkembang=nilai IDE besar; wilayah kurang berkembang = nilai IDE kecil. 2. Menganalisis perkembangan wilayah dan pengaruh interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan daerah sekitarnya hinterland. Data – data Ekonomi PDRB kabkotapro pinsi, PDRB perkapita kabkotapro pinsi, PDRB persektor. Sekunder. Kuesioner. StudiPenga matan lapangan. Studi literatur. Tipologi Klassen Memetakanmengkl asifikasikan dua kota pemekaran dgn kabupaten lain di propinsi. Analisis Skalogram Mengetahui ketersediaan fasilitas perkotaan yang dimiliki sebagai keuntungan konsentrasi perkotaan yang dapat menjadi daya tarik. Mengetahui kemampuan kota dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan kualitas dan kuantitas fasilitas sosial, ekonomi dan pemerintahan yang tersedia. Model Gravitasi Mengetahui interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah dua kota terhadap daerah sekitarnya hinterland Mengetahui daerah hinterland dua kota. 3. Mengevaluasi penerapan PP No. 78 tahun 2007 khususnya faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Data Persepsi stakeholder. Primer. Sekunder. Kuesioner. StudiPenga matan lapangan. FGD. Studi literatur. Deskriptif Distribusi frekwensi Mengetahui persepsi masyarakat manfaat pemekaran. AHP Mengevaluasimen gkritisi sebelas faktor-faktor dalam pembentukan daerah otonom baru DOBpemekaran wilayah. 4. Menganalisis persepsi stakeholder dan merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah. Data Persepsi stakeholder. Primer. Sekunder. Kuesioner. StudiPenga matan lapangan. FGD. Studi literatur. Analisis Hirarki Proses AHP Mengetahui persepsi stakeholder dan merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Variabel yang menjadi subyek dalam penelitian ini meliputi: Tabel 9 Aspek, Variabel, Indikator dan Sumber Data No Ruang Lingkup Data Variabel Indikator Sumber Data 1. Ekonomi Perekonomian Wilayah Pertumbuhan Ekonomi, PDRB Kabupatenkota propinsi ADHKADHB, Sumber dan Pendapatan daerah, investasi daerah. BPS, Bappeda, instansi terkait dengan penelitian. Pendapatan Perkapita Pendapatan Perkapita kabkotapropinsi. PDRB perkapita. BPS, Bappeda, instansi terkait dengan penelitian. Pertanian dalam arti luas Tanaman Pangan, Kelautan dan Perikanan, Peternakan, Perkebunan, Kehutanan. PDRB persektor kabkotapropinsi. BPS, Bappeda, Dinasinstansi terkait. 2. Sosial Kesehatan Angka Kematian, Angka Kelahiran, Angka Harapan Hidup, Angka Kematian Bayi, Balita Gizi Buruk, Jumlah fasilitas kesehatan. BPS, Bappeda, Dinas Kesehatan, BKKB Pendidikan Angka Partisipasi Sekolah, Angka Melek Huruf, Jumlah Fasilitas Pendidikan Dasar, Menengah, Tinggi IPM, Lama Sekolah, Tingkat Harapan Hidup. BPS, Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, instansi terkait dgn penelitian. Kependudukan Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Pertumbuhan Penduduk, Usia Penduduk, Penyebaran Penduduk. BPS, Bappeda, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Instansi terkait dengan penelitian. Ketenagakerjaan Jumlah Angkatan Kerja, Jumlah Pengangguran, Jumlah dan Tenaga Kerja Persektor, Usia Produktif. BPS, Bappeda, Dinas Tenaga Kerja, Instansi terkait dengan penelitian. 3. Fisik Infrastruktur Panjang Jalan dan Jembatan propinsi, kabkota; Panjang dan Jumlah Jembatan, Kondisi Jalan propinsi, kabkota; Dinas PU, Bappeda, BPS, Instansi terkait dengan penelitian. Peta - Peta Peta Administrasi Pemerintahan propinsi, kabkota; RTRW propinsi, kabkota; Dinas Tata Ruang, Dinas PU, Bappeda, Instansi terkait dengan penelitian. Kondisi Fisik Wilayah Letak, luas wilayah, topografi, kesesuaian lahan, dan tata guna tanah BPS, Bappeda, Instansi terkait dengan penelitian 4. Pemerintahan Peraturan - peraturan Peraturan perundang- undangan, Perda, Peraturan dan Keputusan Bupati, RPJP Nasional, propinsi, kab kota; RPJM nasional, propinsi, kab kota. BPS, Bappeda, Instansi terkait dengan penelitian Sebagaimana digambarkan dalam tabel 8 untuk menjawab tujuan penelitian, maka alatmetode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran dan mengetahui persepsi masyarakat akan manfaat pemekaran wilayah terhadap kesejahteraan masyarakat, pembangunan ekonomi dan perkembangan kota. Analisis deskriptif data yang diolah diperoleh dari hasil jawaban reponden dalam bentuk pertanyaan terbuka kemudian ditabulasi dengan menggunakan distribusi frekwensi dan hasil jawaban reponden dari analisis hirarki proses. Analisis Skalogram Menurut Blakely 1994 alat Analisis Skalogram membahas mengenai fasilitas perkotaan yang dimiliki suatu daerah sebagai indikator difungsikannya daerah tersebut sebagai salah satu pusat pertumbuhan. Analisis skalogram bertujuan untuk mengidentifikasikan peran suatu kota berdasarkan pada kemampuan kotadaerah tersebut memberikan pelayanan kepada masyarakat. Model Skalogram memiliki enam varian skalogram tipe I, II, III, IV, V dan VI yang berkembang mulai dari yang paling sederhana hingga model yang paling kompleks Pribadi et, al. tanpa tahun. Secara umum model skalogram adalah sebagai berikut: Tabel 10 Model Skalogram Wilayah Jumlah Penduduk Luas wilayah Fasilitas-1 Fasilitas-2 ……. Fasilitas-j Hirarki 1 .…….. .…….. 1 1 .…….. 1 1 2 ……… .…….. 1 1 .…….. 1 2 … ……… .…….. 1 1 .…….. 1 … … .…….. .…….. 1 1 .…….. 1 … n ……... .…….. 1 1 .…….. 