Komunikasi Nonverbal Pada Lesbian (Studi Deskriptif Pada Organisasi Cangkang Queer Medan

(1)

KOMUNIKASI NONVERBAL PADA LESBIAN

(Studi Deskriptif Pada Organisasi Cangkang Queer Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan

Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Komunikasi

Diajukan Oleh :

Nurhasanah Harahap

110904070

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah tak luput penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang

berjudul “Komunikasi Nonverbal Pada Lesbian (Studi Deskriptif Pada Organisasi Cangkang Queer Medan)” dapat diselesaikan dengan baik.

Terjun ke lapangan bukanlah hal yang mudah bagi penulis. Seperti kata

Albert Einstein: “the environment is everything that isn't me”, sehingga penulis membutuhkan banyak waktu untuk membaur dan memahami mereka. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadi halangan penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi demi menyandang gelar S.Ikom untuk Ayah Ibu tercinta.

Terima kasih yang tak terhingga tentunya penulis sampaikan kepada kedua orangtua, Ayahanda Ibnu Hasyim Harahap dan Ibunda Zurlina Saragih atas segala curahan kasih sayang, dukungan, dan nasihat yang tiada henti kepada penulis hingga saat ini. Terima kasih juga kepada Abdul Rahman Harahap yang selalu memberikan dukungan dan semangat disaat penulis buntu dan tidak mengerti tentang permasalahan teknis selama penulisan skripsi ini.

Selain itu, selama menyelesaikan penyusunan skripsi ini penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, khususnya :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A dan Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku ketua dan juga sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi yang begitu baik atas segala bantuan serta dukungannya yang sangat bermanfaat bagi penulis.

3. Ibu Emilia Ramadhani, S.Sos, M.A selaku dosen pembimbing yang telah sabar memberikan bimbingan, nasihat, dan saran bagi penulis selama penyusunan skripsi.

4. Ibu Mazdalifah, M.Si, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan masukan, nasihat, dan dorongan selama penulis menjalani perkuliahan di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU.


(3)

5. Segenap pengajar Ilmu Komunikasi FISIP USU untuk semua pengetahuan mahal yang penulis rasakan manfaatnya.

6. Staf Departemen Kak Maya, Kak Icut, Bang Ria serta seluruh staff FISIP USU yang telah membantu penulis selama perkuliahan.

7. Semua anggota Persma Pijar yang selalu berbagi ilmu, cerita, dan film. Semoga Persma Pijar semakin berpijar. Hidup Litbang!

8. Semua anggota Cangkang Queer Medan, terlebih pada Bang Amee, Bang Dika, dan Kak Kristin atas segala bantuannya baik di lapangan, maupun saat penyusunan skripsi.

9. Semua informan yang telah bersedia meluangkan waktunya, bahkan secara sukarela menyajikan makanan pada penulis saat wawancara.

10.Geng Teroh-Teroh Eci Ginting, Nakkok Siahaan, Bang Yosua, dan Im Ence untuk dukungan dan apresiasinya. Semoga kita masih dipersatukan dengan keakraban.

11.Teman tergila penulis Risa, Ummul, Bang Endo, Kepot, Mei, dan Elsa atas canda dan tawa selama masa perkuliahan, serta Rusmi dan Awik yang telah berjasa saat penulis di bangku kuliah. Kalian luar biasa!

12.Geng Virtual Yanade Laila Rambe dan Nia Nazrah Hasibuan yang selalu berbagi suka dan duka dunia asmara. Semoga kita masih bisa selip menyelip. 13.Serta semua pihak yang mendukung penulis selama perkuliahan yang tidak

dapat disebutkan satu persatu. Semoga kita dirahmati Allah SWT.

Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan skripsi ini, penulis mengharapkan masukan, kritik, dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Cukup banyak kesulitan yang penulis temui dalam penulisan skripsi ini, tetapi Alhamdullilah dapat penulis atasi dan selesaikan dengan baik. Akhir kata penulis ucapkan maaf atas segala kesalahan dan terima kasih.

Medan, April 2015 Nurhasanah Harahap


(4)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Komunikasi Nonverbal Pada Lesbian” (Studi Deskriptif Pada Organisasi Cangkang Queer Medan). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal di kalangan lesbian yang tergabung dalam Organisasi Cangkang Queer Medan. Bentuk-bentuk komunikasi nonverbal tersebut meliputi komunikasi tubuh; ruang, kewilayahan, dan komunikasi sentuhan; parabahasa dan waktu. Komunikasi tubuh terdiri dari gerakan tubuh, mata, wajah, kepala, tangan, dan kaki. Setelah itu, ruang, kewilayahan, dan komunikasi sentuhan terdiri dari jarak, penampilan fisik, atribut khusus, dan sentuhan. Selain ingin mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal di kalangan lesbian yang tergabung dalam Organisasi Cangkang Queer Medan, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap identitas lesbian melalui komunikasi nonverbal yang diketahui. Penelitian ini menggunakan metode studi deskriptif, yaitu penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala- gejala, fakta- fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat serta menganalisanya berdasarkan data yang diperoleh. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi. Pembahasannya dianalisis melalui hasil wawancara serta menggunakan interpretasi. Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang yaitu para lesbian yang dipilih berdasarkan kriteria yang peneliti ajukan. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa bentuk-bentuk komunikasi para lesbian terdiri dari gerakan tubuh, mata, wajah, kepala, tangan, dan kaki. Kemudian, tidak adanya gerakan khusus, sentuhan khusus, serta atribut khusus sebagai tanda bahwa mereka adalah lesbian. Gerakan tubuh saat memiliki ketertarikan dengan perempuan lain melalui tatapan mata. Penampilan fisik yang ditampilkan butchy maupun transman terlihat seperti lelaki pada umumnya, sedangkan femme dan andro terlihat seperti perempuan pada umumnya. Hanya saja, seorang andro tidak selamanya berpenampilan feminim.


(5)

ABSTRACT

The title of this study is "Nonverbal Communication on Lesbian" (Descriptive Study of Cangkang Queer Medan Organization ). The purpose of this study is to determine the forms of nonverbal communication among lesbians who are members of Cangkang Queer Medan Organization. Forms of nonverbal communication includes communication of the body; space, territorial, and touch communication; paralinguistic and time. Communication body composed of body movements, eye, face, head, hands, and feet. After that, space, territoriality, and touch communication consists of distance, physical appearance, special attributes, and touch. Besides wanting to know the forms of nonverbal communication among lesbians who are members of Cangkang Queer Medan Organization, this study also aims to reveal lesbian identity through nonverbal communication are known. This study used a descriptive study, the research aimed to provide symptoms, facts, or events systematically and accurately and analyze it based on the data obtained. Data collection techniques using in-depth interviews and observation techniques. Discussion analyzed through interviews and using interpretation. Informants in this study were 8 people that lesbians are selected based on criteria that researcher asked. From the analysis we concluded that the forms of communication lesbians consist of body movements, eye, face, head, hands, and feet. Then, there is none of special movement, special touches, and special attributes as a sign that they are lesbians. Movement body when they have an interest with other women through the eyes. Physical appearance shown butchy or transman look like men in general, while femme and andro look like women in general. However, an andro not always looks feminine.


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... ... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ... ii

LEMBAR PENGESAHAN... ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS... ... iv

KATA PENGANTAR... ... v

ABSTRAK... ... vii

DAFTAR ISI... .. ix

DAFTAR GAMBAR... ... xi

DAFTAR TABEL... ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian ... 9

2.2 Kerangka Teori... 10

2.2.1 Komunikasi Antarmanusia ... 10

2.2.2 Komunikasi Nonverbal ... 13

2.2.3 Orientasi Seksual ... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

3.1 Metode Penelitian... 30

3.2 Lokasi Penelitian ... 32

3.2.1 Sejarah Cangkang Queer Medan ... 32

3.2.2 Pilar Strategi... ... 33


(7)

3.2.4 Keanggotaan. ... 33

3.2.5 Makna Nama dan Slogan ... 34

3.2.6 Visi dan Misi ... 34

3.2.7 Azas... ... 35

3.2.8 Struktur Organisasi ... 36

3.2.9 Program... ... 36

3.3 Objek Penelitian ... 37

3.4 Subjek Penelitian ... 37

3.5 Kerangka Analisis ... 37

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 38

3.6.1 Teknik Pengumpulan Data Primer... ... 38

3.6.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder... ... 41

3.7 Penentuan Informan ... 41

3.8 Keabsahan Data ... 42

3.9 Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1 Hasil... ... 48

4.1.1 Deskripsi Hasil Penelitian ... 48

4.1.2 Hasil Temuan Peneliti ... 53

4.2 Pembahasan... ... 63

4.3 Penyajian Data Penelitian... ... 74

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 86

5.1 Simpulan... ... 86

5.2 Saran... ... 87

DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

3.1 Struktur organisasi Cangkang Queer Medan 36

3.2 Kerangka Analisis 38

3.3 Teknik Triangulasi 44


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Karakteristik Informan 52


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

- Panduan Wawancara Komunikasi Nonverbal Lesbian - Hasil Wawancara

- Dokumentasi Penelitian - Biodata Peneliti


(11)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Komunikasi Nonverbal Pada Lesbian” (Studi Deskriptif Pada Organisasi Cangkang Queer Medan). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal di kalangan lesbian yang tergabung dalam Organisasi Cangkang Queer Medan. Bentuk-bentuk komunikasi nonverbal tersebut meliputi komunikasi tubuh; ruang, kewilayahan, dan komunikasi sentuhan; parabahasa dan waktu. Komunikasi tubuh terdiri dari gerakan tubuh, mata, wajah, kepala, tangan, dan kaki. Setelah itu, ruang, kewilayahan, dan komunikasi sentuhan terdiri dari jarak, penampilan fisik, atribut khusus, dan sentuhan. Selain ingin mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal di kalangan lesbian yang tergabung dalam Organisasi Cangkang Queer Medan, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap identitas lesbian melalui komunikasi nonverbal yang diketahui. Penelitian ini menggunakan metode studi deskriptif, yaitu penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala- gejala, fakta- fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat serta menganalisanya berdasarkan data yang diperoleh. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi. Pembahasannya dianalisis melalui hasil wawancara serta menggunakan interpretasi. Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang yaitu para lesbian yang dipilih berdasarkan kriteria yang peneliti ajukan. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa bentuk-bentuk komunikasi para lesbian terdiri dari gerakan tubuh, mata, wajah, kepala, tangan, dan kaki. Kemudian, tidak adanya gerakan khusus, sentuhan khusus, serta atribut khusus sebagai tanda bahwa mereka adalah lesbian. Gerakan tubuh saat memiliki ketertarikan dengan perempuan lain melalui tatapan mata. Penampilan fisik yang ditampilkan butchy maupun transman terlihat seperti lelaki pada umumnya, sedangkan femme dan andro terlihat seperti perempuan pada umumnya. Hanya saja, seorang andro tidak selamanya berpenampilan feminim.


