Teori Pusat Pembangunan Localized poles of development
Pertama, desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi
yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga,
tugas perbantuan medebewind yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda
sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah administratif Kuncoro
2004.
Selanjuntya Kuncoro 2004 menyebutkan bahwa titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II Dati IIkabupaten, sebagai ujung tombak
pelaksanaan pembangunan sehingga kabupatenlah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Masalahnya, meskipun harus diakui bahwa Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi kontrol dari pusat yang dominan dalam
perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah
ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan dan pembangunan.
Pemerintah pusat dapat memilih apakah akan menekankan pada pemerintah daerah Pemda ataukah pada administrasi lapangan. Pilihan tergantung pada
apakah administrasi lapangan dapat seefektif Pemda dalam mengurangi tekanan pusat dan mengembangkan periferi. Di pihak lain dapatkah Pemda melayani
kebutuhan masyarakat secara lebih efisien dibandingkan dengan agenkantor pemerintah pusat di daerah? Perbedaannya terutama terletak pada kemampuan
untuk memahami kebutuhan dan masalah daerah, serta tingkat tanggung jawab yang diembannya Kuncoro 2004.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi akan mengurangi beban pemerintah pusat terutama dalam penentuan program dan
kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan yang berkembang dalam masyarakat suatu daerah. Sejalan dengan pendapat Abe 2002 yang
mengemukakan bahwa desentralisasi dapat memberikan dampak positif. Pertama ; bagi pemerintah pusat, desentralisasi tentu akan menjadi jalan yang mengurangi
beban pusat; Kedua, program atau rencana-rencana pembangunan yang hendak diwujudkan akan lebih realistik, lebih mengena dan lebih dekat dengan kebutuhan
lokal; Ketiga, memberikan kesempatan kepada daerah untuk belajar mengurus rumah tangganya sendiri, belajar untuk menangkap dan merumuskan aspirasi
masyarakat setempat; Keempat, dengan adanya pemberian kewenangan politis kearah devolusi, maka berarti akan membuka peluang bagi ketertiban rakyat
dalam mengontrol jalannya pemerintahan.
Dalam pelaksanaan desentralisasi oleh pemerintah pusat kepada daerah- daerah bukan saja hanya meliputi penyerahan wewenang urusan pemerintahan
tetapi didalamnya sudah mencakup desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal adalah proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi
kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan public sesuai dengan banyaknya bidang
pemerintahan yang dilimpahkan Saragih 2003. Dengan demikian konsekuensi
dari suatu desentralisasi maka harus disertai dengan pembiayaan, disinilah berlaku prinsip money follow function.
Otonomi Daerah
Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedang daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara teoritis kata otonomi berasal dari bahasa Yunani “outonomous‖
berarti pemerintahan sendiri auto = sendiri, nomus = pemerintahan yang mempunyai makna kemandirian untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Dapat disebut pula penyerahan penuh kepada daerah otonom untuk melaksanakan urusan rumah tangga. Dengan demikian pengertian otonomi
menyangkut dengan dua hal pokok yaitu; kewenangan untuk membuat hukum sendiri own laws dan kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri self
government Sjafrizal 2008. Dari pengertian diatas maka otonomi daerah pada hakekatnya adalah hak atau wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri bagi
suatu daerah otonom Sarundajang 2000.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya juga telah menunjukkan semangat otonomi daerah, namun ternyata
dalam implementasinya tidak sesuai yang diharapkan sehingga otonomi daerah dapat dikatakan bersifat semu pseudo autonomy. Semua wewenang
pembangunan dan pemerintahan dari level pemerintahan tingkat propinsi sampai desa diatur oleh pemerintah pusat central goverment Saragih 2003. Sehingga
dengan kondisi tersebut, menurut Hidayat, 2000 ada tiga alasan pokok otonomi daerah diperlukan. Pertama, political equality, yaitu guna meningkatkan
partisipasi politik pada tingkat daerah. Hal ini penting artinya untuk meningkatkan demokratisasi dalam pengelolaaan negara. Kedua local accountability, yaitu
meningkatkan kemampuan dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah. Hal ini sangat penting artinya
dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial di masing-masing daerah. Ketiga local responsiveness, yaitu meningkatkan
tanggungjawab pemerintah daerah terhadap masalah-masalah sosial ekonomi yang terjadi di daerahnya.
Kegagalan sistem pemerintahan yang sentralistik yang selama ini diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam
pembangunan daerah, hal ini mengakibatkan: Pertama, proses pembangunan daerah secara keseluruhan menjadi kurang efisien dan ketimpangan antar wilayah
semakin besar. Keadaaan tersebut terjadi karena sistem pembangunan yanag terpusat cenderung mengambil kebijakan yang seragam dan mengabaikan
perbedaan potensi daerah, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sementara itu, daerah yang
potensinya kebetulan sesuai dengan kebijakan nasional akan dapat bertumbuh
dengan cepat. Sedangkan daerah yang potensinya tidak sesuai dengan prioritas pembangunan nasional akan cenderung tertekan pertumbuhan ekonominya.
Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung melebar yang selanjutnya cenderung pula mendorong terjadinya keresahan sosial di daerah.
Kedua, sistem pembangunan yang sangat terpusat menimbulkan ketidakadilan yang sangat besar dalam alokasi sumberdaya nasional, terutama
dana pembangunan. Keadaan tersebut dapat dilihat dari banyaknya provinsi yang kaya sumberdaya alam namun tingkat kesejahteraan masyarakatnya ternyata
masih sangat rendah dan ketinggalan dibandingkan dengan daerah lainnya Sjafrizal 2008. Karena kegagalan dan kelemahan tersebut maka tuntutan
otonomi daerah semakin besar karena adanya dorongan political equality, local accountability, dan local responsiveness, ketiga unsur ini sangat penting untuk
dilaksanakan di era otonomi dan desentralisasi bagi upaya peningkatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di daerah.
Ida 2005 mengemukakan bahwa ada 3 esensi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pengelolaan kekuasaan berpusat pada tingkat lokal yang berbasis
pada rakyat. Kedua, dimensi ekonomi, artinya dengan otonomi daerah, maka daerah-daerah diharapkan mampu menggali dan mengembangkan sumber-sumber
ekonomi yang ada diwilayahnya. Adanya kemampuan daerah untuk membiayai dirinya sendiri paling tidak memperkecil ketergantungan terhadap pemerintah
pusat. Ketiga, dimensi budaya artinya dengan otonomi daerah masyarakat lokal harus diberikan kebebasan untuk berekspresi dalam mengembangkan kebudayaan
lokal.
Lebih jauh lagi, otonomi tidak saja merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahan yang sifatnya
technical administration atau pratical administration saja tetapi terdapat adanya kebebasan daerah dalam melaksanakan desentralisasi kewenangan berdasarkan
aspirasi dari rakyat dalam wilayah territorial otonomi. Proses tersebut merupakan suatu process of political interaction, yang berarti bahwa otonomi sangat erat
kaitannya dengan demokrasi, hal mana yang diinginkan tidak hanya demokrasi pada tingkat nasional dalam suasana sentralistik, melainkan juga demokrasi
ditingkat lokal local democracy yang arahnya kepada pemberdayaan empowering atau kemandirian daerah Isra 2009.
Kerangka Pemikiran
Implikasi dari Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah di revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dengan titik berat pada Otonomi Daerah dan Desentralisasi telah mendorong berkembangnya pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru di
Indonesia. Kebijakan pemekaran wilayah menjadi booming di era reformasi hal ini berkaitan dengan dua faktor yaitu; 1 Keterbukaan dan demokrasi pasca
Soeharto; 2 Kebijakan pemerintah yang bergeser dari sentralisasi ke desentralisasi. Pemekaran wilayah era reformasi bersifat bottom up, dimana
proses pengusulannya dimulai dari elit-elit daerah atau kelompok-kelompok masyarakat Ratnawati 2009. Booming ini menjadikan elit-elit daerah atau
kelompok-kelompok masyarakat
di propinsi,
kabupatenkota berlomba
mengajukan usulan pemekaran wilayah. Hasil studi dari tim Bank Dunia 2004 dalam Ratnawati 2009
menyimpulkan adanya empat faktor utama pendorong pemekaran wilayah di masa reformasi yaitu: 1 motif untuk efektivitas dan efisiensi administrasi
pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar, dan ketertinggalan pembangunan, 2 kecenderungan untuk
homogenitas etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan,dan lain-lain, 3 adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh undang-undang yaitu disediakanya
dana perimbangan daerah berupa; Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi Khusus DAK, dan Dana Bagi Hasil DBH, serta disediakannya sumber-sumber
pendapatan asli daerah PAD yang lainnya, 4 motif pemburu “rente” bureaucratic and political rent-seeking para elit Fitrani et al, 2005. Disamping
keempat faktor pendorong tersebut, masih ada faktor “tersembunyi” dari pemekaran wilayah yang oleh Bhakti disebut
―gerrymander‖ yaitu usaha pembelaanpemekaran wilayah untuk kepentingan parpol tertentu. Dari keempat
pendorong tersebut, motif pragmatis ternyata lebih mendominasi usulan pemekaran wilayah di Indonesia.
Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah telah mendorong dan menambah perkembangan jumlah kabupatenkota
yang begitu pesat dari tahun 1999 sampai dengan 2013, yang karena didorong oleh berbagai motif seperti ekonomi, sosial, politik dan wilayah. Namun dalam
pelaksanaan dan perkembangan pemekaran wilayah ini justru menimbulkan berbagai problema masing-masing di daerah pemekaran tersebut. Kondisi ini
menimbulkan keprihatinan dari berbagai kalangan akademisi, politisi, birokrasi, masyarakat maupun para pemerhati masalah otonomi daerah tentang masa depan
dan keberlanjutan dari pelaksanaan pemekaran wilayah di Indonesia. Praktikno 2007 dalam Ratnawati 2009 menyebutkan bahwa pemekaran wilayah memiliki
“wajah ganda” ada sisi positif dan sisi negatif, dapat dilihat dari sudut pandang kepentingan daerah atau kepentingan pusat. Dapat dikatakan bahwa implementasi
pemekaran wilayah memberikan manfaat maupun kerugian bagi suatu daerah pemekaran. Demikian juga dengan keberhasilan dan kegagalan dari pemekaran
wilayah selalu menjadi dikotomi, tergantung dari sudut pandang dan kepentingan masing-masing pusat dan daerah.
Berbagai isu problema seputar pemekaran wilayah selain kesenjangan wilayah dan ketidakadilan pemerataan hasil-hasil pembangunan, permasalahan
otonomi daerah dan desentralisasi menjadi tantangan terpenting dalam pengembangan wilayah. Semangat otonomi daerah itu sendiri salah satunya
bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri. Bahkan tidak jarang sebagian stakeholder pembangunan memaknai pengembangan wilayah secara
sempit mengidentikkannya dengan pemekaran wilayah Muta’ali 2011. Lebih lanjut disebutkan bahwa pemekaran wilayah juga secara potensial dapat
membawa dampak positif bagi pengembangan wilayah, antara lain mempercepat perkembangan perekonomian daerah yang baru dibentuk, meningkatkan kontrol
dan pengawasan surveilance daerah yang jauh remote, menghindari konflik horisontal, dan mengefektifkan rentang kendali span of control pemerintah
daerah Pratikno 2008 dalam Muta’ali 2011.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong terbentuknya propinsi, kabupaten dan kota sebagai suatu wilayah. Kondisi ini menciptakan
perbedaan antara daerah propinsi, kabupaten dan kota pemekaran tersebut, yaitu ada daerah yang pendudukkegiatan terkonsentrasi pada suatu tempat dan ada juga
yang kurang terkonsentrasi.
Menurut Sutikno dan Maryunani 2007, fenomena terciptanya daerah nodal tidak hanya diwilayah propinsi, namun terjadi diwilayah
kabupatenkota, dimana biasanya pusat kegiatan ekonomi terjadi di daerah kota. Untuk kawasan kabupatenkota fenomena tersebut khususnya terjadi pada
kabupaten-kabupaten yang mempunyai wilayah yang luas. Kabupaten dengan wilayah yang luas biasanya membagi dua wilayah secara administratif, wilayah
kota kotamadya dan wilayah kabupaten. Wilayah kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi pusat pertumbuhan, sedang kabupaten
sebagai daerah pendukung hinterland.