1 n Sumber: Pribadi et, al.tanpa tahun; Riyadi dan Bratakusumah 2004 Dengan menggunakan tabel model skalogram maka dapat teridentifikasi dan diketahui jumlah fasilitas-fasilitas infrastruktur yang ada dan tersedia dalam suatu berupa sarana prasarana ekonomi pendidikan, kesehatan dan sosial. Selanjutnya dilakukan transformasi data kedalam bentuk biner 0 dan 1. Fasilitas diberi bobot, sebagai faktor pembobot untuk setiap jenis fasilitas adalah ratio jumlah total unit wilayah terhadap jumlah unit wilayah yang memiliki fasilitas tersebut persamaan 1. dimana : n : jumlah total wilayah kabkota. n j : jumlah wilayah yang memiliki fasilitas ke-j Dengan mengalikan nilai bobot matriks dasar maka akan diperoleh nilai terbobot dari jumlah fasilitas tertentu yang terdapat di wilayah tertentu persamaan 2. dimana : n : jumlah total wilayah kabkota. n j : jumlah wilayah yang memiliki fasilitas ke-j x ij : Jumlah unit fasilitas ke-j di wilayah ke-i Dalam pemetaan hirarki wilayah dengan teknik analisis skalogram, variabel infrastruktur menjadi variabel utama yang menjadi awal dari berkembangnya teori ……………………………………………………………………. 2 ………………………………………………………………………. 1 lokasi pusat. Tetapi dalam perkembangannya muncul modifikasi-modifikasi sehingga variabel - variabel non infrastruktur dapat juga digunakan untuk memetakan hirarki wilayah Pribadi et, al. tanpa tahun. Semakin lengkap pelayanan yang diberikan, menunjukkan bahwa kotadaerah tersebut mempunyai tingkatan yang tinggi dan dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan Sagala, 2009. Tujuan digunakan analisis ini agar dapat mengidentifikasikan kabupatenkota mana saja yang dapat menjadi pusat pertumbuhan, jika dilihat dari fasilitas-fasilitas perkotaan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Analisis Model Gravitasi Interaksi spasial adalah suatu istilah umum mengenai pergerakan spasial aktivitas manusia Hayness dan Fotheringham 1984 dalam Rustiadi et al, 2009, dan model gravitasi adalah model interaksi spasial yang paling umum digunakan. Model Gravitasi adalah suatu model yang umum dipakai didalam menjelaskan fenomena interaksi antar wilayah Rustiadi et al, 2009. Menurut Richardson 1977 model gravitasi gravity model adalah suatu alat operasional yang sangat bermanfaat untuk memperkirakan nodalitas, dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi pusat-pusat yang dominan dalam daerah perkotaan yang sangat kompleks. Model ini dapat membantu perencana wilayah untuk memperkirakan daya tarik suatu lokasi dibandingkan dengan lokasi lain di sekitarnya. Hal ini bermanfaat untuk simulasi apakah suatu fasilitas yang dibangun pada suatu lokasi akan menarik cukup pelanggan atau tidak Tarigan 2006. Konsep dasar dari alat analisis ini adalah membahas mengenai ukuran dan jarak antara dua tempat, yaitu pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya, sampai seberapa jauh sebuah daerah yang menjadi pusat pertumbuhan mempengaruhi dan berinteraksi dengan daerah sekitarnya Daldjoeni 2006 dalam Ardila 2012. Semakin dekat jarak antara dua lokasi semakin besar pula gaya tarik yang terjadi antara keduanya, atau sebaliknya semakin besar jarak antara dua lokasi semakin kecil gaya tarik yang terjadi antara keduanya Setiono 2011. Analisis model gravitasi bertujuan untuk mengetahui hubungan kedekatan antara dua daerah, dalam hal ini daerah dianggap massa yang mempunyai daya gravitasi yang saling tarik-menarik, hubungan ini diidentifikasikan sebagai interaksi ekonomi antara pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya, hubungan antara kedua daerah tersebut dicerminkan dalam nilai indeks gravitasi yang diperoleh. Sang-arun 2012 dengan unit analisis propinsi pada model gravitasi melihat interaksipengaruh propinsi sebagai pusat pertumbuhan dengan kota satelit hinterland. Dalam penelitian ini model gravitasi untuk melihat interaksi spasial antara Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya sebagai daerah nodal dengan kabupaten yang ada disekitarnya hinterland dapat dirumuskan sebagai berikut Isard 1960 dan Sang arun 2012: dimana: I 12 = interaksi spasial antara wilayah 1 wilayah pusat= Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya dan wilayah 2 hinterland=Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Bombana, Muna, Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Kota Banjar, dan Kabupaten Pangandaran. I 12 = k W 1 P 1 W 2 P 2 d 12 b W 1 = PDRB perkapita wilayah 1 W 2 = PDRB perkapita wilayah 2 P 1 = Jumlah penduduk wilayah 1 wilayah tujuanpusat=Kota Bau-Bau dan Tasikmalaya. P 2 = Jumlah penduduk wilayah 2 wilayah asalhinterland=Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Bombana, Muna, Kab. Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Kota Banjar, dan Kabupaten Pangandaran d 12 = jarak antar wilayah 1 tujuanpusat dan wilayah 2 asalhinterland k = Konstanta. b = Konstanta nilai 2 Analisis Tipologi Klassen Alat analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah Kuncoro 2002. Menurut Yulistiani et al. 2007 bahwa penggunaan Tipologi Klasen untuk melihat pertumbuhan pembangunan ekonomi suatu daerah serta dapat digunakan untuk memetakan atau menggolongkan daerah-daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang diukur dengan membandingkan nilai rata-rata propinsi. Tipologi Klassen dipergunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah serta untuk mengklasifikasikan daerah yang masing-masing mempunyai pertumbuhan ekonomi yang berbeda kedalam 4 empat klasifikasi Safrizal 1997; Kuncoro 2013 yaitu: 1. Daerah maju dan cepat tumbuh rapid growth region atau high growth, high income; 2. Daerah berkembang cepat growing region atau high growth but low income; 3. Daerah maju tapi tertekan retarded region atau high income but low growth; 4. Daerah relatif tertinggal relatively backward region atau low growth and low income. Tabel 11 Matrik Klasifikasi KabupatenKota Berdasarkan Tipologi Klassen PDRB ADHK y Laju Pertumbuhan r y i y y i y r i r Daerah berkembang cepatgrowing region Daerah maju dan cepat tumbuh rapid growth region r i r Daerah relatif Tertinggal relatively backward region Daerah maju tapi tertekan retarded region Sumber: Safrizal 1997, Kuncoro 2013 dimana: r i = Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabkota i r = Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabkota se Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat y i = Rata-rata PDRB ADHK kabkota i y = Rata-rata PDRB ADHK kabkota se Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis Tipologi Klasen pada kabupatenkota yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara dan kabupatenkota yang ada di Propinsi Jawa Barat untuk mengetahui posisi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya berdasarkan klasifikasi tipologi klassen. Analisis Indeks Diversitas Entropi Dalam suatu wilayah perkembangan ekonominya dapat berkembang maju atau sebaliknya. Untuk mengukur majuberkembangnya atau tidak majutidak berkembangnya perekonomian wilayah dapat dilihat dari Indeks Diversitas Entropinya. Prinsip pengertian indeks entropi adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropy wilayah, artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Jika hasilnya semakin mendekati 1, maka wilayah tersebut semakin berkembang, sedangkan jika hasilnya semakin mendekati 0, maka wilayah tersebut semakin tidak berkembang. Nilai Indeks Diversitas Entropi ditujukan untuk menghitung tingkat keberagaman dan keberimbangan aktivitassektor ekonomi disuatu wilayah. Semakin berimbang komposisi berbagai aktivitassektor ekonomi tersebut nilai IDE juga semakin besar ini berarti suatu wilayah dapat dianggap semakin maju berkembang Pribadi et al. tanpa tahun. Persamaan umum yang sering dipakai dalam perhitungan Indeks Diversitas Entropi adalah: dimana: S = nilai entropy P i = nilai rasio antara aktivitassektor ekonomi ke-i dibagi jumlah total aktivitassektor ekonomi i j = = kategori aktivitassektor ekonomi ke-i kategori wilayah ke-j kota n = total aktivitassektor ekonomi Persamaan diatas digunakan untuk melakukan perbandingan tingkat perkembangan perekonomian antar wilayah. Mengingat adanya keterkaitan antara nilai indeks entropy dengan luasan wilayah dan kapasitas sumberdaya yang dimilikinya, maka akan lebih baik apabila pembandingan dilakukan di tingkat makro, karena pada skala makro luasan wilayah dan sumberdaya yang dimiliki akan mencukupi, sehingga nilai entropy benar-benar menggambarkan kinerja pembangunan ekonomi yang lebih maju. Skala wilayah makro ini bisa berada ditingkat wilayah propinsi atau minimal wilayah kabupaten Pribadi et al. tanpa tahun. S = ∑ ∑ n n i=1 j=i P i lnP i Analisis Shift Share SSA Analisis Shift-Share pertama menganalisis perubahan berbagi indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu di suatu wilayah. Dari hasil analisis akan diketahui bagaimana perkembangan suatu sektor disuatu wilayah apakah bertumbuh cepat atau lambat. Hasil analisis ini juga dapat menunjukkan bagaimana perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, apakah bertumbuh cepat atau lambat. Wilayah yang dimaksud bisa berupa wilayah propinsi dalam wilayah cakupan agregat nasional, atau wilayah kabupatenkota dalam cakupan wilayah agregat propinsi dan seterusnya Pribadi et al. tanpa tahun. Dalam analisis shift-share dipengaruhi 3 komponen yaitu: komponen pertumbuhan nasional national growth component, komponen pertumbuhan proporsional proportional or industrial mix growth component komponen pertumbuhan pangsa wilayah regional share growth component. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut Budiharsono 2001; Daryanto dan Hafizrianda 2010. Analisis shift-share mampu menjelaskan kinerja suatu sektor di kabupaten dan membandingkan dengan kinerja sektor pada tingkat nasionalpropinsi berdasarkan agregatnya. Analisis shift-share dapat memberikan gambaran sebab- sebab terjadinya pertumbuhan suatu sektor di suatu wilayah. Sebab-sebab dimaksud dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu: yang berasal dari dinamika lokal kabupaten, dinamika sektor total wilayah propinsi dan dinamika wilayah secara umum nasional. Hasil analisis shift-share akan menunjukkan gambaran 3 komponen yang menjelaskan kinerja suatu wilayah, yaitu: 1. Komponen laju pertumbuhan total share menyatakan bahwa pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. 2. Komponen Pergeseran Proporsional proportional shift yang menyatakan pertumbuhan total sektor tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor total dalam wilayah. 3. Komponen Pergeseran Deferensial differential shift, ukuran yang menjelaskan tingkat daya saing suatu sektor tertentu dibandingkan dengan total sektor dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika suatu sektor tertentu disuatu wilayah terhadap sektor di wilayah lain. Persamaan Analisis Shift-Share Rustiadi, et al. 2009 adalah: dimana: a = komponen share b = komponen proportional shift c = komponen differential shift SSA = + + X.. t1 X.. t0 1 X i t1 X i t0 X.. t1 X.. t0 X ij t1 X ij t0 X i t1 X i t0 a b c X.. = nilai total aktivitassektor i dalam total wilayah propinsi X i = nilai aktivitassektor i dalam total wilayah propinsi X ij = nilai aktivitassektor i pada wilayah ke j kota t 1 = tahun akhir analisis 2007, 2013 t o = tahun awaldasar analisis 2003, 2009 Analisis Location Quotient LQ MetodeAnalisis location quotient LQ merupakan salah satu metode pengukuran tidak langsung. Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah suatu sektor dalam suatu wilayah merupakan sektor basis atau non basis, Budiharsono, 2001. Menurut Riyadi dan Bratakusumah 2004 location quotient analysis LQA dimaksudkan untuk mengetahui gambaran umum mengenai kemampuan sektor-sektor pembangunan disuatu wilayah dalam mendukung proses pembangunan didaerah, atau merupakan metode yang membandingkan kemampuan sektor-sektor pembangunan dalam suatu daerahwilayah dengan kondisi sektor-sektor pembangunan yang ada didaerah yang lebih luasbesar. Rumus untuk Metode Location Quotient LQ adalah: dimana: LQ ij : Nilai LQ untuk sektor ke-j di daerah ke-i kota X ij : Nilai sektor ke-j di wilayah ke-i kota X i. : Nilai total sektor wilayah ke-i kota X .j : Nilai sektor ke-j di wilayah ke-i propinsi X .. : Nilai total sektor wilayah ke-i propinsi Hasil yang diperoleh dari MetodeAnalisis Location Quotient LQ menurut Bendavid-Val dalam Kuncoro 2002 adalah: LQ 1 : menunjukkan bahwa sektor tersebut merupakan sektor unggulan karena mampu meningkatkan dan mengembangkan daerah wilayah karena hasil produksinya atau merupakan sektor basis. LQ = 1 : menunjukkan bahwa sektor tersebut bukan merupakan sektor basis tetapi memiliki potensi menjadi sektor basisekspor disisi lain sektor ini hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal daerah. LQ 1 : menunjukkan bahwa sektor tersebut bukan sektor unggulanbasis, karena sektor ini tidak bisa memenuhi kebutuhan lokal maka ada kecenderungan untuk mengimpor dari luar daerah. Analytical Hierarchy Process Analytical Hierarchy Process AHP pada dasarnya didesain untuk menangkap persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai kepada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Model AHP ini dianggap model multi – objectif – multi – citeria Aziz 1994. Menurut Saaty 1986 pemilihan alat analisis didasarkan pertimbangan bahwa AHP merupakan salah satu alat atau model pengambilan keputusan dengan input utama adalah persepsi manusia. AHP merupakan salah satu metode yang memecah suatu masalah kompleks ke dalam kelompok-kelompok secara hirarki. Dengan AHP pembobotan suatu faktor atau variabel dapat dilakukan sesuai dengan persepsi manusia sehingga diharapkan LQ ij = X ij X i. X .j X .. mampu menggambarkan kondisi yang senyatanya Kuncoro dan Rahajeng 2005. Untuk dapat mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah serta mengevaluasi efektifitas dari Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007, maka tahapan langkah-langkah yang dilakukan dalam menyusun AHP meliputi Saaty 1986; Suryadi dan Ramdhani 2000: 1. Menentukan masalah dan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgement dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. 4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga memperoleh judgement seluruhnya sebanyak n x[n-1]2 buah dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. 5. Menghitung nilai Eigen dengan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi. 6. Menghitung langkah 3,4,5 untuk seluruh tingkat hirarki. 7. Menghitung vector Eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen, Langkah ini untuk mensintesis judgement dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan. 8. Mengevaluasi dan memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih besar dari 10 maka penilaian data judgement harus diperbaiki. Setelah menentukan tahapan langkah-langkah maka selanjutnya dimasukkan nilai numerik perbandingan dari skala 1 sampai 9 yang ditetapkan sebagai pertimbangan dalam membandingkan untuk menilai pasangan suatu elemen dengan elemen lainnya Tabel 12. Tabel 12 Matriks Sistem Urutan Ranking Skala Perbandingan Berpasangan antar Variabel Intensitas Kepentingan Definisi variabel Penjelasan 1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen memberikan pengaruh yang sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding dengan elemen lainnya Pengalaman dan pertimbangan sedikit memihakmenyokong elemen satu dibanding yang lainnya 5 Elemen yang satu lebih esensial atau sangat penting dari elemen lainnya Pengalaman dan penilaian dengan kuat memihakmenyokong elemen satu atas elemen yang lainnya 7 Elemen yang satu lebih jelas penting dibandingkan elemen yang lainnya Elemen yang satu dengan kuat disukai dan dominasinya tampak nyata dalam praktek 9 Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen yang lainnya Bukti yang memihakmenyokong elemen yang satu atas yang lain berada pada tingkat persetujuan tertinggi yang mungkin menguatkan 2,4,6,8 Nilai-nilai tengah diantara dua pertimbanganpenilaian yang berdekatan Diperlukan kompromi antara dua pertimbangan Kebalikan dari nilai diatas Jika untuk nilai aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i. Sumber: Saaty 1986, Kuncoro dan Rahajeng 2005 Kerangka AHP untuk persepsi masyarakat : Gambar 10 Kerangka AHP persepsi masyarakat terhadap manfaat kebijakan pemekaran wilayah di Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya. Strategi dan kebijakan Pemekaran Wilayah memberikan manfaat bagi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya Ultimate Goal Faktor Aktor Tujuan Alternative Strategi Kemampua n Ekonomi Potensi daerah Kemampuan Keuangan Sosial Budaya Sosial Politik Luas Daerah Pertah anan Keama nan Tingkat Kesejahteraa n Rentang Kendali Kepend udukan Proses pentahapan dalam pemekaran wilayah Pemekaran digabungkembali ke daerah induk Pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan Pusat pertumbuhan menciptakan Pemekaran wilayah Mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah Merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah Mendekatkan Pelayanan Publik kepada Masyarakat Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat DPRD Tokoh masyarakat BupatiwakilSekdaKepala Dinaskepala BidangKepala SeksiStaff Pengusaha Inverstor Pendidik Akademisi 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Gambaran Umum KabupatenKota Sultra Kepulauan Geografis dan Administrasi Wilayah Secara geografis Wilayah Sulawesi Tenggara Kepulauan selanjutnya disingkat Sultra Kepulauan berada pada bagian Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara yang berupa wilayah kepulauan. Pulau-pulau yang masuk dalam gugusan Sultra Kepulauan meliputi Pulau Muna, Pulau Buton, Pulau Kabaena, Kepulauan Wakatobi Wanci-Kaledupa-Tomia-Binongko atau biasa dikenal dengan kepulauan tukang besi. Titik koordinat wilayah Sultra Kepulauan berada pada 0,5 15’ hingga 05 32’ Lintang Selatan dan 122 46’ Bujur Timur. Posisi kabupatenkota Sultra Kepulauan yang meliputi Kota Baubau dan wilayah sekitarnya hinterland yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana dapat dilihat pada Gambar 11. Sumber: BPS Kota Baubau 2013 Gambar 11 Peta Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara menurut KabupatenKota dan Posisi KabupatenKota Sultra Kepulauan Luas wilayah kabupatenkota Sultra Kepulauan adalah 11.475,79 Km 2 atau 32 dari total wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari Kota Baubau luas wilayah 221,00 Km 2 , Kabupaten Buton luas wilayah 2.488,71 km 2 , Kabupaten Buton Utara luas wilayah 1.923,03 Km 2 , Kabupaten Wakatobi luas wilayah 823,00 Km 2 , Kabupaten Muna luas wilayah 2.963,97 Km 2 dan Kabupaten Bombana luas wilayah 3.056,08 Km 2 . Batas wilayah Sultra Kepulauan adalah sebelah utara, berbatasan dengan Selat Tiworo, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Kepulauan dan Laut Banda; Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda; Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores; dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Bone dan Laut Flores. Secara administratif Kota Baubau merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton, dimana pada zaman Indonesia sebelum merdeka Kabupaten Buton adalah KabKota Daratan Prop. Sulawesi Tenggara KabKota Kepulauan Prop. Sulawesi Tenggara Kab. Buton Utara Kab. Buton Kab. Muna Kab. Wakatobi Kab. Bombana Kota Baubau Kab. Konawe Selatan Kab. Kolaka Utara Kab. Konawe Utara Kab. Kolaka Kab. Konawe Kab. Kolaka Timur Kota Kendari Kab. Konawe Kepulauan Sultra Kepulauan wilayah kekuasaan KerajaanKesultanan Buton. Dalam perkembangannya yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, Kabupaten Buton kemudian banyak memekarkan kabupaten antara lain Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton Utara dan yang terakhir tahun 2014 memekarkan Kabupaten Buton Tengah dan Kabupaten Buton Selatan. Oleh karena kondisi tersebut secara geografis maupun sosial budaya kabupatenkota yang berada di wilayah Sultra Kepulauan mempunyai kedekatan dan keeratan hubungan, sehingga berkembang dan menguatnya isu pembentukan Propinsi Buton Raya. Posisi lima kabupatenkota yang saling berdekatan memiliki hubungan kultural, hubungan emosional maupun kedekatan dan keterkaitan ekonomi namun dengan karakteristik wilayah yang beragam kelima kabupaten dapat saling mendukung dalam upaya pengembangan potensi ekonominya yaitu Kabupaten Buton, Kota Baubau, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, sedang Kabupaten Muna hanya memiliki keterkaitan ekonomi karena posisi wilayahnya yang berdekatan dan berada pada wilayah Sultra Kepulauan. Keberhasilan pembangunan suatu negara atau wilayah propinsi dan kabupatenkota dapat dilihat dari indikator ekonomi maupun indikator sosial. Indikator ekonomi biasanya ditunjukkan dengan seberapa besar peningkatan dan perkembangan PDRB baik itu PDRB perkapita maupun ADH Konstan dan laju pertumbuhan ekonomi. Sedang indikator sosial biasanya ditunjukkan dengan seberapa besar peningkatan dan perhatian pada pengembangan sumber daya manusia yang tercermin melalui indeks pembangunan manusia, dan kemiskinan, karena hal-hal tersebut merupakan persoalan-persoalan mendasar daripada pembangunan serta kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan dari pembangunan. Dengan demikian indikator ekonomi dan indikator sosial bagaikan dua sisi mata uang, bahwa keberhasilan pembangunan sosial didalamnya juga keberhasilan pembangunan ekonomi. Sehingga dapat dikatakan