(12)

ABSTRACT

The title of this study is "Nonverbal Communication on Lesbian" (Descriptive Study of Cangkang Queer Medan Organization ). The purpose of this study is to determine the forms of nonverbal communication among lesbians who are members of Cangkang Queer Medan Organization. Forms of nonverbal communication includes communication of the body; space, territorial, and touch communication; paralinguistic and time. Communication body composed of body movements, eye, face, head, hands, and feet. After that, space, territoriality, and touch communication consists of distance, physical appearance, special attributes, and touch. Besides wanting to know the forms of nonverbal communication among lesbians who are members of Cangkang Queer Medan Organization, this study also aims to reveal lesbian identity through nonverbal communication are known. This study used a descriptive study, the research aimed to provide symptoms, facts, or events systematically and accurately and analyze it based on the data obtained. Data collection techniques using in-depth interviews and observation techniques. Discussion analyzed through interviews and using interpretation. Informants in this study were 8 people that lesbians are selected based on criteria that researcher asked. From the analysis we concluded that the forms of communication lesbians consist of body movements, eye, face, head, hands, and feet. Then, there is none of special movement, special touches, and special attributes as a sign that they are lesbians. Movement body when they have an interest with other women through the eyes. Physical appearance shown butchy or transman look like men in general, while femme and andro look like women in general. However, an andro not always looks feminine.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Komunikasi merupakan aktivitas makhluk sosial. Dalam praktik komunikasi terjadi pertukaran ide, informasi, gagasan, keterangan, himbauan, permohonan, saran, usul, bahkan perintah. Proses komunikasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menerima informasi bahkan membangun persepsi terhadap suatu hal (Effendy, 2009: 5).

Lebih lanjut, komunikasi merupakan suatu proses sosial yang sangat mendasar dan vital dalam kehidupan manusia. Komunikasi dikatakan mendasar karena setiap manusia, baik yang primitif maupun yang modern, berkeinginan untuk mempertahankan suatu persetujuan mengenai berbagai aturan sosial melalui komunikasi. Kemudian, komunikasi dikatakan vital karena setiap individu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan individu – individu lainnya, sehingga meningkatkan kesempatan individu tersebut dapat bertahan hidup.

Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan individu lainnya. Selain itu, manusia juga berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari individu – individu lain maupun lingkungan di sekitarnya. Manusia dikatakan makhluk sosial karena manusia hidup secara berkelompok untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya sudah berlangsung sejak manusia itu ada dan disebabkan oleh berbagai faktor pendorong. Faktor pendorong tersebut dapat bersifat alamiah seperti dorongan untuk mempertahankan hidup dan dorongan untuk mempertahankan kelompok. Untuk dapat memenuhi kebutuhannya, manusia jelas membutuhkan komunikasi dengan individu – individu lain atau lingkungan sekitarnya. Disini, komunikasi merupakan suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi manusia dalam hidup bermasyarakat.

Tidak hanya dalam kehidupan sosial, komunikasi juga memegang peranan yang tak kalah pentingnya bagi kehidupan pada aspek lain seperti budaya, ekonomi, politik dan segala aspek kehidupan lainnya. Di mana proses komunikasi


(14)

menjadi dinamika transaksional yang mempengaruhi perilaku, yang mana sumber (komunikator) dan penerimanya (komunikan) sengaja menyandi (to code) perilaku mereka untuk menghasilkan pesan guna merangsang atau memperoleh sikap atau perilaku tertentu sebagai konsekuensi dari hubungan sosial.

Komunikasi juga merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas. Kebutuhan manusia untuk berhubungan/berkomunikasi dengan sesamanya sudah dimulai sejak zaman Adam dan Hawa. Oleh karena itu, sepanjang manusia ingin mempertahankan hidupnya, maka manusia harus berkomunikasi. Jadi jelas bahwa komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Bagi sosiolog, komunikasi terpusat pada struktur sosial yang mempengaruhi tingkah laku; bagi ahli bahasa, komunikasi terletak pada tata bahasa, tata kalimat, dan makna kata; bagi biolog, komunikasi terpusat pada komposisi fisik dan organis manusia; sementara bagi psikolog, komunikasi terpusat pada perasaan atau motif manusia (Roqib, 2009: 55).

Dari perspektif psikologi, komunikasi merupakan cara manusia untuk mengungkapkan perasaan. Perasaan dapat diartikan sebagai suatu rasa yang berkaitan dengan situasi konfrontasi antara nilai pribadi dengan nilai yang lain, sehingga menimbulkan nilai yang berbeda-beda rasanya bagi tiap orang. Oleh karena itu, perasaan seseorang terhadap suatu hal tidak selalu sama dengan orang lain yang juga menanggapi hal yang sama. Misal, seseorang merasa senang dapat membantu seorang nenek yang hendak menyebrangi jalan raya, sedangkan orang yang lainnya bisa saja merasa tidak senang. Hal ini jelas dipengaruhi dengan nilai pribadi dan nilai-nilai lain yang menjadi penyebab perbedaan perasaan tersebut. Kemudian, dalam mengungkapkan perasaan yang dimilikinya, manusia sering kali melibatkan emosinya.

Manusia sejak lahir telah memiliki emosi dasar yaitu cinta, kegembiraan, keinginan, benci, dan kagum. Sejak kecil pula manusia sudah diajarkan mengenai cinta, baik cinta terhadap Tuhan, orang tua, teman, diri sendiri, dan sebagainya (Marliany, 2010: 28). Dengan perantara cinta, manusia memiliki wadah untuk menumpahkan perasaan, berbagi suka dan duka, serta memberi dan menerima.


(15)

Abraham Maslow, tokoh psikologi beraliran humanisme, dalam hierarki kebutuhan yang disusunnya menempatkan cinta dan ketergolongan pada hierarki ketiga, tepatnya berada di tengah-tengah kebutuhan biologis dan rasa aman, serta kebutuhan akan harga diri ( self-esteem) dan aktualisasi diri. Jadi, kebutuhan manusia akan cinta merupakan kebutuhan yang tak kalah pentingnya. Bahkan, menurut Maslow dalam buku Mazhab Ketiga (1987) mengatakan bahwa kegagalan kebutuhan cinta dan rasa memiliki menjadi penyebab hampir semua bentuk psikopatologi.

Pengimplementasian cinta setiap manusia dalam suatu hubungan percintaan berbeda-beda. Hubungan percintaan manusia terbagi atas tiga jenis, yaitu relasi heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Relasi heteroseksual merupakan seseorang yang memiliki ketertarikan seksual dengan seseorang yang berbeda jenis kelamin dengannya. Relasi homoseksual merupakan seseorang yang memiliki ketertarikan seksual dengan seseorang yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan dirinya, sedangkan relasi biseksual yaitu seseorang yang memiliki ketertarikan seksual dengan seseorang yang memiliki jenis kelamin yang sama dengannya dan juga seseorang yang memiliki jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya.

Homoseksual merupakan orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai kelamin sejenis atau identitas gender yang sama. Istilah yang sudah umum dikenal masyarakat untuk orang yang termasuk homoseksual adalah gay (untuk laki-laki), dan lesbian (perempuan) (Oetomo, 2001: 75).

Lesbian adalah seorang perempuan yang memiliki ikatan emosional-erotis dan seksual terutama dengan perempuan atau yang melihat dirinya terutama sebagai bagian dari sebuah komunitas yang mengidentifikasikan dirinya seorang lesbian. Munculnya organisasi lesbian dan gay mulai berkembang pesat sejak diselenggarakannya Kongres Lesbian & Gay Indonesia di Kaliurang, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada bulan Desember 1993. (http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_0705144_chapter1.pdf).

Sejauh ini, status laki-laki yang secara emosional dan seksual tertarik kepada laki-laki masih menimbulkan pro-kontra. Sama halnya dengan status


(16)

perempuan yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama perempuan. Akan tetapi, kelompok ini ada di dalam masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya bermunculan organisasi atau komunitas yang tersebar hampir di seluruh negara, bahkan di Indonesia sendiri. Meskipun tergolong, minoritas, kelompok ini hidup di tengah masyarakat Indonesia.

Lesbian sebagai bagian dari homoseksual, mengalami berbagai kesulitan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Beberapa diantaranya cenderung tertutup dengan menyembunyikan identitasnya sebagai seorang lesbian. Ketidaksiapan akan konsekuensi yang mungkin akan diterima, juga mendorong semakin tertutupnya para lesbian, tak hanya kepada masyarakat saja, bahkan juga kepada orang-orang terdekat seperti keluarga, sahabat, dan lain-lain.

Proses pengakuan dan pengukuhan diri agar diterima oleh masyarakat sebagai lesbian dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan membentuk organisasi yang diharapkan dapat menjadi jembatan efektif untuk

berkomunikasi dengan masyarakat “normal” yang pada umumnya menilai para lesbian adalah orang-orang yang harus dijauhi karena menyimpang dari kaidah norma kesusilaan.

Kesamaan hobi atau aktifitas dapat menyebabkan terbentuknya organisasi. Dewasa ini, mudah sekali dijumpai organisasi yang terbentuk berdasarkan hobi dan akitifitas. Sebagai contoh organisasi para mahasiswa yang mencintai dunia pers, organisasi para aktivis, dan lain-lain. Disamping itu, organisasi yang terbentuk atas kesamaan orientasi seksual pun juga ikut terbentuk, sebagai contoh adanya organisasi lesbian dan gay. Organisasi ini sering berkumpul dan berinteraksi untuk mengembangkan jaringan komunikasinya sebagai orang-orang dengan kesamaan orientasi seksual.

Di Indonesia, terdapat beberapa organisasi lesbian yang hidup di tengah masyarakat. Sebagai contoh, organisasi Arus Pelangi. Arus pelangi adalah sebuah organisasi yang menaungi Lesbian, gay, bisexual, transgender, dan Intersex

(LGBTI).

Di kota Medan sendiri, lesbian mempunyai organisasinya agar dapat melakukan berbagai aspek kehidupan dan mengekspresikannya dengan sesama lesbian. Salah satunya adalah Organisasi Cangkang Queer Medan. Organisasi


(17)

Cangkang Queer Medan merupakan suatu perkumpulan yang beranggotakan Lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT).

Organisasi yang telah berdiri pada 10 Februari 2012 ini menaungi puluhan anggota yang tercatat aktif yang terdiri dari mahasiswa dan pekerja. Mereka telah memasuki tahap dewasa awal atau bahkan sudah menjadi dewasa akhir, sehingga mereka mengerti tentang problematika identitas diri masing-masing. Oleh sebab itu, masih banyak diantara mereka yang cenderung menutup identitas lesbiannya, baik dengan keluarga maupun dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, mereka memilih organisasi ini sebagai wadah dalam mengekspresikan diri.

Organisasi yang diketuai oleh seorang gay ini memiliki slogan “Youth

Medan Revolution Of Sexuality”. Di mana melalui slogan ini, diharapkan mereka ke depannya dapat diterima di tengah masyarakat, sehingga tidak perlu menutup-nutupi identitasnya, baik lesbian maupun gay.

Di dalam Organisasi Cangkang Queer Medan, lesbian bebas mengekspresikan jati dirinya. Penampilan fisik adalah salah satu bentuk ekspresi diri yang paling penting bagi mereka. Sebab, penampilan fisik yang ditampilkan seorang lesbian dapat diidentifikasi identitas dirinya oleh lesbian yang lain. Dalam lesbian sendiri, terdapat beberapa peran yaitu lesbian yang berperan sebagai laki-laki yang disebut butch. Kemudian lesbian yang berperan sebagai perempuan yang disebut femme. Setelah itu, lesbian yang bisa sebagai laki-laki atau perempuan yang disebut andro, dan lesbian yang bukan berperan laki-laki ataupun perempuan yang disebut no lebel.

Penampilan fisik merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal. Menurut Larry A Samovar (Mulyana, 2002: 343), komunikasi nonverbal mencakup rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting

komunikasi oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima. Jadi, definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga yang tidak disengaja sebagai bagian dari keseluruhan proses komunikasi. Kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain.


(18)

Menurut Ronald Adler dan George Rodman, komunikasi nonverbal memiliki empat karakteristik yaitu keberadaannya, kemampuannya menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal, sifat ambiguitasnya dan ketertarikannya dalam suatu kultur tertentu (Sendjaja, 2002: 6.17).

Eksistensi atau keberadaan komunikasi nonverbal akan dapat diamati ketika kita melakukan tindakan komunikasi secara verbal, maupun pada saat bahasa verbal tidak digunakan. Dengan kata lain, komunikasi nonverbal akan senantiasa muncul dalam setiap tindakan komunikasi, baik disadari maupun tanpa disadari. Misal, saat pembicara dalam sebuah seminar menyampaikan materinya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku, atau saat seseorang yang hendak melamar pekerjaan dengan mengenakan kaos dan celana robek. Komunikasi nonverbal akan sangat berpengaruh dalam berkomunikasi.

Karakteristik lain dari komunikasi nonverbal adalah sifat ambiguitasnya. Sifat ambiguitas ini memiliki banyak kemungkinan penafsiran terhadap sebuah perilaku atau simbol-simbol yang digunakan. Sifat ambigu atau mendua ini sangat penting bagi penerima atau komunikan untuk menguji setiap interpretasi sebelum sampai pada kesimpulan tentang makna dari suatu pesan nonverbal.

Karakteristik yang terakhir adalah komunikasi nonverbal terikat dalam suatu kultur atau budaya tertentu. Disini dimaksudkan bahwa perilaku-perilaku yang memiliki makna khusus dalam satu budaya, akan mengekspresikan pesan-pesan yang berbeda dengan kultur atau budaya lainnya. Misal, seseorang yang menggelengkan kepala bermakna “tidak” bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun, lain halnya dengan masyarakat India. Mereka kerap menggelengkan kepalanya saat menyetujui sesuatu. Hal ini jelas memiliki perbedaan makna dalam komunikasi nonverbal bagi masyarakat Indonesia dan India.

Secara umum, DeVito dalam bukunya Komunikasi Antarmanusia (2011) membagi jenis komunikasi nonverbal menjadi tiga, yaitu komunikasi tubuh; ruang, kewilayahan, dan komunikasi sentuhan; parabahasa dan waktu. Komunikasi nonverbal lebih lanjut dikategorikan dalam beragam jenis, komunikasi tubuh melalui gerakan-gerakan tubuh, gerakan wajah, dan gerakan mata. Selain komunikasi tubuh, komunikasi nonverbal selanjutnya adalah ruang,


(19)

kewilayahan, dan komunikasi sentuhan. DeVito (2011) menjelaskan bahwa pemusatan perhatian dalam pembahasan terkait komunikasi ruang adalah jarak ruang yang terdiri dari : jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, jarak publik. Selanjutnya, Kewilayahan yang memiliki hubungan dengan kekuasaan. Setelah itu, Komunikasi sentuhan atau disebut dengan haptics. Terakhir, parabahasa dan waktu.

Tak berbeda jauh dengan DeVito, Sendjaja menjelaskan dalam Modul Teori Komunikasi (2002) bahwa komunikasi nonverbal terdiri dari vocalics atau

paralanguage, kinesics yang mencakup gerakan tubuh, lengan, dan kaki, serta ekspresi wajah (facial expression), perilaku mata (eye behavior), lingkungan yang mencakup objek benda dan artifak, proxemics: yang merupakan ruang dan teritori pribadi, haptics (sentuhan), penampilan fisik (tubuh dan cara berpakaian),

chronemics (waktu), dan olfaction (bau).

Dalam konteks lesbian, selain sebagai bentuk pengekspresian diri mereka seperti pakaian, parfum, aksesoris, dan lain-lain, komunikasi nonverbal juga dapat digunakan sebagai alat pertukaran informasi antara lesbian yang satu dengan lesbian yang lain. Misal, melalui pakaian, seorang butch kerap berpenampilan tomboi. Hal ini dapat diidentifikasi lebih mudah dibandingkan dengan femme

maupun andro. Jika pada femme, mereka cenderung berpakaian perempuan yang memiliki ketertarikan pada lawan jenisnya atau dengan kata lain heteroseksual.

Femme cenderung berpakaian feminim, sehingga jika membaur di tengah masyarakat, identitasnya sebagai lesbian sulit terungkap. Begitu juga dengan

andro. Andro tidak memiliki penampilan fisik yang tetap.

Lebih lanjut, andro kerap mengubah penampilannya tergantung pada peran yang dikehendakinya. Misal, saat ingin berperan sebagai laki-laki, andro

cenderung berpenampilan tomboi, namun tidak begitu mencolok layaknya butch.

Lain halnya jika ingin berperan sebagai perempuan, andro akan menyesuaikan penampilannya agar terlihat sebagai perempuan seperti biasanya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana komunikasi nonverbal pada lesbian di Kota Medan yang tergabung dalam Cangkang Queer Medan. Selain untuk mengungkap identitas lesbian, penulis juga ingin mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal yang dilakukan oleh lesbian yang menjadi ciri khas lesbian.


(20)

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan fokus masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Bagaimana komunikasi nonverbal pada lesbian yang tergabung dalam Organisasi

Cangkang Queer Medan?”. Kemudian, penelitian ini hanya menguraikan bentuk-bentuk komunikasi nonverbal yang digunakan pada lesbian yang tergabung dalam Organisasi Cangkang Queer Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal di kalangan lesbian yang tergabung dalam Organisasi Cangkang Queer Medan. 2. Untuk mengungkap identitas lesbian melalui komunikasi nonverbal

yang diketahui.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan berdaya guna sebagai berikut:

a. Secara akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan keilmuan Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai komunikasi nonverbal.

b. Secara teoritis

Penulis dapat menerapkan ilmu dan pengetahuan yang di dapat selama masa perkuliahan melalui penelitian ini dan juga sekaligus memperkaya wawasan penulis, serta hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan menambah pengetahuan dan wawasan orang lain, khususnya mengenai komunikasi nonverbal.

c. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat secara umum tentang komunikasi nonverbal pada lesbian di Medan dan juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak lain.


(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

Konstruktivisme berada di titik temu dua aluran besar dalam sejarah sosiolog: sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) dan sosiologi sains (sociology of science) (Kulka, 2003: 13).

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman

melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in

the Sociological of Knowladge” pada tahun 1966. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2008: 189).

Asal mula konstruksi sosial dari paradigma konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila ditelusuri, sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).

Semua orang bisa saja mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Selain plural, konstruksi juga bersifat dinamis. Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas tersebut merupakan realitas subjektif dan sekaligus realitas objektif (Eriyanto, 2002: 16).

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Komunikasi nonverbal pada lesbian yang tergabung dalam Organisasi Cangkang Queer Medan merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial. Oleh karena itu, perlu diteliti karena setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda, status pendidikan yang berbeda, dan lingkungan yang berbeda yang bisa menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika berhadapan dengan suatu objek. Terlebih, komunikasi


(22)

nonverbal sendiri memiliki tingkat ambiguitas yang tinggi karena penafsirannya tidak memiliki ketentuan yang berlaku secara universal. Lagi, pernafsirannya juga dipengaruhi oleh latar belakang, pendidikan, lingkungan, dan lain-lain dari setiap individu yang memberikan penafsiran.

2.2 Kerangka Teori

2.2.1 Komunikasi Antarmanusia

Komunikasi antarmanusia (human communications) merupakan ciri pokok kehidupan manusia sebagai makhluk sosial pada tingkat kehidupan sederhana maupun pada tingkat kehidupan modern yang lebih kompleks seperti sekarang ini. Melalui komunikasi, manusia dapat mengalami kontak dan interaksi sosial, baik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku maupun antarbangsa.

Secara umum komunikasi antarmanusia dipahami sebagai komunikasi antar individu-individu dengan latar belakang kepentingan berdasarkan latar pribadi. Menurut DeVito (2011: 23) komunikasi antarmanusia adalah komunikasi yang terjadi di antara dua orang yang memiliki hubungan mapan; orang-orang yang dengan berbagai cara hubungan.

Definisi ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa komunikasi antarmanusia melibatkan paling sedikit dua orang (dyadic) dalam sebuah relasi (relation). Walaupun ketika seseorang berada pada sebuah kondisi triads (kelompok yang terdiri atas tiga orang), dyads (relasi dua orang) tetap menjadi hal yang utama;

dyads selalu menjadi pusat dari relasi antarmanusia. Misal, komunikasi antarmanusia dapat meliputi suatu proses pertukaran pesan di antara seorang anak dan ayahnya, seorang atasan dan karyawannya, dua orang bersaudara, seorang guru dan seorang muridnya, dua orang sahabat, dan sebagainya.

Dalam buku Komunikasi Antarmanusia, DeVito (2011) menggambarkan komunikasi antarmanusia mengandung elemen-elemen yang ada di dalam setiap tindakan komunikasi, terlepas dari apakah itu bersifat intrapribadi, antarpribadi, kelompok kecil, organisasi, publik (terbuka), komunikasi antarbudaya, atau komunikasi massa. Dalam komunikasi intrapribadi, DeVito mendefinisikannya sebagai komunikasi dengan diri sendiri di mana memiliki tujuan untuk berpikir, melakukan penalaran, menganalisis, maupun merenung. Sedangkan komunikasi


(23)

antarpribadi diartikan sebagai komunikasi antara dua orang yang dilakukan untuk mengenal, berhubungan, mempengaruhi, bermain, maupun membantu. Kemudian, pada komunikasi kelompok kecil didefinisikan sebagai komunikasi dalam sekelompok kecil orang untuk berbagi informasi, mengembangkan gagasan, memecahkan masalah, maupun membantu. Selanjutnya, komunikasi organisasi adalah komunikasi dalam suatu organisasi formal demi meningkatkan produktivitas, membangkitkan semangat kerja, maupun memberikan informasi yang meyakinkan.

Selain itu, komunikasi publik diartikan DeVito sebagai komunikasi dari pembicaraan khalayak yang mana untuk memberi informasi, meyakinkan, maupun menghibur. Setelah itu, komunikasi antarbudaya yang arti singkatnya adalah komunikasi antara orang dari budaya yang berbeda untuk mengenal, berhubungan, mempengaruhi, bermain, maupun membantu. Terakhir, DeVito mendefinisikan komunikasi massa sebagai komunikasi yang diarahkan kepada khalayak yang sangat luas, disalurkan melalui sarana audio dan atau visual. Komunikasi massa dikakukan untuk menghibur, meyakinkan, memberi informasi, mengukuhkan status, membius, maupun menciptakan rasa persatuan.

Dari pemaparan sebelumnya, diketahui bahwa komunikasi antarmanusia memiliki cakupan luas yang senantiasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Saat berdiri dihadapan kaca, Anda mungkin akan menatap diri Anda dan bergumam sendiri. Kemudian, ketika menjumpai ibu yang sedang memasak,

mungkin Anda akan menanyakan “masak apa?”. Setelah itu, Anda berangkat ke sekolah dengan teman Anda dan kemudian terjadi pembicaraan di antara kalian berdua. Setelah tiba di kelas, Anda dihadapkan dengan teman sekelas dan lagi, terjadi pembicaraan yang mungkin melibatkan sebagian atau seluruh orang di dalam kelas.

Dalam konteks komunikasi, komunikasi yang terjadi antara manusia, setidak-tidaknya, memiliki tiga dimensi.: fisik, sosial-psikologis dan temporal. Konteks (lingkungan) fisik disini memiliki makna sebagai lingkungan nyata atau berwujud. Lingkungan fisik ini pastilah memiliki pengaruh terhadap komunikasi yang terjadi, baik pengaruh dalam pesan, maupun dalam bentuk pesannya. Misal,


(24)

pesan yang Anda sampaikan di dalam kelas akan berbeda dengan pesan yang Anda sampaikan di kantin. Perbedaan ini dapat berhubungan dengan tata bahasa.

Dimensi sosial-psikologis meliputi, misalnya tata hubungan status di antara mereka yang terlibat, peran dan permainan yang dijalankan orang, serta aturan budaya, masyarakat di mana mereka berkomunikasi (DeVito, 2011: 25).

Dimensi temporal mencakup waktu dalam sehari maupun waktu didalam hitungan sejarah di mana komunikasi berlangsung. Hal yang paling penting adalah bagaimana suatu pesan tertentu disesuaikan dengan rangkaian peristiwa komunikasi.

Selain dimensi, hal lain yang terlibat saat terjadinya komunikasi adalah sumber-penerima. Sumber dimaksudkan sebagai orang yang menyampaikan pesan komunikasi atau yang lebih dikenal sebagai komunikator. Sedangkan penerima adalah orang yang menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Penerima dapat disebut sebagai komunikan. Dalam proses menyampaikan dan menerima pesan, terdapat istilah encoding dan decoding. Encoding adalah proses penyampaian pesan yang menggunakan lambang atau kode tertentu. Sedangkan

decoding memiliki arti sebagai proses penerimaan pesan dengan menguraikan lambang atau kode tersebut.

Lebih lanjut, guna menciptakan komunikasi yang efektif, dibutuhkannya kompetensi komunikasi bagi seseorang yang hendak berkomunikasi. Menurut DeVito (2011: 27) kompetensi komunikasi mengacu pada kemampuan Anda untuk berkomunikasi secara efektif.

Pesan dan saluran merupakan hal yang terlibat saat komunikasi sedang berlangsung. Pesan berupa informasi baik berupa verbal (lisan atau tertulis) maupun nonverbal (tanpa kata). Sedangkan saluran komunikasi adalah media yang digunakan dalam menyampaikan pesan.

Umpan balik dan gangguan juga merupakan hal yang bisa saja terjadi saat komunikasi dilakukan antara manusia. Umpan balik berarti informasi yang dikirimkan balik ke sumbernya. Misal, ketika Anda mengikuti acara seminar, setelah acara selesai Anda mengacungkan jari untuk memberikan tanggapan kepada pemateri. Sedangkan gangguan dalam konteks komunikasi dapat berupa gangguan fisik, psikologis, atau semantik.


(25)

Gangguan fisik dapat digambarkan melalui contoh ketika Anda berbicara dengan teman Anda, namun suara orang lain mengganggu pendengaran teman Anda dan bisa saja pesannya tidak sampai. Sedangkan gangguan psikologis datang dari si komunikator atau komunikan. Misal, prasangka yang telah terbentuk sejak awal. Setelah itu, gangguan semantik di mana komunikator dengan komunikan tidak memiliki kesamaan arti dalam memaknai pesan.

2.2.2 Komunikasi Nonverbal

Kajian pertama mengenai komunikasi nonverbal ditemukan pada zaman Aristoteles sekitar 400 sampai 600 tahun Sebelum Masehi. Namun, studi ilmiahnya yang berkaitan dengan retorika, baru dilakukan pada zaman Yunani dan Romawi Kuno. Karya Cicero, Pronuntiatio atau cara berpidato, mungkin yang pertama kali memperlakukan komunikasi nonverbal secara sistematis. Bagaimanapun juga, karyanya telah dibatasi untuk menggunakan suara dan gerakan-gerakan ragawi dalam konteks public speaking. Dari hasil karya Cicero ini, kemudian orang lain mengkaji pengaruh bahasa nonverbal terhadap komunikasi dalam hampir keseluruhan situasi public speaking (Sendjaja, 2002: 6.22)

Dalam tahun 1775, Joshua Steele memusatkan kajiannya mengenai komunikasi nonverbal pada suara sebagai satu instrumen atau pada suatu konsep yang disebut prosody. Konsep dari Steele ini menjelaskan bahwa bahasa dalam

drama atau puisi dapat “dibaca” hampir setiap notasi musik. Kemudian, pada

tahun 1806, dijelaskan Sendjaja dalam Modul Teori Komunikasi (2010) bahwa Gilbert Austin mengkonsentrasikan kajiannya pada gerakan-gerakan badan yang dihubungkan dengan bahasa. Pendekatan ini menghasilkan sebuah sistem yang disebut dengan elocutionary system di mana isyarat-isyarat yang “pantas” dipelajari dan digunakan dalam pertunjukan drama. Elocutionary system adalah seni deklamasi atau keahlian membaca/mengucapkan kalimat dengan logat dan lagu yang baik di muka umum. Setelah itu, kajian yang lebih kompleks tentang komunikasi nonverbal dikembangkan oleh Francois Delsarte. Delsarte menggabungkan suara dan gerakan-gerakan badan sekaligus. Dalam kajiannya


(26)

tersebut, Delsarte berusaha meyakinkan bahwa pesan-pesan atau komunikasi

secara nonverbal merupakan “agents of heart”.

Dari penjelasan Joshua Steele, Gilbert Austin, maupun Francois Delsarte terkait dengan kajiannya masing-masing, dapat dijabarkan bahwa perkembangan komunikasi nonverbal mengalami kemajuan. Di mana prosody menyampaikan pesan-pesan nonverbal melalui suara dan Elocutionary system menyampaikan pesan-pesan nonverbal melalui gerakan tubuh. Dalam hal ini, Elocutionary system

hampir sama dengan impression management. Sedangkan Delsarte menggabungkan keduanya antara suara dan gerakan tubuh.

Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan nonverbal secara bersama-sama. Keduanya, bahasa verbal dan nonverbal, memiliki sifat holistik, bahwa masing-masing tidak dapat saling dipisahkan. Dalam banyak tindakan komunikasi, bahasa nonverbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal. Namun, lambang-lambang nonverbal juga dapat berfungsi kontradiktif, pengulangan bahkan pengganti ungkapan-ungkapan verbal. Ketika kita menyatakan terima kasih (bahasa verbal), kita melengkapinya dengan tersenyum (bahasa nonverbal); kita setuju terhadap pesan yang disampaikan orang lain dengan anggukan kepala (bahasa nonverbal). Dua peristiwa komunikasi tersebut merupakan contoh bahwa bahasa verbal dan nonverbal bekerja secara bersama-sama dalam menciptakan makna suatu perilaku komunikasi.

Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi yang dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan ( Budayatna & Ganiem, 2011: 110).

Lebih lanjut, banyak ahli yang mendefinisikan komunikasi nonverbal dari berbagai sudut pandang, sebagai berikut :

1. Frank EX Dance dan Carl E. Larson: Komunikasi nonverbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung pada isi simbolik untuk memaknainya (a stimulus not dependent on symbolic content meaning).


(27)

2. Edward Sapir: Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis tidak di mana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh semua (an elaborate code that is written nowhere, known to none, and understood by all).

3. Malandro dan Barker memberikan batasan-batasannya sebagai berikut: a. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.

b. Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara.

c. Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi makna oleh orang lain.

d. Komunikasi nonverbal adalah studi mengenai ekspresi wajah, sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain (Sendjaja, 2002: 6.23)

Komunikasi nonverbal merupakan kata yang sedang popular saat ini. Setiap orang tampaknya tertarik pada pesan yang dikomunikasikan oleh gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, penggunaan jarak (ruang), kecepatan dan volume bicara, bahkan juga keheningan. Kita ingin belajar bagaimana “membaca

seseorang seperti sebuah buku”,

Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting. Periset nonverbal mengidentifikasi enam fungsi utama ( DeVito, 2011: 177), yaitu :

1. Untuk Menekankan. Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal. Misal, Anda mungkin tersenyum untuk menekankan kata atau ungkapan tertentu, atau Anda dapat memukulkan tangan Anda ke meja untuk menekankan suatu hal tertentu.

2. Untuk Melengkapi (Complement). Kita juga menggunakan komunikasi nonverbal untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, Anda mungkin tersenyum ketika menceritakan kisah lucu, atau menggeleng-gelengkan kepala ketika menceritakan ketidak-jujuran seseorang.

3. Untuk Menunjukkan Kontradiksi. Kita juga dapat secara sengaja mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan nonverbal.


(28)

Sebagai contoh, Anda dapat menyilangkan jari Anda atau mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang Anda katakan adalah tidak benar.

4. Untuk Mengatur. Gerak-gerik nonverbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan Anda untuk mengatur arus pesan verbal. Mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan atau membuat gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mengatakan sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Anda mungkin juga mengangkat tangan Anda atau menyuarakan jenak (pause) Anda (misal, dengan menggumamkan “umm”) untuk memperlihatkan bahwa Anda belum selesai berbicara.

5. Untuk Mengulangi. Kita juga dapat mengulangi atau merumuskan-ulang makna dari pesan verbal. Misal, Anda dapat menyertai

pernyataan verbal “Apa benar?” dengan mengangkat alis mata Anda,

atau Anda dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi pesan verbal “Ayo kita pergi.”

6. Untuk Menggantikan. Komunikasi nonverbal juga dapat menggantikan pesan verbal. Anda dapat, misal, mengatakan “oke” dengan tangan Anda tanpa berkata apa-apa. Anda dapat menganggukkan kepala untuk

mengatakan “ya” atau menggelengkan kepala untuk mengatakan

“tidak”.

Selain memiliki fungsinya, komunikasi nonverbal juga memiliki hambatan. Adapun hambatan yaitu :

1. Hambatan Konsepsi Atau Pemahaman

Dalam berkomunikasi bisa menjadi kesalahpahaman antara orang-orang yang berkomunikasi. Kesalahpahaman ini terjadi karena beberapa sebab, yaitu :

a. Komunikasi nonverbal bersifat insting dan tidak dipelajari.

b. Adanya keyakinan bahwa fenomena nonverbal seperti ekspresi wajah dan postur tubuh merefleksikan ciri biologis dan kematangan yang bersifat herediter dari komunikator.


(29)

c. Banyaknya gerak isyarat yang digunakan dalam berkomunikasi membuatnya sulit untuk dipelajari secara praktis dan sistematis dalam hubungannya dengan perilaku manusia.

2. Hambatan Sejarah

Pada awalnya cara pergerakan dalam pengucapan bahasa dianggap perlu dilakukan untuk menarik perhatian audience, bukan sebagai pelengkap dan penguat pesan yang ingin disampaikan.

3. Hambatan metodologi

Diperlukan peralatan yang mahal untuk mempelajari komunikasi nonverbal.

(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/19660516200012 2-HERLINA/IP-TM5_KOMUNIKASI_NONVERBAL.pdf).

Secara umum, DeVito dalam bukunya Komunikasi Antarmanusia (2011) membagi jenis komunikasi nonverbal menjadi tiga, yaitu :

1. komunikasi tubuh.

2. ruang, kewilayahan, dan komunikasi sentuhan. 3. parabahasa dan waktu.

Jalan pertama di antara semua jalan komunikasi nonverbal adalah tubuh. Kita mengkomunikasikan pikiran dan perasaan kita seringkali dan secara akurat melalui gerakan-gerakan tubuh, gerakan wajah, dan gerakan mata (DeVito, 2011: 187). Gerakan tubuh tebagi terbagi atas lima, yaitu emblim, ilustrator, affect display, regulator, dan adaptor.

a. Emblim

Emblim adalah perilaku nonverbal yang secara langsung menerjemahkan kata atau ungkapan. Emblim meliputi, misal, isyarat

untuk “oke”, “jangan ribut”, “kemarilah”, dan “saya ingin

menumpang” (DeVito, 2011: 187). Akan tetapi, Emblim meninggalkan ambiguitas karena mereka mempunyai kebebasan makna, sehingga setiap orang dapat memiliki pemaknaan yang berbeda-beda terhadap isyarat yang sama. Sebab, faktor suku bangsa juga mempengaruhi pemaknaan. Jika isyarat menggelengkan kepala bermakna tidak di


(30)

Indonesia, maka lain halnya di India. Mereka menggunakan isyarat menggelengkan kepala untuk menyetujui atau membenarkan suatu hal.

b. Ilustrator

Ilustrator adalah perilaku nonverbal yang menyertai dan secara

harfiah “mengilustrasikan” pesan verbal. Dalam mengatakan “ayo bangun” misal, Anda mungkin menggerakkan kepala dan tangan Anda ke arah menaik (DeVito, 2011: 188). Ilustrator merupakan komunikasi nonverbal yang lebih universal daripada emblim. Selain itu, Ilustrator memiliki fungsi untuk menyertai pesan verbal. Sedangkan emblim

memiliki fungsi sebagai pengganti pesan nonverbal.

c. Affect display

Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang mengandung makna emosional; gerakan ini memperlihatkan rasa marah dan rasa takut, rasa gembira dan rasa sedih, semangat dan kelelahan.ekspresi

wajah demikian “membuka rahasia kita” bila kita berusaha untuk

menampilkan citra yang tidak benar dan membuat orang berkata,

“Anda kelihatan kesal hari ini, mengapa?”. Tetapi, kita dapat secara sadar mengendalikan affect display, seperti aktor yang memainkan peran tertentu (DeVito, 2011: 189). Berbeda dengan ilustrator, affect display kurang bergantung pada pesan verbal. Kita bisa saja mengkomunikasikan pesan nonverbal yang berkontradiksi dengan pesan verbal. Misalnya, saat orang menanyakan apakah Anda marah,

Anda menjawab “tidak” namun, dengan nada tinggi dan ekspresi wajah merah, serta mata terbelalak.

d. Regulator

Lebih lanjut, gerakan tubuh berikutnya adalah regulator. DeVito dalam bukunya Komunikasi Antarmanusia (2011) mendefinisikan

regulator sebagai perilaku nonverbal yang “mengatur”, memantau,

memelihara, atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Regulator

merupakan perilaku nonverbal yang dilakukan komunikan saat berkomunikasi dengan komunikator. Isyarat yang digunakan komunikan dalam merespon pesan komunikator dapat mengendalikan


(31)

pembicaraan. Misal, komunikan mengernyitkan dahi di tengah pembicaraan. Melalui isyarat tersebut, komunikator dapat mengerti bahwa komunikan kurang memahami pesannya sehingga komunikator mengulangi pesannya atau bahkan memberikan penjelasan secara detail.

e. Adaptor

Gerakan tubuh yang terakhir adalah adaptor yang merupakan perilaku nonverbal yang bila dilakukan secara pribadi atau di muka umum tetapi tidak terlihat. Misal, saat sendiri, Anda menggaruk kepala ketika kepala Anda gatal sampai rasa gatalnya hilang. Namun, bila di depan umum, Anda mungkin melakukan perilaku nonverbal ini hanya sebagian. Mungkin saja Anda hanya menggunakan jari telunjuk dan menggaruk dengan pelan.

Setelah gerakan tubuh, jenis komunikasi tubuh berikutnya adalah gerakan wajah. Sendjaja dalam Modul Teori Komunikasi menjelaskan bahwa ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, ekspresi wajah kita akan selalu berubah tanpa melihat apakah kita sedang berbicara atau mendengarkan. Paul Ekman dan Wallace Friesen telah mengidentifikasikan enam emosi dasar bahwa ekspresi wajah mencerminkan keheranan, ketakutan, kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, dan kebencian atau kejijikan. Sedangkan menurut DeVito (2011), gerakan wajah

dapat mengkomunikasikan sedikitnya “kelompok emosi” berikut : kebahagiaan,

keterkejutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, dan memuakkan atau penghinaan. Aspek komunikatif yang utama dari perilaku mata adalah siapa dan apa yang sedang kita lihat dan untuk berapa lama. Mata kita merupakan saluran komunikasi nonverbal yang tak kalah penting. Tidak hanya selama berinteraksi, tetapi juga sebelum dan sesudah interaksi berakhir. Dengan memelihara kontak mata dan tersenyum, orang-orang yang terlibat mengindikasikan bahwa mereka tertarik dengan persoalan yang sedang diperbincangkan.

Gerakan mata mengkomunikasikan pesan-pesan yang bergantung pada durasi, arah, dan kualitas dari perilaku mata. Misal, saat Anda berkata “saya sangat kagum dengan Anda” namun, mata Anda tidak memandang ke arahnya,


(32)

melainkan ke arah yang lain. Menurut DeVito (2011: 191) terdapat enam fungsi utama komunikasi mata, yaitu sebagai berikut :

1. Mencari Umpan Balik. Kita seringkali menggunakan mata kita untuk mencari umpan balik dari orang lain. Dalam berbicara dengan seseorang, kita memandangnya dengan sungguh-sungguh, seakan-akan

mengatakan, “Nah, bagaimana pendapat Anda?’. Seperti mungkin

yang Anda duga, pendengar memandang pembicara lebih banyak ketimbang pembicara memandang pendengar. Riset mengungkapkan bahwa presentasi waktu interaksi yang digunakan untuk memandang sambil mendengarkan adalah antara 62 dan 75 persen. Sedangkan presentase waktu yang digunakan untuk memandang sambil berbicara adalah antara 38 persen dan 41 persen.

2. Menginformasikan Pihak Lain untuk Berbicara. Fungsi kedua adalah menginformasikan pihak lain bahwa saluran komunikasi telah terbuka dan bahwa ia sekarang dapat berbicara. kita melihat ini dengan jelas di ruang kuliah, ketika dosen mengajukan pertanyaan dan kemudian menatap salah seorang mahasiswa. Tanpa mengatakan apa-apa, dosen ini jelas mengharapkan mahasiswa tersebut untuk menjawab pertanyaannya.

3. Mengisyaratkan Sifat Hubungan. Fungsi ketiga adalah mengisyaratkan sifat hubungan antara dua orang. Misal, hubungan positif yang ditandai dengan pandangan terfokus yang penuh perhatian. Hubungan negatif yang ditandai dengan penghindaran kontak mata. Kita juga dapat mengisyaratkan tata hubungan status dengan mata kita. Ini khususnya menarik karena gerakan mata yang sama mungkin mengisyaratkan subordinasi atau superioritas. Sebagai contoh, seorang atasan mungkin menatap bawahannya atau tidak mau melihatnya langsung saat berkomunikasi. Demikian pula, bawahan mungkin menatap langsung atasannya atau barangkali hanya menatap lantai.

4. Mengkompensasi Bertambahnya Jarak Fisik. Akhirnya gerakan mata dapat mengkompensasi bertambah jauhnya jarak fisik. Dengan melakukan kontak mata, kita secara psikologis mengatasi jarak fisik


(33)

yang memisahkan kita. Bila kita menangkap pandangan mata seseorang dalam sebuah pesta sebagai contoh, secara psikologis kita menjadi dekat meskipun secara fisik jarak di antara kita jauh.

5. Fungsi Penghindaran Kontak Mata. Penghindaran kontak mata dapat mengisyaratkan ketiadaan minat terhadap seseorang, pembicaraan, atau rangsangan visual tertentu. Ada kalanya, seperti burung unta, kita menyembunyikan mata kita untuk menghindari rangsangan yang tidak menyenangkan.

6. Pembesaran Pupil Mata. Selain terhadap gerakan mata, banyak pula riset yang telah dilakukan menyangkut pembesaran pupil mata (pupil dilation), atau pupilometri, sebagian besar sebagi akibat dorongan dari ahli psikologi Ekhard Hess (1975). Pada abad kelimabelas dan keenambelas di Italia, kaum perempuan bisa meneteskan belladonna

(secara harfiah berarti “perempuan cantik”) ke mata mereka untuk membesarkan pupil mata sehingga mereka kelihatan lebih cantik. Pupil mata juga menunjukkan minat dan tingkat kebangkitan emosi kita. Pupil mata kita membesar bila kita tertarik pada sesuatu atau bila secara emosional kita terangsang. Barangkali kita menganggap pupil mata yang membesar sebagai hal yang menarik karena kita menganggap pupil mata yang membesar dari seseorang menunjukkan bahwa yang bersangkutan tertarik pada kita.

Menurut Sendjaja dalam Modul Teori Komunikasi, bentuk lain dari

kinesics yang dimaksud DeVito adalah komunikasi tubuh adalah gerakan tangan, kaki, dan kepala. Orang-orang yang terlibat dalam tindak komunikasi sering menggerakkan kepala dan tangannya selama berinteraksi. Beberapa dari gerakan kepala dan tangan tersebut dilakukan secara sadar dan beberapa lainnya dilaksanakan secara tidak sengaja.

Gerakan-gerakan yang dilakukan saat melakukan tindak komunikasi pastilah memiliki makna. Gerakan tangan cenderung digunakan paling banyak oleh orang yang sedang berbicara. Misal, ketika mahasiswa membawakan materi saat presentasi di depan kelas atau ketika pembicara memaparkan materi saat mengisi acara seminar.


(34)

Berbeda dengan pembicara, pendengar cenderung menggunakan gerakan kepala. Gerakan kepala yang paling umum digunakan oleh orang-orang yang sedang mendengar adalah anggukkan dan gelengan kepala. Gerakan kepala yang lain adalah dengan mengernyitkan atau mengerutkan dahi. Gerakan ini bermakna bahwa orang yang sedang mendengarkan memberikan umpan balik (feedback) kepada pembicara (Sendjaja, 2002: 6.19)

Gerakan tangan menyajikan banyak fungsi pesan bagi pembicara selama interaksi berlangsung, yaitu menegaskan atau menjelaskan apa yang dikatakan, memberi penekanan pada pembicaraan dan mengilustrasikan apa yang sedang dikatakan. Tujuan dari gerakan tangan ini adalah untuk menunjukkan intensitas pesan. Misal, berjabat tangan dengan cepat untuk mengekspresikan kegembiraan.

Selain komunikasi tubuh, komunikasi nonverbal selanjutnya adalah ruang, kewilayahan, dan komunikasi sentuhan. Dalam konteks ini, ruang yang dimaksud adalah jarak yang memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Komunikasi ruang sering disebut dengan proxemics. DeVito (2011) menjelaskan bahwa pemusatan perhatian dalam pembahasan terkait komunikasi ruang adalah jarak ruang (spasial). Terdapat empat jarak spasial yaitu :

1. Jarak Intim. Dalam jarak intim, mulai dari fase dekat (bersentuhan) sampe ke fase jauh sekitar 15 sampai 45 cm, kehadiran seseorang sangat jelas. Masing-masing pihak dapat mendengar, mencium, dan merasakan napas yang lain.

2. Jarak pribadi. Kita semua memiliki daerah yang kita sebut dengan jarak pribadi. daerah ini melindungi kita dari sentuhan orang lain. Dalam fase dekat jarak pribadi ini (antara 45 sampai 75 cm), kita masih dapat saling menyentuh atau memegang tetapi hanya dengan mengulurkan tangan kita.

3. Jarak Sosial. Dalam jarak sosial kita kehilangan detil visual yang kita peroleh dalam jarak pribadi. Fase dekat (dari 12 sampai 210cm) adalah jarak jarak yang kita gunakan bila melakukan pertemuan bisnis dan interaksi-interaksi dalam pertemuan sosial.


(35)

4. Jarak Publik. Pada fase dekat dari jarak publik (360 sampai 450 cm) orang terlindung oleh jarak. Pada jarak ini seseorang dapat mengambil tindakan defensive bila terancam.

Dalam Modul Teori Komunikasi, Antropolog Edward T. Hall mendefiniskan empat jarak yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, Ia menjelaskan bahwa kita memilih satu jarak khusus bergantung pada bagaimana kita merasakan terhadap orang lain pada suatu situasi tertentu, konteks percakapan dan tujuan-tujuan pribadi kita. Namun, empat jarak ini hanya menggambarkan perilaku orang Amerika Utara dan sangat mungkin berbeda dengan orang-orang yang berasal dari budaya lain.

Lebih lanjut, jenis komunikasi nonverbal berikutnya adalah kewilayahan. Kewilayahan disini memiliki hubungan dengan kekuasaan. Ketika suatu wilayah dikuasai oleh seekor harimau jantan, maka harimau jantan itu akan memperbolehkan calon pasangannya untuk memasuki wilayahnya. Dalam konteks kehidupan manusia, kekuasaan bisa berupa jabatan. Misal, dalam sebuah perusahaan, seorang direktur utama memiliki kekuasaan untuk memasuki tiap ruangan di perusahaan tersebut.

Tak hanya berhubungan dengan kekuasaan, kewilayahan juga dapat memberikan pesan nonverbal yang dapat merepresentasikan pemilik wilayahnya. Misal, rumah yang dapat merefleksikan makna tertentu yang berkaitan dengan empunya. Ketika kita memasuki rumahnya, dengan segera kita dapat memperoleh kesan mengenai kepribadian empunya. Demikian pula dengan kesan yang diberikan oleh barang-barang yang dimilikinya. Hal ini terjadi karena orang cenderung memilih benda atau lingkungan tempat tinggal yang dapat merefleksikan citra diri dan kepribadiannya.

Komunikasi sentuhan atau disebut juga dengan haptics. Dari segi perkembangan, sentuhan barangkali merupakan sense yang pertama kali kita gunakan. Menurut DeVito (2011: 203) terdapat lima makna utama sentuhan, yaitu:

1. Afeksi Positif. Sentuhan dapat mengkomunikasikan emosi positif. Ini utamanya terjadi antara pasangan intim atau semacamnya yang memiliki hubungan yang relatif dekat.


(36)

2. Bercanda. Sentuhan dapat mengkomunikasikan keinginan kita bercanda, dengan perasaan kasih sayang ataupun secara agresif.

3. Mengarahkan/Mengendalikan. Sentuhan mungkin juga mengarahkan perilaku, sikap, atau perasaan orang lain. Pengarahan demikian dapat mengkomunikasikan sejumlah pesan dalam bentuk perintah sebagai contoh, kita menyentuh orang lain untuk mengkomunikasikan

“pindahlah”.

4. Ritual. Sentuhan ritualistic terpusat pada salam dan perpisahan.

Menjabat tangan untuk mengatakan “halo” atau “sampai jumpa”

merupakan contoh jelas dari sentuahan ritualistic.