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah memberi peluang bagi Provinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat untuk melakukan
pemekaran. Pemekaran di Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan oleh 4 empat kabupaten induk yaitu Kabupaten Buton, Konawe, Kolaka dan Muna yang
mempunyai potensi wilayah, penduduk, maupun SDA yang cukup besar. Pemekaran wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara kemudian berkembang
menjadi 12 duabelas kabupaten dan 2 dua kota, telah berlangsung selama ±12 dua belas tahun yaitu sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2013 telah
memekarkan 8 delapan kabupaten dan 1 satu kota Tabel 4 .
Tabel 4 menunjukkan pemekaran di Propinsi Sulawesi Tenggara dapat dibagi dalam 2 dua periode. Pertama; sebelum tahun 1999 atau masa Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1974, pemekaran oleh Kabupaten Kendari Konawe memekarkan 1 satu kota yaitu Kota Madya Kendari pada tahun 1995. Kedua;
setelah Tahun 1999 atau masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tabel dibawah menunjukkan dalam kurun waktu 12 tahun yaitu sejak tahun
2001-2013 pemekaran wilayah di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 9 sembilan kabupaten Konawe Selatan, Konawe Utara, Wakatobi, Bombana,
Kolaka Utara, Kolaka Timur dan Buton Utara serta Konawe Kepulauan dan 1 kota Kota Bau-Bau hasil pemekaran.
Tabel 4 Perkembangan Pemekaran Wilayah di Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat dari tahun 1999
– 2013
Propinsi Sulawesi Tenggara Propinsi Jawa Barat
No Kabupaten Induk
Daerah Hasil Pemekaran
No Kabupaten Induk
Daerah Hasil Pemekaran
1 Kab Buton
Kota Bau-Bau 1.
Kab Bogor Kota Depok
Kab Bombana 2.
Kab Bandung Kota Cimahi
Kab Wakatobi Kab Bandung Barat
2 Kab Konawe
Kab Konawe Selatan Kab Konawe Utara
3. Kab Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya Kab Konawe Kepulauan
4. Kab Ciamis
Kota Banjar 3
Kab Kolaka Kab Kolaka Utara
Kab Kolaka Timur Kab Pangandaran
4 Kab Muna
Kab Buton Utara Sumber: diolah Kemendagri 2013.
Tabel 4 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 14 empatbelas tahun sejak berlakunya otonomi daerah tahun 1999- 2012, Propinsi Jawa Barat
memekarkan 4 empat kota dan 2 dua kabupaten. Dengan adanya pemekaran wilayah maka hingga sekarang ini Propinsi Jawa Barat berkembang menjadi 18
delapan belas kabupaten dan 9 sembilan kota. Jika dibandingkan dengan Propinsi Sulawesi Tenggara yang dalam kurun waktu 12 duabelas tahun telah
memekarkan 8 delapan kabupaten dan 1 satu kota. Propinsi Jawa Barat pada awalnya terdiri 21 duapuluh satu kabupatenkota masing-masing 16 enam
belas kabupaten dan 5 lima kota. Selanjutnya 4 kabupaten induk yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten
Ciamis melakukan pemekaran wilayah Tabel 4 . Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai kota hasil pemekaran tahun
2001 telah menunjukkan perkembangan perekonomian yang cukup signifikan dibandingkan dengan kabupaten induknya. Kondisi inilah mendorong penelitian
ini untuk melihat apakah kedua kota hasil pemekaran ini potensial berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru diwilayahnya masing-masing, sebagaimana
menurut Simangunsong 2011, bahwa sejatinya pemekaran daerah berdampak positif bagi : 1 demokratisasi; 2 tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru; 3
pendekatan pelayanan kepada masyarakat; 4 kemudahan membangun dan memelihara sarana dan prasarana; 5 tumbuhnya lapangan kerja baru dan 6
adanya motivasi pengembangan inovasi dan kreatifitas daerah. Sebagai salah satu bentuk pengembangan wilayah, pemekaran wilayah diharapkan dapat
memperkecil kesenjangan antar wilayah disparitas wilayah, serta dapat menyeimbangkan pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah
Muta’ali 2011. Hirschman 1958 dalam Dawkins 2003, menyatakan bahwa pembangunan
terpolarisasi polarized development dapat memberikan manfaat bagi wilayah pertumbuhan dan daerah belakangdaerah sekitarnya.
Dari uraian tersebut diatas, kerangka pemikiran penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Kerangka Pemikiran Penelitian
Penelitian – Penelitian Terdahulu
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah tatanan maupun sistem pemerintahan di Indonesia. Titik
berat dari undang-undang tersebut adalah otonomi daerah dan desentralisasi, dan kondisi ini memberi peluang kepada daerah untuk mengusulkan melakukan
pemekaran wilayah dengan berbagai argument baik yang bersifat politik maupun
Pemekaran Wilayah
Kota Bau-Bau Kota Tasikmalaya
Kab. Tasikmalaya Kab. Garut
Kab. Ciamis Kota Banjar
Kab. Pangandaran
Kab. Buton Kab. Buton
Utara Kab. Wakatobi
Kab. Muna Kab. Bombana
Pusat Pertumbuhan Ekonomi Growth PoleGrowth Center
Rekomendasi Kebijakan
Analisis Shift Share:
Sektor memiliki daya saing
kompetitiveness wilayah.
Sektor berkembang pergeseran cepat.
Sektor berkembang pergeseran
lambat.
Analisis Location Quostient :
Sektor basis unggulan sebagai
penggerak perekonomian
wilayah LQ 1 Sektor non
basisnon unggulan LQ
1
Tipologi Klassen :
Daerah cepat maju dan cepat
tumbuh. I Daerah
berkembang cepat.II
Daerah maju tapi tertekan. III
Daerah relatif tertinggal. IV
Indeks Diversiti Entropi :
Analisis Tingkat perkembangan
perekonomian wil : Wil.berkembang
jika nilai IDE besar.
Wil. kurang berkembang jika
nilai IDE kecil.
Analisis Gravitasi :
Interaksi ekonomi dan daya tarik
wilayah kuat dengan wilayah sekitarnya
hinterland. Interaksi ekonomi
dan daya tarik wilayah lemah
dengan wilayah sekitarnya
hinterland.
Analisis Scalogram :
Perkembangan Hirarki wilayah
Ketersediaan fasilitas-fasilitas
pelayanan infrastruktur dll
sebagai keuntungan yg
dapat menjadi daya tarik
wilayah. Interaksi Ekonomi dan Daya Tarik
Wilayah
Perkembangan Struktur Perekonomian Wilayah
Sektor BasisUnggulanDaya Saing Wilayah sebagai Pusat Pertumbuhan
Analisis Hirarki Proses :
Untuk menilai perbandingan
kepentingan setiap elemen dan
mengetahui persepsi dan efektifitas
pelaksanaan pemekaran wilayah
dan mengevaluasi PP. No. 782007.
Hasil Persepsi masyarakat
dengan Distribusi
frekwensi
Potensi Perekonomian Wilayah sebagai Pusat
Pertumbuhan EvaluasiMengkritisi
PP. No. 782007 dan Mengetahui Persepsi
Stakeholder
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 direvisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Titik berat pada :
Desentralisasi dan Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Issu-issu krusial : 1.
Ketimpangan wilayah. 2.
Ketidakmerataan hasil-hasil Pemb.
3. Kesenjangan KTI dan
KBI. 4.
Jawa dan Luar Jawa. 5.
dll. Issu-issu krusial :
1. Kemiskinan
2. Kesehatan
3. Pendapatan
4. Infrastruktur
5. Rentang kendali
6. dll
dengan alasan kesejahteraan. Perkembangan pemekaran wilayah yang begitu pesat sejak diberlakukannya otonomi daerah yaitu sebanyak 8 propinsi, 175
kabupaten dan 34 kota yang terbentuk, telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah, aksesibilitas makin terbuka, maupun peningkatan
infrastruktur didaerah-daerah pemekaran.
Berbagai kajian dan penelitian telah dilaksanakan, dengan menggunakan berbagai metode dan alat analisis maupun pendekatan, baik yang bersifat
kuantitatif maupun kualitatif untuk mengukur dan mengetahui seberapa besar manfaat pemekaran wilayah. Hasil Kajian dan penelitian yang telah
dilaksanakan oleh berbagai lembaga juga menimbulkan pro dan kontra, karena disatu sisi suatu daerah hasil pemekaran menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan namun disisi lain terjadi penurunan atau menunjukkan kinerja yang tidak signifikan, sehingga selalu memunculkan penafsiran ganda akan manfaat
dan efektifitas dari pelaksanaan pemekaran wilayah.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah telah berlangsung lebih kurang 14 empat belas tahun, namun hal yang
menarik bahwa belum pernah ada yang mengkaji seberapa besar dampak kebijakan tersebut memberikan peluang dan potensial propinsikabupatenkota
hasil pemekaran berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Berikut ini beberapa hasil kajianpenelitian tentang desentralisasiotonomi daerah dan pusat-
pusat pertumbuhan Tabel 5.
Tabel 5 Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu Studi tentang DesentralisasiOtonomi DaerahPemekaran Wilayah
No. Nama tahunJudul
Penelitianorganisasi Alat Analisis
Hasil Penelitian 1.
Sajjad Ali Khan 2013.
Decentralization and Poverty Reduction: A
Theoretical Framework for
Exploring the Linkages. Journal
Deskriptif Penelitian ini mengeksplorasi hubungan antara
desentralisasi dan pengurangan kemiskinan, menganggap pelembagaan sebagai faktor kunci
circum scribing potensi desentralisasi untuk mengurangi kemiskinan, dan berpendapat
bahwa penanggulangan kemiskinan merupakan fungsi dari tingkat pelembagaan reformasi
desentralisasi.
Artikel ini berpendapat bahwa desentralisasi dan pengurangan kemiskinan
sangat erat terkait satu sama lain. 2.
Syawal Zakaria 2013.
The Impact of Fiscal Decentralization
toward Regional Inequalities in
Eastern Region of Indonesia.
Journal Model
Ekonometrika dengan Data
Panel Penelitian menyimpulkan: Desentralisasi fiskal
belum mampu
mengurangi kesenjangan
regional di Kawasan Timur Indonesia KTI karena
alokasi anggaran
untuk hal-hal
pemerintah gaji, perjalanan dinas, dan kantor peralatan perlengkapan; Terkait pemanfaatan
variabel kontrol: pertumbuhan penduduk,
pengangguran terbuka memiliki efek pada peningkatan kesenjangan reg, pertumbuhan
ekonomi, partisipasi
pendidikan, tingkat
investasi dapat
mengurangi kesenjangan
regional. Terjadi perubahan ekonomi di KTI dari pola tradisional ke modern tercermin dari
konfirmasi hipotesis Kuznets U terbalik. Kebijakan desentralisasi fiskal dalam sepuluh
tahun, untuk mencapai pemda independen belum mencapai target yang diharapkan.
3. Abachi Terhemen
Philip dan Salamatu Isah 2012. An
Analysis of the Effect of Fiscal
Decentralisation on Eonomic Growth in
Nigeria. Journal
Barro- type endogenous
growth model Tiga ukuran berbeda dari desentralisasi fiscal
DF yang digunakan dalam penelitian ini. DF 1 memiliki dampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi di Nigeria, tetapi secara statistik tidak signifikan, karena pendapatan
yang dihasilkan secara internal dari pemerintah daerah rendah maka kontribusinya signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. DF 2 dari hasil estimasi adalah negatif, secara
statistik tidak signifikan, menunjukkan belanja daerah sangat besar kaitannya dengan sumber
daya yang tersedia, terdapat ketidaksesuaian antara tanggung jawab fiskal dan alokasi
sumber daya ditingkat yang lebih rendah dari pemerintah di Nigeria.
DF 3 memiliki koefisien statistik tidak signifikan, berarti ukuran desentralisasi fiskal
tidak
memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan
ekonomi menunjukkan
desentralisasi fiskal berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi di Nigeria
Kesimpulan :
desentralisasi fiscal
tidak berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di
Negeria. 4.
Michael Kiwanuka. 2012.
Decentralization and Good Governance in
Africa: Institutional Challenges to
Ugandas Local Governments.
Journal Survei cross -
sectional dengan
pendekatan kualitatif dan
kuantitatif Kekhawatiran mengenai kapasitas pemerintah
pusat, kendala fiskal dan akuntabilitas yang terbatas
di semua
tingkat pemerintahan
menyebabkan negara-negara
Afrika menempatkan pentingnya desentralisasi dan
mengembangkan kapasitas pemerintahan lokal yang efektif. Penelitian ini mengeksplorasi
tantangan kelembagaan pemerintah daerah untuk tata pemerintahan yang baik di Uganda.
Disimpulkan bahwa lingkungan hukum
– pemerintahan
memperlambat pemerintahan
yang baik;
kurangnya informasi
sangat membatasi partisipasi mereka. Kurangnya
kapasitas personil
yang kompeten
menggagalkan kinerja pemerintah daerah. Direkomendasikan pemerintah pusat untuk
membuat kebijakan yang mendukung inklusi dan
keterlibatan semua
warga negara,
memperkuat proses
reformasi kebijakan
kelembagaan dan
penguatan struktur
pemerintah daerah
untuk mendukung
kebebasan politik dan pemerintahan. 5.
Winnie V. Mitullah, 2012. Decentralized
Service Delivery in Nairobi and
Mombasa Policies: Politics and inter-
Governmental Relations.
Journal Deskriptif
Di banyak negara Afrika, desentralisasi telah lama
dipandang sebagai
sarana untuk
meningkatkan pelayanan lokal. Namun, terlepas dari berbagai upaya desentralisasi, pelayanan
publik terus menjadi bermasalah di dua kota terbesar di Kenya, Nairobi dan Mombasa.
Reformasi
pemerintahan lakukan
untuk meningkatkan proses desentralisasi di Kenya,
dengan dukungan undang-undang. Bahwa proliferasi aparat pemerintah dengan tugas yang
tumpang tindih, kerangka pembangunan yang tidak jelas, dan politik intra-dan antar-partai
masih menjadi kendala dalam menyediakan layanan penting dikota Nairobi dan Mombasa.
Efektivitas desentralisasi tidak dapat dilakukan tanpa
kebijakan penting
menyertainya, komitmen pemimpin baik di tingkat pusat dan
daerah termasuk pelimpahan sumber daya dan hubungan antar-pemerintah.
6. Anne Booth 2011.
Splitting, Splitting and Splitting Again:
A Brief History of The Development of
Regional Government in Indonesia since
Independence. Journal
Deskriptif Artikel ini berpendapat bahwa perubahan pasca
- Soeharto dalam pemerintahan daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai reaksi terhadap
kebijakan sentralisasi otokratis rezim Soeharto, yang pada gilirannya adalah reaksi terhadap de
facto federalisme dari tahun 1960-an.
7. Einar Braathen
2008. Decentralisation and
Poverty Reduction: A review of the
Linkages in Tanzania and the International
Literature. Deskriptif
Tanzania menyajikan
jenis baru
dari desentralisasi : tidak konservatif , dan tidak
transformatif. Reformasi
telah membantu
menghasilkan kemajuan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir dalam kemampuan
layanan dan peran pemerintah daerah, mereka telah meningkatkan demokrasi pada akar
rumput dan partisipasi kaum miskin, telah menyebabkan peningkatan keuangan daerah
untuk mengurangi kemiskinan.
8. Blessings Chinsinga
2008. Decentralisation and
Poverty Reduction in Malawi
– A Critical Appraisal.
Deskriptif Upaya kebijakan desentralisasi di Malawi
digambarkan sebagai dekonsentrasi namun sulit membuat
penilaian dampak
reformasi desentralisasi terhadap pemerintahan lokal dan
pengentasan kemiskinan karena desentralisasi belum sepenuhnya dilaksanakan. Desentralisasi
memiliki potensi meningkatkan partisipasi politik dan mengurangi kemiskinan, namun
hasilnya tergantung pada penerapannya. Kasus Malawi, menunjukkan ada resiko besar dalam
pelaksanaan reformasi desentralisasi karena hanya menjadi tempat masyarakat untuk
menyampaikan keinginan mereka, namun keputusan hampir seluruhnya hak prerogatif
negara. Ini berarti bahwa desentralisasi tidak mungkin menjadi elemen penting dalam
meningkatkan
kemampuan kelembagaan
negara, baik sebagai dasar untuk sektor publik yang
efektif maupun
sebagai sarana
mendekatkan negara kepada masyarakat. 9.
John-Mary Kauzya 2007
.
Political Decentralization in
Africa: Experiences of Uganda, Rwanda,
and South Africa. Deskriptif
Tujuan desentralisasi di tiga negara, adalah untuk pengembangan masyarakat lokal dalam
menentukan nasib mereka. Meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan,
memungkinkan
masyarakat menentukan
kepemimpinan lokal
melalui pemilu
demokratis, berdasarkan pengaturan struktural kelembagaan untuk perencanaan pembangunan
dari bawah yang partisipatif, melibatkan kelompok khusus perempuan, kaum muda dan
orang cacat dalam pengambilan keputusan. Memfasilitasi pengarusutamaan gender dalam
perencanaan pembangunan di tingkat lokal. Tiga kasus menunjukkan desentralisasi bukan
hanya tindakan tapi proses yang berjalan terus- menerus
melibatkan stakeholder
untuk menghasilkan
tujuan yang
diinginkan. Akhirnya jika desentralisasi harus sukses harus
dipahami sebagai transfer kekuasaan dan otoritas kepada rakyat dan tidak hanya kepada
pemerintah daerah.
10. Benjamin Kohl
2003. Democratizing
Decentralization in Bolivia The Law of
Popular Participation.
Journal Deskriptif
Pada tahun 1994, Bolivia melembagakan program desentralisasi bukan hanya dana
transfer dan tanggung jawab baru untuk pemerintah kota tetapi juga diamanatkan
penganggaran partisipatif dan pengawasan oleh organisasi lokal. Artikel ini menawarkan
penilaian awal dari program desentralisasi, berfokus pada dampaknya terhadap efisiensi
pemerintah,
pembangunan ekonomi,
dan akuntabilitas politik. Ditemukan di beberapa
pemerintah kota, dengan organisasi dan lembaga swadaya masyarakat yang kuat, proses
demokratis desentralisasi
relatif terjadi
meskipun desentralisasi
bukan sebagai
penggerak pembangunan ekonomi. Di banyak pemerintah
kota, kebijakan
desentralisasi menghasilkan penguatan hubungan dukungan
elit lokal dan desentralisasi korupsi. 11.
Richard C. Crook 2003.Decentralizati
on and Poverty Reduction In Africa:
The Politics of Local
–Central Relations. Journal
Deskriptif Para
penganut desentralisasi
berpendapat bahwa pemerintah yang desentralisasi lebih
responsif terhadap kebutuhan masyarakat
miskin dari pada pemerintah pusat, karena lebih mungkin untuk memahami dan melaksanakan
kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin.
Prospek penerapan
desentralisasi pemerintahan untuk mengembangkan kebijakan
yang lebih berpihak pada masyarakat miskin harus bergantung pada upaya nyata yang
dilakukan untuk memperkuat dan memperluas mekanisme akuntabilitas , baik horisontal dan
vertikal, baik di tingkat lokal maupun nasional.
12. Namaraj Ghimire.
Decentralization in Nepal: Review of
Fiscal Decentralization
Policy. Journal Deskriptif
Jurnal menjelaskan upaya yang dilakukan oleh pemerintah
Nepal untuk
melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal.
Desentralisasi menjadi kebijakan utama pemerintahan Nepal
sejak tahun 1950an dan diambil sebagai alat kebijakan yang kuat untuk alokasi sumber daya
dan pengurangan
kemiskinan. Kesadaran
masyarakat tumbuh dan menyadari perlunya pemerintahan daerah yang efektif dan efisien.
Kemampuan mobilisasi sumber daya di tingkat lokal ditingkatkan dan otonomi badan lokal
untuk
meningkatkan pendapatan
dan pengeluaran bagi perkembangan masyarakat.
Pengaruh pemerintah
pusat dalam
pembangunan harus dihilangkan, sehingga sepenuhnya sistem pemerintahan daerah dapat
berhasil dilaksanakan di Nepal. 13.
Brendan F. D. Barrett Deskriptif
Makalah ini telah menjelaskan reformasi
2000. Decentralization in
Japan: Negotiating the Transfer of
Authority. Journal desentralisasi di Jepang difokuskan pada
hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah. Pengalaman di Jepang menunjukkan
keberhasilan pelaksanaan desentralisasi yang menyeluruh mensyaratkan bahwa sejumlah
hambatan
politik, sosial,
kelembagaan, administrasi dan keuangan dapat diatasi. Tujuan
utama reformasi
desentralisasi adalah
meningkatkan pemerintah daerah yang kuat, efisien dalam kerangka pemerintahan nasional
yang kuat. Bahwa langkah berikutnya dalam proses
reformasi desentralisasi
harus melibatkan perubahan dalam rangka untuk
meningkatkan otonomi daerah, bukan hanya sekedar
transfer kekuasaan.
Keberhasilan pelaksanaan
reformasi desentralisasi
pemerintahan di Jepang karena pelimpahan kekuasaan yang lebih besar dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah.
Studi tentang Kutub dan Pusat Pertumbuhan growth polegrowth center
No. Nama Tahun Judul
Penelitian organisasi Alat Analisis
Hasil Penelitian 1.
Alimos Mushuku dan Rejoice Takuva
2013. Growth Points or Ghost
Towns? Post Independence
Experiences of the Industrialisation
Process at Nemamwa Growth Points in
Zimbabwe. Journal
Deskriptif Penelitian ini berusaha untuk menyelidiki
pengalaman industrialisasi Titik Pertumbuhan di Nemamwa. Penelitian ini menemukan bahwa
sejumlah industri telah dikembangkan di Titik Pertumbuhan,
namun gagal
memicu pembangunan
sehingga menciptakan
kesenjangan hubungan antara sumber daya didaerah belakang dan kegiatan di Nemamwa .
Terjadi migrasi desa-kota yang besar karena orang berusaha mendapatkan pekerjaan lebih
baik
sesuai kualifikasinya,
menyebabkan kesenjangan
antara inti
dan pinggiran.
Terungkap bahwa
industri menghadapi
sejumlah tantangan kurangnya investasi modal, infrastruktur, pemasaran, transportasi dan
dokumen penting seperti sertifikat pendirian, sehingga ancaman bagi proses industrialisasi di
titik
Pertumbuhan Nemamwa.
Di rekomendasikan pemerintah harus mendukung
pertumbuhan industri di Nemamwa melalui pengenalan
bebas pajak,
pembangunan infrastruktur,
target pendanaan
dan menempatkan industri dekat titik pertumbuhan.
2. Sang-arun Nattapon,
2012. Development of regional growth
centers and impact on regional growth:
A Case Study of
Thailand’s Northeastern region.
Journal A One
‑Stage Theil
Decompositio n Method;
Theil index;
Z ‑Score
Regression; Gravity Model
Analysis; Multiple
Regression Studi pada 4 wilayah di Thailand melihat
kebijakan desentralisasi sangat penting dalam meningkatkan strategi pusat-pusat pertumbuhan
dengan mengembangkan hubungan ekonomi antara pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan
pertumbuhan daerah sekitarnya. Ditemukan dampak pusat pertumbuhan regional sebagai
pendorong pertumbuhan sub
– regional, serta sebagian
besar pembangunan
pusat pertumbuhan
regional berkorelasi
positif dengan
pertumbuhan sub-region,
perkembangan spasial pusat-pusat pertumbuhan
Model. regional telah menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang positif, walaupun pertumbuhan ini belum merata. Kebijakan desentralisasi yang
tepat akan menyebarkan pertumbuhan pusat- pusat pertumbuhan regional dan mengarah pada
pengembangan daerah sekitarnya.