keberhasilan pembangunan bukan hanya diukur dan dilihat dari indikator ekonomi saja namun keberhasilan pembangunan juga diukur dan dilihat dari indikator sosial. Indikator Sosial dan Kependudukan a. Jumlah dan Perkembangan Penduduk Penduduk merupakan elemen penting dalam pengembangan wilayah. Wilayah Sulawesi Tenggara Sultra Kepulauan dalam penelitian ini meliputi Kota Baubau sebagai lokus penelitian dan beberapa kabupaten sekitarnya hinterland yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana. Perkembangan jumlah penduduk di kabupatenkota Sultra Kepulauan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tabel 13 dibawah memperlihatkan peningkatan jumlah penduduk kabupatenkota Sultra Kepulauan dari tahun 2009 yaitu Kota Baubau 134.218 jiwa; Kabupaten Buton 255.118 jiwa; Kabupaten Buton Utara 53.959 jiwa; Kabupaten Wakatobi 92.796 jiwa; Kabupaten Muna 248.461 jiwa; dan Kabupaten Bombana 135.295 jiwa. Sampai dengan tahun 2013, dari 2.360.611 jiwa jumlah penduduk Propinsi Sulawesi Tenggara, sebanyak 989.847 jiwa atau 41,93 persen berada di wilayah Sultra Kepulauan. Perkembangan jumlah penduduk kabupatenkota Sultra Kepulauan tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Perkembangan Jumlah Penduduk KabupatenKota Sultra Kepulauan Tahun 2009-2013 No. Kabkota Sultra Kepulauan Jumlah Penduduk Tahun Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 1. Kota Baubau 134.218 136.991 139.726 142.576 145.427 139.787,6 2. Kab. Buton 255.118 255.712 260.801 261.119 261.727 258.895,4 3. Kab. Buton Utara 53.959 54.736 55.828 56.631 57.422 55.715,2 4. Kab. Wakatobi 92.796 92.995 94.846 94.953 95.157 94.149,4 5. Kab. Muna 248.461 268.277 273.616 278.437 279.928 269.743,8 6. Kab. Bombana 135.295 139.235 142.006 146.072 150.186 142.558,8 Jumlah 919.847 947.946 966.823 979.788 989.847 Sulawesi Tenggara 2.191.951 2.232.586 2.277.049 2.318.600 2.360.611 2276159,4 Sumber: BPS Kota Baubau, Kabupaten: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, maka kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk Kota Baubau 645 orang per km 2 ; Kepadatan penduduk Kabupaten Buton 112 orang per km 2 ; Kepadatan penduduk Kabupaten Buton Utara 105 orang per km 2 ; Kepadatan penduduk Kabupaten Wakatobi 223 orang per km 2 ; Kepadatan penduduk Kabupaten Muna 96 orang per km 2 ; dan Kepadatan penduduk Kabupaten Bombana 48 orang per km 2 .

b. Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia IPM atau Human Development Index HDI dipublikasikan UNDP United Nations Development Program tahun 1990 dalam publikasi berjudul Human Development Reports dimaksudkan untuk mengukur pencapaian keseluruhan pembangunan manusia dan mengetahui kinerja pembangunan manusia suatu negara atau wilayah. UNDP United Nations Development Programme merumuskan indikator Indeks Pembangunan Manusia IPM atau Human Development Index HDI dalam skala 0 hingga 1 berdasarkan tiga dimensi pembangunan manusia yaitu pertama, dimensi usia panjang yang diukur berdasarkan tingkat harapan hidup; kedua, dimensi pengetahuan pendidikan yang diukur berdasarkan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; ketiga dimensi kualitas stándar hidup yang diukur dengan pendapatan perkapita riil yang disesuaikan dengan daya beli. Berdasarkan ketiga indikator Human Development Index HDI tersebut selanjutnya pencapaian pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1 jika nilai HDI berkisar antara 0,0 hingga 0,50 berarti pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikategorikan rendah low human development; 2 jika nilai HDI berkisar antara 0,51 hingga 0,79 berarti pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikategorikan sedang medium human development ; dan 3 jika nilai HDI berkisar antara 0,80 hingga 1,00 berarti pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikategorikan tinggi high human development. Dengan demikian bahwa semakin tinggi angka IPM suatu negarawilayah menunjukkan pembangunan manusia yang semakin baik dan sebaliknya semakin rendah IPM mengindikasikan suatu negara wilayah kurang memperhatikan pembangunan manusia. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia IPM Kota Baubau dan wilayah hinterlandnya tahun 2004-2013 dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia IPM KabupatenKota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 No Kabkota Sultra Kepulauan Indeks Pembangunan Manusia IPM Tahun Rata- rata 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1. Kota Baubau 68,8 69,7 70,60 69,70 72,14 72,87 73,48 74,10 74,58 75,10 72,11 2. Kab. Buton 64,2 65,2 66,70 67,08 67,82 68.24 68,80 69,34 69,95 70,35 67,77 3. Kab. Buton Utara - - 66,30 66,89 67,16 67,62 68,07 68,86 69,31 70,13 68,04 4. Kab. Wakatobi 61,8 63,32 64,20 65,54 66,03 66,70 67,20 68,04 68,78 69,77 66,14 5. Kab. Muna 64,1 64,9 65,80 65,93 66,49 67,03 67,45 67,95 68,35 68,97 66,70 6. Kab. Bombana 63,3 63,83 64,00 65,35 66,05 66,63 67,20 67,85 68,51 69,67 66,24 7. Sulawesi Tenggara 66,7 67,5 67,80 68,32 69,00 69,52 70,00 70,55 71,05 71,73 69,22 Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara 2003-2013 Tabel 14 memperlihatkan dari enam kabupatenkota wilayah Sultra Kepulauan menunjukkan peningkatan IPM dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013. Capaian nilai IPM masing-masing kabupatenkota Sultra Kepulauan berada pada kategori “sedangmenengah medium human development” dengan kisaran IPM terrendah tahun 2004 yaitu Kabupaten Wakatobi 61,80 sampai IPM tertinggi tahun 2013 yaitu Kota Baubau 75,10. Perkembangan IPM kabupatenkota tersebut diatas menunjukkan tren peningkatan dari tahun ketahun, hal ini berarti bahwa pembangunan yang dilakukan di enam kabupatenkota wilayah Sultra Kepulauan secara umum relatif telah dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Rata-rata perkembangan IPM dapat dilihat pada Gambar 12. Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara 2003-2013 Gambar 12 Rata-Rata IPM Enam KabKota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2004-2013 Jika dibandingkan Kota Baubau dan daerah sekitarnya hinterland, rata-rata IPM Kota Baubau tahun 2004-2013 adalah 72,11 lebih besar dibandingkan rata- rata IPM tahun 2004-2013 lima kabupatenkota lainnya masing-masing Kabupaten Buton 66,77; Kabupaten Buton Utara 68,04; Kabupaten Wakatobi 66,14; Kabupaten Muna 66,70 dan Kabupaten Bombana 66,24. Jika dilihat dari perkembangan IPM dari tahun ke tahun Kota Baubau memiliki nilai IPM tertinggi diantara lima kabupaten lainnya. Sebaliknya, jika dibandingkan rata-rata nilai IPM kabupatenkota wilayah Sultra Kepulauan dengan rata-rata nilai IPM Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2004-2013 sebesar 69,22 terlihat hanya Kota Baubau memiliki rata-rata nilai IPM lebih besar daripada rata-rata nilai IPM Provinsi Sulawesi Tenggara, namun rata-rata nilai IPM lima kabupaten masing- masing Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana rata-rata nilai IPM Provinsi Sulawesi Tenggara lebih tinggi.

c. Kemiskinan

Untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia juga dapat dilihat dari tingkat kemiskinan masyarakat dalam suatu wilayah. Berdasarkan data tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di enam kabupatenkota Sultra Kepulauan mengalami penurunan setiap tahunnya. Kota Baubau jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 18,2 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 13,1 ribu jiwa; Kabupaten Buton jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 62,6 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 32,2 ribu jiwa; Kabupaten Buton Utara jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 11,0 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 8,2 ribu jiwa; Kabupaten Wakatobi jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 23,0 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 12,2 ribu jiwa; Kabupaten Muna jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 54,2 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 35,7 ribu jiwa; Kabupaten Bombana jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 20,2 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 18,6 ribu jiwa Tabel 15. Tabel 15 Perkembangan Penduduk Miskin Menurut KabupatenKota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 No. KabKota Sultra Kepulauan Penduduk Miskin menurut KabKota Sultra Kepulauan ribu orang Tahun Jumlah Rata-rata ribu orang 2009 2010 2011 2012 2013 1. Kota Baubau 18,2 16,6 15,8 14,4 13,1 78,1 15,62 2. Kab. Buton 62,6 45,8 43,7 39,8 32,2 224,1 44,82 3. Kab. Buton Utara 11,0 10,3 9,8 8,9 8,2 48,1 9,64 4. Kab. Wakatobi 23,0 17,1 16,4 14,9 12,2 83,6 16,64 5. Kab. Muna 54,2 46,6 44,3 40,3 35,7 221,1 44,22 6. Kab. Bombana 20,2 22,0 20,9 19,0 18,6 100,7 20,14 Jumlah 189,2 158,4 150,9 137,3 120,0 755,8 151,16 Sulawesi Tenggara 403,1 350,7 334,3 304,3 271,4 1663,8 332,76 Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara 2003-2013 Tabel 15 memperlihatkan dari enam kabupatenkota di wilayah Sultra Kepulauan, rata-rata jumlah penduduk miskin terbanyak tahun 2009-2013 adalah Kabupaten Buton sebanyak 44,82 ribu jiwa, diikuti oleh Kabupaten Muna sebanyak 44,22 ribu jiwa, Kabupaten Bombana sebanyak 20,14 ribu jiwa, Kabupaten Wakatobi sebanyak 16,64 ribu jiwa dan Kota Baubau sebanyak 15,62 ribu jiwa, sedangkan Kabupaten Buton Utara rata-rata jumlah penduduk miskin adalah yang terkecil sebanyak 9,64 ribu jiwa. Kecilnya rata-rata jumlah penduduk miskin Kabupaten Buton Utara hal ini karena jumlah penduduknya adalah yang terkecil dari enam kabupatenkota Sultra Kepulauan. Jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara memperlihatkan penurunan dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara adalah kontribusi dari 12 duabelas kabupatenkota yaitu Kota Kendari, Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Konawe Utara serta kabupatenkota. Dari 12 duabelas kabupatenkota Propinsi Sulawesi Tenggara jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 403,1 ribu jiwa, tahun 2010 sebanyak 359,7 ribu jiwa, Tahun 2011 sebanyak 334,3 ribu jiwa, tahun 2012 tahun 2013 sebanyak 271,4 ribu jiwa. Perkembangan jumlah penduduk miskin di Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 13. Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara 2009-2013 Gambar 13 Jumlah Penduduk Miskin di Sulawesi Tenggara dan Enam KabKota Sultra Kepulauan dan Kontribusi Kemiskinan tahun 2009-2013 Berdasarkan Gambar 13 memperlihatkan kontribusi enam kabupatenkota Sultra Kepulauan terhadap jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009 sebanyak 189,2 ribu jiwa atau 46,94 persen dan itu terus memperlihatkan penurunan dari tahun ke tahun. Tahun 2010 dari 359,7 ribu jiwa jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara kontribusi enam kabupatenkota terhadap jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 158,4 ribu jiwa atau 45,17 persen. Tahun 2011 dari 334,3 ribu jiwa jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 150,9 ribu jiwa atau 45,14 persen kontribusi enam kabupatenkota. Tahun 2012 dari 304,3 ribu jiwa jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 137,3 ribu jiwa atau 45,12 persen kontribusi enam kabupatenkota dan tahun 2013 dari 271,4 ribu jiwa jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 120,0 ribu jiwa atau 44,22 persen kontribusi enam kabupatenkota terhadap jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara. Indikator Perekonomian Daerah a. Struktur Ekonomi Wilayah Struktur ekonomi suatu wilayah mengambarkan peranan masing-masing sektor ekonomi dalam memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto PDRB. PDRB baik PDRB ADHK maupun PDRB perkapita juga merupakan gambaran perkembangan ekonomi dan kemampuan suatu wilayah dalam mengelola potensi sumber daya yang dimiliki oleh wilayah tersebut dalam rangka memberikan nilai tambah ekonomi. Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya kemampuan masing-masing sektor ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa. Struktur yang terbentuk dari nilai tambah yang diciptakan oleh masing-masing sektor menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan berproduksi dari masing-masing sektor tersebut. Perkembangan PDRB Perkapita kabupatenkota Sultra Kepulauan selama periode tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 memperlihatkan pada tahun 2003 awal pemekaran Kota Baubau pertumbuhan PDRB Perkapita Kota Baubau adalah sebesar 3.812.816,18; lebih besar dibandingkan daerah sekitarnya hinterland masing-masing Kabupaten Buton sebesar 2.033.930,39; Kabupaten Buton Utara belum ada karena pemekaran tahun 2005; Kabupaten Wakatobi sebesar 1.636.293,40; Kabupaten Muna sebesar 3.226.883,88; dan Kab. Bombana sebesar 3.226.883,88. Dalam kurun waktu 5 lima tahun kemudian yaitu tahun 2007 PDRB Perkapita Kota Baubau sebesar 4.705.314,38, mengalami pertumbuhan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan dibandingkan 4 empat daerah sekitarnya yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Muna, namun masih lebih kecil jika dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten Buton Utara sebesar 5.834.581,06. Perkembangan PDRB Perkapita Kota Baubau terus memperlihatkan tren peningkatan dalam kurun 5 tahun kedepan yaitu tahun 2009-2013. Jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya hinterland memperlihatkan dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 pertumbuhan PDRB Perkapita Kota Baubau adalah sebesar Kota Baubau adalah sebesar 5.216.577,88 dan 6.792.115,28 jauh lebih besar dibandingkan dengan 4 empat kabupaten sekitarnya Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Muna, namun masih lebih kecil jika dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten Buton Utara sebesar 6.196.659,69 tahun 2009 dan 8.224.420,56 tahun 2013 Gambar 14. Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara 2003-2013 Gambar 14 Perkembangan PDRB Perkapita KabupatenKota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Gambar 14 memperlihatkan perkembangan PDRB Perkapita Propinsi Sulawesi Tenggara selama periode tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Jika dibandingkan PDRB Perkapita Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003 sebesar 3.626.237,80, dimana dari 6 enam kabupatenkota Sultra Kepulauan hanya Kota Baubau yang lebih melebihi besarnya PDRB Perkapita Propinsi Sulawesi Tenggara. Tahun 2007 PDRB Perkapita Kota Baubau dan Kabupaten Buton Utara lebih besar dari PDRB Perkapita Propinsi Sulawesi Tenggara. Demikian halnya antara tahun 2009 sampai 2013, tetap memperlihatkan 2 dua kabupatenkota yaitu Kota Baubau dan Kabupaten Buton Utara PDRB Perkapitanya lebih besar dibandingkan PDRB Perkapita Propinsi Sulawesi Tenggara Gambar 14. Gambar 15 memperlihatkan pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Bau-Bau pada awal pemekaran tahun 2003 sebesar 438 milyar, masih dibawah Kabupaten Buton induk sebesar 815 milyar dan Kabupaten Muna sebesar 921 milyar, namun pada tahun 2007 PDRB ADH Konstan Kota Baubau meningkat sebesar 586 milyar lebih besar dibandingkan Kabupaten Buton induk sebesar 551 milyar dan beberapa kabupaten sekitarnya, namun masih dibawah Kabupaten Muna sebesar 896 milyar. Peningkatan PDRB ADH Konstan Kota Baubau terus meningkat dari tahun 2009 sebesar 700 milyar sampai dengan tahun 2013 sebesar 987 milyar. Dibandingkan dengan daerah sekitarnya hinterland lainnya yaitu Kabupaten Buton induk tahun 2009 sebesar 651 milyar s.d. 2013 sebesar 921 milyar, Kabupaten Buton Utara tahun 2009 sebesar 334 milyar s.d. tahun 2013 sebesar 472 milyar, Kabupaten Wakatobi tahun 2009 sebesar 234 milyar s.d. 2013 sebesar 342 milyar dan Kabupaten Bombana tahun 2009 sebesar 388 milyar s.d. tahun 2013 sebesar 539 milyar. Namun terhadap Kabupaten Muna merupakan salah satu daerah hinterland PDRB ADH Konstan tahun 2009 sebesar 1.041 triliyun s.d. tahun 2013 sebesar 1,37 triliyun, pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Bau-Bau masih berada dibawah Kabupaten Muna. Dari gambaran kondisi perekonomian dan perkembangan PDRB ADH Konstan Kota Baubau