5. Ketertarikan dengan Tugas. Sentuhan yang berkaitan dengan tugas dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan fungsi tertentu. Ini dapat bermacam-macam mulai dari menghilangkan debu dari kerah baju seseorang sampai membantu seseorang keluar dari mobilnya.

Haptics atau sentuhan atau kontak tubuh dikatakan oleh Emmert dan Donaghy sebagai cara terbaik untuk mengkomunikasikan sikap pribadi, baik yang positif maupun negatif. Frekuensi dan durasi sentuhan dapat menjadi indikator tentang persahabatan dan rasa suka di antara orang yang melakukannya. Sentuhan dapat pula menjadi indikator yang paling ekstrim dari rasa tidak suka atau kemarahan, seperti menampar, menyepak, memukul, dan sebagainya (Sendjaja, 2002: 6.21).

Cara-cara atau jenis sentuhan dapat pula menunjukkan posisi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, khususnya dalam pengertian dominan dan submisif (seperti mengelus kepala, mencium tangan, dan sebagainya).

Terakhir, parabahasa dan waktu. Parabahasa dan waktu adalah jenis komunikasi nonverbal terakhir. DeVito dalam bukunya Komunikasi Antarmanusia (2011) mengatakan bahwa parabahasa meliputi tekanan atau tinggi rendahnya pengucapan kata, kecepatan, volume, dan irama. Parabahasa juga mencakup vokalisasi yang kita lakukan ketika menangis, berbisik, mengerang, bersendawa, menguap, dan berteriak. Kemudian, waktu (chronemics). Dalam konteks ini, waktu dibagi menjadi dua, yaitu :


(37)

1. Waktu Kultural. Waktu kultural terbagi atas tiga. Pertama, waktu ilmiah yang menggunakan milidetik dan tahun atomik. Biasanya hanya digunakan di ruang laboratorium. Kedua, waktu formal yang menggunakan hitungan normal biasanya seperti detik, menit, jam, hari, minggu, dsb. Ketiga, waktu informal yang menggunakan kata-kata sepeti selamanya, segera, secepat mungkin, dsb.

2. Waktu Psikologis. Waktu psikologis mengacu pada tingkat kepentingan kita letakkan pada masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Pada orientasi masa lalu, kita menghargai masa lampau. Sedangkan dalam orientasi masa kini, kita hidup untuk saat ini, bukan untuk esok. Berbeda halnya dengan orientasi masa kini, kita memandang ke depan dan hidup untuk hari esok.

2.2.3 Orientasi Seksual

Dalam buku Sexuality Now : Embracing Diversity, orientasi seksual merujuk pada seseorang yang tertarik secara emosional, fisik, seksual, dan romantis. Heteroseksual adalah seseorang yang tertarik dengan lawan jenisnya, sedangkan homoseksual tertarik dengan jenis kelamin yang sama; dan biseksual tertarik dengan keduanya, pria dan perempuan (kata gay sering digunakan untuk homoseksual laki-laki, sedangkan kata lesbian sering digunakan untuk homoseksual perempuan).

“Sexual orientation refers to the genders that a person is attracted to emotionally, physically, sexually, and romantically. Heterosexuals are predominantly attracted to members of the other sex; homosexuals to members of the same sex; and bisexual are attracted to both men and women (the word gay is often used to refer to a male homosexual, while the word lesbian is often used to refer to a female homosexual)” (Carroll, 2010: 314).

Sebelum tahun 1980-an sebagian besar penelitian yang dipublikasikan tentang homoseksualitas difokuskan pada penyebab atau gangguan mental (karena homoseksualitas diklasifikasikan seperti itu sampai 1973), dan pada 1990-an, HIV


(38)

dan AIDS mendominasi studi penelitian, sehingga penelitian tentang homoseksualitas kurang popular.

Spencer dalam bukunya Sejarah homoseksualitas dari Zaman Kuno Hingga sekarang (2004) menjelaskan bahwa sejak jaman prasejarah homoseksual sudah ada. Dikisahkan pada jaman itu suku Marind dan Kiman di kepulauan Melanesia selalu memperlakukan seorang laki-laki yang sudah mulai remaja untuk tidak lagi tidur bersama ibu, dan mulai tidur dengan ayahnya. Ketika memasuki fase pubertas, anak tersebut diserahkan oleh ayahnya kepada pamannya untuk mendapatkan penetrasi pada anus. Perlakuan penetrasi ini dilengkapi dengan sperma, yang mana dipercayai akan membuat anak laki-laki tersebut tumbuh menjadi anak yang kuat dikemudian hari. Setelah tiga tahun kebiasaan tersebut ditinggalkan. Walaupun suku ini mengenal ritual heteroseksual, tetapi kebanyakan diantara penduduk suku ini tetap menjalankan kebiasaan ini pada anak-anaknya, sehingga turut menyebabkan terjadinya jalinan homoseksual, yakni antara sesama laki-laki.

Lebih lanjut, menurut Oetomo, Mitologi Yunani penuh dengan kisah hubungan percintaan sesama jenis kelamin. Misal, antara Zeus dan Ganymede, Herakles dan Iolaus (Hylas), Apollo dan Hyakinthus, dan Iskandar Agung (Iskandar Zulkarnain), sang penakluk dari Macedonia. Berbeda dengan masyarakat Yunani Kuno, Kemaharajaan Romawi sebaliknya dikenal dengan moralitas yang mengharamkan perbuatan homoseks dan bahkan mengatur pengharaman itu melalui berbagai undang-undang (Oetomo, 2001: 53). Namun, itu tidak berarti bahwa tidak ada kehidupan homosekseksual di Roma. Oetomo mencatat bahwa terdapat maharaja (kaisar) Roma yang menyukai perbuatan homoseks, antara lain Yulius Kaisar, yang konon pernah bercinta dengan Raja Nikomedes dari Bythinia. Juga sastrawan Romawi seperti Virgil, Horatius, Catullus dan Tibullus yang konon pernah mengalami cinta homoseks yang demikian intensnya sehingga mewarnai karya-karya agung mereka.

Sejalan dengan Oetomo, Morton Hunt, seorang pakar yang pada tahun 1979 menulis sebuah buku berjudul Gay : What You Should Know About Homosexuality menyatakan bahwa 2400 tahun yang lalu di Athena, Yunani, homoseksualitas merupakan tradisi yang lazim dilakukan oleh orang-orang dari


(39)

kalangan terhormat. Bahkan bangsa Sparta di Barat daya Yunani, yang terkenal gagah dan ahli perang, juga merupakan orang-orang yang melakukan praktik homoseksual. Demikian pula di kalangan suku bangsa Chukchi di Timur Laut Siberia yang kebudayaannya mirip dengan orang-orang Eskimo, pada kira-kira 150 tahun masih mengenal apa yang dinamakan berdache. Berdache adalah remaja-remaja pria yang merasa dirinya tidak kuat melakukan pekerjaan-pekerjaan berat (berburu dan berperang) dan karena itu mereka mengubah diri menjadi perempuan, berpakaian dan bertingkah laku sebagai perempuan dan kemudian bahkan dinikahi oleh pria. Kaum berdache ini dianggap menjadi demikian karena kekuatan gaib, karena itu mereka tidak dianggap abnormal, bahkan dianggap mempunyai kemampuan gaib untuk menyembuhkan penyakit (Sarwono, 2011: 229 – 230)

Selain gay, lesbian juga merupakan jenis relasi homoseksual. Dalam Kartono (2009: 249), lesbian atau lesbianisme berasal dari kata Lesbos yaitu pulau di tengah Lautan Egeis yang pada zaman kuno dihuni oleh para perempuan. Konon siapa saja yang lahir di pulau itu nama belakangnya akan diikuti kata

Lesbia, namun tidak semua orang yang memakai nama tersebut adalah lesbian. Mereka meneruskan kebiasaan tersebut untuk menghormati leluhur sebelumnya dan agar kebiasaan itu tidak hilang oleh waktu karena semakin zaman terus berkembang orang-orang pun lebih mengenal istilah lesbian sebagai lesbian.

Istilah “lesbian” bermula dari kisah dewi dan penyair dari mitologi

Yunani, Sappho. Kata “lesbian” diambil dari kata Lesbos, tempat kelahiran penyair Sappho. Sappho adalah penyair Yunani Kuno yang terlahir di kota Eressos di Pulau Lesbos. Di tanah kelahirannya itulah kebudayaan terpusat selama abad ketujuh sebelum Masehi. Dia digambarkan sebagai seorang perempuan berperawakan mungil, berkulit gelap, dan berwajah buruk. Banyak puisi cinta Sappho yang ditujukan bagi perempuan. Kata lesbian sendiri diambil dari nama pulau (Lesbos) kelahiran penyair itu. Nama Sappho pun merupakan kata awal

bagi jenis puisi yang jarang ditemui, yakni ”sapphic”. Ia banyak menulis syair-syair cinta terhadap sesama perempuan pada abad ketujuh sebelum Masehi. Kata-katanya yang penuh luapan emosi dinyanyikan, dengan iringan kecapi. Sajak ekspresi cinta terhadap kawan-kawan perempuannya di Pulau Lesbos (Yunani) itu


(40)

mengejutkan, sekaligus disukai, oleh para pembaca dari beberapa generasi sejak puisi tersebut dituliskan. ”Dari puisi ini, sangat jelas terasa Sappho punya hubungan spesial dengan perempuan-perempuan dalam hidupnya. Sangat

mungkin itu hubungan seksual,” kata Martin West, penerjemah puisi asal

Universitas Oxford. ”Para perempuan itu bergabung dalam sebuah komunitas yang sering berinteraksi antarsesama, dan tidak melibatkan kaum adam. Secara jelas mereka juga menikmati kebahagiaan mereka,” katanya (https://mesappho.wordpress.com/2014/03/18/sejarah-lesbian/).

Penelitian berfokus pada kehidupan lesbian dan komunitas lesbian khususnya, memang masih tertinggal jauh dari penelitian pada gay terdahulu. Menurut Carroll (2010), secara keseluruhan, penelitian tentang lesbianisme menunjukkan identitas seksual perempuan kurang tegas daripada laki-laki. Perempuan tidak digolongkan ke dalam kategori homoseksual-heteroseksual. Mungkin ini adalah karena fakta bahwa masyarakat kurang terancam oleh seksualitas lesbian dari sekitar seksualitas gay. Temuan menarik lainnya tentang lesbian termasuk fakta bahwa lesbian juga bergantung pada penerimaan dari orang tua mereka. Lesbian yang merasa bahwa ibu mereka telah menerima orientasi seksual mereka, maka mereka memiliki harga diri yang lebih tinggi dan lebih nyaman dengan lesbianisme mereka.

“Again, much of this hinges on the amount of acceptance from their parents. Lesbians who feel that their mothers are accepting about their sexual orientation have been found to have higher self-esteem and report being more comfortable with their lesbianism (Carroll, 2010: 340).

Menurut dr. Lukas, sering kali orang tua memiliki konsep hidup yang ideal tentang memiliki anak, menikahkan, dan akhirnya mempunyai cucu. Ketika anaknya coming out sebagai homoseksual, tentu mengagetkan. Sedikitnya ada tiga tipe respon orang tua ketika anaknya coming out. Pertama, respon yang ekstrem. Orang tua cenderung keras dan bahkan bahkan bisa menyiksa hingga membunuh anaknya karena homoseks. Kedua, respon yang normatif. Pada awalnya orang tua bingung dan kurang menerima, kemudian bisa menjadi toleran. Ketiga, respon yang toleran (Manaf, 2011: 13).


(41)

Perempuan mungkin menyadari identitas lesbian mereka melalui hubungan dekat dengan perempuan lain, sedangkan pria mungkin menemukan homoseksualitas mereka melalui kontak sosial/seksual kasual. Setelah orang-orang mulai menerima identitas lesbian mereka sendiri, mereka biasanya memasuki masa eksplorasi, mencoba untuk menentukan apa artinya baik secara sosial maupun seksual. Akan tetapi, jika identitas lesbian mereka masih ditutupi, hal itu bukan tanpa alasan.

Manaf dalam Kami Tidak Bisu (2011) mengatakan bahwa ketertutupan lesbian selama ini bukan tanpa alasan. Membuka jalan hidup sebagai lesbian yang minoritas dan terpinggirkan memang dapat mengancam keamanan mereka sendiri. Apalagi adanya fakta lesbian yang trauma akibat penolakan dari orang tua, teman dekat, dan lingkungan kerja. Ditambah lagi pemberitaan tentang perlakuan masyarakat yang homofobia terhadap lesbian, membuat teman-teman tidak percaya diri menghadapi situasi tersebut dan berusaha menutupinya.


(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode adalah cara atau teknik yang digunakan untuk riset. Metode mengatur langkah-langkah dalam melakukan riset. Sedangkan penentuan metode riset, periset memilih metode apa yang akan dipakai dalam mendekati dan mencari data ( Kriyantono, 2010: 82). Maka dari itu, metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Menurut Bungin (2010: 68) metode deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu.

Menurut Zuriah (2006: 47), penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala- gejala, fakta-fakta atau kejadian-kejadian secara akurat dan sistematis mengenai sifat-sifat populasi dan daerah tertentu. Dalam penelitian deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling berhubungan dan menguji hipotesis.

Perspektif kualitatif memiliki tahapan berpikir kritis ilmiah, yang mana seorang peneliti memulai berpikir secara induktif yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena sosial melalui pengamatan di lapangan kemudian menganalisisnya dan kemudian berupaya melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati itu (Bungin, 2010: 16). Paradigma kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistik, kompleks dan rinci (Hartono, 2004: 16). Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data yang sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling serta yang lebih ditekankan adalah kualitas data bukan banyak atau kuantitas data. Menurut Kriyantono (2010: 56-57) dalam riset kualitatif, peneliti merupakan bagian integral dari data yang ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan demikian, peneliti adalah


(43)

instrumen riset yang harus terjun ke lapangan. Peneliti juga harus objektif dan hasilnya kasuistik, bukan untuk digeneralisasikan.

Menurut Denzin dan Lincoln dalam Moleong (2007) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.

Menurut Lexy J. Moleong (2007: 6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misal perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Menurut Djam’an dan Komariah (2009: 23), penelitian kualitatif dilakukan

karena penelitian ingin mengeksplor fenomena-fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif seperti proses suatu langkah kerja, formula suatu aktivitas, pengertian suatu konsep yang beragam, tata cara suatu kehidupan dan lain sebagainya.

Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 2001: 63).

Adapun penelitian deskriptif ditujukan (Rakhmat, 2004: 25) yaitu sebagai berikut:

1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala-gejala yang ada.

2. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktik-praktik yang berlaku.

3. Membuat perbandingan atau evaluasi.

4. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.


(1)

7. Tidak adanya gerakan tubuh, kepala, wajah, mata, tangan, maupun gerakan kaki yang khusus sebagai tanda bahwa mereka beridentitas lesbian. Tak hanya itu, kedelapan informan juga mengaku tidak menggunakan atribut maupun sentuhan khusus sebagai tanda bahwa mereka adalah lesbian.

8. Selain butchy, femme, Andro, dan no lebel, ternyata terdapat pelabelan baru dalam lesbian, yaitu transman. Transman adalah seorang perempuan yang merasa bahwa dia adalah seorang lelaki, namun di tubuh perempuan. Lebih lanjut, hal ini bisa dilihat dari tanda-tanda biologis seperti jadwal menstruasi atau bahkan kromosom.

9. Dalam menentukan peran kedelapan lesbian, baik sebagai butchy, femme, transman, maupun Andro dilihat melalui penampilan fisik.

10.Dari 8 informan, hanya 2 informan yang sudah dapat dikatakan “coming

out” yaitu Amee dan Bobby.

11.Lesbian hanya memilih lesbian lain untuk dijadikan pasangannya. Oleh karena itu, mereka kerap mengikuti pertemuan para komunitas lesbian maupun LGBT.

5.2 Saran

Setelah melakukan penelitian mengenai komunikasi nonverbal pada lesbian yang tergabung dalam Organisasi Cangkang Queer Medan, peneliti memiliki beberapa saran yang kiranya dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Adapun sarannya adalah sebagai berikut :

6. Penelitian ini masih terbatas dan tidak mewakili setiap situasi seperti penampilan fisik yang dijadikan dasar dalam menilai orientasi seksual seseorang. Seperti halnya perempuan yang berpenampilan tomboi. Tidak semua perempuan tomboi adalah seorang lesbian, sehingga peneliti mengharapkan adanya penelitian yang mengembangkan permasalahan ini dengan karakteristik yang lebih beragam.

7. Mengetahui fakta bahwa lesbian memilih pasangan yang juga beridentitas lesbian, oleh karena itu, kita tidak perlu khawatir jika berhadapan dengan seorang lesbian. Karena lesbian itu tidak sebuah penyakit yang dapat


(2)

ditularkan. Ketertarikan dengan perempuan lain datangnya dari dalam diri seseorang, sehingga para lesbian yang memberikan alasan menjadi lesbian karena broken home, putus cinta, dan sebagainya hanya belum berani mengatakan bahwa sebenarnya alasan yang sesungguhnya datang dari dalam dirinya sendiri memiliki ketertarikan dengan perempuan lain.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, C. dan Senny. (2007). Pokoknya Menulis. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Budayatna, Muhammad. Leila Mona Ganiem. (2011). Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana.

Bogdan, Robert C. Dan Steven J. Taylor. (1992). Introduction to Qualitative Research Methotds : A Phenomenological Approach in the Social Sciences. Alih bahasa Arief Furchan, John Wiley dan Sons. Surabaya: Usaha Nasional.

Bungin, Burhan. (2008). Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

____________. (2010). Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenama Media Group.

Carroll, J.L. (2010). Sexuality Now : Embracing Diversity. Belmont, CA: Wadsworth.

Denzin, N. K., dan M. D Giardina. (2006). Introduction: Qualitative inquiry and the conservative challenge. New York: McGraw-Hill.

DeVito, Joseph A. (2011). Komunikasi Antarmanusia. Pamulang: Karisma Publishing Group.

Djam’an Satori dan Aan Komariah. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Effendy, Onong Uchjana. (2009). Ilmu Komunikasi, teori & Praktek. Bandung: Remaja Rosda karya.

Eriyanto. (2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara.


(4)

Hartono, Jogianto. (2004). Teori Ekonomi Mikro: Analisis Matematis. Yogyakarta: Andi Publisher.

Hatimah, Ihat. (2008). Penelitian Pendidikan. Bandung: UPI Press. Idrus, Muhammad. (2009). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Erlangga.

Kartono, Kartini. (2009). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Kriyantono, Rachmat. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Kukla, Andre. (2003). Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Penerbit Jendela.

Manaf, Kamilia. (2011). Kami Tidak Bisu (Kongkow Lez). Jakarta: Institut Pelangi Perempuan.

Marliany, Roesleny. (2010). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Moleong, Lexy. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Mulyana, Deddy. (2002). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Nawawi, Hadari. (2001). Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Nawawi, Hadari. Hadari Martini. (2011). Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Oetomo, Dede. (2001). Memberi Suara Pada yang Bisu. Yogyakarta : Penerbit Galang Press.

Rakhmat, Jalaluddin. (2004). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


(5)

Roqib, Moh. (2009). Ilmu Pendidikan Islam : Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara.

Sarwono, Sarlito W. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sendjaja, S Djuarsa. (2002). Teori Komunikasi. Jakarta: Pusat Penerbit

Universitas Terbuka.

Spencer, C. (2004). Sejarah homoseksualitas dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suparno, Paul. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.

Supratinya, A. (1987). Mazhab Ketiga : Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Kanisisus.

Usman, Husaini. (2000). Manajemen : Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.


(6)

Sumber lain :

http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_0705144_chapter1.pdf diakses pada 28 November 2014 pukul 12:06 PM.

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/196605162000122-HERLINA/IP-TM5_KOMUNIKASI_NONVERBAL.pdf diakses pada 28 November 2014 pukul 2:42 AM.

https://mesappho.wordpress.com/2014/03/18/sejarah-lesbian/ diakses pada 09 Januari 2015 pukul 9:41 PM.