3. Biplob Kanti Mondal
dan Kausik Das 2010. Role of
Growth Center: A Rural Development
Perspective. Journal
Deskriptif Penelitian ini melihat manfaat dari pusat
pertumbuhan terhadap pembangunan ekonomi dan sosial pedesaan di Bangladesh.
Bahwa pusat pertumbuhan memfasilitasi penyediaan
pertanian, perikanan, peternakan dan sektor lainnya
untuk perbaikan
pembangunan pedesaan. Pusat pertumbuhan mendominasi
penyediaan layanan
dan pembangunan
infrastruktur untuk menjamin keberlanjutan sosial dan menciptakan kesempatan kerja
produktif dan perluasan ekonomi; Ditemukan pusat pertumbuhan sebagai tempat berkembang
pelayanan
di daerah
pedesaan dan
menjembatani kesenjangan antara ekonomi pedesaan dan perekonomian daerah.
3. Mauricio Aguiar
Serra 2003. Development Pole
Theory and the Brazilian Amazon.
Journal Deskriptif
Artikel ini
menganalisis strategi
kutub pembangunan yang dilaksanakan di wilayah
Amazon, berfokus pada asumsi-asumsi di balik teori sehubungan dengan efek penyebaran, yang
menguntungkan seharusnya dihasilkan oleh kutub-kutub
pembangunan untuk
daerah periferi.
4. Sari Pekkala 2003:
What Draws People to Urban Growth
Centers: Jobs vs. Pay?
Ekonomi Mikro Model
Harris - Todaro
Penelitian ini menganalisis pola migrasi di Finlandia untuk menguji apakah terbukti model
ekonomi mikro Harris - Todaro dapat ditemukan dalam pola migrasi. Terungkap
komponen modal manusia berpendidikan tinggi , individu muda dari angkatan kerja
pindah
ke atau
berada di
pusat-pusat pertumbuhan. Ditemukan bukti model Harris
– Todaro, bahwa terjadinya migrasi dari desa-
kota disebabkan upah yang lebih tinggi dan prospek pekerjaan yang lebih baik di daerah
perkotaan. Hasil tingkat mikro membuktikan model Harris
– Todaro, bahwa pendapatan dan pekerjaan
memikat orang
ke pusat
pertumbuhan.
M
enunjukkan utilitas yang dirasakan
lebih besar
di pusat-pusat
pertumbuhan regional,
seperti yang
diasumsikan dalam model. 6.
Jörgen Gren 2003. Reaching the
Peripheral Regional Growth Centres:
Centre-periphery convergence through
the Structural Funds transport
infrastructure actions and the evolution of
the centre-periphery Deskriptif
Artikel ini memberikan analisis sistematis kontribusi dan dampak dari dana struktural
terhadap infrastruktur
transportasi untuk
konvergensi pusat-pinggiran;
membahas kemungkinan
evolusi paradigma
pusat- pinggiran dalam perkembangan pembangunan
ekonomi, kohesi dan aksesibilitas di daerah pinggiran Eropa, yang tampaknya investasi
infrastruktur di bawah dana struktural benar- benar cukup berhasil mengurangi kesenjangan
antara intipusat dan pinggiran. Artikel ini
paradigm. Journal berpendapat,pusat-pusat pertumbuhan regional
memainkan peranan yang penting dalam menjelaskan konsep pusat-pinggiran serta
meragukan paradigma
pusat-pinggiran tradisional.
Pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan daerah
pinggiran, dalam
kenyataannya dampak investasi tersebut dalam transportasi untuk meningkatkan aksesibilitas
diwujudkan dalam pembangunan yang lebih baik dari pusat-pusat pertumbuhan regional
dalam daerah pinggiran. Pusat pertumbuhan regional juga cenderung menarik daerah
belakang hinterland.
7. Harry W. Richardson
1999. Growth Centers, Rural
Development and National Urban
Policy: A Defense. Journal
Deskriptif Pusat-pusat pertumbuhan telah mengalami
kegagalan sebagai instrumen kebijakan tata ruang di negara berkembang. Makalah ini
menunjukkan pusat pertumbuhan mungkin masih bias diterapkan, jika diselaraskan dengan
kondisi ekonomi dan sosial setempat. Pusat- pusat pertumbuhan harus diintegrasikan dengan
kebijakan pembangunan pedesaan dengan mengembangkan
industri agro-processing
daripada manufaktur
padat modal,
dan berfungsi sebagai tujuan alternatif bagi
perpindahan dari desa ke kota, dengan memperkuat hirarki layanan di wilayah
pedesaan. Kebijakan pusat pertumbuhan akan berhasil jika pusat pertumbuhan terintegrasi
dalam kerangka strategi pembangunan nasional perkotaan.
8. John B. Parr 1999.
Growth-pole Strategies in
Regional Economic Planning: A
Retrospective View. Part 1. Origins and
Advocacy. Journal Deskriptif
Makalah ini menjelaskan secara mendalam pentingnya strategi kutub pertumbuhan dalam
perencanaan ekonomi regional selama tahun 1960-an. Hasil dari strategi Growth-pole:
Pertama, mendorong pertumbuhan lapangan kerja dan jumlah penduduk dalam suatu
wilayahlokasi atau kutub yang direncanakan. Kedua, menetapkan batasan yang pasti tentang
jumlah lokasi atau pusat yang ditunjuk sebagai kutub yang direncanakan. Ketiga, diperlukan
perbedaan spasial atau selektivitas antara lokasi, ini berkaitan identifikasi pusat-pusat
yang memiliki potensi untuk mendukung kegiatan ekonomi tertentu, didasarkan pada
faktor-faktor seperti keuntungan locational antardaerah atau intraregional, hirarki dalam
sistem perkotaan atau kondisi pertumbuhan masa lalu. Keempat, melibatkan perubahan dari
struktur ruang kerja dan jumlah penduduk suatu daerah, perubahan struktur spasial berhubungan
pekerjaan dan struktur penduduk.
9. Takahiro Miyoshi
1997. Successes and Failures
Associated With the Growth Pole
Strategies. disertasi Deskriptif
Studi melihat penerapan dari strategi kutub pertumbuhan di negara
– negara maju dan berkembang. Review empiris untuk masa
depan. Pertama, kutub pertumbuhan tidak dilaksanakan lagi karena tujuan pembangunan
diubah untuk pemberantasan kemiskinan dan pembangunan
kota-kota kecil,
sehingga
meninggalkan ide
pengembangan pusat
pertumbuhan, padahal kutub pertumbuhan bisa untuk pembangunan pedesaan,
misalnya, pengembangan agropolitan. Kedua, kutub
pertumbuhan dihadapkan masalah keuangan, kesalahpahaman pemerintah melihat strategi
kutub pertumbuhan hanya investasi di daerah terbatas, adanya persepsi kutub pertumbuhan
terlalu mahal sekalipun bukan alasan logis meninggalkan strategi kutub pertumbuhan
karena konsep kutub pertumbuhan masih menjadi
kerangka kerja
analisis yang
bermanfaat. Ketiga, bukti empiris kasus Jepang dan
Korea menunjukkan
keberhasilan perencanaan daerah terkait kuat dengan
keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Kutub pertumbuhan, memiliki keterbatasan
mengadopsi perencanaan wilayah yang baik, kasus Amerika Serikat, dua kutub pertumbuhan
menunjukkan hasil kontras, keberhasilan dan kegagalan. Sebaiknya, growth pole harus
memiliki berbagai bentuk dari besar, industri, perspektif perkotaan kecil, pertanian, perspektif
pedesaan sesuai karakteristik masalah regional. Akhirnya kedepan perencanaan daerah harus
kembali
ke pemikiran
Perroux dalam
membangun kerangka umum analisis ekonomi. 10.
Harry W. Richardson 1976.
Growth Pole Spillovers: The
Dynamics of Backwash and
Spread. Journal Deskriptif
Strategi kutub pertumbuhan sudah ditinggalkan oleh banyak negara karena kegagalan untuk
menghasilkan pembangunan daerah yang jauh dari sasaran. Makalah ini menggunakan teori
spread dan backwash, untuk menunjukkan bahwa
spillovers positif
tidak akan
menimbulkan di sekeliling kutub pertumbuhan pada tahun awal pelaksanaannya, dan dalam
jangka panjang dibutuhkan suatu strategi agar berhasil. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada
pengaruh spread dan backwash atas ruang asimetris, temuan yang sampai sejauh itu
berimplikasi
berpengaruh terhadap
perencanaan tata ruang. 11.
Hansen, N. M. 1975. An
Evaluation of Growth-Center
Theory and Practice. Journal
Deskriptif Makalah ini membahas isu-isu empiris dan
teoritis terkait dengan pendekatan pusat pertumbuhan untuk pembangunan daerah.
Berpendapat bahwa meskipun banyak kesulitan dalam pembahasan literatur pusat pertumbuhan
namun masih memiliki relevansi dengan kebijakan
daerah. Meskipun
telah ada
peningkatan perhatian dalam menganalisis jenis dan pentingnya secara spontan tempat-tempat
pertumbuhan perkotaan, pendekatan pusat pertumbuhan mempunyai pengaruh dalam
pertumbuhan. Sedikit bukti bahwa pusat-pusat pertumbuhan menghasilkan pengaruh efek
penyebaran yang signifikan terhadap daerah- daerah
belakang yang tertinggal secara
ekonomi; tetapi dapat berfungsi sebagai pusat regional migrasi.
Disamping itu beberapa studi dan penelitian tentang desentralisasi, otonomi daerah dan pemekaran wilayah yang dilakukan oleh mahasiswa dilingkungan
Institut Pertanian Bogor sebagai berikut: Tabel 6 Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu di Lingkungan IPB
No. Nama Tahun
Judul Penelitian organisasi
Alat Analisis Hasil Penelitian
1. Bambang
Supriyadi 2012.
Pengembangan Wilayah di
Daerah Otonom Baru Studi
Kasus 3 Kabupaten
Pemekaran di Indonesia.
Disertasi Pascasarjana
IPB. Bogor. Analisis
Klassen Tipology;
Location Quotient;
Indeks Spesialisasi;
SSA; Indeks Diversity
Entropy IDE; Indeks
Williamson 1.
Hasil analisis Typology Klassen menunjukkan Kab Rokan Hilir sebagai daerah maju tetapi
tertekan; Kab. Roten Ndao merupakan daerah relatif
tertinggal; Kab
Mamasa daerah
berkembang cepat. 2.
Hasil IDE, Kab. Roten Ndao memiliki nilai tertinggi disusul Mamasa dan Rokan Hilir artinya
perekonomian di Kab. Roten Ndao lebih menyebar dan berimbang tapi sektor tidak
berdaya saing; Kab Mamasa semua sektor berdaya saing kecuali pengangkutan dan jasa;
Kab Rokan Hilir daya saing utamanya sektor pertanian.
3. Persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik di
3 kabupaten adalah baik. 4.
Penerapan teori Christaller dan teori Molotch di Kab. Roten Ndao; Di Kab Rokan Hilir perlu
didukung teori path-goal ; Di Kab Mamasa, tidak dapat diterapkan karena tidak ada birokrasi yang
kuat dan fungsi spasial dari infrastruktur.
2. Muhammad
Arafat 2011. Kajian Dampak
Pemekaran Wilayah
Terhadap Pembangunan
Daerah Studi Kasus di
Kabupaten Mamasa
Propinsi Sulawesi Barat.
Tesis Pascasarjana
IPB. Bogor. Analisis
Deskriptif; Analisis IDE;
Analisis Kelayakan
Pemekaran; Analisis
Regresi dengan Peubah
Dummy; Analisis
Potensi Pajak Daerah;
Metode Penghitungan
IPM; Analisis Persepsi
Stakeholder 1.
Berdasarkan PP. No. 78 tahun 2007, Kab. Mamasa tidak layak dimekarkan ditinjau dari
aspek kependudukan dan kemampuan ekonomi. 2.
Perkembangan ekonomi menunjukkan IDE Kab. Polewali Mandar lebih baik daripada Kab.
Mamasa yang IDEnya fluktuatif peningkatannya. 3.
Terhadap Kapasitas fiskal Kab. Mamasa lebih baik dari perbandingan laju pendapatan daerah
tetapi dari perbandingan perkembangan belanja langsung daerah, perkembangan DBH dan
pengaruh pemekaran
terhadap PAD
Kab. Polewali Mandar lebih baik.
4. Terhadap pelayanan publik dan aparatur daerah;
Kab. Mamasa lebih baik dari Kab. Polewali Mandar;
Kualitas infrastruktur jalan serta
pesentase jumlah PNS yang S1 Kab. Polewali Mandar lebih baik dari Kab. Mamasa.
3. Nelson Sayori
2009. Analisis Dampak
Pemekaran Wilayah
Terhadap Perekonomian
Wilayah Kepulauan dan
Pengembangan Analisis
Deskriptif dan Skoring;
Analisis IDE; Analisis
Komparatif dan Kompetitif
Wilayah; Analisis
Strategi 1.
Pembentukan karena alasan politik dibandingkan alasan teknis, hak inisiatif DPR; tidak memiliki
indikator pemekaran wilayah. 2.
Pertumbuhan ekonomi wilayah belum nyata meningkat,
namun dari
tahun ke
tahun kecenderungan peningkatan ekonomi wil.
3. Kapasitas fiskal setelah pemekaran tumbuh,
namun perkembangannya cenderung menurun. 4.
Proporsi PAD terhadap total penerimaan belum menunjukkan peningkatan, ketergantungan pemda
Pariwisata Bahari Studi
Kasus di Kabupaten Raja
Ampat Propinsi Papua Barat.
Tesis Pascasarjana
IPB. Bogor. Pengembangan
Pariwisata Bahari;
Analisis Koresponden
terhadap Daper. 5.
Sektor pertanian subsektor perikanan dan sektor pertambangan subsector minyak dan gas bumi
menjadi unggulan, sektor lainnya prioritas kedua. 6.
Kontribusi sektor
pariwisata terhadap
perekonomian wilayah masih minim, karena minim sarana prasarana pendukung.
7. Persepsi masyarakat, secara umum menilai
pembangunan meningkat
setelah adanya
pemekaran. 4.
Rosda Malia 2009. Analisis
Dampak Pemekaran
Wilayah Terhadap
Pembangunan Ekonomi
Daerah Studi Kasus di Kota
Cimahi Propinsi Jawa Barat.
Tesis Pascasarjana
IPB. Bogor. Analisis
Deskriptif; Analisis
Indeks Diversity
Entropy IDE; Analisis
Partisipatif; Uji Friedman;
Analisis Keuangan;
Analisis Kelayakan
Pemekaran 1.
Awal pemekaran Pertumbuhan Ekonomi PE menurun, meningkat tahun berikutnya. Laju PE
masih dibawah daerah induk. Analisis IDE PDRB struktur ekonomi berkembang tapi masih di
bawah kabupaten induk. Analisis Partisipatif, pemekaran berdampak positif.
2. Kapasitas fiskal KF meningkat karena
meningkatnya penerimaan DAU. Nilai IDE pendapatan daerah 0.55-0.60 artinya KF daerah
belum berkembang, demikian juga daerah induk. 3.
Pemberian otonomi belum meningkatkan kemampuan
daerah dalam
menghasilkan penerimaan. Ketergantungan yang besar terhadap
dana perimbangan. 4.
Hasil skoring kelayakan pemekaran, Kota Cimahi tidak layak dimekarkan karena tidak memenuhi
nilai minimal faktor kependudukan. 5.
Nurlaela 2010. Dampak
Pemekaran Wilayah
Terhadap Pembangunan
Manusia Human
Capital di Propinsi
Sulawesi Barat. Tesis
Pascasarjana IPB. Bogor.
1. Pembangunan pendidikan dan kesehatan semakin
meningkat dari tahun ketahun. 2.
Perhitungan IPM sejak pemekaran meningkat tahun 2008 senilai 68,55 kategorikan standar PBB
menengah keatas. 3.
Laju IPM Sulawesi Barat cenderung menurun setelah dimekarkan, namun lebih tinggi dibanding
induknya Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2005 dan 2006.
4. Keuangan daerah meningkat sejak pemekaran,
peningkatan bukan dari PAD melainkan tingginya penerimaan DAU dengan kontribusi 70.
5. Nilai IDE yang berkisar 0,16-0,37 artinya
kapasitas fiskal daerah belum berkembang. 6.
Ami Agusniar 2006. Analisis
Dampak Pemekaran
Wilayah Terhadap
Perekonomian Wilayah dan
Kesejahteraan Masyarakat
Studi Kasus di Kabupaten Aceh
Singkil Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam . Tesis
Pascasarjana Analisis
Deskriptif; Analisis
Indeks Diversity
Entropy IDE; AHP; Analisis
Kuantifikasi Hayasi II
1. Pertumbuhan ekonomi meningkat dibandingkan
sebelum pemekaran. 2.
Nilai IDE rendah dibawah masih dengan kabupaten induk.
3. Kapasitas fiskal meningkat setelah pemekaran
namun ketergantungan yang tinggi terhadap DAU dan DAK.
4. Persepsi stakeholder, dampak pemekaran belum
merata. Pemekaran menguntungkan pemerintah pengusaha.
5. Tingkat kesejahteraan setelah pemekaran menurut
persepsi masyarakat untuk bidang ekonomi, partisipasi masyarakat, layanan pemerintah dan
penyediaan fasilitas umum semakin baikada peningkatan.
IPB. Bogor. 7.
Kadir Lumbesi 2005. Analisis
Dampak Pemekaran
Wilayah Terhadap
Perkembangan Perekonomian
Wilayah dan Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat di
Kabupaten Buru. Tesis
Pascasarjana IPB. Bogor.
Analisis Location
Quotient LQ, Location
Indeks LI, Specialization
Indeks SI; SSA; Analisis
Statistika Deskriptif;
Analisis Kebijakan dan
Proses Pemekaran;
AHP; Analisis Koresponden;
Analisis Economies of
Scale and Economies of
Scope 1.
Hasil LQ setelah pemekaran memberikan dinamika pertumbuhan ekonomi. Hasil LI, tidak
ada pemusatan
disuatu daerah
yang dikembangkan. Hasil SI, bahwa tidak ada
perubahan aktifitas tenaga kerja disetiap wilayah kecamatan, berarti pembangunan tetap seperti
sebelumnya, tidak ada suatu wil yang mempunyai keunggulan yang dikembangkan.
2. Hasil SSA, tahun 1999-2002 total laju
pertumbuhan 0.073. Terjadi pergeseran kegiatan pada sektor yang banyak menyerap tenaga kerja
seperti pertanian, industri pengolahan dll. Berarti pemekaran berdampak positif di Kab. Buru.
3. Hasil
AHP, masyarakat
menginginkan pemekaran, namun manfaatnya hanya dirasakan
oleh pemerintah,
pengusaha besarkecil
menengah, masyarakat adat dan transmigrasi. 4.
Hasil Analisis Economies of Scale and Economies of Scope, pelayanan dan peranan
pemerintah dlm pembangunan infrastruktur sudah memenuhi
Economies of
Scale sekalipun
pelayanan masih terbatas pada pelayanan adm pemerintahan. SDM belum memenuhi Economies
of Scale.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagaimana disebutkan diatas, hal yang membedakan dengan penelitian ini adalah:
1. Dari sisi pendekatan: penelitian ini mencoba menganalisis dengan pendekatan
pusat pertumbuhan growth center dan kutub pertumbuhan growth pole terhadap 2 kota hasil pemekaran Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya.
2. Dari sisi metode penelitian: penelitian ini mencoba menganalisis interaksi
ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap wilayah sekitarnya, dengan menggunakan Analisis Model Gravitasi.
3. Mengevaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007
khususnya 11 sebelas faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran
dengan persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya.
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada dua kota hasil pemekaran tahun 2001 yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya yang memiliki karakteristik sebagai pusat
pertumbuhan. Pemilihan kedua lokasi penelitian untuk membandingkan 2 dua kota hasil pemekaran potensial berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi,
dimana Kota Baubau berada di Kawasan Timur Indonesia serta merupakan kota pesisirkepulauan dan Kota Tasikmalaya berada di Kawasan Barat Indonesia serta
merupakan kota daratan.
Penelitian direncanakan pada bulan Juli 2014 sampai dengan Desember 2014.
Sumber : BPS Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat 2012
Gambar 9 Peta lokasi penelitian di Kota Tasikmalaya dan Kota Baubau
Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan
informan kunci di lapangan melalui wawancara dan menggunakan pertanyaan kuisioner yang terstruktur sesuai dengan tujuan penelitian. Data primer yang
dikumpulkan adalah; data karakteristik responden umur, perkerjaan dan pendidikan formal. Data persepsi stakeholder mengenai manfaat pemekaran
daerah dan data persepsi masyarakat mengenai dampak pemekaran terhadap perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Data sekunder adalah data diperoleh dan dikumpulkan dari berbagai literatur maupun referensi, dari berbagai laporan maupun penelitian terdahulu
yang telah dilakukan. Data sekunder juga diperoleh dari instansi dan dinas-dinas yang terkait dengan penelitian ini, seperti BPS, Bappeda, Dinas Pendapatan
Daerah maupun data yang dikumpulkan dan bersumber dari lembaga pemerintah seperti; data PDRB, APBD, RPJMD, RTRW, gambaran umum daerah penelitian
yang meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya dan data sekunder lainnya.
Lokasi Penelitian
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah kabupatenkota hasil pemekaran yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 8 delapan kabupaten dan 1 satu
kota dan kabupatenkota hasil hasil pemekaran yang berada di Propinsi Jawa Barat sebanyak 4 empat kota dan 2 dua kabupaten serta kabupaten induk
sebagai kabupaten kontrol. Sampel penelitian adalah Kota Baubau terdiri dari 8 kecamatan dan Kota Tasikmalaya terdiri dari 10 kecamatan. Pemilihan sampel
Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya karena 2 kota tersebut merupakan salah satu kota yang pertama kali dimekarkan sejak Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
diberlakukan, dimana Kota Baubau berada di Kawasan Timur Indonesia serta merupakan kota pesisirkepulauan dan Kota Tasikmalaya berada di Kawasan
Barat Indonesia serta merupakan kota daratan yang memiliki karakteristik sebagai pusat pertumbuhan serta berada pada satu kawasan dikelilingi oleh beberapa
kabupatenkota disekitarnya.
Untuk mencapai tujuan penelitian maka responden diambildipilih secara disengaja purposive sampling dari kalangan legislatif, eksekutif birokrasi dan
masyarakat yang dianggap mengetahui tentang permasalahan penelitian Juanda 2009. Pemilihan dengan disengaja purposive sampling dalam penelitian untuk
meminimalisir terjadinya bias dalam pengambilan data primer, sehingga diharapkan dengan responden yang mempunyai wawasan terhadap masalah yang
diteliti dapat diperoleh jawaban sesuai dengan permasalahan dimaksud. Jumlah responden dalam penelitian ini masing
– masing diambil dari: Legislatif DPRD sebanyak 5 orang; Eksekutif birokrasi masing
– masing sebagai key person Walikota, Wakil Walikota dan Sekretaris Kota, sedang dari DinasBadanKantor
dipilih 8 Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD sesuai dengan tujuan penelitian masing
– masing setiap SKPD dipilih 3 orang responden eselon II, III, dan IVStaff; masyarakat diambil dari kecamatan sampel masing-masing 3 orang
responden. Pemilihan kecamatan diambil masing-masing kecamatan yang berada di pusat kota, pinggiran dan luar kota. Dari setiap kecamatan sampel kemudian
diambil 3 orang responden masing-masing dari 3 kelurahan yang berbeda, yaitu kelurahan yang berada di pusat kecamatan, kelurahan berada pada wilayah tengah
dan luarpinggiran kecamatan; sedang pengusahainvestor dan akademisi masing- masing diambil 2 orang responden, seperti terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah Responden Penelitian
No. LembagaIntansi
Jumlah Responden Keterangan
Kota Bau-Bau Kota Tasikmalaya
1. DPRD Legislatif
5 orang 5 orang
Ketua 1 orang; Wakil ketua 2 orang dan anggota 2 orang.
2. Birokrasi Eksekutif
DinasBadanKantor 10
3 orang x 8 =27
responden 3 orang x 8 = 27
responden Walikota, Wakil Walikota dan
Sekretaris Daerah. Eselon II = 1 orang Eselon III = 1 orang
Eselon IVstaf = 1 orang.
3. Kecamatan
3 orang x 5 kecamatan =15
responden 3 orang x 6
kecamatan = 18 responden
Terdiri tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh dan
mengetahui seputar permasalahan pemekaran wilayah.
4. Pengusahainvestor
2 orang 2 orang
Pengusaha lokal 5.
Akademisi 2 orang
2 orang Mewakili universitas
Jumlah responden penelitian tersebut diatas untuk mengetahui persepsi masyarakat stakeholder manfaat pemekaran wilayah dan analisis hirarki proses
AHP.
Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan pada Bab I. Untuk itu dilakukan dalam
beberapa tahapan sebagai berikut: Tabel 8 Tujuan penelitian, Uraian data yang dibutuhkan, Jenis data, Teknik
Pengumpulan Data, AlatMetode Analisis dan Output yang di harapkan
No Tujuan
Penelitian Uraian Data
yang dibutuhkan
Jenis Data yang
diperoleh Teknik
Pengumpul an Data
Alat Metode
Analisis Output yang
diharapkan 1.
Menganalisis perkembangan
struktur perekonomian
wilayah dan sektor unggulan
yang menjadi daya saing
wilayah Kota Baubau dan
Kota Tasikmalaya
dibandingkan dengan daerah
sekitarnya hinterland.
Data – data
sosial pemerintah
an, fasilitas umum.
Data – data
Ekonomi PDRB
kabkotapro pinsi, PDRB
perkapita kabkotapro
pinsi, PDRB persektor.
Primer. Sekunder.
Kuesioner. StudiPenga
matan lapangan.
Studi literatur.
Analisis Shift Share
SSA Mengetahui
keunggulan kompetitif sektor-
sektor dua kota.
Mengetahuimemba ndingkan sektor-
sektor dgn daerah yang diatasnya.
Mengetahui cepat lambat
perkembangan pergeseran sektor.
Analisis Location
Quotient LQ
Mengetahui sektor basis dan non basis
sebagai sektor- sektor potensial
pendorong pertumbuhan dua
kota.
Indeks Diversity
Entropi Mengetahui tingkat
perkembangan struktur
perekonomian wilayah Wilayah
berkembang=nilai IDE besar; wilayah
kurang berkembang = nilai IDE kecil.
2. Menganalisis
perkembangan wilayah dan
pengaruh interaksi
ekonomi dan daya tarik
wilayah Kota Baubau dan
Kota Tasikmalaya
dengan daerah sekitarnya
hinterland. Data
– data Ekonomi
PDRB kabkotapro
pinsi, PDRB perkapita
kabkotapro pinsi, PDRB
persektor. Sekunder.
Kuesioner. StudiPenga
matan lapangan.
Studi literatur.
Tipologi Klassen
Memetakanmengkl asifikasikan dua
kota pemekaran dgn kabupaten lain
di propinsi.
Analisis Skalogram
Mengetahui ketersediaan
fasilitas perkotaan yang dimiliki
sebagai keuntungan konsentrasi
perkotaan yang dapat menjadi daya
tarik.
Mengetahui kemampuan kota
dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat berdasarkan
kualitas dan kuantitas fasilitas
sosial, ekonomi dan pemerintahan yang
tersedia.
Model Gravitasi
Mengetahui interaksi ekonomi
dan daya tarik wilayah dua kota
terhadap daerah sekitarnya
hinterland
Mengetahui daerah hinterland dua
kota. 3.
Mengevaluasi penerapan PP
No. 78 tahun 2007 khususnya
faktor-faktor yang
dipergunakan untuk menilai
usulan pemekaran
wilayah di Kota Baubau dan
Kota Tasikmalaya
Data Persepsi
stakeholder. Primer.
Sekunder. Kuesioner.
StudiPenga matan
lapangan. FGD.
Studi literatur.
Deskriptif Distribusi
frekwensi Mengetahui
persepsi masyarakat manfaat
pemekaran.
AHP Mengevaluasimen
gkritisi sebelas faktor-faktor dalam
pembentukan daerah otonom baru
DOBpemekaran wilayah.
4. Menganalisis
persepsi stakeholder dan
merumuskan kebijakan yang
ditempuh pemerintah
pasca pemekaran agar
bermanfaat bagi daerah.
Data Persepsi
stakeholder. Primer.
Sekunder. Kuesioner.
StudiPenga matan
lapangan. FGD.
Studi literatur.
Analisis Hirarki
Proses AHP
Mengetahui persepsi
stakeholder dan merumuskan
kebijakan yang ditempuh
pemerintah pasca pemekaran agar
bermanfaat bagi daerah.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Variabel yang menjadi subyek dalam penelitian ini meliputi:
Tabel 9 Aspek, Variabel, Indikator dan Sumber Data
No Ruang
Lingkup Data Variabel
Indikator Sumber Data
1. Ekonomi
Perekonomian Wilayah Pertumbuhan Ekonomi,
PDRB Kabupatenkota propinsi ADHKADHB,
Sumber dan Pendapatan daerah, investasi daerah.
BPS, Bappeda, instansi terkait
dengan penelitian.
Pendapatan Perkapita Pendapatan Perkapita
kabkotapropinsi. PDRB perkapita.
BPS, Bappeda, instansi terkait
dengan penelitian.
Pertanian dalam arti luas Tanaman Pangan,
Kelautan dan Perikanan, Peternakan, Perkebunan,
Kehutanan. PDRB persektor
kabkotapropinsi. BPS, Bappeda,
Dinasinstansi terkait.
2. Sosial
Kesehatan Angka Kematian, Angka
Kelahiran, Angka Harapan Hidup, Angka Kematian
Bayi, Balita Gizi Buruk, Jumlah fasilitas kesehatan.
BPS, Bappeda, Dinas Kesehatan,
BKKB
Pendidikan Angka Partisipasi Sekolah,
Angka Melek Huruf, Jumlah Fasilitas Pendidikan Dasar,
Menengah, Tinggi IPM, Lama Sekolah, Tingkat
Harapan Hidup. BPS, Bappeda,
Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan,
instansi terkait dgn penelitian.
Kependudukan Jumlah Penduduk,
Kepadatan Penduduk, Pertumbuhan Penduduk,
Usia Penduduk, Penyebaran Penduduk.
BPS, Bappeda, Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil,
Instansi terkait dengan penelitian.
Ketenagakerjaan Jumlah Angkatan Kerja,
Jumlah Pengangguran, Jumlah dan Tenaga Kerja
Persektor, Usia Produktif. BPS, Bappeda,
Dinas Tenaga Kerja, Instansi
terkait dengan penelitian.
3. Fisik
Infrastruktur Panjang Jalan dan Jembatan
propinsi, kabkota; Panjang dan Jumlah Jembatan,
Kondisi Jalan propinsi, kabkota;
Dinas PU, Bappeda, BPS,
Instansi terkait dengan penelitian.
Peta - Peta Peta Administrasi
Pemerintahan propinsi, kabkota; RTRW propinsi,
kabkota; Dinas Tata Ruang,
Dinas PU, Bappeda, Instansi
terkait dengan penelitian.
Kondisi Fisik Wilayah Letak, luas wilayah,
topografi, kesesuaian lahan, dan tata guna tanah
BPS, Bappeda, Instansi terkait
dengan penelitian 4.
Pemerintahan Peraturan - peraturan
Peraturan perundang- undangan, Perda, Peraturan
dan Keputusan Bupati, RPJP Nasional, propinsi, kab
kota; RPJM nasional, propinsi, kab kota.
BPS, Bappeda, Instansi terkait
dengan penelitian
Sebagaimana digambarkan dalam tabel 8 untuk menjawab tujuan penelitian, maka alatmetode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran dan mengetahui persepsi masyarakat akan manfaat pemekaran wilayah terhadap kesejahteraan
masyarakat, pembangunan ekonomi dan perkembangan kota. Analisis deskriptif data yang diolah diperoleh dari hasil jawaban reponden dalam bentuk pertanyaan
terbuka kemudian ditabulasi dengan menggunakan distribusi frekwensi dan hasil jawaban reponden dari analisis hirarki proses.
Analisis Skalogram
Menurut Blakely 1994 alat Analisis Skalogram membahas mengenai fasilitas perkotaan yang dimiliki suatu daerah sebagai indikator difungsikannya
daerah tersebut sebagai salah satu pusat pertumbuhan. Analisis skalogram bertujuan untuk mengidentifikasikan peran suatu kota berdasarkan pada
kemampuan kotadaerah tersebut memberikan pelayanan kepada masyarakat. Model Skalogram memiliki enam varian skalogram tipe I, II, III, IV, V dan VI
yang berkembang mulai dari yang paling sederhana hingga model yang paling kompleks Pribadi et, al. tanpa tahun. Secara umum model skalogram adalah
sebagai berikut:
Tabel 10 Model Skalogram
Wilayah Jumlah
Penduduk Luas
wilayah Fasilitas-1
Fasilitas-2 ……. Fasilitas-j Hirarki
1 .……..
.…….. 1
1 .……..
1 1
2 ………
.…….. 1
1 .……..
1 2
… ………
.…….. 1
1 .……..
1 …
… .……..
.…….. 1
1 .……..
1 …
n ……...
.…….. 1
1 .……..
1 n
Sumber: Pribadi et, al.tanpa tahun; Riyadi dan Bratakusumah 2004
Dengan menggunakan tabel model skalogram maka dapat teridentifikasi dan diketahui jumlah fasilitas-fasilitas infrastruktur yang ada dan tersedia dalam suatu
berupa sarana prasarana ekonomi pendidikan, kesehatan dan sosial. Selanjutnya dilakukan transformasi data kedalam bentuk biner 0 dan 1.
Fasilitas diberi bobot, sebagai faktor pembobot untuk setiap jenis fasilitas adalah ratio jumlah
total unit wilayah terhadap jumlah unit wilayah yang memiliki fasilitas tersebut persamaan 1.
dimana : n
: jumlah total wilayah kabkota. n
j
: jumlah wilayah yang memiliki fasilitas ke-j Dengan mengalikan nilai bobot matriks dasar maka akan diperoleh nilai terbobot
dari jumlah fasilitas tertentu yang terdapat di wilayah tertentu persamaan 2.
dimana : n
: jumlah total wilayah kabkota. n
j
: jumlah wilayah yang memiliki fasilitas ke-j x
ij
: Jumlah unit fasilitas ke-j di wilayah ke-i Dalam pemetaan hirarki wilayah dengan teknik analisis skalogram, variabel
infrastruktur menjadi variabel utama yang menjadi awal dari berkembangnya teori ……………………………………………………………………. 2
………………………………………………………………………. 1
lokasi pusat. Tetapi dalam perkembangannya muncul modifikasi-modifikasi sehingga variabel - variabel non infrastruktur dapat juga digunakan untuk
memetakan hirarki wilayah Pribadi et, al. tanpa tahun. Semakin lengkap pelayanan yang diberikan, menunjukkan bahwa kotadaerah tersebut mempunyai
tingkatan yang tinggi dan dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan Sagala, 2009. Tujuan digunakan analisis ini agar dapat mengidentifikasikan
kabupatenkota mana saja yang dapat menjadi pusat pertumbuhan, jika dilihat dari fasilitas-fasilitas perkotaan sosial, ekonomi dan pemerintahan.
Analisis Model Gravitasi
Interaksi spasial adalah suatu istilah umum mengenai pergerakan spasial aktivitas manusia Hayness dan Fotheringham 1984 dalam Rustiadi et al, 2009,
dan model gravitasi adalah model interaksi spasial yang paling umum digunakan. Model Gravitasi adalah suatu model yang umum dipakai didalam menjelaskan
fenomena interaksi antar wilayah Rustiadi et al, 2009. Menurut Richardson 1977 model gravitasi gravity model adalah suatu alat operasional yang sangat
bermanfaat untuk memperkirakan nodalitas, dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi pusat-pusat yang dominan dalam daerah perkotaan yang sangat
kompleks. Model ini dapat membantu perencana wilayah untuk memperkirakan daya tarik suatu lokasi dibandingkan dengan lokasi lain di sekitarnya. Hal ini
bermanfaat untuk simulasi apakah suatu fasilitas yang dibangun pada suatu lokasi akan menarik cukup pelanggan atau tidak Tarigan 2006.
Konsep dasar dari alat analisis ini adalah membahas mengenai ukuran dan jarak antara dua tempat, yaitu pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya,
sampai seberapa jauh sebuah daerah yang menjadi pusat pertumbuhan mempengaruhi dan berinteraksi dengan daerah sekitarnya Daldjoeni 2006 dalam
Ardila 2012. Semakin dekat jarak antara dua lokasi semakin besar pula gaya tarik yang terjadi antara keduanya, atau sebaliknya semakin besar jarak antara dua
lokasi semakin kecil gaya tarik yang terjadi antara keduanya Setiono 2011. Analisis model gravitasi bertujuan untuk mengetahui hubungan kedekatan antara
dua daerah, dalam hal ini daerah dianggap massa yang mempunyai daya gravitasi yang saling tarik-menarik, hubungan ini diidentifikasikan sebagai interaksi
ekonomi antara pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya, hubungan antara kedua daerah tersebut dicerminkan dalam nilai indeks gravitasi yang diperoleh.
Sang-arun 2012 dengan unit analisis propinsi pada model gravitasi melihat interaksipengaruh propinsi sebagai pusat pertumbuhan dengan kota satelit
hinterland. Dalam penelitian ini model gravitasi untuk melihat interaksi spasial antara Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya sebagai daerah nodal dengan
kabupaten yang ada disekitarnya hinterland dapat dirumuskan sebagai berikut Isard 1960 dan Sang arun 2012:
dimana: I
12
= interaksi spasial antara wilayah 1 wilayah pusat= Kota Bau-Bau dan
Kota Tasikmalaya dan wilayah 2 hinterland=Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Bombana, Muna, Kabupaten Tasikmalaya,
Ciamis, Garut, Kota Banjar, dan Kabupaten Pangandaran. I
12
= k W
1
P
1
W
2
P
2
d
12
b
W
1
= PDRB perkapita wilayah 1
W
2
= PDRB perkapita wilayah 2
P
1
= Jumlah penduduk wilayah 1 wilayah tujuanpusat=Kota Bau-Bau
dan Tasikmalaya. P
2
= Jumlah penduduk wilayah 2 wilayah asalhinterland=Kabupaten
Buton, Buton Utara, Wakatobi, Bombana, Muna, Kab. Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Kota Banjar, dan Kabupaten Pangandaran
d
12
= jarak antar wilayah 1 tujuanpusat dan wilayah 2 asalhinterland
k =
Konstanta. b
= Konstanta nilai 2
Analisis Tipologi Klassen
Alat analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi
Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah Kuncoro 2002.
Menurut Yulistiani et al. 2007 bahwa penggunaan Tipologi Klasen untuk melihat pertumbuhan pembangunan ekonomi suatu daerah serta dapat digunakan
untuk memetakan atau menggolongkan daerah-daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang diukur dengan
membandingkan nilai rata-rata propinsi.
Tipologi Klassen dipergunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah serta untuk mengklasifikasikan daerah
yang masing-masing mempunyai pertumbuhan ekonomi yang berbeda kedalam 4 empat klasifikasi Safrizal 1997; Kuncoro 2013 yaitu:
1. Daerah maju dan cepat tumbuh rapid growth region atau high growth, high
income; 2.
Daerah berkembang cepat growing region atau high growth but low income;
3. Daerah maju tapi tertekan retarded region atau high income but low
growth; 4.
Daerah relatif tertinggal relatively backward region atau low growth and low income.
Tabel 11 Matrik Klasifikasi KabupatenKota Berdasarkan Tipologi Klassen
PDRB ADHK y Laju Pertumbuhan r
y
i
y y
i
y r
i
r
Daerah berkembang cepatgrowing region
Daerah maju dan cepat tumbuh rapid growth region
r
i
r
Daerah relatif Tertinggal relatively backward region
Daerah maju tapi tertekan retarded region
Sumber: Safrizal 1997, Kuncoro 2013
dimana: r
i
= Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabkota i
r =
Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabkota se Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat
y
i
= Rata-rata PDRB ADHK kabkota i
y =
Rata-rata PDRB ADHK kabkota se Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis Tipologi Klasen pada kabupatenkota yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara dan kabupatenkota yang
ada di Propinsi Jawa Barat untuk mengetahui posisi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya berdasarkan klasifikasi tipologi klassen.
Analisis Indeks Diversitas Entropi
Dalam suatu wilayah perkembangan ekonominya dapat berkembang maju atau sebaliknya. Untuk mengukur majuberkembangnya atau tidak majutidak
berkembangnya perekonomian wilayah dapat dilihat dari Indeks Diversitas Entropinya. Prinsip pengertian indeks entropi adalah semakin beragam aktifitas
atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropy wilayah, artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Jika hasilnya semakin mendekati
1, maka wilayah tersebut semakin berkembang, sedangkan jika hasilnya semakin mendekati 0, maka wilayah tersebut semakin tidak berkembang. Nilai Indeks
Diversitas Entropi ditujukan untuk menghitung tingkat keberagaman dan keberimbangan aktivitassektor ekonomi disuatu wilayah. Semakin berimbang
komposisi berbagai aktivitassektor ekonomi tersebut nilai IDE juga semakin besar ini berarti suatu wilayah dapat dianggap semakin maju berkembang
Pribadi et al. tanpa tahun.
Persamaan umum yang sering dipakai dalam perhitungan Indeks Diversitas Entropi adalah:
dimana: S
= nilai entropy P
i
= nilai rasio antara aktivitassektor ekonomi ke-i dibagi jumlah total aktivitassektor ekonomi
i j
= =
kategori aktivitassektor ekonomi ke-i kategori wilayah ke-j kota
n = total aktivitassektor ekonomi
Persamaan diatas digunakan untuk melakukan perbandingan tingkat perkembangan perekonomian antar wilayah. Mengingat adanya keterkaitan antara
nilai indeks entropy dengan luasan wilayah dan kapasitas sumberdaya yang dimilikinya, maka akan lebih baik apabila pembandingan dilakukan di tingkat
makro, karena pada skala makro luasan wilayah dan sumberdaya yang dimiliki akan mencukupi, sehingga nilai entropy benar-benar menggambarkan kinerja
pembangunan ekonomi yang lebih maju. Skala wilayah makro ini bisa berada ditingkat wilayah propinsi atau minimal wilayah kabupaten Pribadi et al. tanpa
tahun.
S =
∑ ∑
n n
i=1 j=i P
i
lnP
i
Analisis Shift Share SSA
Analisis Shift-Share pertama menganalisis perubahan berbagi indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu di
suatu wilayah. Dari hasil analisis akan diketahui bagaimana perkembangan suatu sektor disuatu wilayah apakah bertumbuh cepat atau lambat. Hasil analisis ini juga
dapat menunjukkan bagaimana perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, apakah bertumbuh cepat atau lambat. Wilayah yang
dimaksud bisa berupa wilayah propinsi dalam wilayah cakupan agregat nasional, atau wilayah kabupatenkota dalam cakupan wilayah agregat propinsi dan
seterusnya Pribadi et al. tanpa tahun.
Dalam analisis shift-share dipengaruhi 3 komponen yaitu: komponen pertumbuhan nasional national growth component, komponen pertumbuhan
proporsional proportional or industrial mix growth component komponen pertumbuhan pangsa wilayah regional share growth component. Cepat
lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan,
prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut Budiharsono 2001; Daryanto dan Hafizrianda 2010.
Analisis shift-share mampu menjelaskan kinerja suatu sektor di kabupaten dan membandingkan dengan kinerja sektor pada tingkat nasionalpropinsi
berdasarkan agregatnya. Analisis shift-share dapat memberikan gambaran sebab- sebab terjadinya pertumbuhan suatu sektor di suatu wilayah. Sebab-sebab
dimaksud dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu: yang berasal dari dinamika lokal kabupaten, dinamika sektor total wilayah propinsi dan dinamika wilayah
secara umum nasional. Hasil analisis shift-share akan menunjukkan gambaran 3 komponen yang menjelaskan kinerja suatu wilayah, yaitu:
1.
Komponen laju pertumbuhan total share menyatakan bahwa pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.
2. Komponen Pergeseran Proporsional proportional shift yang menyatakan
pertumbuhan total sektor tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika
sektor total dalam wilayah.
3. Komponen Pergeseran Deferensial differential shift, ukuran yang
menjelaskan tingkat daya saing suatu sektor tertentu dibandingkan dengan total sektor dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika suatu sektor
tertentu disuatu wilayah terhadap sektor di wilayah lain.
Persamaan Analisis Shift-Share Rustiadi, et al. 2009 adalah: dimana:
a = komponen share
b = komponen proportional shift
c = komponen differential shift
SSA = +
+ X..
t1
X..
t0
1 X
i t1
X
i t0
X..
t1
X..
t0
X
ij t1
X
ij t0
X
i t1
X
i t0
a b
c
X.. = nilai total aktivitassektor i dalam total wilayah propinsi
X
i
= nilai aktivitassektor i dalam total wilayah propinsi X
ij
= nilai aktivitassektor i pada wilayah ke j kota t
1
= tahun akhir analisis 2007, 2013 t
o
= tahun awaldasar analisis 2003, 2009
Analisis Location Quotient LQ
MetodeAnalisis location quotient LQ merupakan salah satu metode pengukuran tidak langsung. Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah suatu
sektor dalam suatu wilayah merupakan sektor basis atau non basis, Budiharsono, 2001. Menurut Riyadi dan Bratakusumah 2004 location quotient analysis
LQA dimaksudkan untuk mengetahui gambaran umum mengenai kemampuan sektor-sektor pembangunan disuatu wilayah dalam mendukung proses
pembangunan didaerah, atau merupakan metode yang membandingkan kemampuan sektor-sektor pembangunan dalam suatu daerahwilayah dengan
kondisi sektor-sektor pembangunan yang ada didaerah yang lebih luasbesar. Rumus untuk Metode Location Quotient LQ adalah:
dimana: LQ
ij
: Nilai LQ untuk sektor ke-j di daerah ke-i kota
X
ij
: Nilai sektor ke-j di wilayah ke-i kota
X
i.
: Nilai total sektor wilayah ke-i kota
X
.j
: Nilai sektor ke-j di wilayah ke-i propinsi
X
..
: Nilai total sektor wilayah ke-i propinsi
Hasil yang diperoleh dari MetodeAnalisis Location Quotient LQ menurut
Bendavid-Val dalam Kuncoro 2002 adalah: LQ 1
: menunjukkan bahwa sektor tersebut merupakan sektor unggulan karena mampu meningkatkan dan mengembangkan daerah
wilayah karena hasil produksinya atau merupakan sektor basis. LQ = 1
: menunjukkan bahwa sektor tersebut bukan merupakan sektor basis tetapi memiliki potensi menjadi sektor basisekspor disisi lain
sektor ini hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal daerah. LQ 1
: menunjukkan bahwa sektor tersebut bukan sektor unggulanbasis, karena sektor ini tidak bisa memenuhi kebutuhan lokal maka ada
kecenderungan untuk mengimpor dari luar daerah.
Analytical Hierarchy Process
Analytical Hierarchy Process AHP pada dasarnya didesain untuk menangkap persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan
tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai kepada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Model AHP ini dianggap model multi
– objectif
– multi – citeria Aziz 1994. Menurut Saaty 1986 pemilihan alat analisis didasarkan pertimbangan bahwa AHP merupakan salah satu alat atau
model pengambilan keputusan dengan input utama adalah persepsi manusia. AHP merupakan salah satu metode yang memecah suatu masalah kompleks ke dalam
kelompok-kelompok secara hirarki. Dengan AHP pembobotan suatu faktor atau variabel dapat dilakukan sesuai dengan persepsi manusia sehingga diharapkan
LQ
ij
=
X
ij
X
i.
X
.j
X
..
mampu menggambarkan kondisi yang senyatanya Kuncoro dan Rahajeng 2005. Untuk dapat mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat dari kebijakan
pemekaran wilayah serta mengevaluasi efektifitas dari Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007, maka tahapan langkah-langkah yang dilakukan dalam
menyusun AHP meliputi Saaty 1986; Suryadi dan Ramdhani 2000: 1.
Menentukan masalah dan solusi yang diinginkan. 2.
Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada
tingkatan kriteria yang paling bawah. 3.
Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria
yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgement dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen
dibandingkan elemen lainnya.
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga memperoleh judgement
seluruhnya sebanyak n x[n-1]2 buah dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan.
5. Menghitung nilai Eigen dengan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten
maka pengambilan data diulangi. 6.
Menghitung langkah 3,4,5 untuk seluruh tingkat hirarki. 7.
Menghitung vector Eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen, Langkah ini untuk mensintesis
judgement dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan.
8. Mengevaluasi dan memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih besar dari
10 maka penilaian data judgement harus diperbaiki. Setelah menentukan tahapan langkah-langkah maka selanjutnya dimasukkan
nilai numerik perbandingan dari skala 1 sampai 9 yang ditetapkan sebagai pertimbangan dalam membandingkan untuk menilai pasangan suatu elemen
dengan elemen lainnya Tabel 12. Tabel 12 Matriks Sistem Urutan Ranking Skala Perbandingan Berpasangan
antar Variabel
Intensitas Kepentingan
Definisi variabel Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen memberikan pengaruh yang sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih
penting dibanding dengan elemen lainnya
Pengalaman dan
pertimbangan sedikit
memihakmenyokong elemen satu dibanding yang lainnya
5 Elemen yang satu lebih esensial
atau sangat penting dari elemen lainnya
Pengalaman dan penilaian dengan kuat memihakmenyokong elemen satu atas elemen
yang lainnya 7
Elemen yang satu lebih jelas penting dibandingkan elemen
yang lainnya Elemen yang satu dengan kuat disukai dan
dominasinya tampak nyata dalam praktek 9
Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen yang lainnya
Bukti yang memihakmenyokong elemen yang satu atas yang lain berada pada tingkat
persetujuan tertinggi
yang mungkin
menguatkan 2,4,6,8
Nilai-nilai tengah
diantara dua
pertimbanganpenilaian yang berdekatan Diperlukan kompromi antara dua
pertimbangan Kebalikan
dari nilai diatas
Jika untuk nilai aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
Sumber: Saaty 1986, Kuncoro dan Rahajeng 2005
Kerangka AHP untuk persepsi masyarakat :
Gambar 10 Kerangka AHP persepsi masyarakat terhadap manfaat kebijakan
pemekaran wilayah di Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya.
Strategi dan kebijakan Pemekaran Wilayah memberikan manfaat bagi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya
Ultimate Goal
Faktor
Aktor
Tujuan
Alternative Strategi
Kemampua n Ekonomi
Potensi daerah
Kemampuan Keuangan
Sosial Budaya
Sosial Politik
Luas Daerah
Pertah anan
Keama nan
Tingkat Kesejahteraa
n Rentang
Kendali Kepend
udukan
Proses pentahapan dalam pemekaran
wilayah Pemekaran
digabungkembali ke daerah induk
Pemekaran wilayah menciptakan pusat
pertumbuhan Pusat pertumbuhan
menciptakan Pemekaran wilayah
Mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat
pemekaran bagi daerah Merumuskan kebijakan yang
ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah
Mendekatkan Pelayanan Publik
kepada Masyarakat Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat
DPRD Tokoh
masyarakat BupatiwakilSekdaKepala Dinaskepala
BidangKepala SeksiStaff Pengusaha
Inverstor Pendidik
Akademisi
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Gambaran Umum KabupatenKota Sultra Kepulauan Geografis dan Administrasi Wilayah
Secara geografis Wilayah Sulawesi Tenggara Kepulauan selanjutnya disingkat Sultra Kepulauan berada pada bagian Selatan Provinsi Sulawesi
Tenggara yang berupa wilayah kepulauan. Pulau-pulau yang masuk dalam gugusan Sultra Kepulauan meliputi Pulau Muna, Pulau Buton, Pulau Kabaena,
Kepulauan Wakatobi Wanci-Kaledupa-Tomia-Binongko atau biasa dikenal dengan kepulauan tukang besi. Titik koordinat wilayah Sultra Kepulauan berada
pada 0,5
15’ hingga 05 32’ Lintang Selatan dan 122
46’ Bujur Timur. Posisi kabupatenkota Sultra Kepulauan yang meliputi Kota Baubau dan wilayah
sekitarnya hinterland yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana dapat dilihat
pada Gambar 11.
Sumber: BPS Kota Baubau 2013
Gambar 11 Peta Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara menurut KabupatenKota dan Posisi KabupatenKota Sultra Kepulauan
Luas wilayah kabupatenkota Sultra Kepulauan adalah 11.475,79 Km
2
atau 32 dari total wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari Kota Baubau luas
wilayah 221,00 Km
2
, Kabupaten Buton luas wilayah 2.488,71 km
2
, Kabupaten Buton Utara luas wilayah 1.923,03 Km
2
, Kabupaten Wakatobi luas wilayah 823,00 Km
2
, Kabupaten Muna luas wilayah 2.963,97 Km
2
dan Kabupaten Bombana luas wilayah 3.056,08 Km
2
. Batas wilayah Sultra Kepulauan adalah sebelah utara, berbatasan dengan Selat Tiworo, Kabupaten Konawe Selatan,
Kabupaten Konawe Kepulauan dan Laut Banda; Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda; Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores; dan sebelah barat
berbatasan dengan Teluk Bone dan Laut Flores.
Secara administratif Kota Baubau merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton, dimana pada zaman Indonesia sebelum merdeka Kabupaten Buton adalah
KabKota Daratan Prop. Sulawesi Tenggara
KabKota Kepulauan Prop. Sulawesi Tenggara
Kab. Buton Utara Kab. Buton
Kab. Muna Kab. Wakatobi
Kab. Bombana
Kota Baubau Kab. Konawe Selatan
Kab. Kolaka Utara Kab. Konawe Utara
Kab. Kolaka Kab. Konawe
Kab. Kolaka Timur Kota Kendari
Kab. Konawe Kepulauan
Sultra Kepulauan
wilayah kekuasaan KerajaanKesultanan Buton. Dalam perkembangannya yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah, Kabupaten Buton kemudian banyak memekarkan kabupaten antara lain Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton Utara dan yang
terakhir tahun 2014 memekarkan Kabupaten Buton Tengah dan Kabupaten Buton Selatan. Oleh karena kondisi tersebut secara geografis maupun sosial budaya
kabupatenkota yang berada di wilayah Sultra Kepulauan mempunyai kedekatan dan keeratan hubungan, sehingga berkembang dan menguatnya isu pembentukan
Propinsi Buton Raya.
Posisi lima kabupatenkota yang saling berdekatan memiliki hubungan kultural, hubungan emosional maupun kedekatan dan keterkaitan ekonomi namun
dengan karakteristik wilayah yang beragam kelima kabupaten dapat saling mendukung dalam upaya pengembangan potensi ekonominya yaitu Kabupaten
Buton, Kota Baubau, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, sedang Kabupaten Muna hanya memiliki keterkaitan ekonomi karena
posisi wilayahnya yang berdekatan dan berada pada wilayah Sultra Kepulauan.
Keberhasilan pembangunan suatu negara atau wilayah propinsi dan kabupatenkota dapat dilihat dari indikator ekonomi maupun indikator sosial.
Indikator ekonomi biasanya ditunjukkan dengan seberapa besar peningkatan dan perkembangan PDRB baik itu PDRB perkapita maupun ADH Konstan dan laju
pertumbuhan ekonomi. Sedang indikator sosial biasanya ditunjukkan dengan seberapa besar peningkatan dan perhatian pada pengembangan sumber daya
manusia yang tercermin melalui indeks pembangunan manusia, dan kemiskinan, karena hal-hal tersebut merupakan persoalan-persoalan mendasar daripada
pembangunan serta kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan dari pembangunan. Dengan demikian indikator ekonomi dan indikator sosial bagaikan
dua sisi mata uang, bahwa keberhasilan pembangunan sosial didalamnya juga keberhasilan pembangunan ekonomi. Sehingga dapat dikatakan keberhasilan
pembangunan bukan hanya diukur dan dilihat dari indikator ekonomi saja namun keberhasilan pembangunan juga diukur dan dilihat dari indikator sosial.
Indikator Sosial dan Kependudukan a.
Jumlah dan Perkembangan Penduduk
Penduduk merupakan elemen penting dalam pengembangan wilayah. Wilayah Sulawesi Tenggara Sultra Kepulauan dalam penelitian ini meliputi
Kota Baubau sebagai lokus penelitian dan beberapa kabupaten sekitarnya hinterland yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten
Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana. Perkembangan jumlah penduduk di kabupatenkota Sultra Kepulauan menunjukkan peningkatan dari
tahun ke tahun. Tabel 13 dibawah memperlihatkan peningkatan jumlah penduduk kabupatenkota Sultra Kepulauan dari tahun 2009 yaitu Kota Baubau 134.218
jiwa;
Kabupaten Buton 255.118 jiwa; Kabupaten Buton Utara 53.959 jiwa; Kabupaten Wakatobi 92.796 jiwa; Kabupaten Muna 248.461 jiwa; dan Kabupaten
Bombana 135.295 jiwa. Sampai dengan tahun 2013, dari 2.360.611 jiwa jumlah penduduk Propinsi Sulawesi Tenggara, sebanyak 989.847 jiwa atau 41,93 persen
berada di wilayah Sultra Kepulauan. Perkembangan jumlah penduduk kabupatenkota Sultra Kepulauan tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Perkembangan Jumlah Penduduk KabupatenKota Sultra Kepulauan Tahun 2009-2013
No. Kabkota Sultra
Kepulauan Jumlah Penduduk Tahun
Rata-rata 2009
2010 2011
2012 2013
1. Kota Baubau
134.218 136.991
139.726 142.576
145.427 139.787,6
2. Kab. Buton
255.118 255.712
260.801 261.119
261.727 258.895,4
3. Kab. Buton Utara
53.959 54.736
55.828 56.631
57.422 55.715,2
4. Kab. Wakatobi
92.796 92.995
94.846 94.953
95.157 94.149,4
5. Kab. Muna
248.461 268.277
273.616 278.437
279.928 269.743,8
6. Kab. Bombana
135.295 139.235
142.006 146.072
150.186 142.558,8
Jumlah 919.847
947.946 966.823
979.788 989.847
Sulawesi Tenggara 2.191.951
2.232.586 2.277.049
2.318.600 2.360.611
2276159,4 Sumber: BPS Kota Baubau, Kabupaten: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan
Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, maka kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk Kota Baubau 645 orang per
km
2
; Kepadatan penduduk Kabupaten Buton 112 orang per km
2
; Kepadatan penduduk Kabupaten Buton Utara 105 orang per km
2
; Kepadatan penduduk Kabupaten Wakatobi 223 orang per km
2
; Kepadatan penduduk Kabupaten Muna 96 orang per km
2
; dan Kepadatan penduduk Kabupaten Bombana 48 orang per km
2
.