Orientasi Seksual Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara 1. Waktu Kultural. Waktu kultural terbagi atas tiga. Pertama, waktu ilmiah yang menggunakan milidetik dan tahun atomik. Biasanya hanya digunakan di ruang laboratorium. Kedua, waktu formal yang menggunakan hitungan normal biasanya seperti detik, menit, jam, hari, minggu, dsb. Ketiga, waktu informal yang menggunakan kata-kata sepeti selamanya, segera, secepat mungkin, dsb. 2. Waktu Psikologis. Waktu psikologis mengacu pada tingkat kepentingan kita letakkan pada masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Pada orientasi masa lalu, kita menghargai masa lampau. Sedangkan dalam orientasi masa kini, kita hidup untuk saat ini, bukan untuk esok. Berbeda halnya dengan orientasi masa kini, kita memandang ke depan dan hidup untuk hari esok.

2.2.3 Orientasi Seksual

Dalam buku Sexuality Now : Embracing Diversity, orientasi seksual merujuk pada seseorang yang tertarik secara emosional, fisik, seksual, dan romantis. Heteroseksual adalah seseorang yang tertarik dengan lawan jenisnya, sedangkan homoseksual tertarik dengan jenis kelamin yang sama; dan biseksual tertarik dengan keduanya, pria dan perempuan kata gay sering digunakan untuk homoseksual laki-laki, sedangkan kata lesbian sering digunakan untuk homoseksual perempuan. “Sexual orientation refers to the genders that a person is attracted to emotionally, physically, sexually, and romantically. Heterosexuals are predominantly attracted to members of the other sex; homosexuals to members of the same sex; and bisexual are attracted to both men and women the word gay is often used to refer to a male homosexual, while the word lesbian is often used to refer to a female homosexual ” Carroll, 2010: 314. Sebelum tahun 1980-an sebagian besar penelitian yang dipublikasikan tentang homoseksualitas difokuskan pada penyebab atau gangguan mental karena homoseksualitas diklasifikasikan seperti itu sampai 1973, dan pada 1990-an, HIV Universitas Sumatera Utara dan AIDS mendominasi studi penelitian, sehingga penelitian tentang homoseksualitas kurang popular. Spencer dalam bukunya Sejarah homoseksualitas dari Zaman Kuno Hingga sekarang 2004 menjelaskan bahwa sejak jaman prasejarah homoseksual sudah ada. Dikisahkan pada jaman itu suku Marind dan Kiman di kepulauan Melanesia selalu memperlakukan seorang laki-laki yang sudah mulai remaja untuk tidak lagi tidur bersama ibu, dan mulai tidur dengan ayahnya. Ketika memasuki fase pubertas, anak tersebut diserahkan oleh ayahnya kepada pamannya untuk mendapatkan penetrasi pada anus. Perlakuan penetrasi ini dilengkapi dengan sperma, yang mana dipercayai akan membuat anak laki-laki tersebut tumbuh menjadi anak yang kuat dikemudian hari. Setelah tiga tahun kebiasaan tersebut ditinggalkan. Walaupun suku ini mengenal ritual heteroseksual, tetapi kebanyakan diantara penduduk suku ini tetap menjalankan kebiasaan ini pada anak-anaknya, sehingga turut menyebabkan terjadinya jalinan homoseksual, yakni antara sesama laki-laki. Lebih lanjut, menurut Oetomo, Mitologi Yunani penuh dengan kisah hubungan percintaan sesama jenis kelamin. Misal, antara Zeus dan Ganymede, Herakles dan Iolaus Hylas, Apollo dan Hyakinthus, dan Iskandar Agung Iskandar Zulkarnain, sang penakluk dari Macedonia. Berbeda dengan masyarakat Yunani Kuno, Kemaharajaan Romawi sebaliknya dikenal dengan moralitas yang mengharamkan perbuatan homoseks dan bahkan mengatur pengharaman itu melalui berbagai undang-undang Oetomo, 2001: 53. Namun, itu tidak berarti bahwa tidak ada kehidupan homosekseksual di Roma. Oetomo mencatat bahwa terdapat maharaja kaisar Roma yang menyukai perbuatan homoseks, antara lain Yulius Kaisar, yang konon pernah bercinta dengan Raja Nikomedes dari Bythinia. Juga sastrawan Romawi seperti Virgil, Horatius, Catullus dan Tibullus yang konon pernah mengalami cinta homoseks yang demikian intensnya sehingga mewarnai karya-karya agung mereka. Sejalan dengan Oetomo, Morton Hunt, seorang pakar yang pada tahun 1979 menulis sebuah buku berjudul Gay : What You Should Know About Homosexuality menyatakan bahwa 2400 tahun yang lalu di Athena, Yunani, homoseksualitas merupakan tradisi yang lazim dilakukan oleh orang-orang dari Universitas Sumatera Utara kalangan terhormat. Bahkan bangsa Sparta di Barat daya Yunani, yang terkenal gagah dan ahli perang, juga merupakan orang-orang yang melakukan praktik homoseksual. Demikian pula di kalangan suku bangsa Chukchi di Timur Laut Siberia yang kebudayaannya mirip dengan orang-orang Eskimo, pada kira-kira 150 tahun masih mengenal apa yang dinamakan berdache. Berdache adalah remaja-remaja pria yang merasa dirinya tidak kuat melakukan pekerjaan- pekerjaan berat berburu dan berperang dan karena itu mereka mengubah diri menjadi perempuan, berpakaian dan bertingkah laku sebagai perempuan dan kemudian bahkan dinikahi oleh pria. Kaum berdache ini dianggap menjadi demikian karena kekuatan gaib, karena itu mereka tidak dianggap abnormal, bahkan dianggap mempunyai kemampuan gaib untuk menyembuhkan penyakit Sarwono, 2011: 229 – 230 Selain gay, lesbian juga merupakan jenis relasi homoseksual. Dalam Kartono 2009: 249, lesbian atau lesbianisme berasal dari kata Lesbos yaitu pulau di tengah Lautan Egeis yang pada zaman kuno dihuni oleh para perempuan. Konon siapa saja yang lahir di pulau itu nama belakangnya akan diikuti kata Lesbia, namun tidak semua orang yang memakai nama tersebut adalah lesbian. Mereka meneruskan kebiasaan tersebut untuk menghormati leluhur sebelumnya dan agar kebiasaan itu tidak hilang oleh waktu karena semakin zaman terus berkembang orang-orang pun lebih mengenal istilah lesbian sebagai lesbian. I stilah “lesbian” bermula dari kisah dewi dan penyair dari mitologi Yunani, Sappho. Kata “lesbian” diambil dari kata Lesbos, tempat kelahiran penyair Sappho. Sappho adalah penyair Yunani Kuno yang terlahir di kota Eressos di Pulau Lesbos. Di tanah kelahirannya itulah kebudayaan terpusat selama abad ketujuh sebelum Masehi. Dia digambarkan sebagai seorang perempuan berperawakan mungil, berkulit gelap, dan berwajah buruk. Banyak puisi cinta Sappho yang ditujukan bagi perempuan. Kata lesbian sendiri diambil dari nama pulau Lesbos kelahiran penyair itu. Nama Sappho pun merupakan kata awal bagi jenis puisi yang jarang ditemui, yakni ”sapphic”. Ia banyak menulis syair- syair cinta terhadap sesama perempuan pada abad ketujuh sebelum Masehi. Kata- katanya yang penuh luapan emosi dinyanyikan, dengan iringan kecapi. Sajak ekspresi cinta terhadap kawan-kawan perempuannya di Pulau Lesbos Yunani itu Universitas Sumatera Utara mengejutkan, sekaligus disukai, oleh para pembaca dari beberapa generasi sejak puisi tersebut dituliskan. ”Dari puisi ini, sangat jelas terasa Sappho punya hubungan spesial dengan perempuan-perempuan dalam hidupnya. Sangat mungkin itu hubungan seksual,” kata Martin West, penerjemah puisi asal Universitas Oxford. ”Para perempuan itu bergabung dalam sebuah komunitas yang sering berinteraksi antarsesama, dan tidak melibatkan kaum adam. Secara jelas mereka juga menikmati kebahagiaan mereka ,” katanya https:mesappho.wordpress.com20140318sejarah-lesbian. Penelitian berfokus pada kehidupan lesbian dan komunitas lesbian khususnya, memang masih tertinggal jauh dari penelitian pada gay terdahulu. Menurut Carroll 2010, secara keseluruhan, penelitian tentang lesbianisme menunjukkan identitas seksual perempuan kurang tegas daripada laki-laki. Perempuan tidak digolongkan ke dalam kategori homoseksual-heteroseksual. Mungkin ini adalah karena fakta bahwa masyarakat kurang terancam oleh seksualitas lesbian dari sekitar seksualitas gay. Temuan menarik lainnya tentang lesbian termasuk fakta bahwa lesbian juga bergantung pada penerimaan dari orang tua mereka. Lesbian yang merasa bahwa ibu mereka telah menerima orientasi seksual mereka, maka mereka memiliki harga diri yang lebih tinggi dan lebih nyaman dengan lesbianisme mereka. “Again, much of this hinges on the amount of acceptance from their parents. Lesbians who feel that their mothers are accepting about their sexual orientation have been found to have higher self-esteem and report being more comfortable with their lesbianism Carroll, 2010: 340. Menurut dr. Lukas, sering kali orang tua memiliki konsep hidup yang ideal tentang memiliki anak, menikahkan, dan akhirnya mempunyai cucu. Ketika anaknya coming out sebagai homoseksual, tentu mengagetkan. Sedikitnya ada tiga tipe respon orang tua ketika anaknya coming out. Pertama, respon yang ekstrem. Orang tua cenderung keras dan bahkan bahkan bisa menyiksa hingga membunuh anaknya karena homoseks. Kedua, respon yang normatif. Pada awalnya orang tua bingung dan kurang menerima, kemudian bisa menjadi toleran. Ketiga, respon yang toleran Manaf, 2011: 13. Universitas Sumatera Utara Perempuan mungkin menyadari identitas lesbian mereka melalui hubungan dekat dengan perempuan lain, sedangkan pria mungkin menemukan homoseksualitas mereka melalui kontak sosialseksual kasual. Setelah orang- orang mulai menerima identitas lesbian mereka sendiri, mereka biasanya memasuki masa eksplorasi, mencoba untuk menentukan apa artinya baik secara sosial maupun seksual. Akan tetapi, jika identitas lesbian mereka masih ditutupi, hal itu bukan tanpa alasan. Manaf dalam Kami Tidak Bisu 2011 mengatakan bahwa ketertutupan lesbian selama ini bukan tanpa alasan. Membuka jalan hidup sebagai lesbian yang minoritas dan terpinggirkan memang dapat mengancam keamanan mereka sendiri. Apalagi adanya fakta lesbian yang trauma akibat penolakan dari orang tua, teman dekat, dan lingkungan kerja. Ditambah lagi pemberitaan tentang perlakuan masyarakat yang homofobia terhadap lesbian, membuat teman-teman tidak percaya diri menghadapi situasi tersebut dan berusaha menutupinya. Universitas Sumatera Utara BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian